Rabu, 25 Agustus 2021

Tataran Pemahaman dalam Sastra

M. Raudah Jambak
analisadaily.com
 
Penggunaan istilah, terkadang membuat penulis atau pembicara selalu khilap dengan makna dasar dari kata-kata yang dituangkannya. Mungkin seorang pembaca atau pendengar mencoba memahami dan memaklumi pemaknaan yang tertuang itu. Bombastiskah? Atau ambigu? Dalam pembicaraan bahasa memang ada yang disebut dengan polisemi yang berarti satu kata banyak arti, tetapi dia tidak terlepas dari makna dasarnya. Berbeda dengan homonim yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama tetapi berbeda arti, hanya saja tidak ada hubungan dengan makna dasarnya.
 
Hal-hal yang berkenaan dengan persoalan di atas tentu berdasarkan wilayah tata bahasa. Ketika kita masuk ke dalam tataran sastra, persoalan itu tentu memiliki pemahaman yang berbeda pula. Di wilayah sastra, bahasa hanya sebagai media. Dia lebih cenderung kepada makna-makna tersirat dan tersuruk, bukan tersurat. Demikian etika, estetika dan logika tentu tidak bisa kita kesampingkan.
 
Wilyah-wilayah seperti ini yang menyebabkan seorang penulis atau pembicara selalu luput memahaminya. Misalnya, ketika seseorang membahas persoalan bahasa tentu dia harus masuk ke dalam wilyah tersurat dalam hal pemaknaan. Ketika dia mengkaji persoalan sastra tentunya dia pun harus masuk ke dalam hal-hal tersirat, terutama persoalan ambiguitas. Jika terjadi hal yang sebaliknya, maka akan muncul pro-kontra pemahaman.
 
Pro-kontra pemahaman ini yang sering terjadi. Bahasa lisan tentu memiliki perannya sendiri, jika dibandingkan dengan bahasa tulisan. Berbeda lagi ketika kita berhadapan dengan bahasa isyarat. Metode berbahasa ini tentu berbeda wilayah pemahaman. Bahasa tulisan masuk kepada tataran konsep. Bahasa lisan dan isyarat masuk kepada wilayah aksi atau tindakan. Nah, bahasa konsep dan bahasa tindakan ini tentu bisa kita pilah-pilah lagi ke wialyah yang berbeda pula.
 
Berdasarkan hal di atas, ada hal yang menarik jika kita membaca tulisan yang tertuang di ruang Rebana Analisa. Tulisan-tulisan yang bernas itu selalu menyinggung persoalan politik dan sastra. Politik dalam sastra atau sastra dalam politik. Tulisan-tulisan Yulhasni, Budi P. Hates, T. Agus Khaidir, Jones Gultom, dan sebagainya, membicarakan persoalan itu.
 
Yulhasni dengan ‘kepiawaiannya’ selalu menulis tulisan-tulisan yang ‘menggugah-rasa’ kita tentang hal itu, termasuk ketika membahas ‘Teks-teks Semu pada Karya Sastra Sumut’ (Rebana Minggu, 30/11). Yulhasni mengungkapkan, Polemik sastra dan politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam teks sastra di daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan sementara: sastra di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu itu ketika puisi, cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang terjadi di sekitar lingkungan kepengarangan itu sendiri.
 
Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke Medan dan Banyak Kemudian, yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi puisi. Hasan menulis, Ia dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan toko-toko menawarkan bika//. Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan Putri tidak lain adalah rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan tentang sejarah kota yang tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat membaca teks seperti ini: Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat hambus/semua onak kubuat mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini medan putri berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.
 
Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobat kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobat kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan. Beberapa puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian ini bisa dikategorikan sebagai bentuk akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya adalah narasi kehidupan dalam keseharian kita yang juga kadang semu.
 
Bagi yang mengenal Yulhasni tentu akan memahami persoalan ini. Memahami arah tembaknya. Haya Aliya Zaki ada menuliskan tentang Yulhasni, katanya menurut Yulhasni bukan orang yang tergolong produktif menulis. Selain rutinitas sebagai wartawan, proses kreatifnya hanya sampai cerpen. Jujur, dia tak piawai merangkai puisi. Da hobi menulis kritik dan esai sastra. Yulhasni melihat dunia sastra Sumut adem-ayem saja, maka sesekali dia melempar ide dan mengkritik orang-orang. Dia suka ’ribut-ribut’ dalam konteks kreativitas. Biar semangatlah!, ungkap Yulhasni yang juga dosen Jurnalistik dan Menulis Kreatif di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, santai.
 
Meski merasa paling tak pintar menulis puisi, karya Yulhasni yang termaktub dalam buku-buku antologi, antara lain Rezim, Surat Buat Merah Putih, Muara III, Koin Satu Milyar, Kado Ulang Tahun, Amuk Gelombang, dan Kosong, justru berupa puisi. Selain menulis puisi, pria yang sehari-hari juga menjadi pelatih tetap jurnalistik dan calon wartawan di beberapa instansi ini pernah menggarap beberapa naskah teater dan telah dipentaskan. Karya serupa cerpen, kritik, esai sastra, politik dan HAM, terbit di sejumlah media massa lokal dan nasional.
 
Dengan menulis, Yulhasni bisa berteriak dan bersuara bebas. Dengan menjadi penulis, dia bisa memposisikan diri sejajar dengan siapa pun. Dia bisa berdiri tegak dengan politisi, pejabat, pengusaha, perampok, pelacur dan semua orang di dunia ini.Yulhasni sangat menyukai tulisan bertema pergerakan.
 
Nah, kembali ke persoalan, menarik apa yang dituangkan Yulhasni, bahwa karya sastra Sumut hanya teks-teks semu belaka. Jika kita masuk ke wilayah sastra, maka Yulhasni sudah menyampaikan hal yang benar. Dalam pengertian semu berati tampak seperti asli (sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli (sebenarnya). Begitu juga pemahaman akrobatik yang berarti peragaan yang hebat dan mengagumkan persoalan ketangkasan.
 
Sastra dalam hal ini puisi maupun cerpen memang semu (fiktif) dan ia lebih kepada bahasa konsep dalam bentuk tulisan. Jika dikatakan dia dikatakan akrobatik, maka dia lebih kepada bahasa tindakan (aksi), inipun jika ia ditampilkan dalam sebuah wilayah pertunjukan. Pemahaman kontradiktif Yulhasni ini sangat menarik untuk dikaji ulang.
 
Jika dcia menyatakan semu dalam pengertian bahwa sastra memang karya imajinatif dan dimulai dari sebuah khayalan. Sastra bukan kebohongan meski lahir dari proses kontemplasi batin. Sayangnya jika dikaitkan dengan proses transformasi teks ke dalam sikap dan tindakan, seringkali kata-kata hanya kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran.
 
Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa fakta seperti sastrawan yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa kenyataan di sekitar kita dalam kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi fakta tentang itu semua. Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur dalam berkarya?
 
Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut perlu dikritisi dalam bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana kita memahami teks dalam bingkai penciptaan karya secara kontinu dan berkesinambungan saja. Saya tidak pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan selalu jadi ukuran keberhasilan sastra di daerah ini. Kualitas pun tentu juga harus dilihat dengan perspektif penafsiran kaum akademik yang justru terkadang hanya melihat teks secara parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra ke dalam ruang-ruang pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena dia ikut mengambil bagian di dalamnya.
 
Muncul persoalan, apakah seorang komentator harus menjadi seorang pionir. Seorang pelatih harus menjadi pemain?
 
Sebagai bahasa konsep, dia menawarkan gagasan untuk menghadirkan bahasa tindakan. Minimal mengajak pembaca untuk merenung dalam menyusun kekuatan baru sebelum bertindak. Orang bijak mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi renungkan, pahami apa yang disampaikan. Jika pesan yang disampaikan itu ke arah kebaikan, maka wajarlah kiranya kita masuk ke wailayah aksi (tindakan), walaupun yang menyampaikan itu penjahat besar sekalipun. Akhirnya, terserah pada kita menerima atau menolak. Seperti halnya, Iblis yang mengajarkan manusia menghafal ayat kursi.
 
Bahasa konsep akan menimbulkan tindakan, bukan adalah tindakan. Persoalan kejujuran adalah wilayah perenungan, bukan penilaian. Urusan ketuhanan, bukan manusia.
 
Pemahaman akrobatik jika dimaksudkan adalah sebagai lompatan-lompatan, juga perlu ditinjau ulang. Daya ungkap puisi dengan cerpen tentu jauh perbedaannya. Lompatan-lompatan dalam puisi jauh berbeda dengan cerpen. Begitu juga antara cerpen dengan novel. Apalagi jika kita berhadapan dengan model prosa lirik, tentu memiliki lompatan yang berbeda jika dihadapkan dengan cerpen biasa. Akhirnya, sebagai sebuah konsep saya sangat setuju dengan tataran yang ditawarkan Yulhasni. Jika konsep sama dengan tindakan kita lihat dulu wilayah pemahamannya. Salam.
 
______13 Nov 2011

*) Penulis adalah Direktur Komunitas Home Poetry. http://sastra-indonesia.com/2012/02/tataran-pemahaman-dalam-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar