Moh. Syafari Firdaus
Terlahir dari sekelompok teoritisi yang menamakan dirinya Opayaz,
Formalisme Rusia (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut “kaum formalis”)
dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi
perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap,
gagasan-gagasan yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori
sastra modern[1]. Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo
Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di dalamnya. Dengan
“metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra
kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.
Boris Eichenbaum memberi penegasan, kaum formalis dipersatukan oleh adanya
gagasan untuk membebaskan diksi puitik dari kekangan intelektualisme dan
moralisme yang diperjuangkan dan menjadi obsesi kaum simbolis. Mereka berusaha
untuk menyanggah prinsip-prinsip estetika subjektif yang didukung kaum simbolis
(yang bersandar pada teori-teorinya Alexander Potebnya, seorang filologis Rusia
yang terpengaruh Willhelm von Humboldt) dengan mengarahkan studinya itu pada
suatu investigasi saintifik yang secara objektif mempertimbangkan
fakta-fakta[2]. Di sisi ini, buah pikir dan gagasan kaum formalis tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan para penyair Futuris Rusia yang kemunculan
karya-karyanya pun merupakan reaksi untuk melakukan perlawanan terhadap poetika
kaum simbolis tersebut.
Prinsip yang mendasari studi kaum formalis bukan dititikberatkan pada,
“bagaimana sastra dipelajari”; melainkan lebih merujuk pada “apa yang
sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu
sendiri.” Bagi kaum formalis, sebagaimana yang ditegaskan Jakobson, “objek ilmu
sastra bukanlah (kesu)sastra(an), melainkan kesastraannya (literariness)?yaitu
yang menjadikan sebuah karya bisa disebut sebagai karya sastra.” Sedangkan di
sisi lain, Eichenbaum menjelaskan bahwa karakteristik dari (cara kerja) kaum
formalis hanyalah berusaha untuk mengembangkan ilmu sastra secara tersendiri,
yang studinya lebih dikhususkan pada bahan-bahan kesastraan (literary
material); mereka hanya menyarankan untuk mengenali fakta-fakta teoritis yang
tersimpan di dalam seni sastra. Dalam hal ini, ide dan prinsip (dari studi)
kaum formalis tersebut diarahkan untuk menuju pada suatu teori umum estetika.
Dengan demikian, kaum formalis sebenarnya mulai mencoba untuk melepaskan
studi sastra dari hal-hal lain yang berdiri di luar dirinya. Mereka melihat
sastra sebagai sebuah entitas otonom; (hanya) sebatas “poetika”. Dengan
karakteristik gerakannya yang mereka sebut berusaha untuk menumbuhkan gairah
baru bagi positivisme saintifik, mereka menolak setiap bentuk interpretasi
terhadap karya sasra yang dikaitkan dengan asumsi filosofis, psikologis,
estetis, dls.. Bagi mereka, seni harus dipertimbangkan terpisah dari estetika
filosofis maupun teori-teori ideologis. Maka dari itu, mereka pun lebih memilih
untuk menempatkan (objek) studi sastra secara spesifik pula yang keberadaannya
bisa terbedakan dari objek ilmu-ilmu lainnya.
Kedekatan metode formal yang digagas kaum formalis dengan keberadaan ilmu
lain hanyalah dengan linguistik. Hal ini menjadi bisa dimungkinkan karena
linguistik merupakan ilmu yang bersentuhan (secara langsung) dengan “poetika”
yang menjadi titik perhatian bagi (objek) studi mereka. Kendatipun demikian,
kaum formalis ini memang boleh dikatakan mendekati linguistik dari perspektif
dan permasalahan yang berbeda. Hal ini setidaknya terlihat dari ketertarikan
mereka terhadap linguistik dalam relevansinya dengan bahasa yang menjadi sarana
artikulasi sastra. Dalam hal ini, kaum formalis menyikapi komponen-komponen
linguistik yang tersedia di dalam bahasa (fonetik, morfem, sintaksis, maupun
sematik; begitu pun halnya dengan ritma, rima, matra, akustik/bunyi, aliterasi,
asonansi, dls.) [3] sepanjang hal itu dimanfaatkan (oleh pengarang[4]) sebagai
sarana untuk mencapai tujuan “artistik” (untuk menghasilkan efek-efek estetik).
Perhatian pada kata-kata nonsens dalam karya-karya para penyair futuris Rusia
sebagaimana yang dianalisis oleh Shklovsky, misalnya, bisa ditunjuk sebagai
contoh dalam kaitannya dengan masalah tersebut.
Persoalan yang berkaitan dengan masalah bahasa, pada dasarnya telah
dikedepankan oleh kaum formalis ketika mereka memandang perlu untuk membedakan
berbagai ragam (pemakaian) bahasa. Di sini mereka telah membedakan antara ragam
bahasa puitik dengan bahasa praktis/prosais (Jakubinsky)[5] dan ragam bahasa
puitik dengan bahasa emotif/emosional (Jakobson). Dalam pandangan mereka,
pembedaan tersebut menjadi sangat penting karena masing-masing ragam
(pemakaian) bahasa itu memiliki dan menyediakan konteks/tujuan, fungsi[6],
nilai, dan hukum-hukumnya sendiri.
Gagasan perihal bentuk (form) dan isi (content) yang dikedepankan kaum
formalis mulai menyingkirkan pandangan tradisional yang melihat bentuk
semata-mata hanyalah “kemasan” untuk isi. Bagi kaum formalis, bentuk merupakan
sesuatu yang komplet, konkret, dinamis, dan berdiri sendiri. Kaum formalis
memahami bahwa bentuk membawahi “makna” pula; bila bentuk diubah, maka isi pun
secara otomatis akan berubah. Dengan kata lain, aspek bentuk ini akan bisa
mendeterminasi isi[7].
Korelasi lebih lanjut dari ketertarikan kaum formalis pada aspek bentuk ini
adalah dengan gagasan mengenai teknik[8]. Dalam hal ini kaum formalis
berpandangan bahwa persepsi bentuk merupakan hasil dari pengoperasian
teknik-teknik artistik khusus yang memaksa pembaca untuk memperhatikan
kehadiran bentuk tersebut. Selain untuk kebutuhan artistik, dalam pandangan
kaum formalis keberadaan teknik pun diperlukan untuk membuat objek (yang
dideskripsikan) “sulit dikenali”, menjadikannya tidak lazim, dan memperpanjang
persepsi (pembaca) karena proses persepsi merupakan akhir estetika dalam
dirinya dan mesti diperluas[9].
Teori mengenai plot dan fiksi mesti dicatat pula sebagai gagasan yang cukup
penting yang dikedepankan oleh kaum formalis. Konstruksi plot menjadi subjek
dasar dari kaum formalis semenjak plot didapati menyimpan kekhasan dalam seni
naratif[10]. Dalam analisisnya, Shklovsky menunjukkan kehadiran sarana khusus
dari “konstruksi plot” dan hubungannya terhadap sarana stilistik umum dalam
berbagai keragaman bahan, yang kemudian disebutnya sebagai skaz[11]. Dalam
kaitannya dengan masalah ini Shklovsky sekaligus menyingkirkan pandangan
sebelumnya yang memandang plot sebagai sinonim dari cerita (story). Bagi
Shklovsky, cerita hanyalah bahan untuk memformulasikan plot; sementara plot itu
sendiri menempati posisinya sebagai struktur.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum formalis mulai melirik pada masalah
perkembangan sastra dan sejarah sastra. Perubahan studi mereka pada wilayah
sejarah sastra bukanlah ekspansi sederhana; hal itu dihasilkan dari
perkembangan konsep mereka perihal bentuk[12]. Mereka menemukan bahwa mereka
tidak dapat melihat karya sastra dalam isolasi; bentuknya harus dilihat dengan
latar belakang karya lain daripada lewat bentuk yang ada pada dirinya
sendiri[13]. Sementara itu, di dalam studi sejarah sastra itu pun mereka
agaknya tetap pada karakteristinya untuk tidak hanya menurunkan konklusi
historis, namun konklusi teoritis juga; mereka mengedepankan masalah teoritis
baru untuk sekaligus menguji yang lama.
Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal
yang mendalami suatu karakter khusus dengan tetap mempertahankan
independensinya, terlepas dari kultur lainnya. Mereka tetap membatasi secara
khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin berusaha untuk
tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung?pada hubungan dan karespondensi
yang tidak terbatas?yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah
bisa menjelaskan perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak
mengedepankan pertanyaan perihal biografi dan psikologi (pengarang)?yang bagi
mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks. Mereka hanya tertarik pada
masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan, sejauh hal
itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi
mereka, fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa
personalitas–studi sastra sebagai fenomena sosial yang terbentuk sendiri[14].
Sejumlah gagasan yang dikedepankan oleh kaum formalis, dalam beberapa hal
dipandang masih menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Setidaknya ini dicatat oleh
Leon Trotsky. Meskipun Trotsky mengakui bahwa gagasan-gagasan yang diajukan
oleh kaum formalis itu menyimpan nilai penting, namun Trotsky menyikapi kaum
formalis sebagai sebuah kelompok yang arogan dan tidak matang. Trotsky yang
melihatnya dari perspektif materialisme-Marxis, pada intinya menilai bahwa
gagasan kaum formalis sama sekali mengabaikan kompleksitas
sosial-kemasyarakatan yang menjadi basis dari energi penciptaan, dan tempat
karya itu hadir di tengah lingkungan masyarakatnya. Dengan dialektika
materialistiknya itu, Trotsky menyikapi bahwa dari sudut pandang
historis-objektif karya seni selalu berperan sebagai abdi sosial dan berfaedah
dalam sejarahnya. Di sisi ini, Trotsky mencermati jika kaum formalis agaknya
hanya menunjukkan kepercayaannya pada “kesaktian kata-kata”, sehingga tidak
bisa membawa gagasan perihal seninya itu pada konklusi yang logis; mereka hanya
memperlihatkan bahwa proses kreasi puitik seolah-olah telah cukup hanya dengan
mempersoalkan kombinasi bunyi dan sederetan kata-kata, yang pada gilirannya
akan bisa terselesaikan pemecahannya itu lewat suatu “formulasi puitik”
sebagaimana kombinasi dan permutasi aljabar.
***
•) Catatan mengenai Formalisme Rusia yang saya tulis ini merupakan resume
dari hasil bacaan, terutama, atas esai Art as Technique-nya Victor Shklovsky,
The Theory of the “Formal Method”-nya Boris Eichenbaum, dan The Formalist
School of Poetry and Marxism-nya Leon Trotsky. Kendatipun kedua esai yang
disebut pertama merupakan dua esai terpenting yang menandai gerakan dan sederet
gagasan Formalisme Rusia, namun tidak urung—dengan hanya bertolak dari dua esai
itu—ada beberapa gagasan penting yang dikedepankan kaum formalis, menjadi tidak
bisa terketengahkan dalam catatan ini: gagasan perihal “konsep dominan” yang
dilontarkan Roman Jakobson, misalnya. Adapun esai Trotsky kehadirannya menjadi
cukup penting dalam hubungannya dengan gerakan Formalisme Rusia berkenaan dengan
sejumlah pandangannya yang mengkritik teori yang dirumuskan oleh kaum formalis
tersebut.
[1] Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, dkk. menyebut
secara tegas hal tersebut. Sebutan itu agaknya memang menjadi tidak terlalu
berlebihan. Gerakan otonomi dengan kecenderungan telaahnya yang
“objektif-ergosentris” memberi ciri saintifik yang diperlukan bagi studi
akademis. Teori Strukturalisme yang kemudian berkembang pun banyak mengadopsi
gagasan-gagasan Formalisme Rusia (sehingga Formalisme Rusia ini sering disebut
pula sebagai proto-strukturalisme). Sementara itu, jika kita mencermati
buku-buku teks teori sastra (terutama yang membahas secara
historiografis-kronologis), maka kita (hampir) akan selalu mendapatkan bahasan
mengenai Formalisme Rusia hadir pada bagian (paling) awal.
[2] Dalam hal ini, fakta awal yang didapatkan kaum formalis adalah adanya
perbedaan antara bahasa puitik dan bahasa praktis. Dalam pandangan Shklovsky,
telaah puitika saintifik haruslah dimulai secara induktif dengan membangun
sebuah hipotesis yang mengakumulasikan bukti. Hipotesis tersebut adalah bahwa
bahasa puitik dan bahasa prosaik (praktis) itu ada, bahwa hukum-hukum yang
membedakannya ada, dan akhirnya, perbedaan-perbedaannya itulah yang dianalisis.
[3] Hal-hal yang berkaitan dengan komponen-komponen linguistik dan
bahan-bahan kesastraan yang tersedia di dalam bahasa sebenarnya mendapatkan
perhatian yang serius dari kaum formalis. Berbagai analisis dan telaah
mengenainya kemudian menghasilkan gagasan-gagasan yang cukup signifikan dalam
perkembangan studi dan teori mereka. Satu yang bisa dicatat di sini adalah
gagasan mengenai ritme yang dipandang sebagai unsur pembangun dari puisi secara
keseluruhan yang mengantar untuk memahami puisi sebagai suatu bentuk ungkapan
khusus yang menyimpan ciri-ciri linguistik secara khusus pula (dilihat secara
sintaktikal, leksikal, maupun semantis).
[4] Pengarang yang dimaksud oleh kaum formalis di sini adalah hanya sebatas
motivasi individu yang (secara distinktif) memanfaatkan dan mengolah bahan dan
sarana kesastraannya—demikian pula halnya dengan teknik—di dalam karyanya,
dengan tidak memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan biografi maupun
psikologi pengarang itu sendiri.
[5] Persoalan yang berkaitan dengan pembedaan antara bahasa puitik dengan
bahasa praktis yang dikedepankan Jakubinsky ini tampaknya merupakan titik
keberangkatan dari kelahiran gagasan-gagasan kaum formalis. Dalam esai
Shklovsky maupun Eichenbaum, masalah perbedaan ini begitu kerap disinggung.
Shklovsky, misalnya, bertolak dan mengedepankan perbedaan antara bahasa puitik
dan bahasa praktis/ prosais ketika ia mengajukan keberatan dan penolakannya
atas teori-teorinya Potebnya. Dalam hal ini, Shklovsky memandang, citraan
(simbolisasi) bukanlah merupakan perbedaan yang spesifik di antara bahasa
puitik dan bahasa praktis sebagaimana yang dipahami kaum simbolis
(puisi=citraan, citraan=simbolisme). Yang justru membedakan di antara keduanya
adalah persepsi strukturnya itu sendiri.
[6] Gagasan mengenai fungsi boleh dicatat sebagai gagasan paling penting
dalam teori-teori yang dikemukakan oleh kaum formalis; menjadi foreground bagi
studi mereka. Kerja mereka yang diarahkan untuk melihat bahan-bahan spesifik,
kekhususan sarana struktural, dan berusaha untuk menunjukkan identitasnya dalam
keragaman bahan, telah memaksa mereka untuk berbicara mengenai fungsi dan
sekaligus menjadi usaha bagi mereka untuk membedakan dan memahami fungsi sarana
itu pada masing-masing kasusnya. Maka menjadi suatu hal bisa dipahami apabila
dari sederet tesis general yang dikedepankannya, mereka hampir selalu
menyertakan gagasan tentang fungsi ini. Berawal dari gagasan mengenai fungsi
ini pula, kaum formalis kemudian bisa merevisi gagasan-gagasan mereka mengenai
sarana; hingga hal ini pun berdampak pada teorinya sendiri yang pada akhirnya
menuntut mereka untuk kembali menengok sejarah.
[7] Sebelum akhirnya pemaham mengenai bentuk ini direvisi: “bentuk baru
tidaklah mengekspresikan isi baru, namun mengubah bentuk lama yang telah
kehilangan kualitas estetiknya” (Shklovsky). Dengan adanya pemahaman baru
mengenai konsep bentuk inilah yang kemudian menggiring kaum formalis untuk
memasuki wilayah studi perkembangan dan sejarah sastra. Pada konteks relasi
yang berkenaan dengan aspek bentuk dan isi ini pula yang telah membedakan
gagasan Formalisme Rusia dengan formalisme yang dikembangkan oleh kalangan New
Criticism di Amerika. Dalam hal ini, kalangan New Critic memandang, aspek
isilah yang akan bisa mendeterminasi bentuk.
[8] Keterkaitan antara aspek bentuk dan teknik ini menjadi tidak bisa
dipisahkan dari gagasan-gagasan kaum formalis berkenaan dengan kecenderungan
studi mereka yang lebih mengkhususkan diri pada masalah bahan (material) dan
sarana/alat (device) kesastraan. Lebih dari itu, karena dipandang berhubungan
secara langsung dengan ciri yang membedakan antara ungkapan puitik dengan
praktis, gagasan mengenai teknik sebenarnya menjadi lebih signifikan dalam
ruang lingkup perkembangan formalisme daripada gagasan bentuk. Bahkan, metode
formal sendiri dianggap menjadi kontroversial karena fokus studinya yang lebih
merujuk pada masalah teknik ini.
[9] Dalam pandangan Shklovsky, seni berarti menghancurkan persepsi dari
yang tadinya otomatis menjadi tidak otomatis; tujuan dari imaji bukanlah untuk
menghadirkan makna dari objek yang dideskripsikan pada pemahaman kita,
melainkan untuk membentuk suatu persepsi khusus dari objek tersebut?membentuk
visinya sendiri, dan tidak untuk mengenali maknanya. Dengan titik tolak seperti
inilah Shklovsky kemudian mengedepankan konsep yang disebut teknik
defamiliarisasi.
[10] Munculnya teori tentang plot tersebut mulai membuka kaum formalis
untuk berdekatan dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan studi prosa.
Lebih dari itu, penjelasan mengenai tipikal teknik konstruksi plot telah
memberi peluang bagi mereka untuk berlanjut menelaah masalah sejarah dan teori
novel. Hal ini telah mempengaruhi keseluruhan rangkaian studi, bukan hanya dari
mereka yang tergabung dalam Opayaz saja, melainkan juga dari mereka yang tidak
berhubungan secara langsung dengannya; Mikhail M. Bakhtin boleh ditunjuk
sebagai salah satu dari mereka yang gagasan-gagasannya?terutama mengenai
(teori) novel?mengadopsi gagsan kaum formalis ini.
[11] Satu hal yang agaknya perlu diperhatikan, di dalam buku-buku teori
sastra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (di antaranya
Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, dkk. dan Panduan Pembaca Teori Sastra
Masa Kini, Rahman Selden), dalam bahasannya mengenai Formalisme Rusia term skaz
ini tidak pernah muncul. Yang muncul adalah term suzjet. Dengan mencermati
deskripsi yang dikedepankan Shklovsky di atas, apakah skaz yang dimaksud itu
adalah suzjet? Sebagai bahan perbandingan, dalam kaitannya dengan masalah plot
yang digagas oleh kaum formalis ini (Shklovsky), Luxemburg menyodorkan tiga
pengertian: motif, sebagai kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan;
fobula, sebagai rangkaian motif dalam urutan kronologis; dan sujzet, sebagai
penyusunan artistik motif-motif tersebut, akibat penerapan penyulapan terhadap
fobula.
[12] Esai Shklovsky, The Relation of Devices of Plot Construction to
General Devicse of Style, sebagaimana dicatat Eichenbaum, telah menandai
perubahan kaum formalis dari studi teoritis pada studi sejarah sastra. Tesis
Shklovsky yang menyatakan bahwa karya seni muncul dari latar belakang karya
lainnya dan melewati asosiasi dengannya; setiap bentuk karya seni diciptakan
paralel dan sekaligus berlawanan dengan bentuk lainnya; dan, tujuan dari bentuk
baru bukanlah untuk mengekspresikan isi baru, namun mengubah bentuk lama yang
telah kehilangan kualitas estetiknya, memberi fakta baru pada mereka tentang
ciri-ciri baru perkembangan dinamis dan variabilitasnya yang terus menerus.
[13] Pandangan ini kemudian lebih teraktualisasikan dalam tesis
Jakobson?Tynyanov ( 1928 ) yang pada intinya (mulai) menolak formalisme yang
mekanistis. Mereka mengusahakan untuk tidak hanya melihat perspektif
kesusastraan secara sempit, namun dengan mencoba untuk mulai mengaitkan
rangkaian sistem kesusastraan dengan rangkaian kesejarahan yang lain: “We
cannot understand literary develovment as long as the problem of evolution is
overshadows by questions of episodic and unsystematically conceived genesis,
both literary (literary influence) and extraliterary. Literary and
extraliterary materials used in literature may be placed within the scope of
scientific research only if judged from the functional viewpoint [….] The
problem of concrete choise of direction, or at least of its dominant, can be
opproached only through analyzing the relations of the literary series to other
historical series. The interrelatedness (the system of system) has its
analyzable structural laws. It is methodically pernicius to examine the
interrelatedness of system without keeping in mind the immanent laws of every
particular system” (Vodicka, 1972, h.7).
[14] Ini merupakan karakteristik yang menandai awal kerja kaum formalis
dalam studi sejarah dan perkembangan sastra (sebelum dikembangkan lebih lanjut
oleh Jakobson dan Tynyanov). Di sini, gagasan dari perkembangan sastra yang
dikedepankannya tanpa mengusung ide kemajuan dan pergantian yang statis, tanpa
ide realisme dan romantisme, tanpa memperhitungkan bahan-bahan ekstra-sastra.
Mereka masih melihat sastra sebagai suatu kelompok fenomena yang spesifik dan
bahan-bahan yang spesifik. Mereka hanya berusaha untuk menjelaskan fakta-fakta
historis yang konkret, fluktuasi, dan perubahan bentuk, untuk memperhitungkan
fungsi-fungsi spesifik dari sarana-sarana yang ada?dengan kata lain, di sisi
inilah mereka ingin menemukan batas antara karya sastra sebagai fakta sosial
yang definit dan suatu interpretasi bebas dari sudut keperluan sastra
kontemporer, selera, atau ketertarikan. Dengan demikian, mereka menyebut bahwa
gairah dasar dalam studi sejarah sastra mereka adalah gairah untuk mendestruksi
dan menegasi.
DAFTAR PUSTAKA:
Adams, Hazard (ed.). 1992. Critical Theory Since Plato. Harcourt Brace
Jovanovich College Publishers
Eichenbaum, Boris. The Theory of the “Formal Method”, dalam Adams (ed.),
h.801—16
Luxemburg, Jan van, dkk.. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Cet.-3. Jakarta:
Gramedia.
Bakhtin, Mikhail M.. Epic and Novel: Toward a Methodology for the Study of
the Novel, dalam Adams (ed.), h.839—855
Newton, K.M.. 1994. Menafsirkan Teks. Semarang: IKIP Semarang Press.
Selden, Rahman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Cet.-3.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Shkovsky, Victor, Art as Technique, dalam Adams (ed.), h. 751—59
Trotsky, Leon. The Formalist School of Poetry and Marxism, dalam Adams
(ed.), h.792—799
Vodicka, Felix. 1972. The Integrity of the Literary Process: UIT Poeties 4,
h.5—15
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar