tag:blogger.com,1999:blog-3212514325401258282024-03-13T13:57:26.419-07:00Media Seputar IndonesiaWahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.comBlogger424125tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-58362210182963250852021-09-03T16:12:00.005-07:002021-09-03T16:12:31.761-07:00 MASALAH KEGIATAN APRESIASI SASTRA (21)Djoko Saryono *<br /> <br />/1/<br />Dalam dunia kehidupan sastra sering disebut-sebut ihwal sejarah sastra,
teori sastra, kritik sastra, penelitian sastra, dan apresiasi sastra. Para
pakar sastra, pengajar sastra, dan penikmat sastra merasa mantap dan yakin akan
kehadiran sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra.
Hal ini sudah tidak dipersoalkan lagi karena sosoknya begitu tegas dan kuat.
Tidak demikian halnya dengan apresiasi sastra. Apresiasi sastra masih sering
dipertanyakan sosoknya. Apakah gejala-gejala yang menandai kehadirannya dan
bagaimanakah sosoknya? Berdasarkan pertanyaan ini, kita perlu mengenali dan
membahas gejala dan sosok kehadiran apresiasi sastra dalam kehidupan sastra.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Berdasarkan pengenalan dan pembahasan sebelumnya dapat diketahui
gejala-gejala yang menunjukkan kehadiran apresiasi sastra sekaligus
pendorong-pendorongnya. Kepedulian dan pengindahan karya sastra oleh masyarakat
umumnya, pelisanan karya sastra sekaligus penikmatannya, omong-omong tentang
karya sastra oleh berbagai kalangan, dan lomba-lomba pembacaan karya sastra
merupakan gejala umum-awam yang lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, gejala khusus-teknis terlihat pada ditulisnya buku artikel, dan
tulisan lain yang mengklaim sebagai tulisan apresiasi sastra, adanya
rubrik-rubrik di media massa yang bertajuk apresiasi sastra, adanya pencantuman
dan pemformalan istilah apresiasi sastra ke dalam berbagai bidang terutama
kurikulum sekolah, dikerjakannya penelitian-penelitian bernama kemampuan
apresiasi sastra, dan pertemuan-pertemuan ilmiah yang membahas apresiasi
sastra.<br /> <br />Semua itu didorong oleh faktor internal dan eksternal karya sastra. Secara
internal tampaknya karya sastra memang mampu menuntut masyarakat untuk
memerhatikan dan menikmati kehadirannya. Secara eksternal tampaknya masyarakat
memang membutuhkan karya sastra demi kepenuhan dan kelengkapan hidupnya sebagai
manusia. Ini menandakan bahwa kehadiran apresiasi sastra harus diterima.<br /> <br />Penerimaan kehadiran apresiasi sastra menuntut digambarkannya sosok
apresiasi sastra. Gambaran sosok apresiasi sastra sudah diuraikan sebelumnya.
Hakikat, pengertian, pokok persoalan, lingkup bahasan, status kehadiran, tujuan
dan fungsi, dan keberlangsungan apresiasi sastra ternyata demikian jelas
sehingga dapat dibedakan dengan sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra dan
penelitian sastra. Demikian juga gambaran sosok pengapresiasi sastra,
sebagaimana dibahas di muka, menunjukkan perbedaan dengan gambaran sosok ahli atau
pakar sejarah sastra, teori sastra, kritikus sastra dan peneliti sastra. Ini
semua menandakan bahwa kehadiran apresiasi sastra layak ditempatkan sejajar
dengan kehadiran sejarah, sastra teori sastra, kritik sastra, dan penelitian
sastra.<br /> <br />Kesejajaran tempat tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimanakah makna
apresiasi sastra bagi kehidupan sastra? Pertanyaan ini timbul karena sejarah
sastra, teori sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra bermakna jelas bagi
kehidupan sastra. Kekukuhan dan ketegasan kehadiran bidang-bidang ini justru
karena kejelasan maknanya bagi kehidupan sastra. Agar kehadiran apresiasi
sastra menjadi kukuh dan tegas kiranya diperlukan pula peninjauan maknanya bagi
kehidupan sastra.<br /> <br />/2/<br />Sebagaimana diketahui bahwa kehadiran karya sastra mendahului sejarah
sastra, teori sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra. Karya sastra jauh
lebih dulu hadir. Hal ini menandakan bahwa karya sastra dapat tetap hadir atau
hidup tanpa kehadiran sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, dan penelitian
sastra. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan karya
sastra menjadi semarak dan berarti berkat tunjangan keempat bidang tersebut.
Ini berarti kehadiran keempat bidang tersebut memiliki makna bagi kehidupan
sastra meskipun kehidupan sastra sebenarnya tidak memprasyaratkannya.<br /> <br />Kehidupan sastra terbukti makin baik dan bermutu berkat kehadiran empat
bidang tersebut. Sejarah sastra telah memetakan kurun demi kurun kehidupan
sastra beserta segala cakrawalanya. Teori sastra telah menyumbangkan
gambar-gambar tentang anatomi sastra demi peningkatan kehidupan sastra. Kritik
sastra telah memberikan masukan-masukan berharga mengenai kelebihan dan
kekurangan karya sastra sehingga dapat dijadikan cermin kehidupan sastra.
Penelitian sastra telah memberikan informasi tentang lekuk liku karya sastra
dan kehidupan sastra sehingga daripadanya kehidupan sastra makin terpahami
secara baik.<br /> <br />Lalu apa makna apresiasi sastra bagi kehidupan sastra? Sumbangan atau
peranan apakah yang bisa diberikan apresiasi sastra bagi kehidupan sastra?
Sebagaimana keempat bidang tersebut, apresiasi sastra memiliki makna dan
peranan bagi kehidupan sastra. Makna apresiasi sastra bagi kehidupan sastra
terletak pada kemampuannya memberikan tanah tumbuh dan kembang yang baik bagi
kehidupan sastra. Dikatakan demikian karena apresiasi sastra, sebagai sudah
dikemukakan dalam buku ini, merupakan tempat perjumpaan, pertemuan, dan
perjamuan yang akrab dan manusiawi antara pengapresiasi sastra dan karya
sastra. Di sini keduanya berkomunikasi, saling memberi makna, menghargai tanpa
prasangka, dan mengembangkan diri. Ini membuat baik pengapresiasi sastra maupun
karya sastra tumbuh dan berkembang secara lebih baik.<br /> <br />Semakin mantap dan kukuh kehadiran apresiasi sastra, semakin baik dan bermutu
kehidupan sastra. Karena itu, kehadiran apresiasi sastra perlu dipermantap dan
diperkukuh. Di samping dipikirkan dan dikembangkan tubuh pengetahuannya,
kegiatan-kegiatan apresiasi sastra yang merupakan realisasi perjumpaan,
pertemuan, dan perjamuan pengapresiasi dengan karya sastra perlu dikembangkan
dan ditingkatkan jumlah dan mutunya. Kegiatan-kegiatan apresiasi sastra seperti
membaca karya sastra, melisankan karya sastra, menyimak pelisanan karya sastra,
mendiskusikan karya sastra, dan menulis tentang karya sastra perlu makin
ditingkatkan dan diintensifkan agar kehidupan sastra makin baik. Di sinilah
makna kehadiran apresiasi sastra bagi kehidupan sastra.<br /> <br />/3/<br />Sebagaimana sudah disinggung di bagian akhir uraian di atas, kegiatan
apresiasi sastra beraneka ragam. Keragaman ini timbul karena karakteristik
pengapresiasi, perkembangan-perkembangan dunia apresiasi sastra, dan lingkungan
yang memengaruhi dunia apresiasi sastra. Karakteristik pengapresiasi di sini
bisa berupa taraf keterpelajaran dan tingkat pendidikan, taraf kepositifan
sikap dan perilaku, motif dan tujuan melakukan apresiasi, dan bentuk atau
karakteristik karya sastra yang diapresiasi. Perkembangan dunia apresiasi di
sini bisa berupa kecenderungan kegiatan apresiasi, sarana dan wahana untuk
melakukan apresiasi, pikiran dan gagasan tentang apresiasi, dan
pengalaman-pengalaman tentang apresiasi. Selanjutnya lingkungan yang
memengaruhi kegiatan apresiasi bisa berupa berkembangnya keberaksaraan,
kelisanan sekunder, media massa baik cetak maupun elektronis, bisnis
pertunjukan, dan taman-taman kesenian atau budaya serta kegiatan-kegiatan
kesenian atau sastra.<br /> <br />Bagaimanakah wujud keanekaragaman kegiatan apresiasi sastra itu? Wujud
keanekaragaman ini tampak dari bermacam-macamnya kegiatan kesastraan yang bisa
digolongkan ke dalam kegiatan apresiasi sastra. Kegiatan-kegiatan itu,
sebagaimana sudah disinggung pada bagian akhir di atas, di antaranya (1)
membaca(kan) karya sastra, (2) melisankan karya sastra, (3) menyimak pelisanan
karya sastra, (4) mendiskusikan karya sastra, dan (5) menulis tentang karya
sastra. Kelima wujud kegiatan ini tidak hierarkis, tetapi linier, bahkan
koordinatif-sinkronis. Maksudnya, melisankan karya sastra tidak selalu lebih
sulit daripada membaca sastra; menyimak pelisanan karya sastra lebih mudah
daripada mendiskusikan karya sastra; demikian seterusnya. Meskipun demikian,
memang harus disadari bahwa melisankan karya sastra, mendiskusikan karya
sastra, dan menulis tentang karya sastra terjadi setelah dilakukan membaca
karya sastra. Khusus menyimak pelisanan karya sastra dapat terjadi setelah ada
melisankan karya sastra.<br /> <br />Wujud-wujud keanekaragaman kegiatan apresiasi tersebut akan dibahas pada
seri-seri berikutnya. Pembahasan khusus dan tersendiri perlu dilakukan agar
gambaran lebih lengkap dan utuh mengenai apresiasi sastra dapat diketahui
mengingat pentingnya apresiasi sastra sebagai unsur pengukuh kehadiran
apresiasi sastra dan penyubur kehidupan sastra. Ihwal wujud keragaman kegiatan
apresiasi sastra yang disebutkan tersebut bukan hal baru, sudah banyak kalangan
sastra yang mengetahuinya. Demi kejelasan dan kegunaan keanekaragaman kegiatan
apresiasi sastra dibahas kembali.<br /> <br />Bersambung 22<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/09/masalah-kegiatan-apresiasi-sastra-21/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/09/masalah-kegiatan-apresiasi-sastra-21/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-51875147677827706802021-08-30T15:38:00.001-07:002021-08-30T15:38:04.618-07:00Surat Berdarah Untuk Presiden: Mengantarkan Lea ke Ubud WrittingPipiet Senja<br /> <br />Prolog<br /> <br />Ini ada surat dari Lea, nama penanya; Jaladara, salah satu penulis pada
buku Surat Berdarah Untuk Presiden, diterbitkan oleh Jendela, Grup Zikrul
Hakim, Jakarta.<br /> <br />Dia malu-malu mengirimkannya, meskipun baru saja menyelesaikan kuliahnya
pada St. Marry, Hong Kong. Karya-karyanya memang luar biasa, bahasanya apik,
siapapun takkan pernah mengira bahwa anak yang satu ini penggiat literasi dan
seni sastra di kalangan BMI Hong Kong. Beberapa kali saya membincang karyanya
di program Bilik Sastra VOI RRI.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Yang patut diacungi jempol adalah aktivitasnya, tepatnya dedikasinya
terhadap perkembangan sastra dan mencerdaskan kaum BMI di negeri beton,
sehingga Lea mendirikan ABATASA; sebuah perpustakaan yang digratiskan, populer
di kalangan perantau Indonesia.<br /> <br />Hmm, dalam beberapa hari ke depan, saya akan terbang kembali ke negerinya
si Jacky Chan. Sebelum itu, inilah saya dukung dan rekomendasikan karyanya ke
berbagai media, termasuk kompasiana; sebuah jejaring sosial yang menjadi
favorit pula di kalangan BMI Hong Kong dan Macau dan Taiwan.<br /> <br />Bravo, Lea, ananda sayang, aku bangga dan turut sukacita dengan
keberhasilanmu.<br />Semoga ke depan akan berlahiran para penulis handal lainnya di kalangan
BMI.<br />Doaku selalu untuk kaliam, wahai, para perempuan tangguh!<br />***<br /> <br />Barangkali yang terlintas di benak sebagian besar masyarakat Indonesia
ketika mendengar tentang TKW/TKI atau Buruh Migran Indonesia, maka berita
tentang penganiayaan, penindasan, pemerkosaan, pelecehan dan ketidakadilan
lainnya yang dilakukan oleh majikan di luar negeri. Apalagi media-media massa
di tanah air secara sadar ataupun tidak, sengaja ataupun tidak, ikut menanamkan
stigma para pahawan devisa tersebut dengan hal-hal negatif. Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa realitas semacam itu banyak terjadi, dan masih menjadi
persoalan ketenagakerjaan yang sampai detik ini belum bisa terselesaikan dengan
baik oleh pemerintah.<br /> <br />Tidak banyak yang mengetahui, bahwa dari tangan-tangan tangguh para buruh
Migran telah lahir banyak karya sastra sebagai ungkapan ekspresi dan kesaksian
mereka atas realitas yang terjadi baik di dalam dirinya ataupun di luar dirinya
(masyarakat sosial). Gejolak perasaan, kekecewaan, kemarahan, harapan,
mimpi-mimpi, dan ideal-ideal kehidupan menjadi bahan baku yang tak pernah habis
di eksplorasi oleh para pengarang yang berasal dari buruh migran tersebut.<br /> <br />Perlu diketahui, bahwa setidaknya, ada lebih dari 60 judul buku yang telah
lahir dari olah rasa dan kredibilitas para Buruh Migran Indonesia (BMI)
terutama di Hong Kong. Iklim penulisan dan geliat komunitas sastra dan seni di
Hong Kong sangan marak dan kondusif dalam melahirkan pengarang-pengarang muda
dan berbakat. Mereka menulis puisi, cerpen, sastra, naskah drama, scenario,
cerita pengalaman hidup, dan bahkan novel.<br /> <br />Hakekat dari genre sastra buruh migran bukan sekedar teks yang ditulis oleh
buruh migran dan tidak selalu berputar di sekitar penderitaan menjadi buruh
migran; rasa rindu terhadap kampung halaman; dan persoalan klasik perburuhan
lainnya.<br /> <br />Sastra buruh migran kurang lebih sama dengan sastra pada umumnya. Menjadi
lebih istimewa karena sastra buruh migran ditulis oleh mereka yang pada
dasarnya tidak memiliki latar belakang keilmuan dan kesusastraan yang memadai,
namun dengan penuh semangat berusaha berkarya lewat ragam estetika, kreatifitas
dan imajinasi yang ada, sebagai sebuah kesaksian dan tafsiran atas realitas
kehidupan sehari-hari yang dihadapi.<br /> <br />Sayangnya, perkembangan dan semangat bersastra di kalangan BMI ini masih
dipandang sebelah mata dan belum mendapatkan apresiasi yang selayaknya.
Barangkali karena cap Buruh Migran itulah yang membuat banyak kritikus sastra
mencibir akan kualitas teks-teks yang dihasilkan. Padahal, bila hendak jujur,
suara-suara dari BMI tersebut tidak ada bedanya dengan suara-suara para
pengarang besar yang berbicara tentang perburuhan lewat karya-karya mereka.<br /> <br />Suara BMI lebih jujur, berbicara tentang realitas sosial dalam hubungannya
yang tidak seimbang dengan birokrasi, kekuasaan dan capital. Tanpa
terkontaminasi oleh kubu politik atau ditumpangi oleh kepentingan kelompok
tertentu. Dari suara BMI tersebut, kita juga bisa membaca bagaimana menjadi
Indonesia dari sudut pandang mereka yang berada di luar Indonesia.<br /> <br />UWRF 2011, Nandurin Karang Awak<br /> <br />Beberapa bulan lalu, saya membaca sebuah informasi mengenai seleksi
karya-karya untuk Ubud Writers and Readers Festival lewat sebuah jejarang
sosial. Dengan semangat seorang pemula, saya menghubungi penerbit buku-buku
saya di Indonesia dan meminta tolong seorang editor untuk membantu saya
memilihkan tulisan dan buku mana saja yang layak dikirimkan ke seleksi ini.
Meski jujur saat mengirimkannya saya tidak berharap muluk ataupun menargetkan
harus lolos. Toh bagi seorang penulis seperti saya, tugas saya adalah menulis.
Urusan apresiasi dan “kehormatan” lainnya saya serahkan sepenuhnya kepada
khalayak pembaca.<br /> <br />Setelah berhasil mengirimkan karya ke UWRF, saya mencoba melupakannya.
Meski saya selalu memohon kepada Tuhan di dalam doa-doa saya, semoga Dia
memberikan saya arah masa depan kepenulisan yang lebih baik. Dan memang Tuhan
Maha Mendengar.<br /> <br />Setelah menunggu lebih dari satu bulan, akhirnya saya mendapat konfirmasi
lewat surat elektronik bahwa saya termasuk salah satu dari 15 penulis yang
diundang mengikuti even sastra tingkat Internasional yang cukup bergengsi ini.
Dari catatan kuratorial saya menemukan sebuah kalimat yang membuat saya
optimis, setidaknya menjadi pemicu semangat untuk konsisten dan trus balajar
untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di masa depan.<br /> <br />“Para penulis terpilih ini beserta karya-karya mereka tidak hanya
mencerminkan pencapaian kualitas kesusastraan yang tinggi, namun juga
merefleksikan kekayaan daya ucap, bahasa, estetika, serta budaya dari berbagai
daerah di nusantara.”<br /> <br />Ubud Writers & Readers Festival merupakan sebuah festival sastra
tingkat internasional yang melibatkan para penulis, pembaca, penerbit nasional
dan internasional; media lokal, nasional, dan internasional; organisasi seni,
sastra dan budaya; budayawan, sastrawan dan seniman; pemerhati dan kritikus
sastra; sekolah dan universitas dalam dan luar negeri; duta besar dari berbagai
Negara juga masyarakat umum.<br /> <br />Festival ini dilaksanakan setiap tahun sebagai salah satu program dari
aktivitas Yayasan Mudra Swari Saraswati yang bergerak di bidang sastra, seni
dan budaya. Ubud Writers & Readers Festival telah mendapatkan predikat
sebagai “One of the World’s Great Book Festival oleh Conde Nast Travel and
Leisure, “Among the Top Six Literary Festival in the World’s” oleh Harper’s
Bazzar, serta The Best Art Event 2006 oleh The Beat Magazine.<br /> <br />UWRF 2011 merupakan festival tahunan yang ke-8 dengan Tema “Nandurin Karang
Awak” diinspirasi oleh salah satu kalimat dalam gaguritan Salampah Laku, puisi
panjang tradisional yang ditulis oleh Kawi-Wiku (pendeta-sastrawan) Ida Pedanda
Made Sidemen.<br /> <br />Dalam geguritan itu Ida Pedanda Made Sidemen menyatakan, ”…idep beline
mangkin, makinkin mayasa lacur, tong ngelah karang sawah, karang awake
tandurin…” (kehendak kakanda sekarang, mulai melakukan tapa kesederhanaan,
tidak memiliki tanah sawah, maka tubuh diri-lah yang ditanami) Mengolah diri
sendiri sebagaimana mengolah sawah—menyebarkan benih kebajikan, memotong
rumput-rumput keinginan, serta memanen dengan seksama agar hanya biji budi
terbaik yang dihasilkan—-merupakan konsep filosofis penting dalam tataran spiritual
Bali.<br /> <br />Dalam tataran keseharian, pernyataan Ida Pedanda Made Sidemen mencerminkan
rasa optimis dari kelompok manusia yang tidak memiliki tanah—baik karena
kemiskinan, pilihan maupun karena pengasingan—namun masih memiliki keyakinan
pada kemampuan dan potensi diri pribadi mereka masing-masing. Ida Pedanda Made
Sidemen diakui sebagai salah satu Kawi-Wiku terbesar sepanjang sejarah Bali.
Beliau menulis sejumlah karya sastra, seperti Siwagama, Kakawin Candra
Bhairawa, Kakawin Cayadijaya, Kakawin Kalpha Sanghara, Kidung Pisacarana, dan
Kidung Rangsang. Selain menulis karya sastra serta melayani umat dengan
memimpin upacara keagamaan, Ida Pedanda Made Sidemen juga dikenal sebagai ahli
arsitektur tradisional yang mumpuni. Beliau meninggal pada 10 September 1984
dalam usia 126 tahun.<br /> <br />Semangat Nandurin Karang Awak inilah yang kemudian saya adopsi dan saya
sebarkan kepada kawan-kawan BMI Hong Kong. Supaya mereka memiliki kesadaran
diri untuk menemukan dan menggali potensi yang mereka miliki untuk menggapai
masa depan yang lebih baik. Potensi itu sendiri tak melulu dibidang
tulis-menulis, bisa saja berwirausaha dan masih banyak jenis usaha lainnya yang
bisa digeluti oleh kawan-kawan BMI.<br /> <br />Sebagai Duta Sastra Buruh Migran, saya dilibatkan dalam berbagai acara yang
dihelat oleh UWRF 2011. Pada tahun ini UWRF menghadirkan lebih dari 130 penulis
dari lebih dari 28 negara. Festival ini juga mempersembahkan sekitar 168 acara
dalam 6 hari dengan mengambil lebih dari 57 tempat acara. Jujur, saya sendiri
cukup nervous saat didaulat untuk menjadi pembicara dalam beberapa panel
diskusi dan worshop yang pesertanya berasal dari berbagai belahan dunia. Dalam
sebuah panel bahkan saya di satu mejakan dengan empat orang penulis dunia yang
masing-masing berasal dari Eropa, Australia, Amerika dan satu lagi adalah
penulis asal Indonesia yang telah tujuh tahun menetap di Canada. Sedangkan
saya? Saya datang hanya dengan segudang semangat untuk belajar.<br /> <br />Saya bukan seorang yang memahami sastra dengan baik. Saya juga bukan
seorang kritikus sastra yang bisa membagikan ilmu kepada peserta workshop
tentang bagaimana menilai kualiatas sebuah karya. Saya hanya seorang penulis
yang tengah balajar merangkak. Saya hanya bisa berbicara tentang bagaimana
saya, dan kawan-kawan BMI Hong Kong berkarya di bawah segala tekanan dan
keterbatasan.<br /> <br />Saya hanya bisa menyampaikan tentang kegelisahan-kegelisahan dan
kawan-kawan sebagai penulis, yang berusaha menjadikan tulisan itu sebagai alat
untuk memperjuangkan hak-hak dan kemerdekaan kami sebagai manusia, sebagai
pekerja yang tak ingin diperlakukan seperti robot tanpa memberikan kami
kesempatan untuk beristirahat dan berkembang.<br /> <br />Seperti harapan dari kawan-kawan BMI yang menghadiri dialog “Perempuan
Pengarang dan Sastra Migran” yang saya adakan pada hari Minggu (18/9) di Markas
Besar FLP HK yang dihadiri oleh lebih dari 30 peserta. Mereka memiliki harapan
dan cita-cita yang sama. Terciptanya sebuah lingkungan dan kondisi yang
kondusif untuk berkarya dan bekerja. Dan untuk mencapai semua itu, perlu
perjuangan yang serentak dari semua elemen yang terlibat dalam skema penempatan
BMI di luar negeri. Baik itu pemerintah Indonesia, pemerintah Hong Kong, KJRI,
organisasi-organisasi BMI, LSM, agensi dan BMI itu sendiri. Mari satukan misi,
eratkan perjuangan menuju cita-cita bersama.<br /> <br />Akhirnya saya memohon doa kepada seluruh kawan-kawan seperjuangan di Hong
Kong semoga proses belajar saya di sana berjalan dengan baik. Semoga kelak saya
diberi kesempatan untuk membagikan semua ilmu yang telah saya didapat kepada
kawan-kawan semua. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada SUARA yang konsisten menyuarakan perjuangan kami, kepada KJRI HK atas
segala dukungan dan apresiasinya.<br /> <br />Tak lupa kepada keluarga besar saya di St.Mary’s University, Bank Mandiri,
Dompet Dhuafa, IMWU, Abatasa, KFC serta FLP HK dan tentunya seluruh kawan-kawan
yang berada di Hong Kong. Dengan semangat Nandurin Karang Awak, semoga semakin
banyak kawan-kawan BMI yang mendeka dalam berkarya dan bekerja. Kayau!
(Jaladara, penulis cerpen: Surat Berdarah Untuk Presiden).<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">21 September 2011 <a href="http://sastra-indonesia.com/2011/10/surat-berdarah-untuk-presiden-mengantarkan-lea-ke-ubud-writting/">http://sastra-indonesia.com/2011/10/surat-berdarah-untuk-presiden-mengantarkan-lea-ke-ubud-writting/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-87762453068328124802021-08-29T14:21:00.003-07:002021-08-29T14:21:46.822-07:00Selayang Pandang Sastra DayakSetia Budhi, Ph.D *<br />Radar Sampit, 19 Juli 2020<br /> <br />Abstrak<br /> <br />Sastra tulisan oleh penulis Dayak sebenarnya sudah lama ada. Bahkan,
beberapa berkelas dunia. Sayangnya, belum ada yang mengumpulkan karya-karya
mereka yang terserak dan tercerai-berai dimana-mana, di sepanjang zaman. Hingga
kini, memang tidak banyak penulis, pengarang, dan sastrawan, yang lahir dari
etinik ini. Akan tetapi, diantara mereka telah mengambil bagian dalam
perjalanan sejarah sastra Indonesia. <span><a name='more'></a></span>Katakanlah misalnya nama Fridolin Ukur
-salah seorang anggota Angkatan’66, JJ. Kusni – mantan sastrawan eksil selama
beberapa tahun, Korrie Layun Rampan – penggagas Angkatan 2000 dalam sastra
Indonesia, kritikus sastra R. Masri Sarep Putra – penulis, pengarang, dan
sastrawan profilik sebagai anggota Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia. Peran
dan kiprah mereka ini sangat diperhitungkan dalam blantika sastra Indonesia.
Meski tertinggal seabad dari sastra Minang, sastra Dayak mulai menunjukkan jati
dirinya. Kini kita bisa mulai menikmati syair-syair bernuansa etnik oleh Ding
Ngo Syair Lawe’, Pahlawan demi Kekasih (bersama S. Lii Long) terdiri atas 5
volume dan diterbitkan Gadjahmada University Press pada 1984/1985, karya-karya
itu masih berserakan di sana-sini dari kawasan Kalimantan dan Borneo. Tahun
2000-an itu, sastra Dayak telah menjemput zamannya. Bukan saja Korrie, tapi
Mursani Mangkahui hingga pujangga terkini Budi Miank.<br /> <br />Pendahuluan<br /> <br />Deskripsi singkat ini ingin menarasikan dua hal: pertama, menelusuri
perkembangan sastrawan di Kalimantan, kedua, membincangkan sastra Dayak dan
dunianya. Beberapa catatan dalam makalah ini bersifat pandangan penulis dengan
mengambil beberapa sumber lain sebagai pelengkap.<br /> <br />Pertanyaan kita adalah bagaimana perkembangan sastra Dayak? Dimana ia
bermula, dimanakah meletakkan akar tunjang Sastra Dayak? Siapa yang
bertanggung-jawab untuk kemajuan sastra Dayak di masa depan?<br /> <br />Sastra Dayak adalah sastra yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat
yang terikat adat-istiadat, bahasa, dan budaya. Ia berwawasan lokal dan
tradisional. Pada umumnya, sastra Dayak yang paling penting adalah bersifat
verbal atau tutur. Ujaran dari mulut ke mulut yang berdampak pada pemaknaan
penerima ujaran tersebut. Banyak versi yang lahir karena fenomena ini.<br /> <br />Perkembangan sastra Dayak terutama dibentuk di pedalaman dan dalam
komunitas penutur berbahasa Dayak. Ia berkembang bersamaan dengan
upacara-upacara adat seperti Balian, Mamang, Badewa, Basarung, maupun upacara
pengobatan dan puja-puji para leluhur. Pada setiap Balian ada mantra, pada
Badewa ada mantra Batatabur. Mantra adalah sastra tradisonal yang bahkan
lahirnya ribuan tahun pada peradaban manusia di Kalimantan.<br /> <br />Mantra, pantun, teka-teki, cerita binatang, cerita asal-usul, cerita
jenaka, dan cerita pelipur lara merupakan golongan cerita yang hidup dan
berkembang secara turun-temurun. Cerita ini dapat dianggap sebagai karya sastra
taraf permulaan. Dalam banyak jenisnya, mantra dikenali sebagai pengobatan,
mula bertanam, adat perkawinan, jampi, dan tawar.<br /> <br />Pada upacara, balian memiliki kekuatan menyembuhkan penyakit, harapan
kesembuhan, terhindar dari berbagai kesialan dan terlindungi dari halangan dan
rintangan. Penuturan mantra-mantra yang dinarasikan pembalian baik dalam bahasa
setempat maupun Sangiang.<br /> <br />Beras kuning<br />Terbang ke udara<br />Beras putih-hitam<br />Terbang ke udara<br />Sukma pulang ke sukma<br /> <br />Syarat-syarat formal kesastraan (literary concepts) yang lazim digunakan
dewasa ini hanya akan merujuk pada bentuk-bentuk sastra modern, yakni
karya-karya yang sudah mendapat pengaruh tradisi sastra barat (Eropa dan
kemudian Amerika) sejak awal abad ke-20. Mengenai perbedaan konsep “sastra
klasik” dan “sastra modern” – juga “sastra Nusantra” dan “sastra Indonesia” ‒
secara ringkas baca, misalnya uraian Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia (Bandung, Binacipta, 1991), hlm. 10.<br /> <br />Saya menduga bahwa sastra Dayak terbagi atas dua yaitu sastra Dayak klasik
dan sastra Dayak modern-kontemporer. Pembeda keduanya berasal mula dari aspek
bahasa yang dipergunakan. Sastra Dayak klasik menggunakan bahasa yang
dituturkan melalui upacara-upacara. Saya menyebutnya dengan “Sastra Sangiang”. Sementara
sastra Dayak Kontemporer adalah sastra yang disampaikan melalui karya tulis
yang diterbitkan baik puisi, cerita pendek, dan novel.<br /> <br />Perkembangan Sastra(wan) di Kalimantan<br /> <br />Berikut saya kutip secara lengkap penjelasan ini dari tulisan penyair
Kalimantan Selatan Micky Hidayat (2008). Dalam hal seni-budaya, Kalimantan
sebagai salah satu kantong budaya di Indonesia sejak dulu memiliki
seniman-seniman kreatif yang menciptakan karya seni-budaya berbagai ragam yang
berkualitas ‒ sebagai produk budaya yang didalamnya terkandung harkat atau
kemaslahatan hidup bermasyarakat, adat-isitiadat, ritual-ritual, berbagai
pemikiran, perasaan, pandangan hidup maupun nilai-nilai budaya yang diwariskan
oleh nenek moyangnya. Beragam karya seni yang hingga kini terus dipelihara atau
dilestarikan antara lain: berpuluh jenis seni tari, seni suara, seni lukis,
seni ukir, dan seni sastra (syair, pantun, sastra lisan lamut, bakisah, dan
madihin). Menyangkut tradisi penulisan sastra Indonesia modern di 4 provinsi
Kalimantan, kemunculannya tidaklah bersamaan. Kegiatan penulisan sastra
Indonesia di Kalsel dimulai pada 1930-an, Kaltim 1940-an, Kalbar 1950-an, dan
Kalteng 1960-an.<br /> <br />Sastra Indonesia di Kalimantan sesungguhnya sudah mulai berkembang sebelum
perang dunia kedua, sekitar pertengahan atau akhir 1930-an, atau hampir
bersamaan dengan kurun waktu kegiatan penulisan yang dilakukan oleh para
sastrawan Angkatan 1930-an (Angkatan Pujangga Baru). Meskipun pada kurun waktu
awal penulisan para sastrawan tidak setenar Angkatan Pujangga Baru karena
mereka umumnya penulis pada penerbitan (majalah dan koran) lokal, tidak
sebagaimana sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang menciptakan kerya-karyanya
menjadi karya monumental karena menulis dalam majalah Pujangga Baru ‒
satu-satunya penerbitan penting yang memuat karya sastra para sastrawan di
zamannya. Para sastrawan Kalsel yang memulai kegiatan penulidan karya sastra
ini antara lain Merayu Sukma, Anggraini Antemas (Yusni Antemas), M. Yusuf
Aziddin, Artum Artha, Ramlan Marlim, Hadyaryah M., Merah Danil Bangsawan, dan
lain-lain. Mereka juga telah mempunyai sejumlah buku, baik yang diterbitkan
Kalsel atau usaha sendiri, maupun di luar Kalsel.<br /> <br />Namun kegiatan para sastrawan ini cenderung beraktivitas secara
sendiri-sendiri atau belum terakomodasi atau terhimpun dalam satu institusi
sebagaimana Pujangga Baru. Para sastrawan yang bermodalkan bakat alam inilah
diklaim sebagai generasi sastrawan perintis kesustraan Indonesia modern di
Kalimantan. Pada umumnya para sastrawan perintis ini pada masa revolusi fisik
juga aktif terlibat dalam pergerakan politik untuk mencapai Indonesia merdeka.<br /> <br />Dalam sejarah sastra Indonesia modern terdapat periodesasi yang disebut
juga angkatan dalam kesustraan Indonesia. Pada kurun waktu 1942 hingga awal
1950-an, kesustraan Indonesia diisi oleh generasi atau yang dikenal dengan
Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Pada kurun waktu ini,
bermunculan pula karya para sastrawan Kalsel baik dari mereka yang menulis
sebelum tahun 1940-an maupun mereka yang baru memublikasikan karyanya dalam
periode ini seperti Arthum Artha yang produktif memublikasikan karya puisi,
cerpen, dan romannya di media massa berwibawa di Jakarta seperti majalah Mimbar
Indonesia dan Siasat/Gelanggang. Sederet nama lain yang juga intensif menulis dan
memublikasikan puisi-puisinya ke majalah Mimbar Indonesia, Waktu, Pantja Warna,
dll adalah Maseri Matali, Asyikin Noor Zuhri, Masrin Mastur, dll. Penyair
Maseri Matali sendiri sempat disinggung oleh Paus Sastra H.B. Jassin dalam
bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya sebagai salah seorang penyair berbakat dari
pedalaman Kalimantan yang bersahut-sahutan dengan generasi seangkatannya
(Angkatan 45).<br /> <br />Pertumbuhan dan perkembangan sastra di Kalimantan Tengah tidaklah sesubur
di Kalsel, Kaltim, maupun Kalbar. Sastrawan, pengamat, dan peneliti sejarah
kesustraan di Kalimantan seperti Korrie Layun Rampan pun merasa agak kesulitan
menelusuri jejak-jejak sastra di bumi Tambun Bungai ini. Tidak seperti daerah
tetangga dekatnya, Kalsel. Setelah generasi sastrawan Tjilik Riwut, J.F. Nahan,
Marsiman Affandie, Badar Sulaiman Usin, JJ. Kusni, dan Joko S. Passandaran,
regenerasi sastrawan di daerah ini dari dekade ke dekade berjalan sangat
lamban. Sastrawan kalteng yang karyanya mampu berbicara dalam skala nasional
antara lain Badar Sulaiman Usin (Haji Achmad Badar bin Sulaiman Usin Buthaib),
kelahiran Kabupaten Pulang Pisau, 9 April 1927. Ia adalah sastrawan perintis
kesusastraan Indonesia modern di Kalteng dekade akhir 1940-an dan merupakan
satu-satunya sastrawan paling produktif melahirkan karya sastra terutama puisi
hingga menjelang akhir hayatnya. Buku puisinya yang sempat diterbitkan adalah
Rambatan (penerbit Keluarga Besar Garasi, Palangka Raya, 2000). Tentu saja
perkembangan sastra yang paling menonjol di Kalimantan Tengah adalah
karya-karya Fridolin ukur.<br /> <br />Di samping sajak, ia juga menulis cerpen, esai sastra, cerita rakyat, dan
reportase seni-budaya daerah Kalteng, dan dipublikasikan di media masssa cetak
Jakarta dan berbagai daerah di tanah air. Cerpennya berjudul Pertemuan dengan
Musim meraih Juara Harapan I sayembara mengarang fiksi majalah Sarinah,
Jakarta. Sastrawan yang juga pensiunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Kalimantan Tengah ini dikenal sangat tekun membina para penyair pemula
maupun penyair muda Kota Palangka Raya dan gigih dalam mengembangkan sastra di
wilayahnya. Ia meninggal dunia di Palangka Raya, 23 Mei 2002. Kemudian Marsiman
Affandie dengan sejumlah sajaknya yang dihimpun dalam antologi Perkenalan dalam
Sajak, bersama dengan para penyair lain dari seluruh Kalimantan.<br /> <br />JJ. Kusni, sastrawan kelahiran Kabupaten Katingan, yang karena pergolakan
politik di Indonesia 1960-an mengharuskannya menjadi sastrawan eksil di
mancanegara dan sejak 2003 hingga sekarang tinggal di Paris sebagai dosen serta
masih aktif menulis, terutama sajak dan esai sastra di media Indonesia maupun
di situs cybersastra.net. Antologi sajaknya yang paling akhir Sansana Anak Naga
(penerbit Ombak, Jogyakarta, 2005).<br /> <br />Pertumbuhan dan perkembangan sastra di Kalimantan Timur terjadi di sekitar
tahun 1940-an. Karya sastra awal ini terutama dari genre puisi yang
dipublikasikan melalui surat kabar Masyarakat Baroe pimpinan Oemar Dachlan yang
terbit di Kaltim. Umumnya puisi-puisi para penyair ini bernapaskan romantik
revolusi dan perjuangan melawan penjajah. Para penyair mula ini adalah kaum
remaja terpelajar yang telah mengenyam pendidikan di zaman kolonial Belanda. Di
antara yang paling terkemuka ialah Ahmad Dahlan (nama samarannya D. Adham) yang
pernah menjadi anggota DPR/MPR RI. Kemudian Mansyah Usman (mantan Direktur Bank
Pembangunan Daerah Kaltim), Oemar Mayyah Effendi, Maswan Dachri, Kadrie Oening
(mantan Walikota Samarinda), M. Suhana, Burhan Dahlan, Haji Ami, dan lain-lain.
Dekade 1950-an, antara lain A. Sani Rahman, Hamdi Ak, Abd. Alwie, E.M. Adeli,
Hiefnie Effendi, Ahmad Noor, Masdari Ahmad, H.M. Ardin Katung.<br /> <br />Dekade 1960-an, banyak sastrawan yang muncul, tetapi dari sebagian besar
usia kepenulisan sastrawan generasi ini relatif pendek. Di antara nama yang
menonjol dari generasi ini adalah Djumri Obeng, Awang Shabriansyah, Sudin
Hadimulya, Hermansyah, dll. Djunri Obeng dan Awang Shabriansyah menulis beragam
genre karya sastra seperti cerpen, sajak, novelet, novel, dan naskah drama, dan
karya-karya mereka sempat muncul di majalah Sastra pimpinan H.B. Jassin. Langit
Hitam yang dimuat di majalah Sastra kemudian dipilih untuk sebuah antologi
dwibahasa: Indonesia-Perancis. Novelnya Dunia Belum Kiamat dan novel
otobiografis Merah Putih di Langit Sanga-Sanga termasuk novel yang menarik
perhatian publik sastra khususnya mengenai latar Kalimantan Timur.<br /> <br />Sedangkan Awang Shabriansyah banyak menulis di majalah Budaya, Sastra, dan
Mimbar Indonesia. Sajak-sajak dan cerpennya mencapai bentuk ucap yang matang
dan ia beberapa kali mendapat hadiah sastra dalam penulisan sajak dan cerpen.
Yang khas dan menarik dari Djumri Obeng dan Awang Shabriansyah, dunia yang
ditampilkan keduanya adalah dunia pedalaman yang seluruhnya belum modern di
tengah dunia modern kita dewasa ini. Djumri Obeng umumnya menggarap tema-tema
mite dan legenda dari masyarakat Dayak pedalaman. Cerpen, sajak, dan
drama-dramanya banyak berkisah tentang roh-roh halus, setan, demit, serta
situasi dan kondisi masyarakat Dayak pedalaman yang sederhana dan belum
tersentuh kemajuan. Sedangkan Awang Shabriansyah banyak menggarap tema dukun
dan dunia perdukunan, dunia niaga, kerinduan, nostalgia, dan sebagainya.<br /> <br />Pertumbuhan dana perkembangan sastra di kalimantan Barat, tidaklah sesubur
di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Pada tahun 1950-an dan 1960-an yang
muncul secara nasional hanya Munawar Kalahan, Herry Hanwari, Soesani A., dan
Yusakh Ananda. Dan yang paling menonjol dari generasi sastrawan ini hanya
Yusakh Ananda (nama aslinya Zubier Muchtar) yang karyanya pernah mendapat pujian
H.B. Jassin, dan beerapa cerpen disertakan H.B. Jassin dalam antologi Angkatan
66: Prosa dan Puisi (1968), dan di antaranya dibukukan dalam kumpulan cerpen
Demikianlah Pada Mulanya (1980) menunjukkan konsistensinya di dunia sastra.
Meskipun sastrawan ini tidaklah terlalu produktif menghasilkan karya, namun dua
cerpennya yakni Kampungku yang Sunyi dan Masih Kuingat mampu menarik perhatian
dunia dan diterjemahkan ke dalam dua bahasa: Perancis dan Belanda. Menurut
Korrie Layun Rampan, karya-karya fiksi sastrawan kelahiran Kabupaten Sambas,
Kalbar, 1934 ini, merupakan puncak atau periode awal tumbuh dan berkembangnya
kesusastraan Indonesia modern di Kalimantan Barat. H.B. Jassin dan Ajip Rosidi
memberikan penghargaan yang pantas untuk sastrawan yang sampai hari tuanya
terus menetap di Kalbar dan tetap setia berkarya. Dan atas dedikasi serta
kualitas karya-karyanya itu maka kumpulan cerpennya Demikianlah Pada Mulanya
secara khusus dibicarakan Korrie Layun Rampan dalam Cerita Pendek Indonesia,
Buku II, seri khusus kritik cerpen.<br /> <br />Pada periode yang sama, Yusakh Ananda didampingi oleh rekannya, seorang
penyair kuat dari Kalbar, Munawar Kalahan (kini sudah almarhum). Sajak-sajak
penyair yang pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kalimantan Barat ini juga
dinilai berkualitas. Generasi sastrawan baru yang muncul setelah Yusakh Ananda
dan kawan-kawan adalah Khairani Harfisari, Sulaiman Pirawan, Sataruddin Ramli,
Effendi Asmara Zola, dan lain-lain. Karya-karya mereka dipublikasikan di media
massa lokal seperti koran dan radio di Kota Pontianak. Dekadde 1980-an, lewat
komunitas “Kelompok Penulis Pontianak” (KOMPAK ‒ dideklarasikan 1 April 1984)
yang dimotori oleh sastrawan muda Odhy’s dan kawan-kawan, generasi baru
sastrawan mulai bermunculan, seperti Aant S. Kawisar (sempat menjadi redaktur
di majalah sastra Horison), Aryo Amo Morario, Diant MST, Dharmawati TST, Mizar
Bazarvio, Odhy’s, Tulus Sumaryadi, Tadjoel Khalwaty AS, Zailani Abdullah,
Yudhiswara, Wyaz Ibn Sinentang, Chandra Argadinata, Mizan AR, Suwarto S., Uray
Kastarani Has, dan Nie’s Alantas. Oleh perkembangan media massa, baik daerah
maupun pusat (Jakarta), bermunculan pula nama-nama Mayzar Seylendra, Aspan
Ananda, Pradono, Mulyadi, Syarif Zolkarnaen Shahab, Yoseph Oedilo Oendoen,
Harun Das Putra, dll. Karya-karya mereka ini tersebar di harian Akcaya di
Pontianak dan di sejumlah media massa di Jakarta seperti Horison, Sinar
Harapan, Suara Pembaruan, Kompas, Swadesi, Mutiara, Merdeka, Media Indonesia,
Republika, Pelita, majalah Kartini, Amanah, Panji Masyarakat, dll.<br /> <br />Dari Fridolin Ukur ke Korrie Layun Rampan ke Masri Sareb Putra<br /> <br />Fridolin Ukur digemari oleh banyak kalangan sebagai penceramah favorit
karena pembawaannya yang kocak. Ceramahnya padat dan singkat. Ia cakap
bercerita. Hadirin meledak dalam tawa jika ia menceritakan anekdot yang
nyerempet politik. Sumbangsih Ukur yang lebih khas adalah tulisannya. Ia banyak
menulis di Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Berita Oikumene.<br /> <br />Sebagai satrawan dan penyair, ia juga banyak menulis puisi. Dua buku
kumpulan puisinya diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan judul Darah dan
Peluh dan Wajah Cinta. Pengembaraan batin Ukur nampak mempengaruhi karya
tulisannya dan terutama dalam puisinya.<br /> <br />Waktu pun berbisik<br />Pengalaman yang berserakan<br />Jejak-jejak yang ditinggalkan<br />Adalah kelopak-kelopak bunga cinta,<br />Sebuah bunga rampai<br />Mekar di tangkai;<br />Seperti bianglala menganyam mimpi<br />Meraih, menggapai, memeluk fajar<br />Sebuah harapan tak pernah pudar!<br /> <br />Aku pun ikut berbisik:<br />Perjalanan ini, sayang<br />Bukannya ruang sempit dan lorong sepi!<br />Kembara ini, kasih<br />adalah jalan lebar menyemai cinta<br />Di atas bumi<br />Di antara sesama<br /> <br />Waktu adalah sebuah kompetisi, puisi Ukur berlari, bukan seorang diri
melainkan dengan sang waktu, ia berpacu dengan waktu, ia dan waktu berlari
bersama tiap hari, namun sering ia merasa ditinggal oleh waktu. Ia merasa
dikhianati oleh waktu. Tetapi yang terpenting bahwa puisi Ukur menarasikan
pergulatannya kepada Tuhan.<br /> <br />Apabila waktu mengkhianati aku<br />Ketika aku disibuki dengan ceramah<br />Ketika aku berkhotbah tentang<br />Cakar hitam dan pagi biru,<br />Ketika gairah kuhabiskan di konferensi<br />Dan rapat-rapat<br /> <br />Masih ada waktu melempar bayang<br />Menanya diri dan kesilaman:<br />Tentang khianat dan bakti<br />Tentang dosa dan pengampunan suci<br />Tentang kawan berdoa pengisi sunyi<br /> <br />Sesudah Ukur, saya membaca perkembangan sastra Dayak dengan sangat kuat dan
pesat perkembangannya, ini ketika Korrie Layun Rampan kemudian memutuskan
“pulang kampung”. Karya Korrie kemudian terus menggema di negeri ini dan
kemudian menempatkan sastra Kalimantan Timur naik di panggung kesusastraan
Indonesia. Sebagai seorang yang berlatar dari etnis Dayak, penulis secara
gamblang mengekspos kehidupan masyarakat Dayak. Ritual upacara dalam masyarakat
Dayak dikupas secara tuntas yang mana dalam kepercayaan masyarakat Dayak setiap
individu sejak bayi sampai tua bahkan matipun harus menjalani upacara. Selain
menelusuri upacara-upacara Suku Dayak, buku Korrie juga mengungkap kehidupan
sosial, psikologi dan percintaan anak muda di kalangan masyarakat Dayak.
Kebersamaan masyarakat Dayak menjadi sesuatu yang ingin disampaikan Korrie
dalam bukunya. Makanya jika membaca buku Korrie, terasa ada kombinasi antara
nuansa buadaya dan roman. Akan banyak kata-kata dalam bahasa Dayak dituangkan
oleh Korrie pada buku “Upacara”, namun pada akhirnya pembaca akan mampu
beradaptasi dan memahami kata dimaksud.<br /> <br />“Kayu Naga” merupakan buku yang berisi kumpulan 10 cerita pendek yang
ditulis Korrie, diterbitkan oleh Yayasan Obor tahun 2007. Cerpen-cerpen yang
terkumpul dalam buku ini merupakan salah satu wujud pengucapan realisme dengan
jiwa warna lokal. Sarat akan tema kemanusiaan yang berjuang di tengah-tengah
alam raya. Alam dan lingkungan hidup di pedalaman Kalimantan Timur tepatnya di
Kabupaten Kutai Barat yang telah dirusak oleh sejumlah perusahaan raksasa di bidang
perkayuan dan tambang, dimana tokoh-tokoh dalam cerita ini berjuang menemukan
kemaslahatan kehidupan dengan cara yang sederhana, unik, dan mengandung
kearifan nenek-moyang. Ternyata persoalan ekologi bukan hanya persoalan
masyarakat lokal dan alam lingkungan yang rusak, tetapi lebih utama adalah
persoalan manusia secara kesejagatan.<br /> <br />Cerpen ini berbicara secara lugas dan jujur tentang sebuah dunia yang sudah
terlalu dalam terabrasi oleh berbagai kepentingan yang mengeksploitasinya untuk
tujuan-tujuan tertentu. Nampak hanyalah sebuah dunia yang rusak, terlantar, dan
bikin trenyuh. Dalam buku ini, penulis mencoba melampiaskan setumpuk
keprihatinnya melalui kritik lewat tulisannya terhadap rusaknya hutan di tanah
para leluhurnya. Karya Korrie, konsisten dengan dunia Dayak, suatu konsistensi
dan pelajaran yang penting untuk generasi masa kini dan akan datang.<br /> <br />Sesudah Korrie, memasuki tahun 2000, tak ada penyair Dayak yang lebih
produktif menulis dapat melampaui Masri Sarep Putra. Ia pada mulanya menjadi wartawan
harian Suara Indonesia di Malang, khusus mengisi desk berita kota. Bersama
pengarang senior Dwianto Setyawan, tahun 1985-1987, ia mengelola sebuah majalah
komuntas terbatas di Kota Batu, Gempar. Bersama Wadas CM, Basuki Soedjatmiko,
dan Sr. Vincentia, mengelola Busos (buletin sosial), terbitan sebuah yayasan di
Surabaya. Ia pernah menjadi koresponden majalah Hidup untuk Jawa Timur,
kemudian redaktur (1990). Ia juga wartawan UCANews.<br /> <br />Sudah aktif menulis sejak 1984, karya tulisnya dipublikasikan di Kompas,
Jawa Pos, Surya, Tamasya, Suara Merdeka, Surabaya Post, Wawasan, dan berbagai
media lainnya seperti Matabaca dan majalah pendidikan Educareas. Hasil
publikasinya berupa artikel, feature, cerpen, dan resensi dikumpulkan dalam
clear holder. Kini terkumpul dalam kliping sejak 1984 sebanyak 4004 tulisan.<br /> <br />Hingga Oktober 2016, ia telah menulis dan menerbitkan 74 buku. Bukunya
Dayak Djongkang pada 2010 terpilih sebagai salah satu pemenang pada program
Insentif Buku Ajar Perguruan Tinggi yang diselenggarakan DP-2M Dikti,
Depdikbud. Pada 2014, Masri (bersama Gumelar) menulis dan menerbitkan Ngayau,
novel berdasar sejarah suku bangsa Dayak. Pada 2014, ia menulis novel sejarah,
Keling Kumang. Novel terbarunya berjudul Obituari Bertha (2016).<br /> <br />Korrie Layun Rampan dan Masri Sarep Putra, dua tunas sastrawan Dayak yang
menjulang menjadi pohon tinggi di belantara sastrawan Indonesia. Pastilah
banyak harapan terutama karya-karyanya yang memberi semangat tinggi untuk
bersastra di kalangan generasi muda Dayak hari ini dan akan datang.<br /> <br />Syair, Bertunas di Pedalaman<br /> <br />Syair identik dengan masyarakat pesisir nampaknya telah terbantahkan.
Setidaknya dua Syair Lawe (Dayak Kayan) dan Syair Datu Bahandang Balau (Dayak
Bakumpai) telah mengubah peta asal mula dan perkembangan syair selama ini.
Lahirnya karya sastra bernuansa etnik seperti Syair Lawe dan Syair Datu
Bahandang Balau sepertinya merupakan hak atas zamannya. Kehadiran syair ini
menambah lagi kedahsyatan sastra di Kalimantan dan karya itu bahkan tidak lahir
di kota-kota, tetapi ia bangkit dari kawasan pedalaman.<br /> <br />Syair Lawe Dayak Kayan, kepercayaan yang diagungkan. Syair ini
menggambarkan kehidupan, godaan-godaan, dan kemenangan dari seorang dewa
bernama Lawe di dunia atas atau alam sesudah kematian.<br /> <br />“Pindahkanlah bicara<br />Ke dalam rumah sana,<br />Rumah empangan tanjung naga,<br />Rumah yang pindah kemudiannya,<br />Rumah tanjung naga air kepunyaan Iting Luno.”<br /> <br />“Layangkanlah pandangan<br />ke serambi muka Pahlawan,<br />layangkanlah pandangan ke serambi muka Balian,<br />serambi muka Iting Luno<br /> <br />(Ding Ngo, 1984:17)<br /> <br />Adapun syair Datu Bahandang Balau, mengisahkan tokoh, kehidupan masyarakat,
kekuatan, kepercayaan, dan nilai solidaritas Orang Bakumpai di pedalaman
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Datu Bahandang Balau, sebagai tokoh
utama syair ini menghadirkan karya sastra yang unik, penyairnya yang tinggal
nun jauh di hulu Sungai Barito di Kampung Mangkahui.<br /> <br />Perhatikan syair berikut ini, syair aslinya berbahasa Dayak Bakumpai. Syair
ini nampak dipengaruhi Syair Siti Zubaidah.<br /> <br />Suku Dayak Bakumpai yang mula-mula<br />Mereka adalah Bahandang Balau, tujuh orang bersaudara<br />Dari Bahandang Balau, turun-temurun sudahlah lama<br />Melewati lima generasi itulah Bakumpai adanya<br /> <br />Adapun yang menurunkan Suku Dayak bakumpai semuanya<br />Dari zaman dahulu sampai sekarang dan selanjutnya<br />Dari Bahandang Balau yang sudah tercampur darahnya<br />Dengan keluarnya bangsawan dari turunan raja-raja<br /> <br />(Mursani Mangkahui, 2010)<br />Akhir Kata<br /> <br />Sastra Dayak terus menunjukkan perkembangan yang pesat, unik, dan eksotik.
Ia tidak berasal mula dari ruang hampa, tetapi sebuah belantara penuh tantangan
untuk terus menggalinya. Sastra Dayak sebagai sebuah identitas, saya
berkeyakinan akan menjadi bagian penting bagi perkembangan sastra dunia pada
akan datang.<br /> <br />Tetapi, tentu saja hal itu tidak akan berarti apa-apa jikalau perkembangan
yang baik ini tidak diikuti dengan pembinaan kepenulisan pada generasi muda
Dayak, kurikulum sekolah, komunitas sastra Dayak dan bidang penerbitan.<br /> <br />Bangkitnya tokoh muda seperti Budi Miank adalah contoh yang baik kemunculan
sastrawan Dayak di era digital ini, selain juga nama-nama seperti Alian
Syahrani, Selamat Bakumpai, Budi Kurniawan, Marko Mahin, dan Darius Dubut serta
deretan nama yang pastinya telah menghasilkan karya sastra. Mungkin karya itu
telah dipublikasikan di kalangan terbatas ataupun telah dapat dinikmati di toko
buku yang berkelas.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">* Departemen Sosiologi Fakultas ISIPOL, Pusat Studi Masyarakat Adat,
Universitas Lambung Mangkurat. Disampaikan pada Dayak Culture First
International Congress, Bengkayang, 3-6 Juni 2017. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/selayang-pandang-sastra-dayak/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/selayang-pandang-sastra-dayak/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-25115379735077315412021-08-29T14:18:00.005-07:002021-08-29T14:18:51.315-07:00Puisi-Puisi Imamuddin SA<b>PADA MUSIM YANG MENDUNG</b><br /> <br />musim tanam telah tiba, anakku<br />ia mengetuk-ngetukkan tangannya di dada ayahmu<br />tidak keras namun menyesakkan<br />setiap gerak jarinya merajut kemarau<br />walau tubuh hujan berkali membikin basah<span><a name='more'></a></span><br /> <br />adakah esok hari kan menghapus mimpiku?<br />betapa gersang ayahmu mebumikan padi<br />sementara gedung dan rumah semakin rimbun<br />diguyur ingin<br /> <br />anakku yang meringkuk membidik resahku<br />beranjak memungut sepi dan memintalnya<br />lalu membekap dinginku<br /> <br />TIDURLAH AYAH<br />JEMPUTLAH MIMPIMU DI DADAKU;<br /> <br />anakku, tubuh adalah tanah basah<br />yang menyembunyikan suburnya<br />maka pada musim yang mendung<br />aku akan membenamkan benih di dadamu<br />biar esok tumbuh padi di kepalamu<br /> <br />Balun, 2019.<br /> <br /> <br /> <br /><b>MENUNGGU HUJAN</b><br /> <br />menunggu hujan memang membosankan<br />dingin yang baik hati selalu menemaniku<br />deras suaranya mengingatkan aku pada lelah<br />lelap yang biasa aku kucilkan di sudut waktu<br /> <br />“darahmu sedang beku di kamar<br />tulangmu sedang menggigil di dapur”<br />bisik rindu mengumpat dalam saku celanaku<br /> <br />Lamongan, 2019<br /> <br /> <br /> <br /><b>SEONGGOK BATU YANG TAK UTUH</b><br /> <br />secarik kertas lusuh menantangku berduel<br />esok aku akan bercerita di hadapannya<br />jadi juara dan menyerah piagam gembira<br />di hati ibu dan ayah<br /> <br />ah sampai batas waktu<br />sebuah kisah masih tak menyapaku<br />dan aku ingin belajar bercerita kepadamu<br /> <br />“menjenguk kakek adalah jalanmu<br />beribu abjad selalu tersimpan<br />di sakunya untukmu”<br />katamu<br /> <br />aku singgahi kakekku dengan segengam mimpi<br />mimpi yang masih pagi<br />astaga, aku sapa namanya pada seonggok batu<br />yang tak utuh. tiap abjadnya bercerita<br />tentang tubuhnya nan dingin ditelan sepi<br />dan rindu doa dari darahnya yang masih tersisa<br /> <br />“ADALAH DOA, TEMAN SUNYI PERJALANANKU”<br />tutur kakekku dan batu<br /> <br />Lamongan, 2019<br /> <br /> <br /> <br /><b>SEPERTI DEBU</b><br /> <br />seperti debu<br />darah berhamburan<br />di jalanmu;<br />jalan yang licin<br />karena diguyur hujan;<br />hujan air mata<br />yang mengantar tubuhmu<br />hening<br /> <br />Lamongan, 2019<br /> <br /> <br /> <br /><b>KENANGAN, RINDU, DAN SEBUAH
PERJAMUAN</b><br /> <br />apa kabar kenangan<br />semoga kau sehat dan tak menghapus namaku<br />dalam buku ceritamu. karena kau adalah kenangan<br />maka akulah rindu yang mengalir dalam rimbun doadoa<br />di antara waktu. ingin bertemu. karena itu<br />aku takkan pernah selesai mengundangmu<br />dalam perjamuan kecil jantungku.<br /> <br />“SALAM KANGEN! MENGHARAP DENGAN HORMAT<br />KEHADIRAN KENANGAN<br />BESOK PADA TAHUN, BULAN, TANGGAL, DAN HARI AHAD<br />DI RUMAH RINDU<br />CATATAN: HARAP TIDAK MEMBAWA CEMBURU<br />DAN BATU-BATU!”<br /> <br />selamat datang kenangan<br />entah berapa panjang usiamu<br />menumpuk dalam rak usangku berdebu<br />entah berapa bait cerita yang kau tulis pada tiktak waktu<br />berlalu. dengan damai, aku persilahkan dirimu<br />memintal istirah dalam rumahku<br />setelah hujan mengguyurmu dalam sepi<br />semoga kau tak masuk angin.<br /> <br />ini perjamuan, kita akan kembali<br />mencicipi hidangan kemarin<br />yang pernah kita bikin berdua.<br /> secangkir kopi hitam<br />yang kita sedu dengan rintik hujan;<br />hujan perasaan nan runcing yang luruh dari mata kita<br />di antara mata-mata terjaga<br />dan kita saling membuat ombak kecil-kecilan<br />dalam cangkir kebesaran<br /> <br />waktu itu, mendadak matahari cemburu menitipkan antara<br />sebelum kita benar-benar tenggelam dalam kopi<br />yang masih hangat dan wangi<br />lalu kita sama-sama pergi<br />memburu matahari dengan mata letih.<br /> <br />“SEKARANG MATAKAKI TELAH MENEMUKAN MATAAIR SENDIRI<br />SETELAH MENGEJAR MATAHARI<br />TAK KUNJUNG BERHENTI<br />LALU KITA PERLAHAN MENGHAPUS HUJAN<br />DAN HANGAT KOPI<br />TANPA MEMBELAH CANGKIRNYA YANG SEPI.”<br /> <br />selamat menikmati kenangan<br />mari kita hangatkan kopi yang sempat dingin ini<br />dan kita cecap pekatnya sebelum matahari mengusik kembali.<br /> <br />sontak aku terpukul. mendadak kau tumpahkan kopi<br />yang sejak kemarin aku genggam bersama inginku:<br />sebuah ingin yang menjadi angan<br />angan yang menjelma angin.<br /> <br />“BIARLAH SECANGKIR KOPI TUMPAH INI HARI<br />SEBELUM HANGAT, SEBELUM MENGUAP,<br />SEBELUM AWAN, SEBELUM HUJAN:<br />HUJAN AIRMATA YANG AKAN MENGERUHKAN MATA<br />AIR KITA.”<br /> <br />selamat tinggal rindu<br />perlahan aku telah menghapusmu<br />karena itu, kita pun telah menjadi kenangan<br />beku<br />dalam airmata waktu: sirri tuturmu.<br /> <br />“MAKA AKU PUN MENJADI TANDA SERU<br />DALAM BUKU CERITAMU”<br /> <br />Balun, Juli 2019<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Imamuddin SA, nama aslinya Imam Syaiful Aziz, lahir di Lamongan 13 Maret
1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut
Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah
Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati,
Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap
Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari
Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai
Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan
Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya
terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi
dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang
Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat
Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018,
dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon
085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/puisi-puisi-imamuddin-sa-9/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/puisi-puisi-imamuddin-sa-9/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-67486644595889043302021-08-29T09:08:00.006-07:002021-08-29T09:08:38.429-07:00Eksistensialisme Makna Karya SastraHeru Kurniawan *<br />lampungpost.com<br /> <br />Menurut Ricoeur dalam bukunya Interpretation Theory: Discourse and Surplus
Meaning, Tradisi Posivistik-Logis telah menciptakan pembedaan antara makna
eksplist dan makna implisit yang diperlakukan sebagai perbedaan antara bahasa
kognitif dan emotif yang dalam tradisi strukturalisme disebut juga dengan makna
denotasi dan konotasi. Persoalannya adalah di manakah makna karya sastra
meletakan paradigma filosofisnya?<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa.
Konsep makna ini bersifat denotatif (sebenarnya) sebagai representasi dari
bahasa kognitif. Sedangkan makna implisit adalah makna universal yang
disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif (kias) sebagai
representasi dari bahasa emotif. Makna eksplisit mengacu pada informasi,
sedangkan makna implisit mengacu pada emosi. Mencermati paradigma makna ini,
maka karya sastra jelas condong pada tradisi implist karena substansi dari
sastra adalah subjektivikasi-ekspresi yang diarahkan pada estetika dengan
pemberdayaan bahasa yang emotif. Namun, tradisi positivistik-logis yang
mengasumsikan bahwa tujuan satu-satunya bahasa adalah kode yang
merepresentasikan dan mengkomunikasikan informasi aktual menyebabkan tradisi
positivistik jelas lebih berpihak pada makna eksplisit-denotatatif daripada
makna yang diusung karya sastra implisit-konotatif.<br /> <br />Di sinilah kemudian tradisi positivistik cenderung memandang miring karya
sastra, karena maknanya yang implisit-konotatif dan tidak objektif, tidak
menciptakan satu sistem yang pasti. Oleh sebab itu, objektivisasi karya sastra
lahir sebagai gerakan kaum positivistik yang menyuarakan faham
strukturalisme-otonom, yang memandang makna karya sastra sebagai dunia yang
independen. Oleh sebab itu, makna konotasi-implisit dalam bahasa emotif karya
sastra dimaknai dalam paradigma internal teks. Faktor eksternal teks dinihilkan
dengan tujuan untuk menjaga kemurnian makna karya sastra agar tetap, karena
usaha analisis kajian ini adalah untuk mengungkap makna strutur dalam (deep
structure).<br /> <br />Padahal kenyataannya, pengertian makna konotasi-implisit pada bahasa emotif
dalam karya sastra tidaklah sesederhana hanya bergerak pada wilayah semantik
(internal teks) saja, karena persoalan sastra bukan hanya mengacu pada dunia
yang dikonstruksi oleh struktur–seperti diwacanakan oleh kaum strukturalisme
atau persoalan intern bahasa yang defamiliar–seperti yang diwacanakan kaum
formalisme Rusia–. Dalam hal ini saya menganggap bahwa sastra adalah “realitas
imajiner” yang dikonstruksi sebagai refleksi “realitas masyarakat”. Jadi, makna
konotasi karya sastra tidak hanya terkotak pada tradisi internal-semantik,
tetapi juga keluar dari dirinya, yaitu selalu menjalin hubungan yang dialektis
dengan “realitas masyarakat” sebagai bahan dasarnya.<br /> <br />Dalam hal ini saya memahami makna konotasi dalam tradisi filsafat sebagai
makna yang universal dan selalu berubah. Oleh sebab itu, substansi makna
konotasi hakikatnya adalah eksistensialis. Perubahan makna konotasi ini bukan
terjadi dalam dinamika internal karya sastra. Akan tetapi sebaliknya, perubahan
makna ini terjadi karena dinamika eksternal karya sastra, yaitu pembaca sebagai
mahluk sosial, yang dipahami sebagai individu yang telah dikodifikasi oleh
sejarah sosial masyarakatnya. Oleh sebab itu, perubahan makna dalam karya
sastra dibentuk juga oleh dinamika historis yang diakronik. Hal inilah yang
menjadikan karya sastra selalu merepresentasikan semangat zamannya. Dalam hal
ini Deridda mengatakan bahwa konsep (makna) terus berubah, bergerak, dan
berkembang berdasar pada penyejarahaannya. Sehingga makna sebagai inti dari
struktur karya sastra bergerak dalam poros ruang dan waktu.<br /> <br />Jadi, eksistensialisme makna dalam karya sastra tidak hanya menyangkut
keberadaan makna bahasa yang multiinterpretasi, tetapi lebih dari itu, makna
eksistensialisme karya sastra mengacu pada perubahan makna yang selalu
dimunculkan oleh pembaca dalam konteks ruang dan waktu. Dengan menempatkan
posisi makna karya sastra seperti ini, maka menurut saya, kita telah
menempatkan teks sastra pada “ruang kebudayaan” yang humanis karena
eksistensialisme makna karya sastra dipandang dari realitas sosial budaya yang
menjadikannya. Sebaliknya, jika makna karya sastra yang implisit-konotatif
ditempatkan pada dinamika internal teks, maka kita berarti telah mengalienasi
karya sastra dari ruang kelahirannya, yaitu dinamika sosial masyarakat.<br /> <br />Polemik Sastra Kelamin<br /> <br />Dalam studi kasus yang masih hangat tentang polemik sastra antara kubu
Hudan Hidayat, Binhad Nurrohmat dkk. dengan Taufik Ismail dkk. yang menyangkut
tentang fenomena sastra yang pada akhir-akhir ini diramaikan oleh vulgarisme
dalam berbicara tentang seks beserta pernik-perniknya, bagi saya adalah
dinamika yang wajar. Oleh sebab ruang makna sastra yang terbuka memang menuntut
para praktisi dan kritikus sastra untuk mengisinya dari sisi manapun, termasuk
ideologi dan kepentingannya.<br /> <br />Oleh sebab itu, apa yang dikatakan Ahmadun Yosi Herfanda bahwa untuk
“mengembalikan sastra ke kekuatan teks” yang menganggap bahwa kemandegan
capaian estetika sastra Indonesia salah satunya disebabkan meningkatnya
kegiatan “politik sastra nonteks” atau politik sastra yang tidak mengandalkan
kekuatan teks. Politik sastra tidak lagi dimaknai sebagai “strategi
pemasyarakatan karya (teks) sastra” tapi lebih sebagai “strategi pemasyarakatan
diri atau kelompok” tanpa mempertimbangkan kekuatan karya, menurut saya adalah
hal yang cenderung degradatif dan tidak mungkin, karena; pertama, jika
“kekuatan teks” dimaknai sebagai “otonomi teks”, maka ini sama seperti kita
berpikir positivistik yang antihumanis dan cenderung nomothetik. Sastra dilihat
hanya pada satu sisi, yaitu “teks” saja dengan mengabaikan dinamika eksternal
yang melahirkan karya sastra.<br /> <br />Kedua, bahwa kekuatan sastra itu terletak pada harmonisasi antara kekuatan
“teks” dan “nonteks”, dan menurut saya “politik sastra nonteks” saat ini masih
tetap berangkat dari “teks sastra” sebagai fenomena, misalnya fenomena sastra
kelamin. Jadi “kekuatan teks” sastra haruslah dilihat tidak hanya “teks”
sebagai karya, tetapi juga sebagai fenomena.<br /> <br />Sehingga apa pun “kepentingannya” selama apresiasi masih berangkat dari
sastra, baik sebagai teks atau fenomena maka itu adalah hal yang wajar, karena
sastra adalah fenomena yang dikodifikasi lewat bahasa yang terbuka untuk
beragam interpretasinya, karena pertama, bahasa pada dasarnya bersifat terbatas
sehingga tidak bisa merepresentasikan seluruh pengalaman manusia; kedua,
pengalaman atau mungkin kepentingan dalam setiap penafsir pasti tidak sama. Hal
ini wajar juga bila dilihat bahwa hakikatnya tidak ada yang bebas nilai dalam
setiap argumen dan perilaku manusia.<br /> <br />Persoalaannya kemudian; bagaimana reaksi yang tepat atas polemik sastra
kelamin ini? Kita tanggapi saja secara positif karena ini adalah dinamika yang
memang diciptakan dunia sastra. Dengan semangat multikulturalisme semua
pro-kontra adalah natural. Selanjutnya, proses naturalisasi akan terjadi dalam
seleksi sosial dunia sastra. Siapa yang akan dimenangkan adalah persoalan
apresiasi “siapa yang benar-benar dianggap mewakili semangat zamannya” dan ini
pun akan selalu bergerak dalam rangkaian diakronis sastra.<br /> <br />Dalam hal ini yang perlu dijaga adalah semangat menghargai pluralisme
bersastra, karena semangat ini pada hakikatnya tertanam dalam paradigma
filosofi karya sastra yang merepresentasikan makna yang
implisit-emotif-konotasi sebagai gerakan antipositivistik yang ideologik dan
humanis.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. <a href="http://sastra-indonesia.com/2009/04/eksistensialisme-makna-karya-sastra/">http://sastra-indonesia.com/2009/04/eksistensialisme-makna-karya-sastra/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-20315951246851959292021-08-28T22:30:00.004-07:002021-08-28T22:30:55.707-07:00Membaca Mata Pangara, Raedu Basha<p><a href="https://1.bp.blogspot.com/-H9PIoMc7c1I/YSsa6BoykQI/AAAAAAAABRQ/o67_TXapPccDeCigCwiMoxRMEc0uIM0lgCLcBGAsYHQ/s448/Matapangara%252C%2BRaedu%2BBasha.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="309" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-H9PIoMc7c1I/YSsa6BoykQI/AAAAAAAABRQ/o67_TXapPccDeCigCwiMoxRMEc0uIM0lgCLcBGAsYHQ/s320/Matapangara%252C%2BRaedu%2BBasha.jpg" width="221" /></a></p><a name='more'></a><div>Judul Buku: Mata Pangara<br />Kategori Buku: Kumpulan puisi<br />Pengarang: Raedu Basha<br />Penerbit: Ganding Pustaka<br />Tahun Terbit: Cetakan I, Juli 2014<br />Cetakan II, November 2014<br />Tebal Buku: 68 halaman<br />Peresensi: Dodit Setiawan Santoso<br /> <br />Kehidupan karya sastra yang tercipta tidak akan terlepas dari kehidupan penyairnya. Penyair yang mampu menyelami kehidupannya, kemudian mampu dituangkannya dalam sebuah wadah menjadi kata-kata yang menarik, merupakan penyair yang kritis dan kreatif. Salah satu jenis karya sastra yang tidak banyak peminatnya dibanding jenis karya sastra lain, adalah puisi. Puisi dipandang memiliki kesukaran pemaknaan karena kepadatan kata-katanya. Tidak jarang beberapa penyair puisi yang pernah saya temui juga bernafas sama, mereka telah membuktikan sendiri hal itu setelah antologi puisi mereka berhasil diterbitkan. Mereka lebih memilih menerbitkan kumpulan cerpen ataupun novel.<br /> <br />Di balik redupnya peminat dan penyair puisi, adapun seorang penyair berdarah Madura yang cukup konsisten pada bidang yang menjadi panggilan hidupnya itu. Dia adalah Raedu Basha, pria kelahiran Sumenep Madura. Seorang pria yang membaurkan setengah jiwanya dan segala pengalaman hidupnya dengan puisi. Sikap konsistennya terwujud dalam penerbitan buku kumpulan sajak olehnya berjudul "Mata Pangara" yang diterbitkan dua kali pada tahun 2014.<br /> <br />Pengalamannya ketika berbaur dengan puisi, ia wujudkan dalam sajaknya berjudul "Ternyata Sudah Sangat Malam." Sebuah sajak yang menceritakan tentang kehidupan puisi yang begitu sunyi sepi. Keadaan ini tergambarkan pada potongan sajak berikut.<br /> <br />"...Bunyi katak bercumbu di tengah sawah/Kerikan jangkrik mengalun di semak sebelah/Kurasakan pekat sangat burat/Gelap teramat gelap/Jiwa suram ibarat purnama terburam awan/Ternyata sudah sangat malam." (2007)<br /> <br />Berbeda halnya dalam sajaknya yang berjudul "Penjaga Abad". Sajak ini menceritakan sisi lain puisi dari kehidupan manusiawi. Puisi olehnya lebih dipandang sebagai media penyampai sabda dan pelukis perjalanan manusia dari abad ke abad. Sajak atau puisi ini bisa dibilang sebagai pembuka atas semua sajak dalam buku "Mata Pangara" miliknya ini. Ada gelombang lain yang kita rasakan ketika menyelami sudut demi sudut kumpulan sajak pada buku miliknya ini. Ketika kita membukanya, ibarat malam sampai pagi, kita dipertontonkan pada film pendek miliknya tentang kegentiran dan perjalanan pengembaraannya membaca setiap jengkal kehidupan untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta, serta setiap kisah tentang peradaban Islam ia ceritakan dengan begitu detail dan padat yang sungguh akan membuka iman dan menambah pengetahuan kita tentang peradaban Islam dulu dan sekarang. Maka tidak mengherankan jika setiap sajak Raedu Basha terkandung nuansa keislaman yang cukup kental. Kondisi ini tidak serta merta muncul begitu saja. Banyak latar belakang yang menyebabkan sajak miliknya menjadi begitu kental dengan nuansa keislaman, salah satunya adalah pengalaman pendidikannya di beberapa Pondok Pesantren yang pernah dijalani.<br /> <br />Maka boleh dibilang buku ini sangat cocok untuk semua orang yang ingin mengenal Islam lebih jauh. Sangat disayangkan untuk kita melewatkan buku ini, sebab banyak pesan dan pengalaman yang berbeda bisa kita dapatkan dari penyair berdarah Madura ini.<br /> <br />Mengenai judul kumpulan sajak "Mata Pangara" ini, Raedu Basha mengambil satu kata bahasa Madura miliknya. Kata "Pangara" berasal dari bahasa Madura yang bisa berarti "mungkin, barangkali, maunya, masih rencana". Jika kita gabungkan dengan kata "Mata", maka akan memunculkan judul buku yang sungguh luar biasa dan bisa dibilang judul ini adalah inti maksud yang ingin disampaikan dalam beberapa kumpulan sajak miliknya. Dengan digabungkannya kedua kata itu, maka judul buku itu bisa bermakna "mungkin mata", "barangkali mata", "maunya mata", "masih rencana mata". Sebuah gaya metafora coba diselipkannya pada makna kata "Mata", yang pada hakikatnya bermakna "Tuhan (Allah SWT)". Sungguh luar biasa.<br />***<br /><p class="MsoNormal"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/membaca-mata-pangara-raedu-basha/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/08/membaca-mata-pangara-raedu-basha/</span></a></span></p></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-47003747710951090782021-08-27T22:23:00.002-07:002021-08-27T22:23:09.046-07:00PEMUPUKAN SIKAP DAN PERILAKU POSITIF APRESIASI SASTRA (19)Djoko Saryono<br /> <br />Sebagaimana sudah dikatakan bahwa sikap dan perilaku positif pengapresiasi
diperlukan untuk menciptakan, mengembangkan, dan meningkatkan iklim,
lingkungan, dan kegiatan apresiasi sastra. Oleh karena itu, sikap dan perilaku
negatif pengapresiasi sastra perlu disingkirkan atau dibuang dan kepadanya
perlu ditumbuhkan sikap dan perilaku positif. Di samping itu, sikap dan
perilaku positif pengapresiasi sastra yang sudah tumbuh dan ada perlu dipupuk
terus agar mantap dan kuat. Mantapnya dan kuatnya sikap dan perilaku positif
pengapresiasi sastra akan membuat iklim, lingkungan, dan kegiatan apresiasi
sastra semakin baik.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Persoalannya, bagaimanakah cara menumbuhkan dan memupuk perilaku positif
pengapresiasi sastra ini? Penumbuhan sikap dan perilaku positif dalam diri
pengapresiasi sastra yang masih bersikap dan berperilaku negatif dapat
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut. Pertama, memberikan
pengalaman-pengalaman berkesan, menyenangkan, memikat, dan menyegarkan dalam
apresiasi sastra. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempersilakan membaca
karya-karya sastra yang diakui berbobot, menceritakan isi atau keindahan
karya-karya sastra yang baik, mengajak menonton penyair-penyair yang baik yang
sedang membaca puisi, mengajak mendengarkan pembacaan pembacaan puisi oleh
Rendra melalui Youtube, dan memberikan kesempatan bertemu dan berdialog dengan
sastrawan yang sekaligus pembaca atau pelisan sastra yang baik.<br /> <br />Sebagai contoh, Rindang Kasih adalah pengapresiasi sastra yang masih
bersikap dan berperilaku negatif. Untuk menumbuhkan sikap dan perilaku
positifnya dapat dilakukan dengan cara menceritakan kepadanya isi novel Bumi
Manusia (Pramudya Ananta Toer), Jalan
Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), dan Raumanen (Marriane Katopo), mengajaknya
menonton Taufik Ismail, W.S. Rendra atau Sutardji Clazoum Bachri membacakan puisi-puisinya
dalam suatu peristiwa, mengajaknya mendengarkan kaset-kaset pembacaan puisi
oleh Rendra dan Sapardi Djoko Damono, dan mengajaknya berdialog dengan Rendra
dan Sutardji C.B. Hal ini dilakukan secara bersinambung dan berkali-kali
sehingga timbunan dan keanekaan pengalaman menyenangkan, memikat, menyegarkan,
dan berkesan ini membekas, mengendap, dan menancap dalam diri pengapresiasi
yang masih bersikap dan berperilaku negatif. Ini lambat laun bisa menggusur
sikap dan perilaku negatifnya dan menumbuhkan sikap dan perilaku positifnya
dalam apresiasi sastra.<br /> <br />Kedua, menanamkan keyakinan, kepercayaan, kesimpatikan, dan kesignifikanan
akan manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini
dapat dilakukan dengan meminta pengapresiasi membaca karya sastra tertentu dan
kemudian meresapi dan merenungi perolehannya, melisankan karya sastra dan
kemudian meresapi dan merasakan perubahan-perubahan apa yang terjadi dalam
diri, membandingkan orang-orang yang biasa mengapresiasi sastra dengan yang
tidak, dan membandingkan tuturan karya dengan tuturan non-sastra dan kemudian
meresapi perbedaan-perbedaan dampaknya dalam diri. Ini perlu dilaksanakan
setahap demi setahap, dalam rentang waktu lama, ajek dan teratur. Jika tidak,
tentu tak ada hasilnya.<br /> <br />Sebagai contoh, Nabila Kinasih adalah pengapresiasi yang masih bersikap dan
berperilaku negatif. Kepadanya bisa ditumbuhkan sikap dan perilaku positif
dengan cara membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) dan Mencoba Tidak
Menyerah (Yudistira ANM Massardi) dan kemudian meresapi dan merasakan apa yang
diperolehnya, melisankan puisi Nyanyian Angsa dan Mencari Bapa (W.S. Rendra)
dan kemudian merasakan perubahan apa yang terjadi pada dirinya, dan membandingkan
pengalaman orang yang suka membaca sastra seperti Emil Salim dengan yang tidak.
Jika dikerjakan secara teratur, ajek, setahap demi setahap, dan berentang waktu
lama, niscaya keyakinan, kepercayaan, dan kesignifikanan manfaat dan nilai guna
karya sastra dan kegiatan apresiasi tertanam dalam diri Nabila Kinasih.<br /> <br />Ketiga, memberikan iklim, suasana, situasi, dan lingkungan apresiasi sastra
yang baik dan positif, dalam arti menyenangkan, menggairahkan, memikat, dan
bisa membuat ketagihan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyingkirkan atau
mengeliminasi karyakarya yang tidak baik, pelisanan-pelisanan sastra yang tak
baik, sarasehan-sarasehan sastra yang tidak menyenangkan, dan orang-orang yang
tidak bersikap dan bersimpati pada apresiasi sastra. Selanjutnya menghadirkan
atau mempergelarkan karya-karya sastra yang baik, pelisanan-pelisanan sastra
yang menarik dan memikat, sarasehan-sarasehan sastra yang bermakna, dan
kelompok orang yang bersikap dan bersimpati pada apresiasi sastra.<br /> <br />Sebagai contoh, Hening Kusuma Hati adalah pengapresiasi sastra yang
bersikap dan berperilaku negatif. Sikap dan perilaku negatifnya ini dapat
dieliminasi atau dikurangi dan kemudian ditumbuhkan sikap dan perilaku
positifnya dengan cara menyingkirkan hal-hal tak baik di atas dan selanjutnya
menghadirkan hal-hal baik di atas di sekitar dirinya dan hidupnya sehingga dia
merasakan iklim, suasana, situasi, dan lingkungan sekitarnya enak untuk
melakukan apresiasi sastra. Hal ini dilakukan secara bersinambung dan bertahap
sehingga lambat laun terbentuk suatu iklim dan lingkungan apresiasi sastra yang
kondusif.<br /> <br />Keempat, menunjukkan dan memberikan teladan atau contoh-contoh manfaat dan
nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini dapat dikerjakan
dengan cara menginformasikan hiburan dan renungan yang terdapat dalam karya
sastra yang telah diperoleh berbagai pengapresiasi, mempertemukan dengan orang
yang telah memperoleh manfaat dan nilai guna karya sastra dan membaca karya
sastra, menunjukkan manfaat dan nilai guna karya sastra bagi kehidupan
sehari-hari, dan menjelaskan segi-segi positif bila membaca karya sastra,
melisankan karya sastra, dan menonton lomba baca sastra.<br /> <br />Sebagai contoh, Intan Baiduri adalah pengapresiasi yang masih bersikap dan
berperilaku negatif. Sikap dan perilaku negatifnya ini dapat dieliminasi dan
kemudian ditumbuhkan sikap dan perilaku positifnya dengan cara memberikan
informasi nilai guna spiritual-religius kalau membaca prosa liris Sayap-sayap
Patah dan Sang Nabi (Khalil Gibran), mempertemukannya dengan Herlinawati yang
telah merasakan manfaat melisankan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri,
menunjukkan nilai guna cerpen-cerpen Danarto bagi pembacanya, dan menjelaskan
manfaat spiritual, religius, dan rohaniah kalau membaca Lautan Jilbab dan
Seribu Masjid Satu Jumlahnya (Emha Ainun Najib). Hal ini tentu saja harus
dikerjakan secara teratur, ajek dan bermakna agar terlihat hasilnya. Jika
dikerjakan hanya sekali saja tentulah tidak ada hasilnya.<br /> <br />Kelima, mengondisikan dan memberikan perlakuan tertentu yang dapat atau
memungkinkan menggiring dan mengarahkan pengapresiasi sastra untuk mendekati
karya sastra, membaca karya sastra, melisankan karya sastra, menyimak pelisanan
karya sastra, dan mengikuti lomba baca sastra. Pengondisian dan pemberian
perlakuan ini dapat dikerjakan dengan cara memberi tugas untuk membaca karya
sastra atau melisankan karya sastra, memberikan tugas untuk membuat ulasan
tentang kegiatan pelisanan sastra, dan mengajak melihat pameran-pameran sastra.
Harus diakui, hal ini sulit dikenakan pada pengapresiasi sastra pada umumnya.
Hal ini terutama dapat diterapkan oleh guru bahasa atau sastra yang mengajarkan
apresiasi sastra kepada peserta didiknya.<br /> <br />Misalnya, Dara Jingga Wulandari adalah guru bahasa Indonesia yang harus
mengajarkan apresiasi sastra kepada murid-muridnya yang belum menyukai sastra
dan kegiatan apresiasi sastra. Untuk menumbuhkan kesukaan dan kecintaan kepada
sastra dan kegiatan apresiasi sastra, dia dapat menyuruh muridnya membaca
Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), memberikan tugas mengulas puisi yang
dipamerkan di suatu pameran sastra, mengajak muridnya mendatangi pameran
sastra, dan menyuruh muridnya membaca puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah,
dan J.E. Tatengkeng di muka kelas atau di taman sekolah. Ini perlu dilakukan
berkali-kali, ajek, dan dalam jangka waktu cukup la ma agar pengondisian dan
perlakuan benar-benar berhasil.<br /> <br />Kelima cara penumbuhan tersebut tidak harus digunakan secara serentak. Yang
digunakan bisa salah satu atau dua di antara keempat cara tersebut. Cara yang
mana yang digunakan perlu dipilih berdasarkan taraf kenegatifan sikap dan
perilaku pengapresiasi sastra dan karakteristik pribadi pengapresiasi sastra.
Ketepatan pemilihan cara akan menentukan keberhasilan penumbuhan sikap dan
perilaku positif dalam apresiasi sastra di samping keajekan, keteraturan, dan
kebermaknaan cara penumbuhan. <br /> <br />Bersambung 20<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/pemupukan-sikap-dan-perilaku-positif-apresiasi-sastra-19/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/pemupukan-sikap-dan-perilaku-positif-apresiasi-sastra-19/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-78644949268957436762021-08-27T22:21:00.006-07:002021-08-27T22:21:39.023-07:00Laman Penyair Gila: Perpaduan Teknologi dan Keindahan Kata*Mahmud Jauhari Ali<br /> <br />Pernahkah Anda mengunjungi sebuah laman berisi sejumlah pengetahuan tentang
jagad alam sastra, khusunya puisi dengan rangkaian diksi yang menawan hati kita
untuk membacanya? Mungkin di antara kita pernah menemukan laman-laman yang saya
maksud itu. Kemudian kita unduh bagian-bagian penting dari laman tersebut untuk
keperluan hidup kita. Bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra misalnya,
tentulah untuk keperluan tugas-tugas kuliah dan penyusunan skirpsi atau hanya
untuk memuaskan batin guna memperkaya jiwa mereka.<span><a name='more'></a></span> Mungkin pula sebagian dari
kita tidak pernah menemukan laman-laman tersebut. Bahkan, mungkin masih ada
saudara-saudara kita yang sama sekali tidak mengenal internet atau dunia maya
sehingga mereka tidak pernah pula mengunjungi satu laman pun. Hal terakhir tadi
dapat kita maklumi karena teknologi internet belum merata di Indonesia. Bisa
juga karena mereka enggan bergelut dalam dunia yang satu itu. Ya, mereka lebih
suka membaca buku-buku karangan pakar-pakar ternama di bidang mereka
masing-masing daripada menjelajah dunia lewat internet. Namun, saya yakin
sebagian orang yang bergelut dalam dunia kata, terutama puisi pernah
mendapatkan pencerahan dari laman yang berisi seperti yang saya sebutkan di
atas.<br /> <br />Masih berkenaan dengan dunia maya dan dunia sastra, suatu ketika saya
pernah berada di sebuah warung internet. Niat saya dari rumah adalah
mengunjungi sebuah laman seseorang yang menurut cerita di masyarakat Kalimantan
Selatan, seseorang itu telah sangat jatuh cinta dengan teknologi yang satu ini
dan dunia kepenyairan. Jujur, saat itu saya penasaran seperti apa wujud laman
tersebut. Setelah saya tekan tombol masuk, betapa terkejutnya saya melihat
sebuah tampilan yang menggiurkan pandangan saya untuk tidak lepas darinya. Ya,
sebuah laman cantik dan memesona telah ada di hadapan saya. Ini adalah salah
satu tanda-tanda kebesaran-Nya. Laman ini berjudul Penyair Nusantara dengan
desain grafis yang disusun rapi oleh pengelolanya. Setelah saya telusuri lebih
jauh, ternyata masih ada tiga buah laman utama lagi milik seseorang yang
notabene adalah seorang penyair kenamaan asal Kalimantan Selatan bernama Arsyad
Indradi.<br /> <br />Di alam sastra Kalimantan Selatan pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya, Arsyad Indradi dikenal sebagai “penyair gila” karena kegilaannya dalam
dunia sastra. Sebuah kegilaan yang menurut saya merupakan bentuk kepedulian
seorang sastrawan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai usaha
merekatkan hubungan antarsastrawan di tanah air. Sempat pada tahun 2005 ia
menjual tanahnya hanya untuk membuat buku antologi penyair nusantara yang
memuat 142 penyair dengan 426 puisi yang hasilnya ia bagikan gratis di seluruh
nusantara. Lima belas juta rupiah habis untuk pembuatan buku tersebut. Bahkan,
dia pulalah sendiri yang menyusun, membuat kover, hingga mengedarkan buku-buku
tersebut. Lebih daripada itu, saya menangkap ada niat suci dalam diri penyair
yang satu ini melalui dunia kepenyairannya, yakni untuk kemanusiaan dan
keagungan Tuhan. Adapun keempat laman utama milik lelaki kelahiran Barabai,
Kalimantan Selatan tanggal 31 Desember 1949 ini adalah sebagai berikut.<br /> <br />Penyair Nusantara, merupakan salah satu judul laman dari sekian banyak
laman yang ada di Indonesia yang beralamat di http://penyairnusantara.blogspot.com/
Dengan anak judul Hidup Bukanlah Sewaktu Mati dan Mati Sewaktu Hidup, laman ini
menjadi tampil lebih mantap dan menawan dari segi judul. Saat kita mulai
memasuki laman ini, kita disapa oleh perancang sekaligus pemiliknya dengan kata-kata,
yakni selamat datang, salam sastra, ucapan terima kasih atas kunjungan kita,
dan selamat bergabung di laman ini. Jika kita memasuki lebih dalam lagi, nuansa
kepenyairan dalam laman ini semakin terasa.<br /> <br />Isi yang paling menonjol dalam Penyair Nusantara: Hidup Bukanlah Sewaktu
Mati dan Mati Sewaktu Hidup ini adalah biodata para penyair nusantara dan
karya-karya mereka di sejumlah besar provinsi yang ada di Indonesia. Terdapat
dua puluh sembilan provinsi dimuat dalam daftar menu penyair nusantara ini oleh
Arsyad Indradi. Di setiap menu provinsi yang dimuat tersebut, kita dapat
menemukan biodata para penyair dan karya-karya mereka di provinsi yang
bersangkutan. Karena itu, silakan Anda masuki setiap menu tersebut. Hal ini
dapat kita maklumi karena memang pada dasarnya Penyair Nusantara dibuat oleh
Arsyad Indradi untuk menampung dan menampilkan biodata dan karya-karya para
penyair se-Indonesia dalam bentuk pendokumentasian dan juga sebagai ajang untuk
merekatkan tali-temali persaudaraan penyair se-Nusantara.<br /> <br />Tentunya ajang tersebut bukan hanya khusus untuk kalangan penyair, tetapi
juga untuk siapa saja yang berminat terhadap dunia kepenyairan. Dengan
demikian, Penyair Nusantara juga dapat merekatkan tali-temali persaudaraan
seluruh masyarakat nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br /> <br />Dengan mengunjungi Penyair Nusantara, kita dengan mudah mengetahui
nama-nama penyair di Indonesia dan karya-karya mereka. Hal ini tentulah sangat
membantu para peneliti, pelajar, mahasiswa, penggiat sastra, dan para penikmat
sastra. Selain itu, dalam Penyair Nusantara kita juga dapat melihat foto-foto
kegiatan sastra dan gambar sampul depan buku-buku antologi sastra. Foto-foto
itu seperti foto-foto beberapa penyair nasional dalam Seminar Sastra
Internasional di TIM Jakarta 14?19 Juli 2007, saat berlangsungnya Aruh Sastra
IV di Amuntai 14-16 Desember 2007, dan saat Acara Kongres KSI 1 Di Kudus 19 –
21 Januari 2008. Beberapa gambar sampul depan buku antologi sastra itu, yakni
Antologi Penyair Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan, antologi puisi Narasi
Musafir Gila, antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, antologi puisi Romansa
Setangkai Bunga, dan antologi puisi Bahasa Banjar KALALATU.<br /> <br />Penyair Kalimantan Selatan, merupakan sebuah laman tersendiri di luar laman
Penyair Nusantara yang memuat biodata lengkap para penyair di setiap kabupaten
dan kotamadya di Kalimantan Selatan beserta karya-karya mereka. Kita dapat
menemukan laman ini di alamat www.penyair-kalsel.blogspot.com. Jika Anda
menginginkan pengetahuan berkenaan dengan data-data sastrawan Kalimantan
Selatan dan karya-karya mereka, buka saja laman yang satu ini. Selain itu,
dalam laman ini juga memuat hal-hal tentang papandiran (obrolan bahasa Banjar),
balalah (Berjalan), ramak rampu (beragam,aneka), album antologi puisi bahasa
Banjar Kalalatu, album 142 Penyair Menuju Bulan, album antologi puisi Musafir
Gila, album antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, album puisi-puisi cinta
Romansa Setangkai Bunga, berita-berita, esai-artikel, dan foto kegiatan sastra.<br /> <br />Sastra Banjar, merupakan laman tersendiri di luar dua laman di atas yang
memuat sastra daerah Banjar. Laman Sastra Banjar antara lain memuat sastra
Banjar dalam esai, kamus bahasa Banjar kuala, mantra Banjar, polemik sastra
Banjar, aruh sastra, sastra daerah Banjar, khazanah makna bahasa Banjar, dan
tata bahasa Banjar.<br /> <br />Arsyad Indradi, laman yang satu ini merupakan laman yang menyagkut hal
ikhwal tentang Arsyad Indradi dan karya-karyanya. Daftar Muatan Isi Arsyad
Indradi antara lain adalah biodata Arsyad Indradi, antologi puisi Anggur Duka,
antologi puisi Nyanyian Seribu Burung, antologi puisi Narasi Musafir Gila,
antologi puisi Romansa Setangkai Bunga, dan antologi puisi Kalalatu.<br /> <br />Apa yang dapat kita tangkap dari keempat laman utama penyair gila ini? Ada
dua hal yang paling menonjol, yakni memanfaatkan laman untuk kemajuan dunia
sastra di Kalsel dan menunjukkan bahwa puisi bukanlah hasil dari kegiatan
melamun atau menghayal yang sia-sia belaka.<br /> <br />Arsyad Indradi benar-benar berhasil memanfaatkan laman di dunia maya dalam
memublikasikan pengetahuan sastra, khususnya puisi kepada masyarakat luas.
Dengan laman-laman tersebut, Arsyad Indradi bukan hanya bersastra dalam lingkup
Kalimantan Selatan, tetapi ke seluruh penjuru kota dan desa di dunia.
Pemublikasian seperti itu akan dapat memajukan dunia sastra di Kalimantan
Selatan dan Indonesia pada umumnya. Mengapa demikian? Karena dengan
pemublikasian tersebut, masyarakat di Kalimantan Selatan dan provinsi lain akan
mendapatkan pengetahuan sastra sehingga mereka mampu mengapresiasi, menilai,
bahkan membuat puisi sendiri. Selain itu, dengan pemublikasian tersebut,
orang-orang dari luar negara kita akan mengetahui keberadaan dan mutu sastra di
negara ini.<br /> <br />Laman penyair gila yang secara garis besar berjumlah empat buah ini, masing-masingnya
merupakan laman induk. Masing-masing laman induk tersebut memiliki sublaman
yang jumlahnya tidaklah sedikit. Dalam laman Penyair Nusantara memiliki
sublaman bejumlah 31 buah, laman Penyair Kalimantan Selatan memiliki sublaman
sebanyak 24 buah, laman Sastra Banjar memiliki sublaman sebanyak 16 buah, dan
10 buah sublaman dari laman Arsyad Indradi. Jika kita jumlahkan semuanya laman
tersebut, jumlahnya menjadi 85 buah laman. Jumlah ini membuktikan bahwa Arsyad
Indradi tidak sedang bermain-main dalam sastra, melainkan sangat serius dalam
hal itu sehingga ia harus menggunakan banyak laman. Dalam hal ini, ia
sungguh-sungguh ingin menyampaikan sebuah kenyataan bahwa penyair bukanlah
seorang pelamun atau penghayal. Ia ingin menyadarkan masyarakat luas bahwa
penyair adalah insan-insan yang jujur menyuarakan jiwa mereka untuk kemanusiaan
dan keagungan Tuhan. Oleh karena itulah, puisi bukan semata goresan pena biasa.
Puisi pantas dibaca, diapresiasi, diperbincangkan di bangku-bangku kuliah,
dianalisis, hingga dilestarikan dalam bentuk perbuatannya di alam perkembangan
jagad sastra mana pun. Keberadaan laman-laman Arsyad Indradi tersebut, pada
kenyataannya telah meramaikan alam sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia
pada umumnya dalam perkembangan sastra mutakhir saat ini.<br /> <br />Menutup tulisan yang teramat singkat dan sederhana ini, marilah kita
pandang puisi dan genre sastra lainnya sebagai sesuatu yang berharga dalam
hidup kita. Janganlah kita memandang karya sastra termasuk puisi dengan sebelah
mata karena dengan sebelah mata saja, kita tidak akan dapat menggapai makna
puisi terdalam yang dikandung oleh kata-kata yang indah dan memesona. Marilah
pula kita manfaatkan fasilitas internet, khususnya laman untuk memajukan
kehidupan sastra di Kalimantan Selatan dan Indonesia. Bagaimana menurut Anda?<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Dimuat dalam Buku Kumpulan Esai “Risalah Penyair Gila” </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/09/laman-penyair-gila-perpaduan-teknologi-dan-keindahan-kata/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2009/09/laman-penyair-gila-perpaduan-teknologi-dan-keindahan-kata/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-19738495432516280142021-08-27T22:19:00.000-07:002021-08-27T22:19:10.663-07:00Kisah Inspiratif Sastrawan Mochtar LubisMariana Sitohang, Prof. Dr. Rosmawaty Harahap, M.Pd.<br />Republika, 07 Jun 2021<br /> <br />Siapa yang tidak mengenal tokoh di atas? beliau adalah Mochtar Lubis,
seorang sastrawan terkenal tahun 1960-an, beliau dikenal sebagai penulis novel,
cerpen, pelukis, penerjemah, dan juga seorang jurnalistik. Mochtar Lubis lahir
di Padang, 07 Maret 1922 dari keluarga Batak Mandailing.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Mochtar Lubis merupakan anak ke enam dari sepuluh bersaudara dan dari
keluarga beragama Islam. Beliau mengawali pendidikan di HIS Sungai Penuh, Kerinci
Sumatera Tengah pada tahun 1936. Tahun 1940 ia melanjutkan pendidikannya ke
Jurusan Ekonomi di Kayutanam, Sumatera Tengah.<br /> <br />Beliau mulai gemar menulis sejak duduk di sekolah dasar karena ibunya
sering menceritakan dongeng yang kemudian di ceritakan kembali kepada
teman-temannya oleh Mochtar di sekolah. Sejak saat itu beliau mulai belajar
menuangkan ide dan isi pikirannya kedalam sebuah tulisan baik dalam bentuk
cerpen maupun novel.<br /> <br />Mochtar Lubis pernah bekerja sebagai wartawan kantor berita antara yang
saat itu berpusat di Yogyakarta pada tahun 1945-1952. Beliau juga pernah
bekerja sebagai karyawan bank factory di Jakarta, guru sekolah dasar di pulau
Nias, anggota tim monitoring radio sekutu untuk kepentingan Gunseikenbu,
tentara Jepang pada tahun 1943, redaktur majalah massa Indonesia, penulis kolom
surat kabar Mahasiswa Kami tahun 1975, Ketua dewan Redaksi majalah Solidarity,
di Manila, penulis tajuk majalah Suara Alam di Jakarta, dan juri Festival film
Indonesia tahun 1981.<br /> <br />Mochtar Lubis juga dikenal sebagai wartawan karena pandangannya terhadap
perilaku para pemimpin amat tajam dan kritis. Oleh karena itu hampir semua
tulisannya baik yang fiksi maupun non fiksi mengkritik para pemimpin.<br /> <br />Kepandaian Mochtar Lubis berbahasa asing sangat menunjang pergaulannya
dengan pengarang-pengarang asing. Beliau menguasai beberapa bahasa-bahasa
asing, seperti bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, dan Jerman. Adapun pengarang
asing yang berhubungan baik dengan beliau adalah A. Vicents Compinos, Manual
Pacheco, dan Alberto F. Orlandini.<br /> <br />Mereka sering mengirimkan karya-karyanya kepada beliau. Banyaknya
pengalaman beliau dengan masalah revolusi ditulis menjadi sebuah karya sastra,
baik yang berbentuk novel maupun cerita pendek. Beliau menulis
kebejatan-kebejatan manusia agar hal itu segera disadari oleh masyarakat.
Beliau juga gemar melakukan perjalanan jauh yang kemudian dibukukannya dalam
perlawatan ke Amerika, Perkenalan di Asia Tenggara, dan Indonesia di mata
dunia.<br /> <br />Mochtar Lubis menikah dengan Siti Halimah Kartawijaya dari Jawa Barat.
Penikahannya dilangsungkan pada tanggal 2 Juli 1945, dikaruniakan 3 orang anak,
2 laki-laki dan 1 perempuan serta sudah dikaruniakan 8 cucu.<br /> <br />Beliau juga pernah menulis cerita anak dalam surat kabar Sinar deli.
Kemudian menulis cerita pendek yang diterbitkan majalah siasat. Cerita-cerita
pendeknya itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkannya dalam bentuk kumpulan
cerpen yang berjudul Si Jamal.<br /> <br />Beliau menulis novel Tidak Ada Esok dan Jalan Tak Ada Ujung. Beliau juga
masih terus menulis cerita pendek yang kemudian dikumpulkannya dalam kumpulan
cerita pendeknya yang kedua berjudul Perempuan. Namun ternyata pada tahun 1957
beliau ditahan oleh pemerintahan Bung Karno.<br /> <br />Selama dalam tahanan ia menulis karya sastra, melukis, belajar main bola,
dan memperdalam yoga. Karya sastra yang ditulisnya selama dalam tahanan itu
antara lain Senja di Jakarta, Tanah Gersang, Harimau!Harimau!, serta Maut dan
Cinta. Dan pada tanggal 17 Mei 1966 beliau keluar dari tahanan. Bulan Juli 1966
beliau menerbitkan majalah sastra Horison dan beliau sendiri sebagai pemimpin
redaksinya.<br /> <br />Adapun karya-karya beliau berupa novel adalah; Jalan tak ada ujung, Tak ada
esok, Tanah gersang, Senja di Jakarta, Maut dan cinta, Harimau! Harimau!.
Adapun karya beliau berupa cerpen adalah; Perempuan, Kuli kontrak, Bromocorah.
Adapun dalam bentuk drama adalah; Pangerang Wiraguna. Berupa puisi adalah;
Catatan dari camp Nirbaya. Dan masih banyak lagi dalam berbagai bentuk yang
sudah sangat terkenal hingga saat ini.<br /> <br />Karya beliau juga sudah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara
lain Twilight in Jakarta (Senja di Jakarta, 1963, 1964, 1983), A road with no
end (Jalan tak ada ujung 1982); Een Tiger valt aan (Harimau! Harimau!, 1982);
the Outlaw and Other Stories (Kumpulan cerpen Bromocorah, 1987), Danmerung in
Jakarta (Senja di Jakarta, 1990).<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/kisah-inspiratif-sastrawan-mochtar-lubis/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/kisah-inspiratif-sastrawan-mochtar-lubis/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-16231883697959501662021-08-27T22:16:00.001-07:002021-08-27T22:16:15.706-07:00Tunggu Aku di Pojok Jalan ItuIwan Simatupang<br />Majalah Sastra, I/7, 1961<br /> <br />"Tunggu aku di pojok jalan itu," katanya. "Aku beli rokok
dulu ke warung sana."<br /> <br />Ia pergi. Sejak itu, istrinya tak pernah melihatnya lagi. Sepuluh tahun
kemudian, ia kembali ke kota itu. Dilihatnya istrinya masih menunggu di pojok
jalan itu.<br /> <br />"Selamat sore," sapa istrinya.<br /> <br />"Selamat sore," sahutnya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ia mengharap lebih dari hanya selamat sore. Tetapi, istrinya tak lagi
berkata apa. Ia cepat berpaling kepada laki-laki lain yang datang
menghampirinya. Kepadanya ia juga memasang muka manis, dan menyapa,
"Selamat sore."<br /> <br />Laki-laki itu tak menjawab, tetapi terus saja menjentik pipi istrinya.
Mereka bercakap sebentar. Berpegangan tangan, mereka kemudian menyusuri
kakilima.<br /> <br />Ia memburu istrinya. Tetapi dilihatnya wajah istrinya sangat terusik.<br /> <br />"Selamat sore!" kata istrinya lagi.<br /> <br />Suaranya sangat saran dengan anjuran keras jangan mengganggu lagi.<br /> <br />Lama ia tegak termangu di bawah lentera pojok jalan itu. Angin malam sangat
dingin. Leher bajunya ditegakkannya. Langkah-langkahnya yang lambat berangkat
dari tempat itu menjalin perasaannya ke dalam kenangannya. Ia mengerti!
Keratasapuan biru di langit malam yang masih muda, menyiramkan kesejukan maaf
ke dalam dadanya.<br /> <br />Ia tersenyum, menganggukkan kepalanya. Cepat langkah-langkahnya menuju
hotel kecil tempat ia menginap. Bersiul kecil, ia mengambil kunci kamarnya dari
kantor pengusaha hotel.<br /> <br />"Agaknya kota kami menyenangkan Tuan?" sapa pengusaha hotel,
seorang janda gemuk, lewat lima puluhan.<br /> <br />"Sangat menyenangkan," sahutnya. "Mungkin saya menetap di
sini."<br /> <br />"Syukur."<br /> <br />Otaknya cepat menghitung uang bayar makan per bulan yang akan dimintanya
dari tamu yang tampaknya selalu riang ini. Di kamar mandi, dia ini senantiasa
menyanyikan lagu-lagu yang kebetulan juga kesukaannya. Tetapi ia sangat heran,
ketika tamunya itu menolak dipinjami gramofon bersama piringan hitam dari
justru lagu-lagu yang dinyanyikannya di kamar mandi itu.<br /> <br />"Saya suka Tuan menyukainya," katanya kecewa.<br /> <br />"Menyukainya tak harus berarti kita menjadi budaknya."<br /> <br />Ia berusaha keras jangan melukai hati perempuan itu.<br /> <br />"Tuan sakit?" tanya janda itu sejam kemudian mengetuk pintu
kamarnya. Di tangannya sepiring sup panas.<br /> <br />"Tidak," sahutnya ramah. Hatinya mengutuk perempuan gemuk jelek
yang tampaknya ingin mengobral kebaikan hati itu.<br /> <br />"Mengapa Tuan tidak pergi jalan-jalan? Di musim begini, kota kami
paling indah." Ia letakkan sup di atas meja. Dan, sambungnya genit,
"Kota kami terkenal wanita-wanita cantiknya." Ia mengedipkan mata
kirinya.<br /> <br />"Mungkin besok. Tetapi malam ini, terang tidak."<br /> <br />Dengan hormat sekali, ia untuk kedua kalinya malam itu berusaha jangan
terlalu melukai perempuan itu. Pelan-pelan ia mengiringnya keluar pintu.<br /> <br />"Selamat sore," sapanya sekali lagi, petang esoknya.<br /> <br />"Selamat sore."<br /> <br />Nada suara istrinya seperti kemarin. Lurus, dangkal. Netral, seperti netralnya
keindahan barang-barang di balik kaca pajangan.<br /> <br />Ia melihat ke sekeliling. Tak ada laki-laki lain. Ia hampiri istrinya.
Istrinya memandanginya. Persis pandangan pedagang jagal sapi pada langganan
yang baru masuk kedainya.<br /> <br />Bingung ia dibuat pandangan seperti itu. Danau biru bening yang
ditinggalkannya sepuluh tahun lalu pada kedua mata itu, tak ditemuinya.
Tiba-tiba satu rasa yang khas menusuk masuk ke dalam dirinya. Rasa, yang
menyuruh ia cepat berpaling saja, lari meninggalkan istrinya. Tetapi, niatnya
ini dibatalkan segera oleh satu bau di udara. Bau minyak wangi dan pupur harga
murah.<br /> <br />Ia terkejut sekali! Berbeda bau ini dari minyak wangi yang dulu acap
dibelinya bagi istrinya. Memang, tak sering ia membelinya. Tetapi, sekali ia
beli, pastilah itu dari jenis paling bagus, paling mahal. Bau ini dapat
memuncakkan segala kasih birahinya kepada istrinya.<br /> <br />Satu rangsang nakal hinggap atas pelupuk matanya. Ia ingin tajam-tajam
memandang dalam mata istrinya. Kalau perlu, dengan segala risiko yang dibawa
oleh pandangan nakal serupa itu.<br /> <br />Tetapi... di luar dugaannya, istrinya sedikit pun tak menundukkan
kepalanya. Dengan usaha untuk di saat terakhir mempertahankan dirinya, ia
membalas tatapan mata suaminya itu. Untuk suatu ketika, mereka saling berpandangan,
menerobos ke lubuk jiwa masing-masing.<br /> <br />Tetapi, bintang-bintang di langit malam yang berangkat tua, memberi kodrat
lain pada pertemuan pandang seperti itu. Apakah arti sepuluh tahun di bumi bagi
bintang-bintang di ruang angkasa?<br /> <br />Sebelum keduanya tahu apa-apa, keduanya telah menemui diri mereka dalam
pelukan pihak lain. Mata mereka basah. Bibir mereka berkali-kali saling
bersentuhan. Sentuhan, yang dengan paksa membuka pintu besi berkarat ke masa
lampau.<br /> <br />Tangan mereka saling berpegangan. Keduanya tak tahu mau mengungsikan ke
mana bahagia mereka malam ini.<br /> <br />"Ke mana?" tanya istrinya.<br /> <br />Ke mana? Ya, Allah! Sesudah sepuluh tahun, ia masih juga belum dapat
menjawab pertanyaan serupa itu. Dirinya adalah justru tanya itu sendiri, bukan
jawabnya.<br /> <br />"Entah," bisiknya. Bisik, antara bisik dan usaha untuk ... namun
tak menyia-nyiakan malam ini.<br /> <br />"Kau masih seperti dahulu juga," kelakar istrinya.<br /> <br />Suara itu menyatakan dakwaan yang mengambang dalam kasmaran yang telah
memperbarui dirinya kembali.<br /> <br />"Aku masih tetap aku," jawabnya. Tangan istrinya semakin erat
digenggamnya. Keduanya tak adapat memulai percakapan biasa. Dada mereka terlalu
sesak. Kata-kata mereka sangkut di kerongkongan, untuk kemudian mereka telan
kembali bersama ludah asin.<br /> <br />Mereka sampai di ujung kakilima. Mereka berhenti. Persimpangan jalan yang
dihadapi itu sangat membingungkan. Ia selalu dibingungkan oleh sekian arah
sekaligus. Pandangnya dilarikannya ke bintang-bintang langit malam. Lama ia
menatapnya, sambil mendengarkan pernapasan istrinya yang tegak di sampingnya.
Pelan mereka membalik, menyusuri kakilima itu kembali.<br /> <br />"Ya. Tampaknya kau masih tetap kau juga," kata istrinya.<br /> <br />Ia terkejut. Suatu nada asing ditemuinya pada suara istrinya.<br /> <br />"Mengapa kau terkejut?" tanya istrinya.<br /> <br />"Kau bukan kau lagi."<br /> <br />"Aku masih saja... menunggu," sahut istrinya.<br /> <br />Ia berusaha memperdengarkan suara sungguh-sungguh.<br /> <br />"Ya. Kulihat kemarin."<br /> <br />"Habis, kau suruh aku menunggu...."<br /> <br />Tiba-tiba mereka merasa yang sepuluh tahun itu telah menghadirkan dirinya
antara mereka. Kehadiran, yang dipantulkan bintang-bintang di langit, yang
berkedip telah jutaan tahun. Gong dalam hati sanubari mereka berbunyi. Gong!
Yang menyatakan gugurnya babak bagi mungkinnya mereka bersatu kembali di masa
datang.<br /> <br />Suatu benci mengental dalam dirinya. semua pada wanita yang tegak di
sampingnya ini dibencinya. Sangat dibencinya! Minyak wanginya, pupurnya, cat
bibirnya, cat kukunya, gaunnya dari sutra hijau. Semua dari harga murah, dengan
hanya tugas: merangsang birahi jalang pada laki-laki.<br /> <br />Tiba-tiba saja ia memutuskan bagi dirinya, bahwa wanita yang berjalan di
sampingnya ini pada hakikatnya adalah sama saja dengan wanita-wanita lainnya
yang pernah ditegurnya di kaki-kaki lima. suatu rasa asing merebut dirinya.
Napasnya mulai panas, sesak.<br /> <br />"Mari!" bisiknya, padat dengan birahi.<br /> <br />"Ke mana?" tanya istrinya. Pengalamannya selama sepuluh tahun ini
cepat dapat menerka makna pegangan tangan dan tarikan napas laki-laki seperti
itu.<br /> <br />"Masa kau tak tahu. Ayo!"<br /> <br />Istrinya tersenyum. Sejenak, ia menatapi suaminya baik-baik. Matanya
menyatakan penjungkiran suatu harapan yang hampir berhasil dibangunnya. Sinar
gaib memancar dari kedua bola matanya. Sinar dari penderitaan selama (dan
pembalasan untuk) sepuluh tahun. Senyum bibirnya sejak itu memiliki kepastian.<br /> <br />"Ayo! Mari...," desaknya lagi.<br /> <br />Berpegangan tangan erat sekali mereka berdua pergi dari pojok jalan itu.
Langkah-langkahnya doyong, diseret oleh langkah-langkah pasti istrinya.
Tiba-tiba istrinya berhenti.<br /> <br />"Tunggu dulu!" katanya, sambil mengetuk tangan suaminya.<br /> <br />"Ada apa?"<br /> <br />"Tarifku dua ratus sampai tengah malam. Sampai pagi, dobel...."<br /> <br />Seperti kena sambar halilintar di siang bolong, tubuhnya menjadi kejang dan
kelu. Mukanya pucat pasi. Ludah basi dan asin sekali dengan kentalnya
merekatkan geraham-gerahamnya. Pandangannya pudar, makin pudar. ia melihat
segumpal bayang saja lagi.<br /> <br />Tetapi tak lama kiamat kecil ini berlangsung dalam dirinya. Pelan-pelan ia
bangkit kembali dari titik nadir kesadarannya dan naik ke titik zenith-nya
untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan tentang dirinya di dalam pertautan
persoalan antara dia, istrinya, dan seluruh alam raya. Ia mengerti!<br /> <br />Pelan-pelan getar-getar kecil tadi datang kembali, makin lama makin banyak.
Napasnya, tubuhnya, kembali membara. Akhirnya, ia dapat memulihkan kembali
garis-garis profil wajah istrinya, wajah yang tersenyum menantang, tersenyum
menang....<br /> <br />Esok paginya, dengan kereta api pertama yang berangkat subuh, ia
meninggalkan kota itu. Ia telah memutuskan untuk mencari kota lain saja tempat
ia menetap.<br /> <br />Petangnya, di bawah lentera di pojok sebuah jalan di kota itu, seorang
wanita dalam gaun sutra hijau menunggu..., menunggu laki-laki mana saja. Kepada
mereka yang datang kepadanya ia selalu berseru, "Selamat sore...."<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">(Disalin dari Tegak Lurus dengan Langit, Lima Belas Cerita Pendek Iwan
Simatupang, Penerbit Sinar Harapan, cetakan II, 1985) </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/tunggu-aku-di-pojok-jalan-itu/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/tunggu-aku-di-pojok-jalan-itu/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-65604718586552749392021-08-27T22:14:00.002-07:002021-08-27T22:14:10.316-07:00SIKAP PENGAPRESIASI SASTRA (18)Djoko Saryono<br /> <br />Sikap pada umumnya dipandang mendasari perilaku termasuk sikap
pengapresiasi sastra akan mendasari perilakunya. Sikapnya terhadap karya sastra
dan kegiatan apresiasi sastra akan mendasari perilakunya terhadap karya sastra
dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku pengapresiasi
pada umumnya merupakan pencerminan sikapnya. Oleh karena itu, sikap dan
perilaku pengapresiasi sastra penting ditumbuhkan dan dikembangkan dalam
pengembangan apresiasi sastra.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan jiwa atau
budi untuk mendekati atau menjauhi suatu objek. Di dalamnya terkandung unsur
perseptual, emosional, dan motivasional atau unsur budi dan rasa. Ini
menunjukkan bahwa sikap dibentuk oleh unsur-unsur penalaran, pemikiran, dan
perasaan atau unsur kognitif dan afektif; bukan semata-mata perasaan atau
afektif. Lebih jauh hal ini menunjukkan bahwa sikap merupakan kualitas
psikologis dalam berhadapan dengan suatu objek. Harus dipahami, kualitas
psikologis ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan budaya karena
objek sikap terikat konteks sosial dan budaya. Karena itu, sikap bukanlah
bermatra psikologis semata-mata, melainkan juga bermatra sosial-budaya.<br /> <br />Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa sikap pengapresiasi sastra
merupakan kecenderungan pengapresiasi sastra untuk mendekati dan menggauli atau
menjauhi karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Kecenderungan
pengapresiasi sastra untuk mendekati dan menggauli karya sastra dan kegiatan
apresiasi sastra dapat disebut sikap positif. Sebaliknya, sikap negatif
merupakan kecenderungan pengapresiasi sastra untuk menjauhi karya sastra dan
kegiatan apresiasi sastra. Sebagaimana sikap pada umumnya, baik sikap negatif
maupun sikap positif pengapresiasi sastra juga bermatra psikologis dan sosial
budaya. Ini berarti sikap negatif atau positif pengapresiasi sastra ditentukan
oleh matra sosial-budaya meskipun merupakan matra psikologis. <br /> <br />Dalam apresiasi sastra, tentulah sikap positif pengapresiasi sastra yang
diperlukan. Dengan sikap positif pengapresiasi sastra kegiatan-kegiatan
apresiasi sastra dapat berlangsung, tumbuh dan berkembang secara baik, dan
meningkat secara bermakna. Dikatakan demikian karena sikap positif pengaresiasi
dapat membentuk suatu suasana atau atmosfer dan lingkungan yang kondusif yang
menunjang kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Sebaliknya, sikap negatif
pengapresiasi sastra akan menghambat, malahan dapat merusak kegiatan apresiasi
sastra karena sikap negatif pengapresiasi justru menciptakan suasana dan
lingkungan yang tidak baik untuk kegiatan apresiasi sastra. Jadi, yang dibutuhkan
dalam apresiasi sastra supaya dapat tumbuh, berkembang, dan meningkat serta
terpiara baik adalah sikap positif pengapresiasi sastra.<br /> <br />Sikap negatif pengapresiasi sastra dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut.
Pertama, ketidaksenangan, ketidakgemaran, dan ketidaksudian membaca karya
sastra, menyimak orang membaca sastra, mengikuti kegiatan-kegiatan apresiasi
sastra, dan mendorong atau menyemangati diadakannya kegiatan-kegiatan apresiasi
sastra. Misalnya, Rindang Kasih tidak senang, tidak gemar, dan tidak sudi
membaca novel-novel, puisi-puisi, dan naskah-naskah drama seperti novel Senja
di Jakarta (Mochtar Lubis), puisi Daerah Perbatasan (Subagio Sastrowardojo) dan
Sumur Tanpa Dasar (Arfin C. Noor). Dia juga tidak senang, tidak gemar, dan tidak
sudi menyimak pembacaan puisi atau cerpen dalam lomba-lomba baca sastra dan
mengikuti kegiatan-kegiatan apresiasi sastra seperti lomba baca puisi dan
sarasehan sastra. Malah dia menunjukkan rasa tidak senang, tidak gemar, dan
tidak sudi bila sekelompok anak muda (berupaya) menyelenggarakan lomba baca
cerpen, sama sekali tidak mendorongnya. Ini semua ciri sikap negative Rindang
Kasih sebagai pengapresiasi sastra.<br /> <br />Kedua, ketidakacuhan, ketidakpedulian, dan keapatisan terhadap karya
sastra, orang-orang yang meminati karya sastra, kegiatan-kegiatan apresiasi
sastra, dan orang-orang yang melakukan kegiatan apresiasi sastra. Sebagai
contoh, Kilau Mentari tidak acuh, tidak peduli, dan apatis (i) atas terbitnya
novel Burung-Burung Rantau (Y. B. Mangunwijaya), (ii) terhadap Ikram Wibisana
yang suka membeli buku sastra, (iii) atas diselenggarakannya Malam Chairil
Anwar atau Hari Puisi Indonesia, dan (iv) terhadap Hening Kusuma Hati yang
membaca puisi Nyanyian Angsa (W.S. Rendra) dan Amba (Laksmi Pamuntjak). Keempat
hal ini merupakan ciri sikap negatif Kilau Mentari dalam apresiasi sastra.<br /> <br />Ketiga, peremehan, penyepelean, dan pelecehan manfaat dan nilai guna karya
sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Karya sastra dan kegiatan
apresiasi sastra dianggap remeh dan sepele, malah dilecehkan manfaat dan nilai
gunanya. Membaca karya sastra, misalnya petikan novel Cala Ibi karya Nukila
Amal, dianggap membuang-buang waktu, melarikan diri dari kenyataan-kenyataan
hidup, dan pekerjaan sia-sia. Begitu juga kegiatan-kegiatan apresiasi dianggap
pekerjaan percuma, sia-sia, dan tak menghasilkan apa-apa. Contohnya sebagai
berikut. Rindang Kasih selalu beranggapan bahwa dewasa ini hanya ekonomi dan
teknologi yang layak ditekuni, dipelajari, dan dicurahi waktu karena memberikan
manfaat dan nilai guna nyata dalam kehidupan manusia. Dia beranggapan karya
sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra ditinggalkan saja karena tidak
memberikan apa-apa, hanya menghabiskan waktu saja dan membuat manusia melamun
saja. Ini merupakan sikap negatif Nurani Rindang Kasih dalam apresiasi sastra.<br /> <br />Ketiga hal tersebut merupakan ciri dominan sikap negatif pengapresiasi
sastra dalam apresiasi sastra. Ciri-ciri tersebut perlu diubah ke arah yang
positif atau baik demi tumbuhnya, berkembangnya dan meningkatnya apresiasi
sastra. Bagaimanakah ciri-ciri positif sikap pengapresiasi sastra?<br /> <br />Sikap positif pengapresiasi sastra dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut.
Pertama, kesenangan, kegemaran, dan keantusiasan membaca karya-karya sastra,
menyimak pembacaan-pembacaan karya sastra, mengikuti kegiatan-kegiatan
apresiasi sastra, dan memberikan semangat kepada orang lain supaya
menyelenggarakan kegiatan apresiasi sastra. Contoh ciri-ciri ini sebagai
berikut. Hening Ambaring (misal) setiap minggu selalu membaca satu karya
sastra, pada hari ter-tentu mendengarkan acara pembacaan puisi di salah satu
radio swasta niaga, selalu berusaha hadir pada berbagai kegiatan lomba baca
sastra dan sarasehan sastra, dan selalu mendorong teman-teman dekatnya untuk
secara rutin mengadakan dialog sastra dan budaya. Ini semua merupakan ciri
sikap positif Hening Ambaring dalam apresiasi sastra.<br /> <br />Kedua, keacuhan, kepedulian, dan kesimpatikan terhadap karya sastra,
kegiatan-kegiatan apresiasi sastra, orang-orang yang meminati karya sastra, dan
penyelenggaraan kegiatan apresiasi sastra. Contohnya sebagai berikut. Gilang
Jemparing (sebagai misal) memerhatikan dan memantau karya-karya sastra yang
terbit setiap tahun, memberikan sanjungan dan rasa salut kepada orang-orang
yang rajin membaca karya sastra, berusaha mendatangi dan menyatakan simpati
bila ada sarasehan sastra dan lomba baca cerpen, dan merasa tenang dan bahagia
bila ada orang menyelenggarakan lomba baca cerpen atau bercerita. Ini dapat
disebut sikap positif Gilang Jemparing dalam apresiasi sastra.<br /> <br />Ketiga, keyakinan, kepercayaan, dan keoptimisan akan manfaat dan nilai guna
karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Di tengah kehidupan materialistis
dan ekonomis, karya sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra diyakini,
dipercayai, dan dioptimalkan manfaat dan nilai gunanya: membaca karya sastra,
menyimak pembacaan sastra, mengikuti sarasehan sastra, lomba membaca puisi, dan
sejenis bermanfaat dan bernilai guna bagi hidup dan kehidupan. Contohnya
sebagai berikut. Hening Lokasemesta (misal) setiap minggu membaca satu novel
dan sering menyimak pembacaan puisi dan cerpen di berbagai tempat karena yakin,
percaya, dan optimis apa yang dilakukannya dapat menenangkan dan memekakan
batin dan sukmanya. Andaikan tidak demikian, dia yakin dan percaya hidupnya
tidak sebermakna sekarang. Ini dapat disebut sikap positif Hening Lokasemesta
dalam apresiasi sastra.<br /> <br />Keempat, kesungguh-sungguhan, keintensifan, dan ketotalan bergumul dan
berlibat dengan karya sastra dan kegiatan-kegiatan apresiasi sastra. Ini
ditandai oleh kepenuhan perhatian, perasaan, emosi dan pikiran dalam membaca
karya sastra, menyimak pembacaan sastra, mengikuti sarasehan sastra, menunjang
lomba-lomba membaca cerpen, dan sejenisnya. Contohnya sebagai berikut. Aulia
Muhammad selalu tenang-diam, tidak gaduh, setiap menyimak orang membaca puisi,
memusatkan segala perasaan dan pikiran dalam sarasehan sastra, dan
menyumbangkan daya dan dana setiap diselenggarakan acara baca cerpen di
kampusnya. Ini dapat disebut sikap positif Aulia Muhammad dalam apresiasi
sastra.<br /> <br />Kelima, kemauan, kesiapan, kesediaan, kespontanan dan kesigapan memberikan
penjelasan mengenai manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi
sastra. Contohnya sebagai berikut. Ketika mendengar ada orang yang menyepelekan
dan meremehkan manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi
sastra dalam hidup sehari-hari, secara spontan dan serta-merta Nabila Kinasih
menyatakan mau, siap dan sedia memberikan penjelasan kepada orang yang
bersangkutan mengenai manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan
apresiasi sastra dalam hidp sehari-hari. Ini dapat disebut sikap positif Nabila
Kinasih dalam apresiasi sastra. <br /> <br />Kelima hal tersebut di atas merupakan ciri utama sikap positif
pengapresiasi sastra dalam apresiasi sastra. Ciri-ciri sikap positif tersebut
tentulah perlu dipupuk, dikembangkan, dan dipiara agar apresiasi sastra dapat
tumbuh, berkembang, dan meningkat mutu dan kadarnya. Keterlibatan penuh dan
keintensifan bergumul dalam dunai sastra dapat bermanfaat bagi apresiasi
sastra.<br /> <br />Bersambung 19<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/sikap-pengapresiasi-sastra-18/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/sikap-pengapresiasi-sastra-18/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-2772684913849735152021-08-25T23:20:00.001-07:002021-08-25T23:20:08.713-07:00Tataran Pemahaman dalam SastraM. Raudah Jambak<br />analisadaily.com<br /> <br />Penggunaan istilah, terkadang membuat penulis atau pembicara selalu khilap
dengan makna dasar dari kata-kata yang dituangkannya. Mungkin seorang pembaca
atau pendengar mencoba memahami dan memaklumi pemaknaan yang tertuang itu.
Bombastiskah? Atau ambigu? Dalam pembicaraan bahasa memang ada yang disebut
dengan polisemi yang berarti satu kata banyak arti, tetapi dia tidak terlepas
dari makna dasarnya. Berbeda dengan homonim yang memiliki pengucapan dan
penulisan yang sama tetapi berbeda arti, hanya saja tidak ada hubungan dengan
makna dasarnya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Hal-hal yang berkenaan dengan persoalan di atas tentu berdasarkan wilayah
tata bahasa. Ketika kita masuk ke dalam tataran sastra, persoalan itu tentu
memiliki pemahaman yang berbeda pula. Di wilayah sastra, bahasa hanya sebagai
media. Dia lebih cenderung kepada makna-makna tersirat dan tersuruk, bukan
tersurat. Demikian etika, estetika dan logika tentu tidak bisa kita
kesampingkan.<br /> <br />Wilyah-wilayah seperti ini yang menyebabkan seorang penulis atau pembicara
selalu luput memahaminya. Misalnya, ketika seseorang membahas persoalan bahasa
tentu dia harus masuk ke dalam wilyah tersurat dalam hal pemaknaan. Ketika dia
mengkaji persoalan sastra tentunya dia pun harus masuk ke dalam hal-hal
tersirat, terutama persoalan ambiguitas. Jika terjadi hal yang sebaliknya, maka
akan muncul pro-kontra pemahaman.<br /> <br />Pro-kontra pemahaman ini yang sering terjadi. Bahasa lisan tentu memiliki
perannya sendiri, jika dibandingkan dengan bahasa tulisan. Berbeda lagi ketika
kita berhadapan dengan bahasa isyarat. Metode berbahasa ini tentu berbeda
wilayah pemahaman. Bahasa tulisan masuk kepada tataran konsep. Bahasa lisan dan
isyarat masuk kepada wilayah aksi atau tindakan. Nah, bahasa konsep dan bahasa
tindakan ini tentu bisa kita pilah-pilah lagi ke wialyah yang berbeda pula.<br /> <br />Berdasarkan hal di atas, ada hal yang menarik jika kita membaca tulisan
yang tertuang di ruang Rebana Analisa. Tulisan-tulisan yang bernas itu selalu
menyinggung persoalan politik dan sastra. Politik dalam sastra atau sastra
dalam politik. Tulisan-tulisan Yulhasni, Budi P. Hates, T. Agus Khaidir, Jones
Gultom, dan sebagainya, membicarakan persoalan itu.<br /> <br />Yulhasni dengan ‘kepiawaiannya’ selalu menulis tulisan-tulisan yang
‘menggugah-rasa’ kita tentang hal itu, termasuk ketika membahas ‘Teks-teks Semu
pada Karya Sastra Sumut’ (Rebana Minggu, 30/11). Yulhasni mengungkapkan,
Polemik sastra dan politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam
teks sastra di daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan
sementara: sastra di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu
itu ketika puisi, cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang
terjadi di sekitar lingkungan kepengarangan itu sendiri.<br /> <br />Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke Medan dan Banyak Kemudian,
yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi puisi. Hasan menulis, Ia
dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan toko-toko menawarkan bika//.
Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan Putri tidak lain adalah
rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan tentang sejarah kota yang
tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat membaca teks seperti ini:
Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat hambus/semua onak kubuat
mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini medan putri
berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.<br /> <br />Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobat kata-kata. Teks
dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik
Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobat kata-kata pernah jadi
trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas
wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak
berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan. Beberapa
puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian ini bisa dikategorikan sebagai bentuk
akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya adalah narasi kehidupan dalam keseharian
kita yang juga kadang semu.<br /> <br />Bagi yang mengenal Yulhasni tentu akan memahami persoalan ini. Memahami
arah tembaknya. Haya Aliya Zaki ada menuliskan tentang Yulhasni, katanya
menurut Yulhasni bukan orang yang tergolong produktif menulis. Selain rutinitas
sebagai wartawan, proses kreatifnya hanya sampai cerpen. Jujur, dia tak piawai
merangkai puisi. Da hobi menulis kritik dan esai sastra. Yulhasni melihat dunia
sastra Sumut adem-ayem saja, maka sesekali dia melempar ide dan mengkritik
orang-orang. Dia suka ’ribut-ribut’ dalam konteks kreativitas. Biar
semangatlah!, ungkap Yulhasni yang juga dosen Jurnalistik dan Menulis Kreatif
di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, santai.<br /> <br />Meski merasa paling tak pintar menulis puisi, karya Yulhasni yang termaktub
dalam buku-buku antologi, antara lain Rezim, Surat Buat Merah Putih, Muara III,
Koin Satu Milyar, Kado Ulang Tahun, Amuk Gelombang, dan Kosong, justru berupa
puisi. Selain menulis puisi, pria yang sehari-hari juga menjadi pelatih tetap
jurnalistik dan calon wartawan di beberapa instansi ini pernah menggarap
beberapa naskah teater dan telah dipentaskan. Karya serupa cerpen, kritik, esai
sastra, politik dan HAM, terbit di sejumlah media massa lokal dan nasional.<br /> <br />Dengan menulis, Yulhasni bisa berteriak dan bersuara bebas. Dengan menjadi
penulis, dia bisa memposisikan diri sejajar dengan siapa pun. Dia bisa berdiri
tegak dengan politisi, pejabat, pengusaha, perampok, pelacur dan semua orang di
dunia ini.Yulhasni sangat menyukai tulisan bertema pergerakan.<br /> <br />Nah, kembali ke persoalan, menarik apa yang dituangkan Yulhasni, bahwa
karya sastra Sumut hanya teks-teks semu belaka. Jika kita masuk ke wilayah
sastra, maka Yulhasni sudah menyampaikan hal yang benar. Dalam pengertian semu
berati tampak seperti asli (sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli
(sebenarnya). Begitu juga pemahaman akrobatik yang berarti peragaan yang hebat
dan mengagumkan persoalan ketangkasan.<br /> <br />Sastra dalam hal ini puisi maupun cerpen memang semu (fiktif) dan ia lebih
kepada bahasa konsep dalam bentuk tulisan. Jika dikatakan dia dikatakan
akrobatik, maka dia lebih kepada bahasa tindakan (aksi), inipun jika ia
ditampilkan dalam sebuah wilayah pertunjukan. Pemahaman kontradiktif Yulhasni
ini sangat menarik untuk dikaji ulang.<br /> <br />Jika dcia menyatakan semu dalam pengertian bahwa sastra memang karya
imajinatif dan dimulai dari sebuah khayalan. Sastra bukan kebohongan meski
lahir dari proses kontemplasi batin. Sayangnya jika dikaitkan dengan proses
transformasi teks ke dalam sikap dan tindakan, seringkali kata-kata hanya
kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran.<br /> <br />Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa fakta seperti sastrawan
yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa kenyataan di sekitar kita dalam
kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi fakta tentang itu semua.
Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur dalam berkarya?<br /> <br />Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut perlu dikritisi dalam
bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana kita memahami teks dalam
bingkai penciptaan karya secara kontinu dan berkesinambungan saja. Saya tidak
pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan selalu jadi ukuran keberhasilan sastra
di daerah ini. Kualitas pun tentu juga harus dilihat dengan perspektif
penafsiran kaum akademik yang justru terkadang hanya melihat teks secara
parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra ke dalam ruang-ruang
pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra tak bisa dilepaskan
dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena dia ikut mengambil
bagian di dalamnya.<br /> <br />Muncul persoalan, apakah seorang komentator harus menjadi seorang pionir.
Seorang pelatih harus menjadi pemain?<br /> <br />Sebagai bahasa konsep, dia menawarkan gagasan untuk menghadirkan bahasa
tindakan. Minimal mengajak pembaca untuk merenung dalam menyusun kekuatan baru
sebelum bertindak. Orang bijak mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan
tetapi renungkan, pahami apa yang disampaikan. Jika pesan yang disampaikan itu
ke arah kebaikan, maka wajarlah kiranya kita masuk ke wailayah aksi (tindakan),
walaupun yang menyampaikan itu penjahat besar sekalipun. Akhirnya, terserah
pada kita menerima atau menolak. Seperti halnya, Iblis yang mengajarkan manusia
menghafal ayat kursi.<br /> <br />Bahasa konsep akan menimbulkan tindakan, bukan adalah tindakan. Persoalan
kejujuran adalah wilayah perenungan, bukan penilaian. Urusan ketuhanan, bukan
manusia.<br /> <br />Pemahaman akrobatik jika dimaksudkan adalah sebagai lompatan-lompatan, juga
perlu ditinjau ulang. Daya ungkap puisi dengan cerpen tentu jauh perbedaannya.
Lompatan-lompatan dalam puisi jauh berbeda dengan cerpen. Begitu juga antara
cerpen dengan novel. Apalagi jika kita berhadapan dengan model prosa lirik,
tentu memiliki lompatan yang berbeda jika dihadapkan dengan cerpen biasa. Akhirnya,
sebagai sebuah konsep saya sangat setuju dengan tataran yang ditawarkan
Yulhasni. Jika konsep sama dengan tindakan kita lihat dulu wilayah
pemahamannya. Salam.<br /> <br />______13 Nov 2011<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penulis adalah Direktur Komunitas Home Poetry. <a href="http://sastra-indonesia.com/2012/02/tataran-pemahaman-dalam-sastra/">http://sastra-indonesia.com/2012/02/tataran-pemahaman-dalam-sastra/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-32367819669598523502021-08-25T23:18:00.005-07:002021-08-25T23:18:34.215-07:00Keindahan Genre dalam Angkatan Sastra SumutHesti Sartika *<br />Harian Waspada, 12 Mei 2013.<br /> <br />Karya sastra merupakan sebuah hasil dari kreativitas, imajinasi dan
simbol-simbol yang di dalamnya berguna untuk memperindah bahasa yang menjadi
medium dalam sebuh karya sastra. Sapardi Djoko Damono memaparkan bahwa sastra
itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu
sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan
kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Pengklasifikasian terhadap sebuah angkatan sastra di Indonesia tak lepas
dari segala unsur bentuk, pola dan hal-hal yang sering tertera dari sebuah
karya sastra. Meliputi jenis sastranya (genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa,
gaya penceritaan, dan struktur karya sastra. Penulisan sejarah dalam pencitraan
sastra yaitu teori estetika persepsi. Penyusunan sejarah sastra berdasarkan
teori estetika resepsi dipusatkan kepada pembaca karya sastra sebagai penyambut
sastra. Hans Robert Jauss menulis sejarah sastra merupakan sebuah proses
resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan teks-teks sastra
yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus dan penulis dalam
kreativitas sastra.<br /> <br />Sesuai dengan angkatan dalam perkembangan kepenulisan sastra ialah; periode
Balai Pustaka: 1920-1940, periode Pujangga Baru: 193-1945, periode Angkatan 45:
1940-1955, periode Angkatan 5: 1950-1970, dan periode Angkatan 70:
1965-sekarang (1984). Menurut pola struktural sastra dalam tiap periode ataupun
angkatan. Terdapat berbagai perbedaan dan genre yang akan kita temui cukup
tematik dalam tiap angkatannya.<br /> <br />Lahirnya sastra Indonesia sendiri pada tahun sekitar 1920 menurut A. Teeuw,
terdapat dalam karangannya “Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru”,
namun tidak secara tegas menyebutkan awal mula kelahiran kesusastraan Indonesia
Baru. Ia hanya memaparkan bahwa pada tahun 1920-an merupakan masa kecil
kesusastraan Indonesia modern. Melihat angka tahun yang diungkapkan oleh Teeuw,
tentu saja hal tersebut merujuk pada Balai Pustaka dan roman yang pertama kali
diterbitkan oleh Balai Pustaka yaitu Azab dan Sengsara (1920) karya Merari
Siregar.<br /> <br />Di Sumatera Utara sendiri, banyak sastrawan senior dan sastrawan muda yang
saat ini sedang genjar-genjarnya juga mengembangkan karya sastra agar tetap
bertahan di Indonesia. Partisipasi mereka yang tak hentinya terus berkarya
melalui media cetak, elektronik serta menanamkan sejarah sastra melalui
lakonisasi drama, musikalisasi puisi, dan pembaca puisi yang full ekpresi dari
sastrawan-sastrawan Medan yang berbakat.<br /> <br />Sastrawan-sastrawan Sumatera Utara antara lain; A. Rahim Qahhar, AS.
Atmadi, A. Zaini Nasution, D. Rifai Harahap, Ezra Dalimunthe, Hidayat Banjar,
Idris Siregar, Maulana Syamsuri, Mihar Harahap, Moratua Naibaho, M. Raudah
Jambak, Hasan Al Bana, Yulhasni, M. Yunus Rangkuti, Jones Gultom, Rasinta
Tarigan, Ridwan Siregar, S. Satya Darma, Suyadi San, Syaiful Hadi JL, Teja
Purnama, YS. Rat, Harta Pinem, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Idris Pasaribu,
Shafwan Hadi Umry, Afrion, Antilan Purba, Jerni Martina Elita Napitupulu,
Rosliani, Aishah Basar, Aldian Aripin, Sulaiman Sambas, Thompson HS dan Supri
Harahap,<br /> <br />Selain itu penulis-penulis muda Sumatera Utara yang telah menjenguk
karya-karyanya di media-media lokal ataupun nasional dan telah menyejarahkan
sastra lewat buku-buku antologi dan buku-buku tunggal yang tidak dapat
disepelekan kualitasnya, yaitu; Sartika Sari, Maulana Satrya Sinaga, Muhammad
Anhar, Sakinah Anisa Mariz, Tanita Liazna, Cipta Arif Wibawa, Ria Ristiana
Dewi, Eva Riyanti Lubis dan banyak lagi yang menorehkan tinta mimpi dalam
karya-karya sastra.<br /> <br />Dalam pencitraan sastra dalam sastra, pembandingan menjadi hal yang bukan
lagi tabu. Salah satu contoh puisi sastrawan senior Sumatera Utara yakni
Yulhasni dengan judul “Cinta Sirombu”; secepat itukah engkau berlalu,
manisku/kau telah berangkat sebelum aku sempat membuka pintu/ketabahan
daun-daun gugur yang kau titipkan itu/bersama anak kita di sirombu, kampung
cinta yang telah jadi debu/ (Amuk Gelombang, 2005). Juga puisi Sartika Sari
dengan judul “Elegi Titi Gantung”; demi matahari yang tak pernah padam di
tubuhku/langit adalah ibu paling baik/yang menyusui dan menjagaku dari sunyi/
(PPN IX Jambi). Kedua penulis di atas menulis puisi dengan begitu simbol yang
apik. Sehingga menimbulkan perasaan tersendiri ketika membaca puisi-puisi
keduanya. Mereka juga handal menulis berbagai artikel dan essai dalam tajuk
budaya dan sastra.<br /> <br />Oleh karena itu, tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sastra dalam
sejarah, dari tahun ke tahun, angkatan ke angkatan memiliki keindahan
tersendiri dan segala variatif yang dapat mengembangkan sastra untuk masa
depan. Tidak akan menghilang, sebab sastra akan terus dipertahankan bersama.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penulis Mahasiswa Semester IV Bahasa Indonesia FKIP UMSU dan Bergiat di
Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU. <a href="http://sastra-indonesia.com/2013/05/keindahan-genre-dalam-angkatan-sastra-sumut/">http://sastra-indonesia.com/2013/05/keindahan-genre-dalam-angkatan-sastra-sumut/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-91310332202196138232021-08-25T23:17:00.001-07:002021-08-25T23:17:04.792-07:00Menguak Kritik atau Apresiasi SastraMihar Harahap *<br />Harian Analisa, 22 Mar 2014<br /> <br />Sebenarnya Budi Hatees (BH) sedang mengesai H. B. Jassin dalam tulisan
“Kritik Sastra atau Apresiasi Sastra”(Analisa, 16 Maret 2014). Entah mengapa,
kemudian mencatut nama Mihar Harahap (MH) dengan mengatakan kritik MH bukan
kritik, tetapi esai. Kalau benar kritik saya adalah esai, lalu mengapa mencatut
nama saya ketika sedang mengesai H. B. Jassin, kritikus sastra Indonesia. Ini
namanya mencari gara-gara.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Mencermati gelagat ini, pemahaman saya, BH merasa kesal pada saya. Soalnya
setiap cerpennya dimuat di Analisa ini, pasti saya kritik bersama pecerpen
lainnya. Tampak dari tulisan sebelumnya, BH tidak siap menerima kritik saya.
Ketika itu tulisannya tidak saya gubris. Tulisan kali ini, terpaksa saya
tanggapi, karena sudah kelewat batas atau tidak sehat lagi. Begitupun saya
tidak perlu meradang, menerjang.<br /> <br />Biarlah BH tidak mengakui saya sebagai kritikus, walaupun saya pernah
meraih Hadiah Kreativitas Sastra dari DKM dalam bidang kritik, malah di atas
Herman KS (guru saya). Kalau Yulhasni menyebut saya kritikus strukturalisme,
Arie A. Nasution menyebut saya kritikus apresiatif (seperti Rachmat Djoko
Pradopo menyebut Herman KS) maka Damiri Mahmud (diskusi di TBSU) menyebut
kritik saya mirip kritik H.B.Jassin.<br /> <br />Terus terang saya sebetulnya merasa terhormat disebut sebagai esais sastra
ketimbang kritikus sastra. Mengapa? Menurut saya lebih sulit menulis esai
daripada menulis kritik. Kalau kritik sastra bahannya dari orang lain
(sastrawan), puisi, prosa, drama. sebaliknya esai sastra bahannya dari diri
sendiri. Persoalannya bukan itu, -hormat atau tidak- melainkan prihal kritik
sastra saya disebut BH sebagai esais sastra.<br /> <br />Sayangnya, pernyataan BH -sai sastra bukan kritik sastra- tidak didukung
sepe rangkat ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pernyataan
ini dianggap ilegal, terlalu pribadi dan sangat subjektif. Sayapun menolak
pernyatan ini. Atau saya menanti BH dapat membuktikan pernyataannya pada
tulisan lain. Bila perlu dalam diskusi, sehingga saya dapat mempelajari dan
mempertimbangkannya.<br /> <br />Tulisan ini kelihatannya sembrono dan melingkar-lingkar. Misal, disatu
paragraf dikatakan kiritikan saya menunjukkan kekuatan tradisi ilmiah atau
kemampuan berteori yang mumpuni, namun di paragraf lain dia katakan kritikan saya
tidak membutuhkan teo- ri/tradisi akademis. Mana yang benar? Sayang, BH kurang
tahu atau tak mau tahu, pada-hal dalam tulisan/diskusi saya sudah memaparkan
meoda saya mengeritik.<br /> <br />Menurut kamus, apresiasi (Inggeris,appreciation = penghargaan) adalah 1).
kesadaran terhadap nilai seni/budaya, 2). penilaian/penghargaan terhadap
sesuatu. Menurut ahli, kritik adalah cabang ilmu sastra yang berurusan dengan
perumusan, klarifikasi, penerangan dan penilaian terhadap teks karya sastra.
Jadi, apresiasi sastra dan kritik sastra berarti ganda dan sama. Kritik
merupakan ilmu/sistem dalam apresiasi karya sastra.<br /> <br />Kritik sebagai ilmu dalam apresiasi karya sastra dapat dipelajari, misalnya
di kam pus, kebetulan saya dosen mata kuliah kritik sastra itu. Sesuai
kurikulum/silabus, dipelajari pengertian kritik sastra, sejarah, sifat, fungsi,
jenis, metoda, penulisan, penilaian, latih an dan lainnya. Itu sebab, ketika BH
menyatakan kritik sastra saya adalah esai sastra, timbul pertanyaan, apakah BH
paham perbedaan kririk sastra dengan esai sastra?<br /> <br />Memang teori kritik sastra berasal dari barat. Soalnya, tidaklah tepat bila
mengeri tik karya sastra Indonesia menggunakan teori barat itu. Layaknya,
gunakanlah teori Indonesia agar sesuai dengan budaya, cara pikir-rasa dan
kondisi Indonesia. Sudah ada kesa- daran itu sejak lama, tetapi entah mengapa
hingga kini, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM belum juga membuat
metoda kritik sastra itu.<br /> <br />Saya mencoba membuat metoda Tebekule, sudah saya kenalkan ke media publik,
dalam diskusi bahkan saya lakukan ketika mengeritik karya sastra.Tebe, tema dan
bentuk, merupakan perwujudan dari makna apresiasi/kritik bersifat pemahaman,
penghayatan dan penguasaan karya sastra. Kuncinya, apa (tema:isi, tujuan,
pesan) dan bagaimana (bentuk: plot, karakter, setting, bahasa). Keduanya,
tergantung pada karya sastra itu.<br /> <br />Kule, kuat (kekuatan) dan lemah (kelemahan) karya sastra. Hal ini
perwujudan dari makna apresiasi/kritik bersifat penghargaan, penilaian
baik-buruknya karya sastra. Ibarat memerah susu sapi, saya perah cerpen/novel
untuk mencari/menemukan Tebenya (kata BH menceritakan kembali/kompilasi kisah).
Baru saya tahu enak-tidaknya susu sapi itu untuk merasakan Kule-nya (BH diam
saja mengenai ini). Kenapa?<br /> <br />Semestinya, frekunsi Tebe harus berbanding sama dengan Kule (50%-50%). Bila
dipecah lagi, tema = 25%, bentuk = 25%, kekuatan = 25% dan kelemahan = 25%.
Memahami kondisi pengarang Sumut yang belum dewasa, maka pemerataan frekuensi
ti- dak stabil. Siasatnya, dilihat siapa pengarang dan mutu karangannya. Itupun
terkadang tidak tepat. Terbukti BH, tetapi jumlahnya berangsur-angsur relatif
menurun.<br /> <br />Terkait catatan di bawah tulisan: “penulis adalah kritikus sastra Indonesia
di Su- mut”, rasanya tak begitu penting, namun dilirik BH juga bahkan menjadi
aset besar untuk menyudutkan saya. Dulu, pengarang menulis alamat rumah/tanggal
mengarang. Kini, nama profesi, jabatan atau organisasi. Semula, saya tulis nama
profesi (kritikus sastra) serta jabatan (Dekan FKIP), sekarang hanya nama
profesi saja. Salahkah?<br /> <br />Kalau Hasan Al Bana menyebut pandai fiksi, maka saya menyebut kritikus
sastra (walau BH tak mengakui). Di jurnal internasional, nama profesi malah
wajib ditulis. Majalah Horison bahkan foto dan biodata singkat. Di Kompas
terkadang ada. Kalau saya me nulis di Jurnal Nasional Jakarta nama profesi
diganti redakturnya menjadi dosen. Padahal saya lebih suka disebut kritikus
sastra (apalagi esais sastra) ketimbang dosen.<br /> <br />Lebih dari itu, catatan di bawah tulisan adalah komitmen saya terhadap
perkemba ngan sastra Indonesia di Sumut. Mungkin hanya saya yang mengatakan
siap mengeritik karya sastra Sumut dan tidak yang lain (kecuali hal tertentu).
Saya tetap menggelorakan karya sastra Sumut adalah karya sastra Indonesia dan
bukan monopoli Jakarta. Biar tidak populer, biar tak menulis lain. (kecuali
rindu). Inilah perjuangan saya.<br /> <br />*) Penulis adalah kritikus sastra Indonesia di Sumut, dan sebagai Ketua
Forum Sastrawan Deli Serdang. <a href="http://sastra-indonesia.com/2017/10/menguak-kritik-atau-apresiasi-sastra/">http://sastra-indonesia.com/2017/10/menguak-kritik-atau-apresiasi-sastra/</a>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-67588484044378043702021-08-25T23:15:00.004-07:002021-08-25T23:15:21.795-07:00Gerakan Kemandirian Sastra Merdekakan Sumatera UtaraAfrion<br />sastramedan.com<br /> <br />Bangkitnya gerakan Sastra Sumatera Merdeka, mestilah diartikan sebagai
spirit menumbuhkan kebersamaan dan kemandirian sastra.<br /> <br />Tulisan ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali semangat pergerakan
penciptaan karya sastra dan perlawanan Sastra Sumatera Merdeka. Suatu gerakan
moral yang menentang hegemoni dan monopoli pusat (Jakarta) di daerah.
Bangkitnya gerakan Sastra Sumatera Merdeka, mestilah diartikan sebagai spirit
menumbuhkan kebersamaan dan kemandirian sastra. Dalam artian tidak menjadikan
Jakarta sebagai daerah yang memiliki kekuasaan besar, yang sangat menentukan,
dan menjadi barometer karya sastra berkualitas.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sejarah sastra merupakan teori sastra, jika pengembangan pengajarannya
tidak tepat dan lengkap, maka dapat membahayakan keberadaan karya sastra.
Bahkan pada akhirnya menghilangkan konteks dan fungsinya di masyarakat.
Akibatnya, karya sastra menjadi terasing dan akan kehilangan relevansi sosial
budayanya.<br /> <br />Gerakan Sastra Sumatera Merdeka yang diprakarsai Idris Pasaribu sejak tahun
1998, terus menyuarakan kemandirian sastra di Sumatera Utara hingga kini.
Kemandirian sastra diartikan sebagai kewenangan daerah, untuk menentukan dan
mengelola sendiri segala hal yang berkaitan dengan sastra. Kualitas karya
sastra tidak digiring mengikuti teori-teori sastra yang berkembang di Jakarta.
Dengan demikian, tidak menjadikan Jakarta sebagai barometer untuk mengukur pencapaian
kualitas karya sastra.<br /> <br />Menurut sosiolog sastra Dr. Faruk Rediasyah, munculnya gerakan perlawanan
menentang monopoli dan hegemoni pusat, pada dasarnya bertujuan untuk; (1)
membangun sastra yang lebih membumi, (2) membuka jalan bagi pengakuan eksistensi
sastra di daerah, dan (3) menghidupkan iklim kesenian di berbagai daerah.
Munculnya gerakan tersebut mencerminkan harapan sastrawan di daerah untuk
diakui eksistensinya oleh lingkungan yang lebih luas.<br /> <br />Sedangkan Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (Dahana, 1994) menyebut adanya
gerakan revitalisasi perlawanan sastra di daerah, merupakan reaksi daerah atas
dominasi pusat dan merupakan satu bukti bahwa daerah mempunyai hak untuk
bersuara dan diperhitungkan di tingkat nasional. Daerah bereaksi karena semakin
menipisnya peluang dan kemungkinan media-media massa berskala nasional
mengakomodasi ekspresi artistiknya para sastrawan daerah.<br /> <br />Gerakan perlawanan menentang hegemoni pusat ini, ternyata diikuti sastrawan
dari beberapa daerah lain di Indonesia. Munculnya Angkatan Reformasi yang
dimotori Kusprihyanto Namma (Ngawi), Sosiawan Leak (Solo), dan Wowok Hesti
Prabowo (Tangerang). Mempelopori lahirnya angkatan terbaru sastra Indonesia
yang dilansir dalam tabloid Angkatan.<br /> <br />Mendobrak Hegemoni pusat, mendobrak dan Membongkar Relasi Kuasa Seni di
Bali. yang dilakukan Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar.
Di Kalimantan Tumbuhnya komunitas-komunitas sastra alternative, di samping
ingin memperbaiki berbagai ketimpangan yang ada dalam perangkat sistem sastra
di Indonesia, juga sebagai upaya perlawanan sastrawan mendobrak arogansi
sentralisme dan monopoli Jakarta.<br /> <br />Dalam pandangan kreatif, lahirnya komunitas sastra alternatif di Kalimantan
merupakan penentangan terhadap legitimasi dan kewibawaan pemegang otoritas
sastra di pusat kesenian Jakarta yang dianggap sebagai penghalang kreativitas.
Di Palembang Sumatera Selatan, muncul gerakan pemurnian dengan semangat sastra
lokal sebagai bentuk perlawanan sastra yang tidak ingin terus menerus dikuasai
oleh hegemoni pusat.<br /> <br />Bahkan di Jawa Timur gerakan perlawanan yang dilakukan Komunitas
Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), Forum Studi Sastra Seni Luar Pagar
(FS3LP), Komunitas Dewan Kesenian Blambangan Reformasi, dan Bagus Putu Parto
bersama Barisan Seniman Muda Blitar mengusung tiga konsep landasan perlawan
yaitu (1) membangkitkan penyebaran kehidupan sastra agar tidak terpusat di
pusat-pusat kekuasaan, tetapi dapat berkembang dimana-mana. (2) membuat media
alternatif sebagai media penyebaran karya sastra, dan (3) membangun jaringan
komunikasi.<br /> <br />Perubahan mendasar dengan gerakan besar, akan terus diperjuangkan.
Perubahan dengan tujuan mengembalikan poros sastra Sumatera Utara, sebagai
ujung tombak perkembangan sastra Indonesia. Secara umum pertanyaan mengapa
tidak ada karya-karya sastrawan daerah khususnya Sumatera Utara dalam buku-buku
teks sejarah sastra Indonesia terkini? Justru karena sentralistik kekuasaan dan
adanya hegemoni pusat<br /> <br />Gerakan memerdekakan sastra Sumatera Utara, pada akhirnya harus
memperjuangkan pula penerbitan dan pemakaian teks-teks buku sejarah sastra,
baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Pengajaran sastra tidak dimonopoli
buku-buku sastra terbitan Jakarta. Khususnya menyangkut materi penciptaan karya
sastra, lebih mengutamakan kearifan lokal.<br /> <br />Kondisi yang memprihatinkan ini, disebut Yulhasni sebagai bentuk hegemoni
dan monopoli Jakarta. Tembok-tembok kekuasaan Jakarta hanya mengakui keunggulan
karya-karya sastra yang dibukukan oleh penerbit Jakarta. Apalagi kemudian
penerbit buku terbesar di Indonesia memang berasal dari Jakarta, terus semakin
menguasai distribusi pangsa pasar buku-buku di Sumatera Utara bahkan di seluruh
Indonesia.<br /> <br />Tidak menganggap karya sastra Sumatera Utara berkualitas rendah, apalagi
dianggap sebagai pengekor berbagai bentuk penciptaan karya sastra Jakarta. Jika
hal ini terjadi, maka Sumatera Utara tentu saja hanya dikenang sebagai daerah
yang tidak mampu menciptakan kualitas karya sastra.<br /> <br />Gerakan Memerdekakan Sastra Sumatera Utara, lahir dari pemahaman makin
tersisihnya Sumatera Utara dari khasanah sastra Indonesia. Hal ini ditandai
dengan tidak adanya pergerakan memunculkan kualitas sastra. Begitu pula dengan
sejarah sastra terkini, yang semakin menggerus posisi Sumatera Utara. Saya
termasuk orang yang setuju dengan pendeklarasi Sastra Sumatera Merdeka, dengan
tujuan membendung hegemoni pusat, khususnya menyangkut keberadaan penerbit
Jakarta yang terus menggurita dan memonopoli teks-teks buku sastra. Gerakan
perlawanan Sastra Sumatera Merdeka lebih mengarah pada penggunaan teks-teks
buku sastra terbitan Jakarta, dengan cara membatasi peredarannya dan
mengutamakan penggunaan teks-teks buku sastra terbitan daerah. baik tingkat SD,
SMP, SMA, dan di perguruan tinggi negeri maupun swasta.<br /> <br />Pandangan Idris Pasaribu yang menyebutkan karya sastra nasional telah
menggurita menguasai pangsa pasar buku di daerah dan karya sastra lokal semakin
jauh tersingkirkan, bukan tidak beralasan. Secara politis para pemegang
kekuasaan di dunia pendidikan, mewajibkan pemakaian buku-buku terbitan Jakarta,
secara tidak langsung mematikan buku-buku terbitan daerah. Dengan demikian cara
pandang guru dan dosen pun sebagai staf pengajar bahasa dan sastra Indonesia di
sekolah dan perguruan tinggi, hanya mengakui buku-buku terbitan Jakarta.<br /> <br />Praktek monopoli yang dilakukan penerbit besar yang ada di Jakarta, pada
akhirnya mematikan Penerbit buku yang ada di Sumatera Utara (Medan). Sekaligus
tidak memberikan pencerahan terhadap perkembangan sejarah sastra. Apalagi
teks-teks buku sejarah sastra Indonesia kini mengalami stagnasi, tidak bergerak
dan masih mengulang-ulang materi sejarah masa lalu. Teks buku sejarah sastra
masa kini, hanya memuat angkatan masa lalu yaitu angkatan Pujangga Lama,
Angkatan Sastra Melayu Lama, Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45,
dan Angkatan 66.<br /> <br />Gerakan memerdekakakan sastra Sumatera Utara, tidak hanya melawan praktek
monopoli yang dilakukan penerbit Jakarta. Tidak hanya mengadakan perlawanan
terhadap intervensi pusat, tetapi juga harus memasuki ranah yang lebih luas.
Karena itu diperlukan penguatan kemandirian karya sastra.<br /> <br />Jika Hegel berbicara mengenai manusia, yang dimaksudnya adalah manusia
sebagai bangsa. Roh suatu bangsa, menurut Hegel menentukan panggilan dan nasib
historisnya. (Weij, 2000). Historis sastra merupakan bagian dari ilmu sastra
yang mempelajari tentang perkembangan sastra dengan segala permasalahannya. Di
dalamnya mencakup teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra, dimana ketiga
hal tersebut saling berkaitan.<br /> <br />Dengan demikian, kemandirian sastra berarti menempatkan karya sastra pada
ruang yang maha luas. Dalam kaitan inilah hegemoni dan monopoli pusat terhadap
daerah kemudian digugat, karena ternyata pusat bukannya tambah menghidupkan
sastra daerah, malah cenderung mematikan kreatifitas penulis daerah.<br /> <br />Mengkritisi hegemoni dan monopoli pusat di daerah dalam karya sastra
sebenarnya sejak tahun 1994 sudah mulai didengungkan di daerah ini (baca;
Sumatera Utara) lewat gerakan Sastra Sumatera Medeka. Saya menyebutnya sebagai
gerakan membendung dominasi Jakarta yang mengabaikan perkembangan sejarah karya
sastra di daerah.<br /> <br />Gubernur dan walikota sebagai pejabat yang berada dalam level pemegang
kekuasaan tertinggi di daerah, harus bertanggungjawab terhadap praktik monopoli
pemasaran buku-buku yang selama ini masuk menguasai dunia pendidikan di daerah,
khususnya Sumatera Utara. Praktik pembunuhan terselubung terhadap penerbit buku
di daerah yang selama ini berjalan mulus, harus segera dihapuskan. Setidaknya
akan dapat menghidupkan kembali penerbit buku di daerah.<br /> <br />Dunia sastra di Sumatera Utara harus diakui selalu berkembang mengikuti
zamannya, sebagaimana tulis M. Raudah Jambak (Analisa, 5 Juni 2011) bahwa
Sumatera Utara cukup dikenal apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja
perhatian secara sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan
tandatanya besar. Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan.
Beberapa di antaranya tentu dikenal di seantero nusantara. Tetapi Jakarta tetap
menganggap sebelah mata.<br /> <br />Generasi sastra masa kini, telah bermunculan dari daerah-daerah. Sumatera
Utara ternyata menyimpan sedemikian banyak potensi pekarya yang menulis
karya-karya sastra seperti puisi, cerpen, dan novel. Dari segi usia tentu
sangat menggembirakan, mereka para pekarya ini masih berusia muda dan bahkan
kebanyakan di antaranya masih berstatus mahasiswa.<br /> <br />Seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti
derap peradaban. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra Sumatera Utara
terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu
menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2017/12/gerakan-kemandirian-sastra-merdekakan-sumatera-utara/">http://sastra-indonesia.com/2017/12/gerakan-kemandirian-sastra-merdekakan-sumatera-utara/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-25501356467399018962021-08-25T23:13:00.004-07:002021-08-25T23:13:28.677-07:00Tahun Kebangkitan Sastra Sumatera Utara DimulaiSaripuddin Lubis *<br />komunitashomepoetry.blogspot.co.id<br /> <br />Era sebelum tahun 1920-an, dunia sastra di Sumatera Utara dianggap sebagai
tonggak dasar kesusastran di Tanah Air. Sebab, saat itu sastrawan Sumatera
Utara bisa dikatakan sebagai barometer sastra di tanah air.<br /> <br />Pertama sekali dimulai dengan munculnya nama M. Kasim yang dianggap sebagai
peletak dasar berdirinya cerita pendek di tanah air. Setelah itu muncullah nama
Amir Hamzah, pemuda dari Langkat, yang dikenal sebagai motor puisi Angkatan
Pujangga Baru.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kemudian lahir pula Chairil Anwar yang merupakan orang yang paling populer
namanya dalam wilayah sastra tahun 1945 hingga sekarang. Beliau bahkan masih
dianggap sebagai ikon sastra di Indonesia bersama Amir Hamzah. Jika diadakan
survei, tentunya nama merekalah yang menduduki peringkat pertama sastrawan di
Tanah Air yang dikenal masyarakatnya.<br /> <br />Setelah itu, perhelatan sastra di Tanah Air mulai berpindah tangan kepada
teman-teman sastrawan dari Pulau Jawa. Meskipun masih ada, namun nama-nama
sastrawan dari Sumatera Utara mulai tenggelam ditelan zaman. Nama-nama yang
masih bertahan hanyalah sebagian saja seperti Maulana Samsuri, M. Rahim Qahhar,
Damiri Mahmud dan beberapa nama lain. Selebihnya banyak yang tak lagi dikenal
di jagad sastra nasional.<br /> <br />Memasuki tahun 2010, sedikit demi sedikit ada yang berbeda dalam dunia
kepengarangan di Sumatera Utara. Kegelisahan yang selama ini mendera dunia
kepengarangan di Sumatera Utara agaknya telah mulai memperlihatkan
kecerahannya. Karya dan penerbitannya mulai mencecah dunia kreativitas dan
produktivitas.<br /> <br />Mengapa tidak? Pada tahun ini dunia kepengarangan di Sumatera Utara mulai
mencecahkan kakinya dalam skala yang lebih luas – hingga pentas nasional.
Awalnya, menjelang 2010, dunia kepengarangan di Sumatera Utara yang “unjuk
gigi” hingga pentas nasional terbilang sedikit. Dalam beberapa tahun terakhir
bahkan dapat dihitung dengan jari.<br /> <br />Beberapa nama yang perlu dicatat antara lain T. Sandi Situmorang dengan
genre novel remajanya. Kemudian Maulana Samsuri dengan novel-novelnya yang
terus mengalir. Si anak muda yang enerjik, Hasan Al Banna, yang karyanya boleh
dikatakan telah melanglang buana di seluruh koran-koran di daerah maupun
nasional terutama di pusat-pusat penerbitan di Jawa. Sebuah prestasi yang
sungguh membanggakan hati kita tentunya.<br /> <br />Tahun 2010 ini, ternyata sastrawan Sumatera Utara terutama generasi mudanya
semakin membuat kita bangga. Hasil Kongres Sastrawan Sumatera Utara 2009 lalu
di Hotel Garuda Plaza yang digagas Afrion dan kawan-kawan rupanya telah
menorehkan hasil.<br /> <br />Salah satu rumusan yang ditelurkan dalam kongres yang juga dihadiri Kepala
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara, Hj. Nurlisa Ginting waktu itu,
di antaranya adalah meningkatkan produktivitas penerbitan karya. Memang hasil
yang dicapai sekarang ini tidaklah secara langsung hasil dari pertemuan itu.
Paling tidak, pertemuan yang dihadiri sastrawan di Sumatera Utara pada waktu
itu antara lain memang mempersoalkan miskinnya penerbitan karya pengarang dari
Sumatera Utara.<br /> <br />Selain kongres sastrawan di Garuda Plaza Hotel, tahun 2009 itu pula KSI
yang dimotori Idris Pasaribu dan kawan-kawan melakukan workshop kepenulisan,
menghadirkan novelis ternama Saut Poltak Tambunan di Taman Budaya Sumatera
Utara. Dari workshop itu pula dihasilkan rumusan yang sama, yaitu keinginan
akan bangkitnya dunia kepenulisan di Sumatera Utara. Kiranya genderang
kebangkitan sastra Sumatera Utara kini telah mulai dipalu.<br /> <br />Apa saja indikator kebangkitan sastra Sumatera Utara itu? Ada beberapa
catatan penting yang perlu kita amati. Pertama, lahirnya novel Acek Botak yang
ditulis Idris Pasaribu. Novel yang bercerita tentang kisah pembauran seorang
anak Tionghoa di kota Medan ini setidaknya telah mampu mencuri perhatian
masyarakat Medan dan nasional.<br /> <br />Dalam beberapa kesempatan, novel ini terus diperbincangkan. Novel ini
dibedah dan diulas oleh beberapa pembahas di Universitas Darma Agung. Kemudian
diramaikan pula dalam talk show di beberapa siaran radio. Padahal novel ini
belum diluncurkan secara resmi oleh penerbitnya. Belakangan baru kemudian novel
ini diluncurkan bersama beberapa novel-novel lain terbitan Kaki Langit Kencana
di Jakarta.<br /> <br />Seperti telah disinggung di atas, yang tak pernah berhenti berkarya, tahun
2010 ini juga Hasan Al Banna. Setelah tahun 2009 sebuah cerpennya terpilih
sebagai salah satu cerita pendek terbaik penerima Anugerah Pena Kencana yang
diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama, tahun ini pula karya Hasan terus
mengalir dalam pelbagai surat kabar nasional. Bulan April kemarin salah satu
puisi Hasan Al Banna kembali terpilih dan diterbitkan sebagai salah satu puisi
terbaik Anugerah Pena Kencana 2010.<br /> <br />Berikutnya hadir pula novel Pelacur, Politik, dan he..he yang ditulis Tandi
Skober. Meski tidak lagi bermukim di Medan, tetapi paling tidak Tandi masih
menjalin tali yang tidak putus dengan kota Medan. Novel ini memang ber-setting
Indramayu, namun nuansa Tandi Skober yang pernah bermukim di Medan tidak lepas
dari novel ini. Novel ini juga diterbitkan oleh Kaki Langit Kencana Jakarta di
penghujung 2009 yang lalu.<br /> <br />Nama lain yang ikut pula menghidupkan euforia kebangkitan dunia
kepengarangan di Sumatera Utara adalah novelis Win RG yang meluncurkan buku
keduanya di UMSU beberapa waktu lalu. Konsep peluncuran buku juga dibuat
berbeda dalam acara ini. Setidaknya 200 orang hadir dan membayar tiket untuk
menghadiri acara peluncuran buku.<br /> <br />Kita teringat yang disampaikan Saut Poltak Tambunan di TBSU waktu itu.
Beliau mengatakan, peluncuran buku bukanlah sebuah pesta seremonial, bukan
sekadar datang menghadiri lalu pulang mendapat buku gratis! Beliau menambahkan,
buku yang diterbitkan harus dibeli oleh pengunjung peluncuran buku, sebab penulisnya
harus dihargai perjuangannya. Kira-kira seperti itulah ungkapan Saut Poltak
waktu itu. Artinya, apa yang dilakukan Win RG melalui FLP-nya bisa dimaklumi.<br /> <br />Masih dalam hitungan hari, Maulana Samsuri tampil kembali dengan kumpulan
cerita pendek terbarunya. Kumpulan cerpen yang diterbitkan ini umumnya berkisah
tentang persoalan manusia dengan Khaliknya. Maulana samsuri yang biasanya
menulis novel ini ternyata juga tidak kalah apiknya ketika menulis cerita
pendek. Usia yang semakin senja ternyata tidak membuat Maulana Samsuri berhenti
berkarya. Beliau terus menorehkan tintanya dalam dunia sastra Sumatera Utara.<br /> <br />Lagi-lagi pengarang muda mulai menunjukkan jati dirinya dalam percaturan
sastra di Sumatera Utara dengan munculnya nama Butet Benny Manurung. Perempuan
satu ini memang sangat produktif dalam menulis. Puncaknya lahirlah novelnya
berjudul Metamorfosis Gendis yang diterbitkan Easmedia Yogyakarta.<br /> <br />Nama orang muda lainnya adalah Haya Aliya Zaki dengan buku terbarunya Titik
Balik (Menerjang Rintangan Menggapai Masa Depan) juga diterbitkan Leutika
Yogyakarta. Sebelum Haya Alia Zaki, telah dulu terbit sebuah novel ditulis oleh
Onet Aditya Rizlan berjudul Selamat Tinggal Ca, yang diterbitkan oleh Penerbit
Leutika Yogyakarta.<br /> <br />Nama-nama lain yang selama ini terus menancapkan bendera karya di Sumatera
Utara, juga tidak dapat kita kesampingkan. Sebut saja Suyadi San yang terus
berkarya pada syair-syairnya lewat penerbitan maupun di pelbagai koran-koran
nasional. Kemudian M. Raudah Jambak yang cerpennya juga terpilih sebagai cerpen
terbaik tingkat nasional dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Belum lagi syair-syair puisinya yang terus meluncur dalam pelbagai media
nasional.<br /> <br />Antilan Purba secara diam-diam tapi pasti terus menulis esai-esai sastra
dalam berbagai terbitan di Medan dan Pulau Jawa. Tidak salah jika mengatakan
kalau Antilan Purba saat ini merupakan esais paling produktif yang kita miliki.
Beliau terus pula menggeliat dengan Laboratorium Sastra-nya bersama Afrion dan
kawan-kawan yang senantiasa produktif dalam menerbitkan karya. Ada pula nama
Syaiful Hidayat lewat ulasan dan kritiknya. Kemudian Teja Purnama, Nasib TS, T.
Agus Khaidir, Jones Gultom dan nama lain yang tak dapat saya sebut satu per
satu ikut pula memberi warna sastra berbeda dari ruang-ruang redaksi.<br /> <br />Satu terobosan penting yang juga perlu dicatat adalah lahirnya portal
www.sastramedan.com (situs ini sudah tidak aktif lagi-ed.TAH.com) Kelahiran
sastra dan sastrawan dalam dunia maya ini tentu saja akan semakin melebarkan
sayap kesusastraan Sumatera Utara yang bahkan akan sampai di belahan dunia
manapun.<br /> <br />Diana Tanjung, seorang teman lama di New York menuturkan, dia sekarang
telah gampang membaca karya-karya pengarang Sumatera Utara. Teman yang juga
berdarah sastra itu merasa senang dan seperti berada di Belawan, kampung
halamannya, ketika membuka portal. Apa yang dilakukan YS Rat, Yulhasni, dan
teman-teman lain dalam website ini tentu semakin menambah warna-warni sastra
Sumatera Utara. Pada awal Juni ini juga, kembali akan terbit sebuah novel
setebal 412 halaman, karya Omadi Famous yang juga anak KSI Medan.<br /> <br />Demikianlah. Semoga tahun 2010 benar-benar akan menjadi tahun kebangkitan
sastra Sumatera Utara. Tahun penuh dengan riak, gerak dan rentak yang tak
berhenti. Menggeliat dan bergerak dalam dunia masing-masing. Senior tentunya
akan terus memotivasi mereka yang muda. Yang muda tentu tidak akan merasa besar
dengan karya-karya yang telah mereka lahirkan. Sebab jika merasa besar,
sebenarnya adalah awal dari sebuah kemunduran.<br /> <br />Selain Acek Botak karya Idris Pasaribu, dalam tahun ini juga akan terbit
dua buah novelnya yang lain berjudul Mangalua (Kawin Lari) dan Bincalang.
Sedikit wawancara dengan Idris Pasaribu, dengan rendah hati Idris Pasaribu
mengatakan, anak-anak KSI Medan, akan melahirkan sedikitnya delapan buah novel.
Semua novel sebelum dikirimkan ke penerbit, terlebih dahulu didiskusikan di
sekretariat KSI Medan, di bawah pohon asam, sebuah sudut di Taman Budaya Medan.<br /> <br />Akhirnya, sekecil apapun yang anda dan siapa saja lakukan dalam dunia
kesusastraan, pada saat itu pula kita telah memberi sumbangsih untuk awal
kebangkitan kembali sastra Sumatera Utara itu. Ayo!<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">*) Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMA 1 Binjai dan Dosen Sastra
STKIP Budidaya Binjai. <a href="http://sastra-indonesia.com/2017/12/tahun-kebangkitan-sastra-sumatera-utara-dimulai/">http://sastra-indonesia.com/2017/12/tahun-kebangkitan-sastra-sumatera-utara-dimulai/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-38805644437579894142021-08-25T17:08:00.002-07:002021-08-25T17:08:12.082-07:00BEKAL LANJUT PENGAPRESIASI SASTRA (17)Djoko Saryono *<br /> <br />Yang dimaksud dengan bekal lanjut pengapresiasi sastra ialah bekal tambahan atau berikutnya yang
seyogianya dimiliki oleh pengapresiasi sastra agar dapat melakukan kegiatan
apresiasi sastra secara lebih bermakna, meluas, mendalam, kaya, dan tajam.
Bekal lanjut ini tidak harus dimiliki, tetapi sebaiknya atau seyogianya
dimiliki. Jika tidak dimiliki, seorang pengapresiasi sastra tetap dapat
melakukan kegiatan apresiasi sastra. Jika dimiliki, seorang pengapresiasi
sastra bukan hanya dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra, melainkan juga
meluaskan dan mendalamkan perolehan kegiatan apresiasi sastra. Dengan kata
lain, kegiatan apresiasi sastranya menjadi luas dan dalam karena yang diperoleh
lebih banyak dan beraneka ragam serta kaya, misalnya pengalaman, pengetahuan,
kesadaran, dan hiburan sekaligus.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Terdapat bermacam-macam bekal lanjut yang bisa dimiliki oleh pengapresiasi
sastra. Bekal-bekal lanjut yang seyogianya dimiliki oleh pengapresiasi sastra
sebagai berikut. Pertama, pengetahuan ihwal lambang-lambang terutama
lambang-lambang bahasa, lambang-lambang sastra, dan lambang-lambang budaya.
Meskipun dalam beberapa hal bisa menggunakan lambang bukan bahasa (misalnya,
beberapa judul cerpen Danarto dan puisi Sutardji), karya sastra pada dasarnya
terpapar dalam bahasa sehingga bagaimanapun lambang-lambang bahasa perlu
dikuasai oleh pengapresiasi. Hal ini meningkatkan dan mencermatkan serta
menajamkan penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi sastra dalam
melakukan kegiatan apresiasi sastra. Demikian juga lambang-lambang sastra dan
budaya.<br /> <br />Sebagaimana diketahui, karya sastra menyodorkan kemungkinan-kemungkinan
khas yang terwadahi atau terwahanai dalam lambang-lambang khas pula yang
kemudian disebut lambang sastra sehingga ada baiknya lambang-lambang sastra ini
dikuasai oleh seorang pengapresiasi sastra. Penguasaan atas lambang-lambang
sastra ini akan meningkatkan ketajaman, kecermatan, kedalaman, keluasan,
malahan kekayaan kegiatan apresiasi sastra beserta hasil-hasilnya. Selain itu,
karya sastra pada dasarnya terikat konteks budaya sehingga di dalamnya selalu
termuat lambang-lambang budaya.<br /> <br />Seorang pengapresiasi sastra ada baiknya juga mengetahui lambang-lambang
budaya yang terdapat dalam karya sastra. Pengetahuan lambang-lambang budaya ini
bisa meningkatkan dan mengembangkan mutu dan cakrawala penjiwaan, penghayatan,
dan penikmatan karya sastra yang diapresiasi. Misalnya, jika Maulana Ikram
(misalnya) mengetahui lambang bahasa, sastra, dan budaya dalam karya sastra
Kakawin Arjunawiwaha (Empu Kanwa) atau Salju (Subagio Sastrowardoyo), niscaya
cakrawala dan mutu penjiwaan, penghayatan, dan penikmatannya atas dua karya
sastra tersebut jauh lebih meningkat dan berkembang karena tangkapanya dan
cerapannya atas sinyal-sinyal sastrawi yang terdapat dalam dua karya tersebut
jelas lebih baik. <br /> <br />Kedua, pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan dengan segala seginya.
Pengetahuan tentang siapakah manusia, bagaimanakah hakikat hidup manusia,
apakah makna kebahagiaan, kesengsaraan, kematian, dan hidup sesudah mati bagi
manusia, bagaimanakah manusia hidup di dunia bersama-sama dengan makhluk lain,
bagaimanakah manusia harus bersikap terhadap dunia dan lingkungannya, dan
sejenisnya merupakan pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan yang perlu
diketahui oleh manusia. Pengetahuan ini bisa diperoleh manusia melalui agama,
filsafat, etika, psikologi, antropologi, dan sejarah.<br /> <br />Karena itu, alangkah baiknya jika seorang pengapresiasi sastra menyukai dan
kalau bisa membaca bacaan-bacaan agama, filsafat, etika, psikologi,
antropologi, dan sejarah sebab dengan demikian dia akan memperoleh pengetahuan
tentang manusia dan kemanusiaan demikian banyak dan beraneka ragam. Selanjutnya
hal ini akan memperkaya, memperluas, dan memperdalam hasil-hasil kegiatan
apresiasi sastranya. Misalnya, jika Imam Wicaksana mengetahui hakikat menjadi
manusia, hidup manusia di dunia, makna kematian, kesengsaraan, dan kebahagiaan
menurut konsep eksistensialisme atau filsafat Barat dan menurut Ki Ageng
Suryomentaram atau filsafat Jawa, niscaya dia akan lebih kaya, luas, dan dalam
penjiwaan, penghayatan, dan penikmatannya atas novel Kering dan Ziarah (Iwan
Simatupang) dan cerpen panjang (long short story) Sri Sumarah (Umar Kayam) yang
diapresiasinya.<br /> <br />Ketiga, pengetahuan tentang masyarakat dan budaya dengan segala
pelik-peliknya. Pengetahuan ini antara lain bersangkutan dengan pandangan
dunia, pandangan hidup, cara berpikir, sikap hidup, adat-istiadat,
tradisi-tradisi, ritus-ritus, perilaku sosial, stratifikasi sosial, etos
sosial, hukum dan atau norma sosial dan perubahan sosial. Keadaan dan situasi
sosial (misalnya anomi sosial, kesenjangan sosial, dan persoalan sosial),
perkembangan masyarakat dan budaya (misalnya, kontinuitas dan diskontinuitas
perkembangan, arah dan orientasi perkembangan, dan konflik dan akulturasi dalam
perkembangan), dan transformasi masyarakat dan budaya (misalnya, arah
transformasi, tahapan transformasi, kualitas transformasi, dan masalah-masalah
transformasi) termasuk pengetahuan tentang masyarakat dan budaya juga.<br /> <br />Alangkah baiknya kalau seorang pengapresiasi sastra menguasai pengetahuan
ini. Hasil kegiatan apresiasi sastranya niscaya akan kaya, luas, dan dalam. Dia
tidak hanya memperoleh literary enjoyment, tetapi lebih daripada itu: dia
mungkin mendapat pencerahan, kesadaran-kesadaran baru, dan bahan-bahan renungan
yang bagus tentang berbagai hal yang bersangkutan dengan hidupnya. Misalnya,
jika Aruming Ramadani mengetahui situasi sosial dan politis pada zaman
penjajahan Belanda di Jawa, pandangan dunia dan cara berpikir penjajah Belanda
atas Hindia Belanda, dan keadaan masyarakat pada zaman penjajahan Belanda,
niscaya perolehannya atau hasil kegiatan apresiasinya atas roman Bumi Manusia
(Pramudya Ananta Toer) lebih bermakna, kaya, luas, dan dalam. Dia tidak hanya
memperoleh hiburan-hiburan yang bisa jadi terdapat dalam roman tersebut, tetapi
juga kesadaran-kesadaran akan hakikat penjajahan dan dampak negatif penjajahan
baik di bidang sosial ekonomi maupun mentalitas.<br /> <br />Keempat, pengetahuan tentang sastra yang mencakupi karya sastra, teori
sastra, sejarah sastra, dan kritikan sastra. Pengetahuan tentang karya sastra
di sini bisa berupa jenis-jenis karya sastra (puisi, prosa, dan drama),
judul-judul karya sastra, bentuk dan isi karya sastra, sastrawan dan
kehidupannya, dan hubungan karya sastra dengan pengarang dan keadaan sosial.
Pengetahuan tentang teori sastra bisa berupa aliran-aliran sastra (romantisme,
realisme, naturalisme, absurdisme, dan sebagainya), pertentangan antara mimesis
dan kreasi, hakikat sastra menurut berbagai pemikiran dan pandangan (pandangan
Plato, Aristoteles, Iqbal, Kristeva, dsb.), paham-paham teori sastra
(strukturalisme, formalisme, feminisme, sosiologi sastra, psikologi sastra,
semiotika, pascakolonialisme, geokritik sastra, ekokritik sastra, dan
sebagainya), dan cara kerja paham-paham teori sastra.<br /> <br />Pengetahuan tentang sejarah sastra bisa berupa pengetahuan tentang aliran
dan karya sastra seperti apa yang menonjol dan kuat dalam berbagai kurun waktu,
bagaimana latar belakang sastrawan-sastrawan, bagaimanakah kaitan
peristiwa-peristiwa sosial-politis-budaya dengan sastra seperti zaman tahun
1965-an dengan Manikebu dan Lekra, dan bagaimana hubungan antara suatu karya
sastra dan karya sastra lain. Pengetahuan tentang kritikan sastra dapat berupa
karya-karya sastra apa saja yang telah dikritik oleh pengritik, bagaimana
kritik berbagai pengritik terhadap suatu karya sastra, bagaimana kecenderungan-kecenderungan
kritikan para pengritik, dan bagaimana wujud-wujud kritikan karya sastra yang
ada.<br /> <br />Berbagai-bagai pengetahuan tentang sastra ini memang tidak harus dikuasai
oleh pengapresiasi sastra. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika seorang pengapresiasi
sastra ingin menguasainya. Penguasaan atas pengetahuan tentang sastra ini malah
menguntungkan pengapresiasi sastra. Misalnya, jika kita mengetahui latar
belakang Danarto yang menyukai bacaan-bacaan mistik kejawen dan berteman dengan
pelukis penganut mistik kejawen, maka pengetahuan ini bisa dimanfaatkan untuk
menghayati dan menikmati cerpen-cerpen Danarto seperti Adam Ma’rifat, Godlob,
dan Lahirnya Sebuah Kota Suci.<br /> <br />Kelima, pengetahuan linguistik dan stilistik. Kedua pengetahuan ini
bersangkutan dengan bunyi-bunyi bahasa, kata-kata, kalimat-kalimat,
wacana-wacana, dan gaya-gaya. Pengetahuan tentang hal-hal ini bermanfaat sekali
dalam apresiasi sastra karena bagaimanapun karya sastra terpapar dalam bahasa
yang mengandung aspek linguistis dan stilistis. Jika seorang pengapresiasi
sastra memiliki pengetahuan ini, maka niscaya dia lebih mampu melakukan
penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan karya sastra ketika melakukan kegiatan
apresiasi sastra.<br /> <br />Misalnya, penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan kemerduan bunyi dalam
puisi (baik karena ikonisitas maupun asonansi) sangat ditunjang oleh
pengetahuan linguistik khususnya bunyi-bunyi bahasa. Kalau Laila Kinanti,
sebagai misal, memiliki pengetahuan linguistik dan stilistik yang baik atau
sangat baik, dia niscaya akan mampu menangkap dan menikmati kehebatan,
keelokan, dan kebagusan ikonisitas puisi-puisi Chairil Anwar dan W. S. Rendra.
Sebaliknya, jika pengetahuan linguistik dan stilistiknya terbatas atau
pas-pasan, Laila Kinanti pasti tidak dapat menikmati keluarbiasaan ikonisitas
puisi-puisi Chairil dan Rendra.<br /> <br />Meskipun tidak wajib atau harus dimiliki atau dikuasai, kelima bekal lanjut
tersebut seyogianya dikenali atau diketahui. Tidak perlu semuanya. Mengenali
serba sedikit, tidak mendalam, salah satu atau beberapa di antara kelima bekal
lanjut tersebut sudah baik karena sudah bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan,
menjaga, dan mengembangkan mutu dan cakrawala apresiasi sastra. Untuk mengenali
serba sedikit itu tidak perlu pula belajar secara khusus. Kalau pengapresiasi
sastra pernah mengenyam pendidikan terutama persekolahan, sekalipun tingkat
dasar, sebenarnya dia sudah mengenali kelima bekal lanjut tersebut walaupun
mungkin secara tidak sadar atau bawah sadar. Mengapa demikian? Sebabnya,
informasi-informasi mengenai kelima bekal lanjut tersebut secara tersirat terdapat
dalam mata-mata pelajaran di sekolah. Jadi, tidak perlu belajar antropologi,
filsafat, linguistik, dan lain-lain secara khusus!<br /> <br />Bersambung 18<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/bekal-lanjut-pengapresiasi-sastra-17/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/bekal-lanjut-pengapresiasi-sastra-17/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-13077625557229551582021-08-24T20:00:00.004-07:002021-08-24T20:00:26.034-07:00Lewat Islam, Hamka dan Pramoedya Ananta Toer pun BerdamaiRakhmat Nur Hakim<br />Kompas.com 29/06/2016<br /> <br />Panasnya api perseteruan tak selamanya abadi. Kadangkala keyakinan yang
sama mampu mendamaikannya. Seperti konflik yang terjadi di antara Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Pramoedya Ananta Toer.<br /> <br />Dua tokoh sastra kenamaan Indonesia itu bersebrangan paham. Namun -ada
akhirnya, Islam jualah yang mendamaikan mereka.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Perseteruan di antara Hamka dan Pram bermula pada awal tahun 1963. Jagad
sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar di Jakarta, yakni Harian
Rakyat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran tersebut berafiliasi pada Partai
Komunias Indonesia (PKI) di masa itu.<br /> <br />Keduanya memberitakan karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck merupakan hasil jiplakan.<br /> <br />Rubrik Lentera dalam koran Harian Bintang Timur yang diasuh Pram, secara
detil mengulas cara Hamka mencuri karangan itu. Karya tersebut diduga milik
sastrawan asing, Alvonso Care.<br /> <br />Berbulan-bulan lamanya kedua koran tersebut terus menerus memojokan Hamka.
Bahkan, kedua koran itu tak hanya mengkritik karya Hamka. Mereka juga menyerang
Hamka secara pribadi.<br /> <br />Irfan Hamka, putra Hamka yang menuliskan memoar tentang ayahnya, dalam buku
yang berjudul Ayah, mengaku sering dipojokan oleh guru sastra Indonesianya
semasa SMA. Gurunya saat itu memang dekat dengan tokoh Lekra seperti Pram.<br /> <br />“?Guru sastra Indonesiaku, begitu pula dengan guru Civic-ku
(Kewarganegaraan), keduanya dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan
ayah, dan tak lupa berkirim salam kepada Ayah, kupingku selalu panas
mendengarnya,?” aku Irfan dalam bukunya.<br /> <br />Seiring berjalannya waktu, para pegiat Lekra pun harus menghadapi kenyataan
pahit. Peristiwa G 30 S PKI, mengharuskan mereka masuk ke dalam daftar
pencarian orang untuk ditangkap.<br /> <br />Kedekatan mereka dengan tokoh-tokoh PKI dianggap sebagai bentuk kegiatan
subversif terhadap negara. Pram termasuk pihak yang ditangkap dan dipenjara di
Pulau Buru.<br /> <br />Beberapa tahun kemudian, Pram pun bebas. Namun, Hamka tak pernah mengusik
perosalan masa lalunya dengan Pram.<br /> <br />“?Ayah sama sekali tak pernah terusik dan beraktivitas seperti biasanya
saja,”? papar Irfan.<br /> <br />Pada suatu kesempatan, Hamka kedatangan sepasang tamu. Seorang perempuan
Jawa dengan nama Astuti dan seorang lelaki keturunan Tionghoa bernama Daniel
Setiawan.<br /> <br />“Saat Astuti memperkenalkan siapa dirinya, Ayah agak terkejut, ternyata
Astuti adalah putri sulung dari Pram,”? lanjut Irfan.<br /> <br />Astuti pun mengutarakan maksud kedatangannya kepada Hamka. Dia memohon
kepada Hamka agar membimbing calon suami yang dibawanya serta untuk masuk
Islam. Astuti mengatakan, sang ayah tak setuju jika memiliki menantu yang
berbeda iman.<br /> <br />Setelah mengetahui maksud kedatangan Astuti, tanpa sedikit keraguan, Hamka
langsung meluluskan permohonan sang tamu. Ia membimbing Daniel Setiawan, calon
menantu Pram membaca dua kalimat syahadat.<br /> <br />Hamka lantas menganjurkan Daniel untuk segera berkhitan dan menjadwalkan
untuk mempelajari Islam dengannya.<br /> <br />Sepanjang pertemuannya dengan putri sulung Pram itu, Hamka tak sekalipun
menyinggung persoalannya dengan Pram beberapa tahun silam.<br /> <br />Salah seorang teman Pram, Hoedaifah Koeddah, sempat menanyakan alasannya
mengirim calon menantunya kepada Hamka untuk mempelajari Islam. Pram pun
menjawab dengan penuh ketegasan.<br /> <br />“Masalah paham kami tetap berbeda, saya ingin putri saya yang muslimah
harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon
menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka,?” tutur Pram
seperti dikutip dalam buku Ayah, karya Irfan Hamka.<br /> <br />Hoedaifah pun sempat menuliskan cerita tersebut dalam majalah Horison edisi
Agustus Tahun 2006. Dia melihat tampaknya kisah Pram yang mengirim calon
menantunya kepada Hamka, sekaligus menunjukan permintaan maafnya.<br /> <br />Hamka yang langsung menerima maksud kedatangan Astuti pun secara tak
langsung menunjukan sikap memaafkan. Dia bahkan bersedia membimbing calon
menantu Pram itu untuk mendalami agama Islam. Ya, pada akhirnya Islam jualah yang
mendamaikan keduanya.<br /> <br />***<br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2017/10/lewat-islam-hamka-dan-pramoedya-ananta-toer-pun-berdamai/">http://sastra-indonesia.com/2017/10/lewat-islam-hamka-dan-pramoedya-ananta-toer-pun-berdamai/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-58796902772335635102021-08-23T21:00:00.003-07:002021-08-23T21:00:42.860-07:00KARANGKITRI, NASKAH MONOPLAYKarya: Agus R. Subagyo<br /> <br />SINOPSIS<br /> <br />Perempuan paruh baya dari desa bernama Sholikah, sikapnya konservatif dan
berpikiran cerdas namun berpenampilan sederhana. Dia tinggal di pinggiran kota
dengan masyarakat yang penuh sifat iri dan bersaing dalam hal harta dan penampilan.
Berisi orang-orang yang suka pamer, terbelenggu gengsi dan mudah emosi.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Dia bersuami pegawai rendah di lingkungan Pemerintah Daerah dan memiliki
dua anak yang keduanya sudah sekolah menengah atas. Kehidupan keluarganya
tenang dan damai dalam kesederhanaan. Sholikah tiap hari berjualan jajanan yang
dibuatnya sendiri keliling dengan sepeda pancal.<br /> <br />Sholikah masih memegang teguh prinsip-prinsip hidup yang diwariskan oleh
orang tuanya. Sebuah perilaku langka di jaman yang serba tergantung dan instan.
Dia kerap dicemooh oleh tetangganya karena pakaiannya yang sederhana khas
masyarakat desa tempo dulu. Dia tak lepas dari jarit (sinjang) dan kebaya.
Setiap kali mendapat cemoohan tetangga dia hanya tersenyum walau sebenarnya dia
tidak terima. Dia berusaha sabar.<br /> <br />Sepulang berjualan dia selalu menyempatkan merawat tanaman di pekarangan
rumahnya yang sempit. Rumahnya dikelilingi tanaman-tanaman kebutuhan dapur dan
obat yang terawat dan rapi seperti taman. Ada lombok, tomat, jahe, kunyit,
lengkuas, serai dan lain-lain.<br /> <br />ADEGAN<br /> <br />Siang hari di serambi rumah. Ada meja dan kursi tempat santai dan ngobrol
keluarga. Di atas meja ada buku bacaan dan koran.<br /> <br />1. (Sholikah pulang jualan. Masuk dan membongkar belanjaan dari boncengan
sepeda. Setelah selesai membongkar dia duduk sambil mengibas-ibaskan koran yang
diambilnya dari atas meja. Dia memandangi tanaman yang mengelilingi rumahnya.)
Sepertinya lombok harus diganti. (mendekati tanaman lombok dan membelai
daunnya)<br /> <br />2. Besok aku akan beli beberapa bibit lombok untuk menemanimu. Tetaplah
hidup dan berbuah ya... Sabar ya... Jangan marah, setelah 3 temanmu mati aku
tidak segera menggantinya dengan yang baru. Ya.... sabar ya...hm... kamu
kesepian. Eh kan masih ada teman yang lain yang menemanimu menghijaukan
pekarangan rumah ini. (membelai tanaman yang lain)<br /> <br />3. (melihat tanah ada yang kering) Wah sepertinya anakku lupa menyiramimu
pagi tadi. (beranjak mengambil setimba air dan gayung kemudian menyirami
tanaman yang ada)<br /> <br />4. Aku dianggap kuno karena kalian (sambil terus menyiram) Karena baju yang
aku pakai. Aku memang kuno. Sekarang jaman modern dan aku orang kuno di jaman
modern. (menaruh timba dan gayung)<br /> <br />5. (menuju kursi dan mengupas bawang merah, bawang putih dan ketela) Aku
baru tahu ciri-ciri orang modern itu ternyata responnya cepat terhadap segala
sesuatu. Segala perubahannya spontan, tanpa mikir. Latah, ikut-ikutan trend.
Suka mengeluh, suka nyinyir. Dikit-dikit mengeluh, pandai mencemooh, pintar
mencaci, suka menghujat dan mudah terbakar emosinya. Ya! Itu yang kutahu dari
masyarakat yang mengaku modern.<br /> <br />6. Harga beras naik kelabakan, mengeluh, ujung-ujungnya mencaci dan
menghujat pemerintah. BBM naik apalagi... tambah seru. Harga lombok naik,
protes. Harga telor naik, demo. Pokoknya, jika ada harga yang naik pasti
mengeluh, itu ciri khas manusia modern.<br /> <br />7. Makanya sekarang masyarakat mudah sekali dihasut dan mudah diadu domba.
Ah... kenapa mereka aku samakan dengan domba ya? Aduh.... kenapa ya? Ah malah
jadi bingung gara-gara domba.<br /> <br />8. Kalau aku..... Harga lombok mahal ya santai saja. Ada lombok yang bisa
dipetik buat nyambel. Harga sayur naik masih ada yang bisa aku petik. Harga
bumbu naik, pekarangan pun menyediakan. Harga BBM naik (melirik sepeda)
Sepedaku gak butuh. Cukup pancal pedal beres. Tidak perlu mencaci pemerintah,
apalagi menghujat presiden. Yang tidak pecuslah, tidak perduli rakyatlah....<br /> <br />9. Menanami pekarangan ini sudah dilakukan oleh orang-orang jauh sebelum
kita lahir, jauh sebelum orang-orang yang mengaku modern lahir.<br /> <br />10. Itu hasil pemikiran orang-orang jaman dulu. Kita tinggal meniru dan
meneruskan saja kok gengsi. Yang bilang bisa belilah. Ngapain niru orang kuno!
Bisa beli kok sambat. (geleng-geleng kepala)<br /> <br />11. Yo wislah sak karepmu. Kalian anggap kuno. Tapi bagiku, orang-orang
dulu adalah adalah moyang yang bijak dan cerdas menyikapi hidup. Hasil
pemikirannya luar biasa.<br /> <br />12. Tidak seperti orang-orang jaman sekarang yang katanya modern. Menyikapi
hidup dengan menghujat dan mengeluh. Isine mung ngersulo, isone mung maido.
Yo... maido. Kalah apik maido, kalah saingan maido, bedo pilihan maido. Oh
berarti jaman modern itu jaman maido yo? Apa jaman digital? Digigit langsung
diuntal! Tanpa mikir!<br /> <br />BLACK OUT<br />TAMAT<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Ri, 20-12-2015/09:12 <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/karangkitri-naskah-monoplay/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/karangkitri-naskah-monoplay/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-62375046802313028342021-08-22T18:27:00.005-07:002021-08-22T18:27:49.456-07:00tengara.id dan DKJ NET Diluncurkan Dewan Kesenian Jakarta<b>DKJ NET dan Situs Kritik Sastra Tengara.id Resmi Diluncurkan</b><br /> <br />Farah Noersativa, Reiny Dwinanda<br />Republika, 20 Agu 2021<br /> <br />Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menangkap peluang untuk terus berkarya dalam
rangka menembus keterbatasan akibat pandemi. Mereka meluncurkan DKJ NET dan
situs kritik sastra bernama Tengara.id.<br /> <br />“DKJ NET sekaligus menjadi akses publik tambahan untuk produksi pengetahuan
dalam jejaring konten digital kami,” kata Ketua DKJ, Danton Sihombing, dalam
siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (19/8/2021).<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Danton menjelaskan, DKJ NET adalah salah satu inisiatif kolaboratif lintas
komite yang berfungsi sebagai pengembangan lebih lanjut dari kanal-kanal luaran
DKJ yang telah eksis sebelumnya. Melalui DKJ NET, DKJ berupaya mengembangkan
dan meluaskan “Suara Jernih dari Cikini” dalam khazanah ragam pemikiran dan
perspektif seni budaya di Indonesia dan dunia.<br /> <br />Dalam DKJ NET, menurut Danton, ragam luaran pengetahuan dalam kemasan
feature audio visual, acara bincang, maupun kurasi kearsipan akan tersedia. Itu
semua bisa berbentuk video dan podcast dengan perspektif khas DKJ akan tumbuh
dan bernaung di DKJ NET.<br /> <br />Sebagai langkah awal, konten yang diproduksi pada DKJ NET akan berpijak
dari bahan yang selama ini telah ada di/dari/melalui DKJ. Nantinya, platform
dan konten ini akan berkesinambungan serta bersinergi dengan jejaring produksi
konten dari komunitas dan simpul-simpul dalam ekosistem seni di Jakarta dan di
mana pun.<br /> <br />Sementara itu, situs kritik sastra tengara.id adalah upaya lanjutan DKJ
dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan
Indonesia. Situs itu ditujukan untuk menghidupkan tradisi kritik sastra,
terlebih-lebih yang bermutu, baik melalui undangan menulis, sayembara, maupun
atas upaya mandiri seorang kritikus.<br /> <br />“Kritik sastra bukan hanya menjadi jembatan yang menghubungkan karya sastra
dan pengarangnya dengan pembaca, tetapi juga menjadi menjadi pembuktian
keterampilan seni menulis, keterbukaan wawasan dan kehidupan intelektual yang
sehat dan meriah,” kata Danton.<br /> <br />Dengan situs kritik sastra tengara.id, DKJ mengundang sekaligus menantang
kemunculan kritik sastra. DKJ berharap ada pembicaraan karya sastra yang tekun
dan bernas, di samping pembicaraan yang hangat di antara sastrawan tentang
kesusastraan dan soal-soal lain di sekitarnya.<br /> <br />***<br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/dkj-net-dan-situs-kritik-sastra-tengara-id-resmi-diluncurkan/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/dkj-net-dan-situs-kritik-sastra-tengara-id-resmi-diluncurkan/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-72201381764998117972021-08-20T14:59:00.000-07:002021-08-20T14:59:08.839-07:00KLARIFIKASI PRIBADI PERIHAL KONFLIK SATUPENA<p>Kanti W. Janis, SH, LL.M *</p>Sebagai salah satu Sekretaris Jenderal Persatuan Penulis Indonesia disingkat SATUPENA bersama Dr. Mikke Susanto periode 2017-2021, saya menyatakan sebenar-benarnya bahwa tidak pernah ada usaha kudeta atau perebutan kekuasaan atas kepemimpinan Dr. Nasir Tamara.<a name='more'></a><br /> <br />Sebaliknya, saya justru melihat ada pihak-pihak luar yang berusaha memecah persatuan para penulis di Satupena. Pihak (atau pihak-pihak) ini menggandeng banyak nama besar, lalu mengecilkan keberadaan para pengurus dan anggota yang telah di dalam Satupena sejak kongres Solo 2017. Kemudian pihak ini menyebarkan isu bahwa Mikke Susanto mau kudeta Nasir Tamara.<br /> <br />Fitnah ini ditiupkan ketika para pengurus, termasuk saya, mengingatkan Nasir Tamara sebagai ketua umum agar segera mengadakan kongres, karena kepengurusan sudah berakhir di bulan April 2021. Pembicaraan ini sebenarnya telah saya sampaikan sejak akhir 2020.<br /> <br />Saya masuk Satupena ketika organisasi penulis ini sudah terbentuk, dilahirkan melalui sebuah kongres. Elsinta Marsden adalah orang pertama yang mengajak saya, kemudian mempertemukan kepada Nasir Tamara. Semua serba kebetulan. Saya mau bergabung karena katanya Satupena adalah serikat para penulis, dengan agenda jelas, yaitu memperjuangkan hak-hak penulis. Seperti perlakuan pajak yang adil, perlindungan dari pembajakan, perlindungan kebebasan berekspresi dan sebagainya. Sebagai catatan, sebelum menjadi advokat, saya sudah lebih dulu menjadi novelis. Novel pertama saya terbit saat masih kuliah SH pada tahun 2006.<br /> <br />Namun, semakin mendalami dunia kepenulisan, saya melihat banyak lubang dalam ekosistem kepenulisan yang berdampak pada rendahnya kesejahteraan penulis.<br /> <br />Karena itu saya bertekad untuk memperbaiki dulu ekosistem kepenulisan, baru kembali tenang berkarya. Jika tidak begitu apresiasi terhadap penulis akan terus rendah. Tentu ajakan berserikat dengan para penulis lain bagaikan gayung bersambut. Di dalam kenaifan saya, inilah saatnya membela nasib penulis bersama-sama.<br /> <br />Kemudian atas permintaan Mikke Susanto disetujui Nasir Tamara, saya diminta membantu menjadi salah satu sekretaris karena Mikke berdomisili di Yogyakarta, saya di Jakarta, dan saat itu ia sedang menyelesaikan program doktoralnya di UGM. Pada hari itu di tengah perhelatan Indonesia International Book Fair 2017, saya beserta pengurus lain, diantaranya Kristin Samah, Mikke Susanto, Candra Darusman dilantik oleh Kepala Bekraf Triawan Munaf. Semua proses begitu cepat. Sehingga tanpa pernah melihat dokumen hukum seperti Berita Acara kongres maupun Anggaran Dasar Satupena, saya menjadi Sekjen.Tidak ada SK pengangkatan, baik untuk saya maupun pengurus lain, sampai hari ini. Daftar pengurus itu begitu panjang, bertaburan nama terkenal, mesti praktiknya hanya 3-4 nama yang aktif.<br /> <br />Nama-nama para pengurus dan jabatannya hanya disirkulasi melalui grup WhatsApp oleh Nasir Tamara dan belakangan di website satupena.id. Pada sirkulasi itu jelas disebut tahun kepengurusan adalah 2017-2021.<br /> <br />Berikutnya, secara lisan Nasir Tamara menyampaikan bahwa kepengurusan ini adalah 4 tahun, sejak April 2017-April 2021, ini pun tidak pernah disanggah anggota maupun pengurus lain. Sehingga telah menjadi pemahaman kolektif di antara kami. <br /> <br />Logika ini terbangun karena kongres Satupena Solo diadakan pada tanggal 26-28 April 2017. Jika kepengurusan dinyatakan untuk 4 tahun, silakan berhitung sendiri kapan seharusnya pergantian kepengurusan dilakukan?<br /> <br />Sehingga tuduhan mau mengkudeta, merebut kekuasaan sangat berlebihan. Saya tekankan, periode kepengurusan ini sudah jatuh tempo. Apalagi setelah mempelajari Berita Acara dan Anggaran Dasar semakin jelas, bahwa perkumpulan memiliki kewajiban mengadakan rapat anggota setiap tahun paling lambat pada bulan Maret.<br /> <br />Jika membedah AD versi notaris lebih dalam, akan terlihat banyak bolong, sangat problematik dan berbeda jauh dengan hasil kongres Solo 2017.<br /> <br />Terlepas dari perbedaan AD Solo dengan AD notaris, jelas bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Rapat Anggota, bukan pada ketua umum. Serta jelas selama ini pengurus telah mengabaikan kewajiban mengadakan Rapat Anggota tahunan, selama 4 tahun tidak pernah diadakan Rapat Anggota.<br /> <br />Apalagi memenuhi kewajiban yang lain, yaitu membuat Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan dan Keuangan.<br /> <br />Baik pengurus maupun anggota tidak ada yang kritis mengenai ini. Jangankan rapat anggota, rapat pengurus atau komunikasi antar pengurus saja jarang dilakukan.<br /> <br />Sebagai informasi, memperoleh AD notaris yang lengkap bukan hal mudah, bahkan Imelda Akmal salah satu pendiri dan juga pihak yang ikut menandatangani pendirian akta kesulitan memperoleh salinan.<br /> <br />Beberapa kali ia meminta kepada saya, dan saya tidak memegang dokumen itu. Saya hanya bisa menyarankan agar ia meminta langsung kepada ketua. Bahkan hingga detik ini saya belum pernah melihat SK pengesahan yang utuh.<br /> <br />Permulaan, rapat pengurus masih dilakukan, tapi hasil-hasil rapat tidak dieksekusi, atau bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kehendak ketua. Saya sebagai Sekjen sudah tidak bisa mengikuti lagi apa saja kegiatan dan pengeluaran yang dilakukan ketua atas nama organisasi.<br /> <br />Termasuk mekanisme rekrutmen anggota yang sebenarnya sudah ada aturan dan sistem baku, namun akhirnya hanya atas preferensi ketua. Nama kontroversial seperti Denny JA, yang telah membuat gaduh dunia sastra pada 2014 tiba-tiba dimasukkan.<br /> <br />Soal keputusan strategis tidak pernah dibicarakan. Nyaris saja organisasi mengadakan sertifikasi untuk penulis ala BNSP. Rencana yang saya tolak keras, karena prematur, belum dibahas tuntas. Akibat penolakan ini saya dinonaktifkan sebagai admin WhatsApp Satupena baik di grup komunitas maupun pengurus. Dua pengurus lain malah dikeluarkan dari grup.<br /> <br />Praktiknya kegiatan yang ada jauh dari serikat, 80% kegiatan adalah audiensi ke pejabat dan acara bincang-bincang.<br /> <br />Lalu soal keuangan, mengapa penting untuk dilaporkan. Satupena adalah perkumpulan yang memungut iuran anggota tahunan, juga menerima donasi anggota. Satupena juga beberapa kali menerima dana dari Bekraf. Sehingga sudah menjadi kewajiban untuk memberikan laporan keuangan yang akuntabel. Kewajiban ini yang ingin saya dan teman-teman tuntaskan di akhir masa kepengurusan. Bukan soal besar atau kecil jumlahnya, uang Satupena adalah amanah anggota. Kita tidak pantas protes kelakuan korup para pejabat sementara kita sendiri masih sembarangan mengelola uang organisasi.<br /> <br />Lalu demi menuju pergantian kepengurusan yang mulus dan gembira, diadakanlah rapat Badan Pengurus untuk membentuk panitia Kongres II Satupena.<br /> <br />Seyogyanya Kongres akan diadakan pada tanggal 15-17 Agustus 2021. Tetapi, ada pihak yang berteriak-teriak kongres tidak sah, ia berargumen di AD notaris tidak ada istilah kongres. Pihak ini juga teriak-teriak bahwa Satupena adalah paguyuban, tidak perlu ada pergantian kepengurusan apalagi LPJ. Ia mengarahkan agar organisasi jadi tempat kumpul informal. Tentu saja ini sudah jauh dari serikat. Dan jika itu tujuan awalnya untuk apa membuat Perkumpulan Berbadan Hukum? Untuk apa kongres? Untuk apa bicara tentang kebijakan? Buat saja grup arisan penulis antar RT.<br /> <br />Lalu panitia akhirnya menyepakati kata kongres ini hanya masalah istilah, sebenarnya memiliki fungsi sama dengan Rapat Umum Anggota. Namun, tiba-tiba panitia yang sudah dibentuk SC dan OC, nama-namanya diubah oleh Nasir Tamara, tentu tanpa rapat Badan Pengurus atau pemberitahuan. SC versi Nasir mengeluarkan rekomendasi bahwa kongres ditunda menjadi 2022. Ini sangat mengejutkan.<br /> <br />Nasir Tamara juga menolak mengeluarkan dana untuk kongres dari kas organisasi. Permintaan kecil untuk berlangganan aplikasi rapat virtual organisasi saja ditolak. Padahal sebelumnya ia telah mengedarkan permintaan patungan dana untuk organisasi yang antara lain untuk biayai kongres. <br /> <br />Nama-nama besar terus diseret dalam pusaran ini. Mereka hanya tahu 1/4 cerita. Sebut saja nama Jaya Suprana, Chappy Hakim, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Ilham Bintang, dll. Seolah keberadaan para nama super itu menjadi legitimasi bagi mantan ketua umum Satupena melakukan apa saja, karena orang super sudah pasti super benar. Saya sendiri cukup kecewa ketika beberapa sosok super itu tidak berusaha mencari kebenaran dari dua sisi. Bukankah di dalam setiap konflik selalu ada dua cerita? Padahal saya berharap banyak bahwa mereka bisa berlaku bijaksana. Setidaknya tidak ikut gelanggang, toh, mereka juga baru masuk grup WhatsApp Satupena belakangan.<br /> <br />Saya perlu tambahkan juga, kami para anggota badan pengurus sudah berusaha mengadakan rapat internal terkait penyusunan laporan keuangan. Tapi secara mendadak, Nasir Tamara malah menghadirkan nama-nama super. Sekali lagi Azyumardi Azra, Chappy Hakim, Komarudin Hidayat, Ilham Bintang, Wina Armada diboyong. Format acara nyaris diubah menjadi FGD, Lukas Luwarso yang awalnya dihadirkan sebagai mediator seketika itu dinyatakan sebagai narasumber oleh Nasir Tamara. Ia malah dipaksa bercerita tentang konflik AJI, sebagai mantan ketua. Heran kami dibuatnya. Akhirnya rapat itu tidak berjalan mulus, hingga hari ini tidak jelas soal pemasukan dan pengeluaran organisasi. Malah pada rapat itu Mikke Susanto kembali dituduh mau mengkudeta.<br /> <br />Mikke yang selama ini bersabar tidak pernah bicara ke publik pada hari itu, 16 Juni 2021, buka suara dan menjelaskan semuanya. Tapi ia malah dipecat secara sepihak oleh Nasir Tamara. Padahal mekanisme pemecatan juga belum pernah diatur.<br /> <br />Akhirnya karena niat dan usaha melaksanakan penyegaran organisasi secara mulus terus menerus dijegal, para anggota Satupena mengirim permintaan Rapat Luar Biasa Anggota (RLBA).<br /> <br />Permintaan dikirimkan sesuai kuota minimal yang diatur dalam AD. Rapat Luar Biasa Anggota ini diminta dan dihadiri para penulis ternama seperti Dewi Dee Lestari, Trinity, A. Fuadi, Alberthiene Endah, Bambang Harymurti, Dhia Prekasa Yoeda, Farid Gaban, Sekar Ayu Asmara, Sihar Ramses Simatupang, Benny Arnas, Debra Yatim, Prof Djoko Saryono, Ayu Utami, Candra Malik, Djoko Lelono, Feby Indirani, FX Mudji Sutrisno, Kurnia Effendi, Maman Suherman, Okki Madasari, Pinto Anugrah, Muhidin M. Dahlan dan ratusan lain.<br />Tapi permintaan ini ditolak oleh Nasir Tamara. Menanggapi penolakan permintaan Rapat Luar Biasa Anggota, maka masih sesuai AD, para pemohon dapat menyelenggarakan rapat sendiri.<br /> <br />Rapat itu pun diadakan pada tanggal 1 dan 8 Agustus 2021. Dan terbentuklah Presidium Satupena 2021-2026 dengan para ketuanya yaitu, S. Margana, Mardiyah Chamim, Imelda Akmal, Geger Riyanto, dan Putu Fajar Arcana.<br /> <br />Penyelenggaraan rapat luar biasa bukan tanpa gangguan. Nasir Tamara mensomasi para penyelenggara rapat dengan menunjuk sebuah kantor pengacara. Tapi somasi tersebut dilayangkan kepada para penyelenggara bukan atas nama pribadi, melainkan atas nama Satupena. Bagaimana mungkin mengatasnamakan Satupena tanpa ada satu pun pengurus yang diajak rapat, atau memberi kuasa kepadanya?<br /> <br />Selain itu bermunculan di media online judul-judul berita berbunyi Rapat Luar Biasa Anggota Ilegal, Usaha Mengkudeta Nasir Tamara, dan penggiringan opini lain seolah kami ini yang meminta RLBA, yang meminta LPJ, meminta kepastian organisasi adalah anggota anonim haus kekuasaan.<br /> <br />Lebih mengenaskan sederet nama besar seperti gubernur Lemhanas Agus Widjojo, Asvi Warman Adam, Gemala Hatta, Fachry Ali, Komarudin Hidayat, dll, namanya disertakan di dalam rilis-rilis itu sebagai pendukung Nasir Tamara. Ketika saya mintakan klarifikasi mereka menyatakan tidak tahu menahu serta tidak mau terlibat.<br /> <br />Sungguh mengejutkan mereka yang selama ini tidak pernah aktif di organisasi, tiba-tiba muncul berteriak-teriak seolah paling berjasa, paling sibuk, paling tahu.<br /> <br />Maaf ya, selama empat tahun ini kalian ke mana saja? Selama menyiapkan berbagai acara saya tidak pernah melihat peran kalian. Saya yang rapat di hadapan Parekraf dan Badan Pusat Statistik Indonesia meminta agar KBLI penulis dibuat sendiri, terpisah dari penerbit. Saya yang menulis deskripsi untuk KBLI 90024. Mungkin kalian juga tidak tahu fungsi KBLI dan implementasinya. Tidak usah diaku-aku itu kerja kalian. Seolah berkat jerih payah kalian sekarang profesi penulis diakui secara independen.<br /> <br />Sekali lagi tuduhan kudeta dan perebutan kekuasaan di Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) oleh Mikke Susanto dkk, adalah lelucon paling konyol tahun ini. Jika setiap aspirasi anggota meminta Rapat Anggota dituduh sebagai kudeta hilang sudah demokrasi di tiap organisasi masyarakat.<br /> <br />Klaim-klaim pembenaran atas tuduhan ada usaha perebutan kekuasaan dari Nasir Tamara dibesar-besarkan melalui media. Di era digital ini kita sama-sama bisa mengukur akurasi isi sebuah berita dan etika para pembuatnya. Berita dibuat berdasarkan klaim, bukan berdasarkan objektivitas.<br /> <br />Ingat, judul berita bukan fakta, opini bukan fakta. Tidak bisa dijadikan pembenaran. Hentikan pembodohan publik, hentikan memecah-belah dunia kepenulisan yang masih terpuruk ini.<br /> <br />17 Agustus 2021<br /><p class="MsoNormal">*) Penulis dan Advokat, Sekjen Satupena 2017-2021 <span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/klarifikasi-pribadi-perihal-konflik-satupena/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/08/klarifikasi-pribadi-perihal-konflik-satupena/</span></a></span></p>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-43492762139991392912021-08-20T03:59:00.002-07:002021-08-20T03:59:21.268-07:00Denny JA adalah Muncikari yang Harus Dibunuh!<p><b>Denny JA, Kejahatan Intelektual, Pembodohan Sejarah Sastra Indonesia, Perusak Peradaban!</b></p><br /><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-6jBqTHa9agY/YR-IHhX7WlI/AAAAAAAACyw/wgbgjonwyjkE6mJ8u_zV2CoqAx3d2DHYACLcBGAsYHQ/s448/Denny%2BJA%252C%2BKejahatan%2BIntelektual%252C%2BPembodohan%2BSejarah%2BSastra%2BIndonesia%252C%2BPerusak%2BPeradaban%2521%252C%2Bfoto%2Bsatuhatisumutdotcom.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="252" data-original-width="448" height="180" src="https://1.bp.blogspot.com/-6jBqTHa9agY/YR-IHhX7WlI/AAAAAAAACyw/wgbgjonwyjkE6mJ8u_zV2CoqAx3d2DHYACLcBGAsYHQ/s320/Denny%2BJA%252C%2BKejahatan%2BIntelektual%252C%2BPembodohan%2BSejarah%2BSastra%2BIndonesia%252C%2BPerusak%2BPeradaban%2521%252C%2Bfoto%2Bsatuhatisumutdotcom.jpeg" width="320" /></a></div><div>Muhammad Yasir<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Denny JA adalah Jim Colosimo atau “Big Jim” versi Indonesia. Jika Big Jim terkenal dengan bisnis prostitusi, gelamoritas, butiran batu mulia, revolver berhias berlian, dan pembunuhan, Denny JA lebih suka bisnis prostitusi dan membantu para politisi berkuasa di Indonesia. Dia mendirikan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA untuk membantu pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perebutan kursi presiden pada Pemilu 2004 dan berhasil mendepak Megawati Soekarnoputri.<br /> <br />Bahkan, TIME Magazine tidak segan-segan memberikan penghargaan terhadap 17 tahun kiprah LSI Denny JA dan dianggap memecahkan rekor dunia World Guiness Book of Record dan mendapat penghargaan dari Twitter Inc, karena kemampuannya memenangkan presiden langsung empat kali berturut-turut, 33 gubernur, dan 95 bupati/walikota. Serentetan penghargaan yang diberikan oleh pelbagai sisi ini menunjukan Denny JA tidak bisa dianggap sebagai seseorang yang remeh-temeh, baik sebagai bandit maupun muncikari.<br /> <br />ANTARA News, sebuah media massa nasional, pada bulan Januari 2018 menerbitkan sebuah berita yang bertajuk “Sastrawan: 2018 jadi kelahiran angkatan puisi esai” yang mengulas secara singkat tentang apa, siapa, kapan, mengapa, dan bagaimana Denny JA menjadi sosok “sastrawan” yang membuat dobrakan terbaru dalam dunia Sastra Indonesia dengan melahirkan satu genre baru karya sastra, yaitu puisi esai.<br /> <br />Dalam wawancaranya dia mengatakan, 2018 menjadi tonggak kelahiran angkatan puisi esai. Angkatan puisi esai berisi 170 orang - termasuk Sujiwo Tedjo: Presiden Djancukers sampah! - dari kalangan penyair, penulis, aktivis, peneliti, dan jurnalis dari Aceh hingga Papua.<br /> <br />Tentu saja, angkatan puisi esai telah melahirkan standar-standar puisi esai, seperti bahwa puisi esai memiliki ciri menampilkan fakta dan fiksi tentang kehidupan sosial, bahwa puisi esai harus mengandung 2000 kata, bahwa setiap puisi esai memiliki 10 catatan kaki tentang fakta kehidupan sosial berupa hasil riset sebagai sumber informasi, bahwa puisi esai memiliki nilai dramatik dan hubungan pribadi seperti cerita pendek yang “dipuisikan”, dan bahwa puisi esai (hanya) lahir saat momen yang sama sebagai penanda sebuah masa karya generasi sastra (?).<br /> <br />Kelahiran angkatan puisi esai ini bukan tanpa korban. Pada tahun 2015, Sastrawan Saut Situmorang ditangkap di rumahnya, di Yogyakarta, karena dituduh melakukan tindak “pencemaran nama baik” salah seorang “penyair perempuan” yang juga hidup dalam prostitusi milik Denny JA, di Facebook.<br /> <br />Kejahatan intelektual ini bermula dari kelahiran buku pembodohan sejarah Sastra Indonesia, yaitu “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” yang disusun secara khusus oleh Tim 8 alias pelacur khusus dan kesayangannya: Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah nama-nama yang harus dicatat dalam daftar perburuan!<br /> <br />Denny JA dan pelacur-pelacur yang dia pelihara dalam prostitusinya memenangkan pertarungan itu dengan menyogok hukum untuk melegitimasi dirinya sebagai “tokoh sastra paling berpengaruh”.<br /> <br />Namun apakah Saut Situmorang dan orang-orang yang memburu Denny JA benar-benar kalah? Tidak. Komitmen memerangi para medioker dan parasite dalam Sastra Indonesia itu tetap tumbuh dan mengakar. Apakah Denny JA dan pelacur-pelacurnya diterima dalam dunia Sastra Indonesia?<br /> <br />Ya! Karena banyak sekali orang yang mendaku diri mereka sebagai pegiat sastra, penulis sastra, aktivis sastra, dan akademisi sastra memilih diam dan diam-diam menjadi pelacur pula dalam dunia Sastra Indonesia dan karena tidak banyak orang yang benar-benar mencintai Sastra Indonesia! Bukankah demikian? Bukankah engkau lebih menyukai memprioritaskan eksistensi dirimu belaka ketimbang berjuang untuk Sastra Indonesia?!<br /> <br />Baru-baru ini, Big Jim versi Indonesia ini kembali berulah. Dengan kekayaannya sebagai muncikari, dia membeli penghargaan Lifetime Achievement Award dari Persatuan Penulis alias Satupena. Kemudian, selanjutnya dia terpilih sebagai Ketua Satupena. Semua terjadi begitu saja. Akan tetapi, jika menelisik Lifetime Achievement Award kita akan menemukan kejanggalan ini: bahwa penghargaan untuk seseorang yang yang berkarya di bidangnya minimal 40 tahun, sementara bisnis prostitusinya bahkan belum berumur satu dekade!<br /> <br />Dan, meskipun sebagian anggota Satupena menulis pernyataan tentang kejadian memalukan itu, mereka pun tidak memiliki kemampuan membantah atau menghalang-halangi kemampuan Big Jim! Dan, lihatlah! Bagaimana dia dan pelacur-pelacurnya merayakan kemenangan mereka! Sementara, Dewan Kesenian dan Balai Bahasa dan Sastra hanyalah kumpulan kambing yang mengembek; harap-harap di tahun yang mengerikan ini mendapat proyek-proyek menguntungkan tentang Kesenian dan Sastra Indonesia!<br /> <br />Engkau, Denny JA alias Jim Colosimo alias Big Jim versi Indonesia, silakan dengan kekayaanmu membeli jiwa-jiwa pelacur untuk memenuhi setiap sudut bisnis prostitusimu! Silakan engkau klaim dirimu sebagai manusia yang menulis dan menerima seribu penghargaan!<br /> <br />Tetapi, engkau tidak akan bisa lari dari kebenaran, bahwa yang engkau lakukan adalah kejahatan intelektual, pembodohan sejarah Sastra Indonesia, dan merusak peradaban! Engkau tidak akan bisa lari dari tajamnya hari pembalasan yang akan membunuh dan memenggal kepalamu! Sogoklah hukum untuk melindungimu dan menangkap penulis-penulis yang berkomitmen untuk mempertahankan nilai-nilai Sastra Indonesia! Suatu saat, akan tiba kepadamu penulis-penulis itu dan mencincang mayatmu!<br /> <br />Gresik, 2021.<br /><p class="MsoNormal"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/</a></p></div></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-30612442592970871562021-08-19T19:13:00.008-07:002021-08-19T19:13:58.144-07:00FORMALISME RUSIA: BEBERAPA TESIS, TANGGAPAN, DAN CATATAN KAKI •)Moh. Syafari Firdaus<br /> <br />Terlahir dari sekelompok teoritisi yang menamakan dirinya Opayaz,
Formalisme Rusia (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut “kaum formalis”)
dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi
perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap,
gagasan-gagasan yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori
sastra modern[1]. Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo
Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di dalamnya. Dengan
“metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra
kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Boris Eichenbaum memberi penegasan, kaum formalis dipersatukan oleh adanya
gagasan untuk membebaskan diksi puitik dari kekangan intelektualisme dan
moralisme yang diperjuangkan dan menjadi obsesi kaum simbolis. Mereka berusaha
untuk menyanggah prinsip-prinsip estetika subjektif yang didukung kaum simbolis
(yang bersandar pada teori-teorinya Alexander Potebnya, seorang filologis Rusia
yang terpengaruh Willhelm von Humboldt) dengan mengarahkan studinya itu pada
suatu investigasi saintifik yang secara objektif mempertimbangkan
fakta-fakta[2]. Di sisi ini, buah pikir dan gagasan kaum formalis tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan para penyair Futuris Rusia yang kemunculan
karya-karyanya pun merupakan reaksi untuk melakukan perlawanan terhadap poetika
kaum simbolis tersebut.<br /> <br />Prinsip yang mendasari studi kaum formalis bukan dititikberatkan pada,
“bagaimana sastra dipelajari”; melainkan lebih merujuk pada “apa yang
sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu
sendiri.” Bagi kaum formalis, sebagaimana yang ditegaskan Jakobson, “objek ilmu
sastra bukanlah (kesu)sastra(an), melainkan kesastraannya (literariness)?yaitu
yang menjadikan sebuah karya bisa disebut sebagai karya sastra.” Sedangkan di
sisi lain, Eichenbaum menjelaskan bahwa karakteristik dari (cara kerja) kaum
formalis hanyalah berusaha untuk mengembangkan ilmu sastra secara tersendiri,
yang studinya lebih dikhususkan pada bahan-bahan kesastraan (literary
material); mereka hanya menyarankan untuk mengenali fakta-fakta teoritis yang
tersimpan di dalam seni sastra. Dalam hal ini, ide dan prinsip (dari studi)
kaum formalis tersebut diarahkan untuk menuju pada suatu teori umum estetika.<br /> <br />Dengan demikian, kaum formalis sebenarnya mulai mencoba untuk melepaskan
studi sastra dari hal-hal lain yang berdiri di luar dirinya. Mereka melihat
sastra sebagai sebuah entitas otonom; (hanya) sebatas “poetika”. Dengan
karakteristik gerakannya yang mereka sebut berusaha untuk menumbuhkan gairah
baru bagi positivisme saintifik, mereka menolak setiap bentuk interpretasi
terhadap karya sasra yang dikaitkan dengan asumsi filosofis, psikologis,
estetis, dls.. Bagi mereka, seni harus dipertimbangkan terpisah dari estetika
filosofis maupun teori-teori ideologis. Maka dari itu, mereka pun lebih memilih
untuk menempatkan (objek) studi sastra secara spesifik pula yang keberadaannya
bisa terbedakan dari objek ilmu-ilmu lainnya.<br /> <br />Kedekatan metode formal yang digagas kaum formalis dengan keberadaan ilmu
lain hanyalah dengan linguistik. Hal ini menjadi bisa dimungkinkan karena
linguistik merupakan ilmu yang bersentuhan (secara langsung) dengan “poetika”
yang menjadi titik perhatian bagi (objek) studi mereka. Kendatipun demikian,
kaum formalis ini memang boleh dikatakan mendekati linguistik dari perspektif
dan permasalahan yang berbeda. Hal ini setidaknya terlihat dari ketertarikan
mereka terhadap linguistik dalam relevansinya dengan bahasa yang menjadi sarana
artikulasi sastra. Dalam hal ini, kaum formalis menyikapi komponen-komponen
linguistik yang tersedia di dalam bahasa (fonetik, morfem, sintaksis, maupun
sematik; begitu pun halnya dengan ritma, rima, matra, akustik/bunyi, aliterasi,
asonansi, dls.) [3] sepanjang hal itu dimanfaatkan (oleh pengarang[4]) sebagai
sarana untuk mencapai tujuan “artistik” (untuk menghasilkan efek-efek estetik).
Perhatian pada kata-kata nonsens dalam karya-karya para penyair futuris Rusia
sebagaimana yang dianalisis oleh Shklovsky, misalnya, bisa ditunjuk sebagai
contoh dalam kaitannya dengan masalah tersebut.<br /> <br />Persoalan yang berkaitan dengan masalah bahasa, pada dasarnya telah
dikedepankan oleh kaum formalis ketika mereka memandang perlu untuk membedakan
berbagai ragam (pemakaian) bahasa. Di sini mereka telah membedakan antara ragam
bahasa puitik dengan bahasa praktis/prosais (Jakubinsky)[5] dan ragam bahasa
puitik dengan bahasa emotif/emosional (Jakobson). Dalam pandangan mereka,
pembedaan tersebut menjadi sangat penting karena masing-masing ragam
(pemakaian) bahasa itu memiliki dan menyediakan konteks/tujuan, fungsi[6],
nilai, dan hukum-hukumnya sendiri.<br /> <br />Gagasan perihal bentuk (form) dan isi (content) yang dikedepankan kaum
formalis mulai menyingkirkan pandangan tradisional yang melihat bentuk
semata-mata hanyalah “kemasan” untuk isi. Bagi kaum formalis, bentuk merupakan
sesuatu yang komplet, konkret, dinamis, dan berdiri sendiri. Kaum formalis
memahami bahwa bentuk membawahi “makna” pula; bila bentuk diubah, maka isi pun
secara otomatis akan berubah. Dengan kata lain, aspek bentuk ini akan bisa
mendeterminasi isi[7].<br /> <br />Korelasi lebih lanjut dari ketertarikan kaum formalis pada aspek bentuk ini
adalah dengan gagasan mengenai teknik[8]. Dalam hal ini kaum formalis
berpandangan bahwa persepsi bentuk merupakan hasil dari pengoperasian
teknik-teknik artistik khusus yang memaksa pembaca untuk memperhatikan
kehadiran bentuk tersebut. Selain untuk kebutuhan artistik, dalam pandangan
kaum formalis keberadaan teknik pun diperlukan untuk membuat objek (yang
dideskripsikan) “sulit dikenali”, menjadikannya tidak lazim, dan memperpanjang
persepsi (pembaca) karena proses persepsi merupakan akhir estetika dalam
dirinya dan mesti diperluas[9].<br /> <br />Teori mengenai plot dan fiksi mesti dicatat pula sebagai gagasan yang cukup
penting yang dikedepankan oleh kaum formalis. Konstruksi plot menjadi subjek
dasar dari kaum formalis semenjak plot didapati menyimpan kekhasan dalam seni
naratif[10]. Dalam analisisnya, Shklovsky menunjukkan kehadiran sarana khusus
dari “konstruksi plot” dan hubungannya terhadap sarana stilistik umum dalam
berbagai keragaman bahan, yang kemudian disebutnya sebagai skaz[11]. Dalam
kaitannya dengan masalah ini Shklovsky sekaligus menyingkirkan pandangan
sebelumnya yang memandang plot sebagai sinonim dari cerita (story). Bagi
Shklovsky, cerita hanyalah bahan untuk memformulasikan plot; sementara plot itu
sendiri menempati posisinya sebagai struktur.<br /> <br />Dalam perkembangan selanjutnya, kaum formalis mulai melirik pada masalah
perkembangan sastra dan sejarah sastra. Perubahan studi mereka pada wilayah
sejarah sastra bukanlah ekspansi sederhana; hal itu dihasilkan dari
perkembangan konsep mereka perihal bentuk[12]. Mereka menemukan bahwa mereka
tidak dapat melihat karya sastra dalam isolasi; bentuknya harus dilihat dengan
latar belakang karya lain daripada lewat bentuk yang ada pada dirinya
sendiri[13]. Sementara itu, di dalam studi sejarah sastra itu pun mereka
agaknya tetap pada karakteristinya untuk tidak hanya menurunkan konklusi
historis, namun konklusi teoritis juga; mereka mengedepankan masalah teoritis
baru untuk sekaligus menguji yang lama.<br /> <br />Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal
yang mendalami suatu karakter khusus dengan tetap mempertahankan
independensinya, terlepas dari kultur lainnya. Mereka tetap membatasi secara
khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin berusaha untuk
tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung?pada hubungan dan karespondensi
yang tidak terbatas?yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah
bisa menjelaskan perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak
mengedepankan pertanyaan perihal biografi dan psikologi (pengarang)?yang bagi
mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks. Mereka hanya tertarik pada
masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan, sejauh hal
itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi
mereka, fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa
personalitas–studi sastra sebagai fenomena sosial yang terbentuk sendiri[14].<br /> <br />Sejumlah gagasan yang dikedepankan oleh kaum formalis, dalam beberapa hal
dipandang masih menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Setidaknya ini dicatat oleh
Leon Trotsky. Meskipun Trotsky mengakui bahwa gagasan-gagasan yang diajukan
oleh kaum formalis itu menyimpan nilai penting, namun Trotsky menyikapi kaum
formalis sebagai sebuah kelompok yang arogan dan tidak matang. Trotsky yang
melihatnya dari perspektif materialisme-Marxis, pada intinya menilai bahwa
gagasan kaum formalis sama sekali mengabaikan kompleksitas
sosial-kemasyarakatan yang menjadi basis dari energi penciptaan, dan tempat
karya itu hadir di tengah lingkungan masyarakatnya. Dengan dialektika
materialistiknya itu, Trotsky menyikapi bahwa dari sudut pandang
historis-objektif karya seni selalu berperan sebagai abdi sosial dan berfaedah
dalam sejarahnya. Di sisi ini, Trotsky mencermati jika kaum formalis agaknya
hanya menunjukkan kepercayaannya pada “kesaktian kata-kata”, sehingga tidak
bisa membawa gagasan perihal seninya itu pada konklusi yang logis; mereka hanya
memperlihatkan bahwa proses kreasi puitik seolah-olah telah cukup hanya dengan
mempersoalkan kombinasi bunyi dan sederetan kata-kata, yang pada gilirannya
akan bisa terselesaikan pemecahannya itu lewat suatu “formulasi puitik”
sebagaimana kombinasi dan permutasi aljabar.<br />***<br /> <br />•) Catatan mengenai Formalisme Rusia yang saya tulis ini merupakan resume
dari hasil bacaan, terutama, atas esai Art as Technique-nya Victor Shklovsky,
The Theory of the “Formal Method”-nya Boris Eichenbaum, dan The Formalist
School of Poetry and Marxism-nya Leon Trotsky. Kendatipun kedua esai yang
disebut pertama merupakan dua esai terpenting yang menandai gerakan dan sederet
gagasan Formalisme Rusia, namun tidak urung—dengan hanya bertolak dari dua esai
itu—ada beberapa gagasan penting yang dikedepankan kaum formalis, menjadi tidak
bisa terketengahkan dalam catatan ini: gagasan perihal “konsep dominan” yang
dilontarkan Roman Jakobson, misalnya. Adapun esai Trotsky kehadirannya menjadi
cukup penting dalam hubungannya dengan gerakan Formalisme Rusia berkenaan dengan
sejumlah pandangannya yang mengkritik teori yang dirumuskan oleh kaum formalis
tersebut.<br /> <br />[1] Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, dkk. menyebut
secara tegas hal tersebut. Sebutan itu agaknya memang menjadi tidak terlalu
berlebihan. Gerakan otonomi dengan kecenderungan telaahnya yang
“objektif-ergosentris” memberi ciri saintifik yang diperlukan bagi studi
akademis. Teori Strukturalisme yang kemudian berkembang pun banyak mengadopsi
gagasan-gagasan Formalisme Rusia (sehingga Formalisme Rusia ini sering disebut
pula sebagai proto-strukturalisme). Sementara itu, jika kita mencermati
buku-buku teks teori sastra (terutama yang membahas secara
historiografis-kronologis), maka kita (hampir) akan selalu mendapatkan bahasan
mengenai Formalisme Rusia hadir pada bagian (paling) awal.<br /> <br />[2] Dalam hal ini, fakta awal yang didapatkan kaum formalis adalah adanya
perbedaan antara bahasa puitik dan bahasa praktis. Dalam pandangan Shklovsky,
telaah puitika saintifik haruslah dimulai secara induktif dengan membangun
sebuah hipotesis yang mengakumulasikan bukti. Hipotesis tersebut adalah bahwa
bahasa puitik dan bahasa prosaik (praktis) itu ada, bahwa hukum-hukum yang
membedakannya ada, dan akhirnya, perbedaan-perbedaannya itulah yang dianalisis.<br /> <br />[3] Hal-hal yang berkaitan dengan komponen-komponen linguistik dan
bahan-bahan kesastraan yang tersedia di dalam bahasa sebenarnya mendapatkan
perhatian yang serius dari kaum formalis. Berbagai analisis dan telaah
mengenainya kemudian menghasilkan gagasan-gagasan yang cukup signifikan dalam
perkembangan studi dan teori mereka. Satu yang bisa dicatat di sini adalah
gagasan mengenai ritme yang dipandang sebagai unsur pembangun dari puisi secara
keseluruhan yang mengantar untuk memahami puisi sebagai suatu bentuk ungkapan
khusus yang menyimpan ciri-ciri linguistik secara khusus pula (dilihat secara
sintaktikal, leksikal, maupun semantis).<br /> <br />[4] Pengarang yang dimaksud oleh kaum formalis di sini adalah hanya sebatas
motivasi individu yang (secara distinktif) memanfaatkan dan mengolah bahan dan
sarana kesastraannya—demikian pula halnya dengan teknik—di dalam karyanya,
dengan tidak memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan biografi maupun
psikologi pengarang itu sendiri.<br /> <br />[5] Persoalan yang berkaitan dengan pembedaan antara bahasa puitik dengan
bahasa praktis yang dikedepankan Jakubinsky ini tampaknya merupakan titik
keberangkatan dari kelahiran gagasan-gagasan kaum formalis. Dalam esai
Shklovsky maupun Eichenbaum, masalah perbedaan ini begitu kerap disinggung.
Shklovsky, misalnya, bertolak dan mengedepankan perbedaan antara bahasa puitik
dan bahasa praktis/ prosais ketika ia mengajukan keberatan dan penolakannya
atas teori-teorinya Potebnya. Dalam hal ini, Shklovsky memandang, citraan
(simbolisasi) bukanlah merupakan perbedaan yang spesifik di antara bahasa
puitik dan bahasa praktis sebagaimana yang dipahami kaum simbolis
(puisi=citraan, citraan=simbolisme). Yang justru membedakan di antara keduanya
adalah persepsi strukturnya itu sendiri.<br /> <br />[6] Gagasan mengenai fungsi boleh dicatat sebagai gagasan paling penting
dalam teori-teori yang dikemukakan oleh kaum formalis; menjadi foreground bagi
studi mereka. Kerja mereka yang diarahkan untuk melihat bahan-bahan spesifik,
kekhususan sarana struktural, dan berusaha untuk menunjukkan identitasnya dalam
keragaman bahan, telah memaksa mereka untuk berbicara mengenai fungsi dan
sekaligus menjadi usaha bagi mereka untuk membedakan dan memahami fungsi sarana
itu pada masing-masing kasusnya. Maka menjadi suatu hal bisa dipahami apabila
dari sederet tesis general yang dikedepankannya, mereka hampir selalu
menyertakan gagasan tentang fungsi ini. Berawal dari gagasan mengenai fungsi
ini pula, kaum formalis kemudian bisa merevisi gagasan-gagasan mereka mengenai
sarana; hingga hal ini pun berdampak pada teorinya sendiri yang pada akhirnya
menuntut mereka untuk kembali menengok sejarah.<br /> <br />[7] Sebelum akhirnya pemaham mengenai bentuk ini direvisi: “bentuk baru
tidaklah mengekspresikan isi baru, namun mengubah bentuk lama yang telah
kehilangan kualitas estetiknya” (Shklovsky). Dengan adanya pemahaman baru
mengenai konsep bentuk inilah yang kemudian menggiring kaum formalis untuk
memasuki wilayah studi perkembangan dan sejarah sastra. Pada konteks relasi
yang berkenaan dengan aspek bentuk dan isi ini pula yang telah membedakan
gagasan Formalisme Rusia dengan formalisme yang dikembangkan oleh kalangan New
Criticism di Amerika. Dalam hal ini, kalangan New Critic memandang, aspek
isilah yang akan bisa mendeterminasi bentuk.<br /> <br />[8] Keterkaitan antara aspek bentuk dan teknik ini menjadi tidak bisa
dipisahkan dari gagasan-gagasan kaum formalis berkenaan dengan kecenderungan
studi mereka yang lebih mengkhususkan diri pada masalah bahan (material) dan
sarana/alat (device) kesastraan. Lebih dari itu, karena dipandang berhubungan
secara langsung dengan ciri yang membedakan antara ungkapan puitik dengan
praktis, gagasan mengenai teknik sebenarnya menjadi lebih signifikan dalam
ruang lingkup perkembangan formalisme daripada gagasan bentuk. Bahkan, metode
formal sendiri dianggap menjadi kontroversial karena fokus studinya yang lebih
merujuk pada masalah teknik ini.<br /> <br />[9] Dalam pandangan Shklovsky, seni berarti menghancurkan persepsi dari
yang tadinya otomatis menjadi tidak otomatis; tujuan dari imaji bukanlah untuk
menghadirkan makna dari objek yang dideskripsikan pada pemahaman kita,
melainkan untuk membentuk suatu persepsi khusus dari objek tersebut?membentuk
visinya sendiri, dan tidak untuk mengenali maknanya. Dengan titik tolak seperti
inilah Shklovsky kemudian mengedepankan konsep yang disebut teknik
defamiliarisasi.<br /> <br />[10] Munculnya teori tentang plot tersebut mulai membuka kaum formalis
untuk berdekatan dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan studi prosa.
Lebih dari itu, penjelasan mengenai tipikal teknik konstruksi plot telah
memberi peluang bagi mereka untuk berlanjut menelaah masalah sejarah dan teori
novel. Hal ini telah mempengaruhi keseluruhan rangkaian studi, bukan hanya dari
mereka yang tergabung dalam Opayaz saja, melainkan juga dari mereka yang tidak
berhubungan secara langsung dengannya; Mikhail M. Bakhtin boleh ditunjuk
sebagai salah satu dari mereka yang gagasan-gagasannya?terutama mengenai
(teori) novel?mengadopsi gagsan kaum formalis ini.<br /> <br />[11] Satu hal yang agaknya perlu diperhatikan, di dalam buku-buku teori
sastra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (di antaranya
Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, dkk. dan Panduan Pembaca Teori Sastra
Masa Kini, Rahman Selden), dalam bahasannya mengenai Formalisme Rusia term skaz
ini tidak pernah muncul. Yang muncul adalah term suzjet. Dengan mencermati
deskripsi yang dikedepankan Shklovsky di atas, apakah skaz yang dimaksud itu
adalah suzjet? Sebagai bahan perbandingan, dalam kaitannya dengan masalah plot
yang digagas oleh kaum formalis ini (Shklovsky), Luxemburg menyodorkan tiga
pengertian: motif, sebagai kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan;
fobula, sebagai rangkaian motif dalam urutan kronologis; dan sujzet, sebagai
penyusunan artistik motif-motif tersebut, akibat penerapan penyulapan terhadap
fobula.<br /> <br />[12] Esai Shklovsky, The Relation of Devices of Plot Construction to
General Devicse of Style, sebagaimana dicatat Eichenbaum, telah menandai
perubahan kaum formalis dari studi teoritis pada studi sejarah sastra. Tesis
Shklovsky yang menyatakan bahwa karya seni muncul dari latar belakang karya
lainnya dan melewati asosiasi dengannya; setiap bentuk karya seni diciptakan
paralel dan sekaligus berlawanan dengan bentuk lainnya; dan, tujuan dari bentuk
baru bukanlah untuk mengekspresikan isi baru, namun mengubah bentuk lama yang
telah kehilangan kualitas estetiknya, memberi fakta baru pada mereka tentang
ciri-ciri baru perkembangan dinamis dan variabilitasnya yang terus menerus.<br /> <br />[13] Pandangan ini kemudian lebih teraktualisasikan dalam tesis
Jakobson?Tynyanov ( 1928 ) yang pada intinya (mulai) menolak formalisme yang
mekanistis. Mereka mengusahakan untuk tidak hanya melihat perspektif
kesusastraan secara sempit, namun dengan mencoba untuk mulai mengaitkan
rangkaian sistem kesusastraan dengan rangkaian kesejarahan yang lain: “We
cannot understand literary develovment as long as the problem of evolution is
overshadows by questions of episodic and unsystematically conceived genesis,
both literary (literary influence) and extraliterary. Literary and
extraliterary materials used in literature may be placed within the scope of
scientific research only if judged from the functional viewpoint [….] The
problem of concrete choise of direction, or at least of its dominant, can be
opproached only through analyzing the relations of the literary series to other
historical series. The interrelatedness (the system of system) has its
analyzable structural laws. It is methodically pernicius to examine the
interrelatedness of system without keeping in mind the immanent laws of every
particular system” (Vodicka, 1972, h.7).<br /> <br />[14] Ini merupakan karakteristik yang menandai awal kerja kaum formalis
dalam studi sejarah dan perkembangan sastra (sebelum dikembangkan lebih lanjut
oleh Jakobson dan Tynyanov). Di sini, gagasan dari perkembangan sastra yang
dikedepankannya tanpa mengusung ide kemajuan dan pergantian yang statis, tanpa
ide realisme dan romantisme, tanpa memperhitungkan bahan-bahan ekstra-sastra.
Mereka masih melihat sastra sebagai suatu kelompok fenomena yang spesifik dan
bahan-bahan yang spesifik. Mereka hanya berusaha untuk menjelaskan fakta-fakta
historis yang konkret, fluktuasi, dan perubahan bentuk, untuk memperhitungkan
fungsi-fungsi spesifik dari sarana-sarana yang ada?dengan kata lain, di sisi
inilah mereka ingin menemukan batas antara karya sastra sebagai fakta sosial
yang definit dan suatu interpretasi bebas dari sudut keperluan sastra
kontemporer, selera, atau ketertarikan. Dengan demikian, mereka menyebut bahwa
gairah dasar dalam studi sejarah sastra mereka adalah gairah untuk mendestruksi
dan menegasi.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA:<br /> <br />Adams, Hazard (ed.). 1992. Critical Theory Since Plato. Harcourt Brace
Jovanovich College Publishers<br />Eichenbaum, Boris. The Theory of the “Formal Method”, dalam Adams (ed.),
h.801—16<br />Luxemburg, Jan van, dkk.. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Cet.-3. Jakarta:
Gramedia.<br />Bakhtin, Mikhail M.. Epic and Novel: Toward a Methodology for the Study of
the Novel, dalam Adams (ed.), h.839—855<br />Newton, K.M.. 1994. Menafsirkan Teks. Semarang: IKIP Semarang Press.<br />Selden, Rahman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Cet.-3.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<br />Shkovsky, Victor, Art as Technique, dalam Adams (ed.), h. 751—59<br />Trotsky, Leon. The Formalist School of Poetry and Marxism, dalam Adams
(ed.), h.792—799<br />Vodicka, Felix. 1972. The Integrity of the Literary Process: UIT Poeties 4,
h.5—15<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2012/02/formalisme-rusia-beberapa-tesis-tanggapan-dan-catatan-kaki-%e2%80%a2/">http://sastra-indonesia.com/2012/02/formalisme-rusia-beberapa-tesis-tanggapan-dan-catatan-kaki-%e2%80%a2/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-41952385632982892922021-08-19T11:17:00.004-07:002021-08-19T11:18:13.417-07:00Usaha Membunuh Sepi, Felix K. Nesi<p> <a href="https://1.bp.blogspot.com/-9ZUiwsNcoqA/YR6fqQMN_JI/AAAAAAAABQg/EP54ByD7lAIUoBAummheA3P0vY0wqwL_gCLcBGAsYHQ/s448/Usaha%2BMembunuh%2BSepi%2B%25282016%2529%252C%2BFelix%2BK.%2BNesi.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="288" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-9ZUiwsNcoqA/YR6fqQMN_JI/AAAAAAAABQg/EP54ByD7lAIUoBAummheA3P0vY0wqwL_gCLcBGAsYHQ/s320/Usaha%2BMembunuh%2BSepi%2B%25282016%2529%252C%2BFelix%2BK.%2BNesi.jpg" width="206" /></a></p>Yohanes Sehandi *<span><a name='more'></a></span><div>Pos Kupang, 8 Juni 2017<br /> <br />Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) yang diulas ini berjudul Usaha Membunuh Sepi (2016), karya sastrawan muda NTT, Felix K. Nesi. Diterbitkan oleh Penerbit Pelangi Sastra, Malang. Buku tipis 67 halaman dengan format kecil 13 x 20 cm ini berisi sembilan buah cerpen dan tiga gambar ilustrasi. Adapun judul masing-masing cerpen adalah: Ponakan, Sang Penulis, Sebelum Minggat, Usaha Membunuh Sepi, Pembual, Kenangan, Belis, Indra, dan Tokoh Utama.<br /> <br />Tentang penulis Felix K. Nesi sendiri tidak banyak diberi keterangan. Hanya tertulis di kover belakang buku, lahir di Nesam, NTT, tamat dari SMA Seminari Lalian, Atambua, tahun 2008. Karyanya pernah dipublikasikan dalam sejumlah surat kabar nasional dan dalam sejumlah buku antologi bersama penulis lain. Terpilih mengikuti Makasar International Writers Festival dan sebagai Emerging Writers. Menyukai puisi dan ketabahan orangtuanya.<br /> <br />Saya menerima buku ini pertengahan tahun 2016 lalu. Waktu menerima saya hanya perhatikan sepintas lalu saja. Di samping bukunya terlalu tipis, juga warna kovernya kurang menantang lensa mata. Akhirnya saya letakkan begitu saja di antara buku-buku lain yang menunggu giliran untuk dibaca. Setelah buku-buku lain habis terbaca, barulah buku ini mendapat giliran untuk dibaca.<br /> <br />Sewaktu membaca cerpen pertama dan kedua saya kaget. Ternyata cerpen yang ada di dalamnya bukanlah cerpen biasa, bukan cerpen murahan. Bobot isi cerpen ternyata tidak berbanding lurus dengan penampilan buku yang tipis dan kurang menarik. Cerpen-cerpen yang ada di dalamnya harus dibaca dengan konsentrasi yang cukup untuk bisa merekonstruksi jalan pikiran dan perilaku para tokoh cerpen. Dengan penuh penasaran, saya membaca tuntas sembilan cerpen dalam buku ini ditemani kopi flores yang sedikit pahit.<br /> <br />Kesan saya sewaktu membaca beberapa cerpen Felix Nesi ini hampir sama pada waktu tahun 1980-an, waktu mahasiswa, saya membaca cerpen-cerpen sastrawan Budi Darma terutama yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington (1980), cerpen-cerpen Iwan Simatupang yang terhimpun dalam buku Tegak Lurus dengan Langit (1983), dan cerpen-cerpen sastrawan Putu Wijaya. Tokoh-tokoh cerpen karya tiga sastrawan besar Indonesia ini memiliki pilihan yang bebas, dalam berpikir dan berperilaku. Cara berpikir dan berperilaku para tokohnya bebas, tidak terikat, kadang misterius, bergerak liar, mengejutkan, bahkan menakutkan untuk mencapai tujuan pribadi tokoh.<br /> <br />Pilihan bebas para tokoh dalam cerpen-cerpen itu dilatarbelakangi pemikiran bahwa pada dasarnya manusia itu adalah bebas, pilihan apapun yang dilakukannya mengandung berbagai risiko dan konsekuensi. Segala risiko dan konsekuensi itu tidak dapat ditimpakan kepada orang lain karena ia telah menjalankan kebebasannya dalam memilih. Cara berpikir dan berperilaku para tokoh pun misterius, bergerak liar, mengejutkan, bahkan menakutkan.<br /> <br />Tokoh-tokoh sebagian cerpen Felix Nesi dalam buku Usaha Membunuh Sepi ini menjalankan kebebasannya dalam memilih yang berakibat pada risiko dan konsekuensi aneh, misterius, mengejutkan, bahkan menakutkan. Cerpen pertama berjudul “Ponakan” dan cerpen kedua “Sang Penulis” memiliki hubungan alur cerita dan karakteristik tokoh utamanya. Begitu kuatnya pilihan bebas sang tokoh utama untuk mencapai tujuan pribadi, mengakibatkan risiko dan konsekuensi tragis bagi tokoh lain tatkala menjadi penghambat pilihan tokoh utama.<br /> <br />Cerpen “Ponakan” bercerita tentang Didi si tokoh utama yang datang khusus dari kota untuk berlibur di Pulau Timor guna merealisasikan cita-cita luhurnya menjadi seorang penulis hebat. Sayangnya, selama berlibur di pulau sabana dia tidak menghasilkan karya tulis apapun karena perilaku sang ponakan yang superaktif dan menjengkelkan, menjadi penghambat konsentrasi. Proses kreatif menulis yang ia ibarat seperti membuat gelembung sabun, tak pernah berhasil karena gangguan ponakan yang menjengkelkan. Suatu pagi Didi mengajak si ponakan ke padang gembalaan sapi untuk bermain sepuas-puasnya. Sewaktu pulang pada sore hari, tanpa pertimbangan yang jelas, leher ponakannya digantungnya dengan tali jerami buatan ponakan itu sendiri pada sebuah pohon. Sepertinya hanya main gantung-gantungan saja, namun akibatnya fatal dan menakutkan.<br /> <br />“Saya gantung ujung tali yang satunya pada dahan pohon lalu saya tarik kuat-kuat. Ponakan saya tersenyum senang, meski ia mulai susah bernapas. Saya tarik sekali lagi. Kakinya mulai terangkat dan tidak menginjak apa-apa. Ia tak tersenyum dan matanya mulai melotot. Saya tarik lebih kuat lagi dan saya ikatkan pada batang pohon. Ia tergantung. Matanya lebih melotot lagi dan lidahnya mulai terjulur keluar. Mulutnya mengeluarkan suara-suara aneh. Sore itu saya pulang sendiri. Takkan ada orang yang akan merusak gelembung sabun saya lagi” (halaman 6).<br /> <br />Cerita tentang calon penulis hebat pada cerpen pertama berlanjut pada cerpen kedua berjudul “Sang Penulis.” Diceritakan tentang seorang penulis hebat, namanya Agus. Ia tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga di mancanegara. Lewat percakapan sambil jalan-jalan dari sebuah hotel antara sang penulis hebat Agus dan seorang wanita bernama Merry, kita akhirnya bisa menguak perilaku penulis hebat yang ternyata sungguh keji dan biadab. Ia pembunuh sadis berdarah dingin, guna mencapai pilihannya.<br /> <br />Sang penulis hebat ternyata telah membunuh sadis istrinya yang merupakan wanita karier. “Jika saja kepada perempuan ini (kepada Merry, YS), Agus bisa menceritakan dengan gamblang bagaimana ia menghantam gigi istrinya dengan palu lalu memotong jemarinya dengan gergaji. Bagaimana Agus menusukkan linggis ke dalam kemaluan perempuan itu dan mengoyak isi rahimnya, tapi lalu menangis saat menguburkan manusia yang belum sepenuhnya mati di taman belakang rumahnya” (halaman 13).<br /> <br />Tema pembunuhan misterius yang melibatkan sejumlah tokoh misterius pula diangkat dalam cerpen kelima berjudul “Pembual” dan cerpen kesembilan “Tokoh Utama.” Membaca kedua cerpen ini rasanya tidak seperti membaca cerpen horor atau detektif. Karena terjadi tegangan antara realitas faktual dengan realitas fiksi (imajinasi) dalam pikiran para tokoh utama cerpen. Pada akhir cerpen, kita sebagai pembaca tetap bertanya-tanya tentang akhir persoalannya. Kita dibuat penasaran oleh cara berpikir dan perilaku tokoh utama cerpen.<br /> <br />Tentu tidak semua cerpen dalam buku ini memiliki karakter seperti tokoh-tokoh pada cerpen-cerpen Budi Darma, Iwan Simatupang, dan Putu Wijaya yang cara berpikir dan berperilakunya misterius dan mengejutkan. Ada beberapa cerpen yang bergaya konvensional. Kalau boleh saya sarankan agar Felix Nesi tinggalkan gaya konvensional.<br /> <br />Ada satu cerpen, yakni cerpen keenam berjudul “Kenangan,” perlu mendapat perhatian. Cerpen ini mengangkat tema besar, pilihan panggung berkiprah masa kini, antara budaya asli (kampung di Timor) yang diwakili gadis bernama Ira dengan budaya kota/modern (kota Kupang) yang diwakili gadis Ita keturunan Rote. Tokoh utama cerpen Robertus Aldo terperangkap dalam dua pilihan sulit, budaya kampung atau kota, memilih Ira atau Ita. Mirip tema polemik kebudayaan tahun 1930-an. Di akhir cerpen tidak ada jawaban. Apakah cerpen ini sebagai embrio untuk sebuah novel?<br />***<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/usaha-membunuh-sepi-felix-k-nesi/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/usaha-membunuh-sepi-felix-k-nesi/</a></span></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-321251432540125828.post-19479317694895105552021-08-18T22:19:00.000-07:002021-08-18T22:19:01.279-07:00Mencari Karya Sastra Anak Lokal?Dessy Wahyuni *<br />padangekspres.co.id<br /> <br />”Ke mana… ke mana… ke mana kuharus mencari…. Di mana… di mana… di mana
tinggalnya sekarang….”<br /> <br />Belakangan ini kata “di mana” dan “ke mana” menjadi sangat populer, baik di
kalangan orang dewasa maupun anak-anak, di jalanan maupun di perkantoran,
bahkan di angkutan umum maupun di televisi. Ayu Ting Ting menjadi sangat
terkenal dengan “Alamat Palsu”-nya tersebut.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Tidak hanya Ayu Ting Ting saja yang ternyata melantunkan kata-kata “di
mana” dan “ke mana” tersebut. Anak-anak bangsa juga mempertanyakan di mana
keberadaan karya-karya sastra anak lokal yang sangat jarang muncul di permukaan
dan ke mana mereka harus mencarinya.<br /> <br />Buku adalah jendela dunia. Melalui buku kita bisa berkeliling dunia dengan
menggunakan paket hemat. Buku merupakan solusi pemecah suatu kebodohan dan
membaca adalah kuncinya.<br /> <br />Untuk itu budaya membaca sangat penting untuk dikenalkan sejak dini kepada
anak, sebab dengan membaca akan memperluas wawasan. Dengan gemar membaca buku
tentu akan menambah pengetahuan anak dan dapat menjadikannya manusia yang
berkualitas di masa depan.<br />Membaca merupakan kemampuan yang terpenting bagi seseorang, karena dapat
membuka wawasan terhadap banyak pengetahuan.<br /> <br />Jutaan anak yang menghabiskan waktu di depan televisi ataupun video game
sering gagal untuk meningkatkan kemampuan membaca mereka, sehingga mereka
melewati banyak hal yang berharga.<br /> <br />Mengajar anak membaca adalah tugas utama yang penting. Setelah itu upaya
untuk menjadikan membaca sebagai suatu kebutuhan merupakan langkah selanjutnya.<br /> <br />Dalam hal ini karya sastra berfungsi mengembangkan kemampuan membaca,
berpikir naratif, dan mengembangkan wawasan. Pemanfaatan sastra anak merupakan
salah satu upaya untuk dapat meningkatkan minat baca serta mengembangkan
kemampuan bahasa pada anak.<br /> <br />Membacakan cerita atau puisi anak dapat menggerakkan minat mereka dalam
membaca. Menyimak cerita dapat memperkenalkan pola-pola bahasa dan pengembangan
kosa kata dan maknanya.<br /> <br />Riris K Toha-Sarumpaet dalam bukunya Pedoman Penelitian Sastra Anak: Edisi
Revisi (Jakarta: Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional, 2010) mengatakan
bahwa sastra anak adalah karya yang khas (dunia) anak, dibaca anak, serta —pada
dasarnya— dibimbing orang dewasa.<br /> <br />Sastra anak dikemas dengan format yang menarik, menggunakan elemen sastra
yang lazim seperti sudut pandang, latar, watak, alur dan konflik, tema, gaya,
dan nada, serta adanya kejujuran, penulisan yang sangat bersifat langsung,
serta informasi yang memperluas wawasan (hal. 3).<br /> <br />Dalam tulisannya “Hakikat Sastra Anak” (2009) Wahidin berpendapat bahwa
sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh
anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak.<br /> <br />Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta.
Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak
harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka
dan bukan milik orang dewasa.<br />Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan himbauan tertentu
yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.<br />Mendorong anak untuk berimajinasi merupakan hal yang dibutuhkan untuk
mengelola pola pikir anak sejak dini dengan mengembangkan pemahaman dan metodologi
penyampaian melalui dongeng kepada anak-anak.<br /> <br />Peran buku cerita dan dongeng terhadap pengembangan imajinasi anak, menjadi
sangat perlu, karena terbukti mampu membangun serta mengembangkan kekuatan
imajinasi anak.<br /> <br />Ranah imajinasi ini menjadi begitu penting sebab seluruh penciptaan yang
dilakukan manusia bermula dari sini. Dunia imajinasi yang dihasilkan oleh pola
pikir anak menghasilkan suatu kreativitas yang ternyata perlu dikembangkan dan
digali hingga mencapai potensi yang maksimal. Seperti pada jenis karya sastra
umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan,
membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak.<br /> <br />Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan
kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi
pengetahuan keterampilan praktis bagi anak.<br /> <br />Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau
senang membaca, gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau
dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga
menuntun kecerdasan emosinya (Wahidin, 2009).<br />Secara global, banyak manfaat yang bisa diperoleh dari sastra anak, antara
lain dapat membantu pembentukan pribadi dan moralitas anak, menyalurkan
kebutuhan imajinasi dan fantasi, memacu perkembangan verbal atau kemampuan
berbicara, merangsang minat menulis dan membaca, serta membuka cakrawala
pengetahuan.<br /> <br />Dengan menggunakan bahasa yang mengesankan, tema yang berbeda-beda, serta
format yang menarik, sastra anak dengan karakteristik yang beragam diharapkan
mampu menghadirkan fungsi yang tepat bagi anak-anak.<br /> <br />Namun sayangnya, perkembangan sastra anak terbitan lokal di Indonesia
relatif ketinggalan bila dibandingkan dengan negara-negara Amerika Serikat,
Eropa, maupun Jepang.<br /> <br />Lihat saja beberapa toko buku terkemuka yang ada, koleksi buku yang
tersedia sebagian besar adalah karya-karya terjemahan, seperti komik-komik
Jepang dan seri terjemahan dari Walt Disney.<br /> <br />Dalam kenyataannya, buku-buku seperti ini pula yang laris di pasaran.
Sementara karya-karya sastra anak lokal hanya mampu menghiasi perpustakaan
sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi dari pemerintah.<br /> <br />Hal ini terjadi disebabkan beberapa hal. Pertama, secara kualitas
penampilan karya-karya terjemahan ini jauh di atas karya sastra anak lokal.
Secara fisik karya-karya terjemahan memiliki tampilan gambar yang menawan,
warna-warni yang memesonakan, serta menggunakan kertas yang menarik.<br /> <br />Selain itu, karya sastra anak lokal sering terjebak pada aspek pragmatis
yang harus ditonjolkan, sehingga terciptalah karya yang kaku dengan tema yang
monoton, serta munculnya kesan menggurui yang disebabkan oleh unsur didaktik
yang kuat.<br /> <br />Tidak adanya program sastra di sekolah-sekolah yang membicarakan karya
sastra anak lokal juga menjadi salah satu penyebab buku bacaan anak karya
pengarang dalam negri nyaris tak tersentuh.<br /> <br />Sebenarnya telah banyak penerbit Indonesia yang menerbitkan karya
terjemahan dari Amerika, Jepang, dan negara-negara lainnya untuk mengisi
kekosongan karya asli Indonesia. Hal ini tentu saja baik, sebab karya-karya
terjemahan tersebut tetap bisa menumbuhkan minat baca pada anak.<br /> <br />Hanya saja dengan membaca karya-karya terjemahan itu, anak-anak Indonesia
lebih mengenal kebudayaan asing dan seolah-olah telah melupakan budaya
bangsanya sendiri.<br /> <br />Untuk mengisi kekosongan dan sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi
pengarang-pengarang asli Indonesia, tidak ada salahnya kalau karya terjemahan digalakkan.
Tapi tentu saja karya sastra anak lokal harus tetap muncul di permukaan.<br /> <br />Abel Tasman yang lahir pada 7 Februari 1959 ini sebenarnya adalah salah
satu aset Riau yang bergelut dalam dunia sastra anak. Sastrawan kelahiran
Telukriti, Pasirpengaraian, Rokan Hulu, Riau tersebut telah banyak menghasilkan
buku cerita anak, yakni Petualangan si Kemilau (Bharawidyacitra Niagautama,
Jakarta 1995), 120 Jam di Belantara Bukit Barisan (Adicita Karya Nusa,
Yogyakarta 1995), Anak-Anak Duano (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta 1997), Raja
Kate Dikepung Asap (Adicita Karya Nusa, Yogyakarta 1998; buku ini mendapat
penghargaan Adikarya IKAPI tahun 1999), Bintang Semakin Terang (Bumi Aksara,
Jakarta 1999), Menyelamatkan Kota Sakai (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2000),
Hang Tuah 1 (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2000), Hang Tuah 2 (Yayasan Pusaka
Riau, Pekanbaru 2002), Anak-Anak Batang Lubuh (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru
2002), Oje (Kerjasama PT. Rineka Cipta dan Pusat Perbukuan Jakarta 2004),
Pencuri Semah Kenduri (Kerjasama CV.<br /> <br />Mediatama dan Pusat Perbukuan Jakarta 2004), Catur Ajaib di Negeri Terubuk
(Kerjasama CV. Mediatama dan Pusat Perbukuan Jakarta 2005), dan Dongeng-Dongeng
dari Riau 1 (dalam proses terbit, Bahana Mestika Karya).<br /> <br />Namun sejak tahun 2005 karya-karyanya sudah tidak kelihatan lagi. Anak-anak
khususnya kembali kehilangan arah, sebab karya sastra anak yang membungkam.<br /> <br />Sudah tiba saatnya bagi pengarang sastra anak lokal untuk meninggalkan
tema-tema kemiskinan. Bukan saatnya lagi anak-anak selalu disuguhkan gambaran
seorang anak yang terpaksa membantu meringankan beban finansial orangtua.<br /> <br />Karya-karya yang menjawab ketakutan anak terhadap hantu, setan, maupun
orang jahat lebih dibutuhkan. Demikian pula halnya dengan karya-karya yang
mengulas realitas sosial, seperti kebencian terhadap suatu ras, golongan,
agama, suku bangsa, atau bahkan perjalanan sejarah bangsa yang dapat menjawab
kebingungan anak, menjadi karya yang sangat dinantikan.<br /> <br />Anak-anak memiliki dunia yang berbeda dengan orang dewasa. Dalam penciptaan
karya sastra anak, seorang pengarang harus menyelami dahulu dunia anak
tersebut.<br /> <br />Dunia anak sangat dekat dengan dunia imajinasi. Imajinasi bagi anak adalah
sarana untuk berselancar dalam memahami realitas keberadaan dirinya, orang
lain, maupun lingkungannya.<br /> <br />Mendorong anak untuk berimajinasi merupakan hal yang dibutuhkan untuk
mengelola pola pikir anak sejak dini. Dunia imajinasi yang dihasilkan oleh pola
pikir anak menghasilkan suatu kreativitas yang perlu dikembangkan dan digali
hingga mencapai potensi yang maksimal.<br /> <br />Dalam pengembangan imajinasi anak ini, peran karya sastra anak menjadi
sangat perlu, karena terbukti mampu membangun serta mengembangkan kekuatan
imajinasi anak.<br /> <br />Lalu, di mana keberadaan karya-karya sastra anak lokal yang mampu mendorong
mereka untuk berimajinasi? Ke mana anak-anak bangsa harus mencari karya-karya
yang menarik agar minat baca mereka tak kembali redup?<br />***<br /> <br />19/02/2012<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Dessy Wahyuni adalah staf peniliti di Balai Bahasa Riau. Menyelesaikan
S-1 di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Andalas (Unand, Padang), dan S-2
Kependidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Selain menulis esai, juga
menulis cerpen. Tinggal di Pekanbaru. <a href="http://sastra-indonesia.com/2012/02/mencari-karya-sastra-anak-lokal/">http://sastra-indonesia.com/2012/02/mencari-karya-sastra-anak-lokal/</a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0