Minggu, 29 Agustus 2021

Eksistensialisme Makna Karya Sastra

Heru Kurniawan *
lampungpost.com
 
Menurut Ricoeur dalam bukunya Interpretation Theory: Discourse and Surplus Meaning, Tradisi Posivistik-Logis telah menciptakan pembedaan antara makna eksplist dan makna implisit yang diperlakukan sebagai perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif yang dalam tradisi strukturalisme disebut juga dengan makna denotasi dan konotasi. Persoalannya adalah di manakah makna karya sastra meletakan paradigma filosofisnya?
 
Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif (sebenarnya) sebagai representasi dari bahasa kognitif. Sedangkan makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif (kias) sebagai representasi dari bahasa emotif. Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi. Mencermati paradigma makna ini, maka karya sastra jelas condong pada tradisi implist karena substansi dari sastra adalah subjektivikasi-ekspresi yang diarahkan pada estetika dengan pemberdayaan bahasa yang emotif. Namun, tradisi positivistik-logis yang mengasumsikan bahwa tujuan satu-satunya bahasa adalah kode yang merepresentasikan dan mengkomunikasikan informasi aktual menyebabkan tradisi positivistik jelas lebih berpihak pada makna eksplisit-denotatatif daripada makna yang diusung karya sastra implisit-konotatif.
 
Di sinilah kemudian tradisi positivistik cenderung memandang miring karya sastra, karena maknanya yang implisit-konotatif dan tidak objektif, tidak menciptakan satu sistem yang pasti. Oleh sebab itu, objektivisasi karya sastra lahir sebagai gerakan kaum positivistik yang menyuarakan faham strukturalisme-otonom, yang memandang makna karya sastra sebagai dunia yang independen. Oleh sebab itu, makna konotasi-implisit dalam bahasa emotif karya sastra dimaknai dalam paradigma internal teks. Faktor eksternal teks dinihilkan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian makna karya sastra agar tetap, karena usaha analisis kajian ini adalah untuk mengungkap makna strutur dalam (deep structure).
 
Padahal kenyataannya, pengertian makna konotasi-implisit pada bahasa emotif dalam karya sastra tidaklah sesederhana hanya bergerak pada wilayah semantik (internal teks) saja, karena persoalan sastra bukan hanya mengacu pada dunia yang dikonstruksi oleh struktur–seperti diwacanakan oleh kaum strukturalisme atau persoalan intern bahasa yang defamiliar–seperti yang diwacanakan kaum formalisme Rusia–. Dalam hal ini saya menganggap bahwa sastra adalah “realitas imajiner” yang dikonstruksi sebagai refleksi “realitas masyarakat”. Jadi, makna konotasi karya sastra tidak hanya terkotak pada tradisi internal-semantik, tetapi juga keluar dari dirinya, yaitu selalu menjalin hubungan yang dialektis dengan “realitas masyarakat” sebagai bahan dasarnya.
 
Dalam hal ini saya memahami makna konotasi dalam tradisi filsafat sebagai makna yang universal dan selalu berubah. Oleh sebab itu, substansi makna konotasi hakikatnya adalah eksistensialis. Perubahan makna konotasi ini bukan terjadi dalam dinamika internal karya sastra. Akan tetapi sebaliknya, perubahan makna ini terjadi karena dinamika eksternal karya sastra, yaitu pembaca sebagai mahluk sosial, yang dipahami sebagai individu yang telah dikodifikasi oleh sejarah sosial masyarakatnya. Oleh sebab itu, perubahan makna dalam karya sastra dibentuk juga oleh dinamika historis yang diakronik. Hal inilah yang menjadikan karya sastra selalu merepresentasikan semangat zamannya. Dalam hal ini Deridda mengatakan bahwa konsep (makna) terus berubah, bergerak, dan berkembang berdasar pada penyejarahaannya. Sehingga makna sebagai inti dari struktur karya sastra bergerak dalam poros ruang dan waktu.
 
Jadi, eksistensialisme makna dalam karya sastra tidak hanya menyangkut keberadaan makna bahasa yang multiinterpretasi, tetapi lebih dari itu, makna eksistensialisme karya sastra mengacu pada perubahan makna yang selalu dimunculkan oleh pembaca dalam konteks ruang dan waktu. Dengan menempatkan posisi makna karya sastra seperti ini, maka menurut saya, kita telah menempatkan teks sastra pada “ruang kebudayaan” yang humanis karena eksistensialisme makna karya sastra dipandang dari realitas sosial budaya yang menjadikannya. Sebaliknya, jika makna karya sastra yang implisit-konotatif ditempatkan pada dinamika internal teks, maka kita berarti telah mengalienasi karya sastra dari ruang kelahirannya, yaitu dinamika sosial masyarakat.
 
Polemik Sastra Kelamin
 
Dalam studi kasus yang masih hangat tentang polemik sastra antara kubu Hudan Hidayat, Binhad Nurrohmat dkk. dengan Taufik Ismail dkk. yang menyangkut tentang fenomena sastra yang pada akhir-akhir ini diramaikan oleh vulgarisme dalam berbicara tentang seks beserta pernik-perniknya, bagi saya adalah dinamika yang wajar. Oleh sebab ruang makna sastra yang terbuka memang menuntut para praktisi dan kritikus sastra untuk mengisinya dari sisi manapun, termasuk ideologi dan kepentingannya.
 
Oleh sebab itu, apa yang dikatakan Ahmadun Yosi Herfanda bahwa untuk “mengembalikan sastra ke kekuatan teks” yang menganggap bahwa kemandegan capaian estetika sastra Indonesia salah satunya disebabkan meningkatnya kegiatan “politik sastra nonteks” atau politik sastra yang tidak mengandalkan kekuatan teks. Politik sastra tidak lagi dimaknai sebagai “strategi pemasyarakatan karya (teks) sastra” tapi lebih sebagai “strategi pemasyarakatan diri atau kelompok” tanpa mempertimbangkan kekuatan karya, menurut saya adalah hal yang cenderung degradatif dan tidak mungkin, karena; pertama, jika “kekuatan teks” dimaknai sebagai “otonomi teks”, maka ini sama seperti kita berpikir positivistik yang antihumanis dan cenderung nomothetik. Sastra dilihat hanya pada satu sisi, yaitu “teks” saja dengan mengabaikan dinamika eksternal yang melahirkan karya sastra.
 
Kedua, bahwa kekuatan sastra itu terletak pada harmonisasi antara kekuatan “teks” dan “nonteks”, dan menurut saya “politik sastra nonteks” saat ini masih tetap berangkat dari “teks sastra” sebagai fenomena, misalnya fenomena sastra kelamin. Jadi “kekuatan teks” sastra haruslah dilihat tidak hanya “teks” sebagai karya, tetapi juga sebagai fenomena.
 
Sehingga apa pun “kepentingannya” selama apresiasi masih berangkat dari sastra, baik sebagai teks atau fenomena maka itu adalah hal yang wajar, karena sastra adalah fenomena yang dikodifikasi lewat bahasa yang terbuka untuk beragam interpretasinya, karena pertama, bahasa pada dasarnya bersifat terbatas sehingga tidak bisa merepresentasikan seluruh pengalaman manusia; kedua, pengalaman atau mungkin kepentingan dalam setiap penafsir pasti tidak sama. Hal ini wajar juga bila dilihat bahwa hakikatnya tidak ada yang bebas nilai dalam setiap argumen dan perilaku manusia.
 
Persoalaannya kemudian; bagaimana reaksi yang tepat atas polemik sastra kelamin ini? Kita tanggapi saja secara positif karena ini adalah dinamika yang memang diciptakan dunia sastra. Dengan semangat multikulturalisme semua pro-kontra adalah natural. Selanjutnya, proses naturalisasi akan terjadi dalam seleksi sosial dunia sastra. Siapa yang akan dimenangkan adalah persoalan apresiasi “siapa yang benar-benar dianggap mewakili semangat zamannya” dan ini pun akan selalu bergerak dalam rangkaian diakronis sastra.
 
Dalam hal ini yang perlu dijaga adalah semangat menghargai pluralisme bersastra, karena semangat ini pada hakikatnya tertanam dalam paradigma filosofi karya sastra yang merepresentasikan makna yang implisit-emotif-konotasi sebagai gerakan antipositivistik yang ideologik dan humanis.
***

*) Pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. http://sastra-indonesia.com/2009/04/eksistensialisme-makna-karya-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar