Jumat, 27 Agustus 2021

Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu

Iwan Simatupang
Majalah Sastra, I/7, 1961
 
"Tunggu aku di pojok jalan itu," katanya. "Aku beli rokok dulu ke warung sana."
 
Ia pergi. Sejak itu, istrinya tak pernah melihatnya lagi. Sepuluh tahun kemudian, ia kembali ke kota itu. Dilihatnya istrinya masih menunggu di pojok jalan itu.
 
"Selamat sore," sapa istrinya.
 
"Selamat sore," sahutnya.
 
Ia mengharap lebih dari hanya selamat sore. Tetapi, istrinya tak lagi berkata apa. Ia cepat berpaling kepada laki-laki lain yang datang menghampirinya. Kepadanya ia juga memasang muka manis, dan menyapa, "Selamat sore."
 
Laki-laki itu tak menjawab, tetapi terus saja menjentik pipi istrinya. Mereka bercakap sebentar. Berpegangan tangan, mereka kemudian menyusuri kakilima.
 
Ia memburu istrinya. Tetapi dilihatnya wajah istrinya sangat terusik.
 
"Selamat sore!" kata istrinya lagi.
 
Suaranya sangat saran dengan anjuran keras jangan mengganggu lagi.
 
Lama ia tegak termangu di bawah lentera pojok jalan itu. Angin malam sangat dingin. Leher bajunya ditegakkannya. Langkah-langkahnya yang lambat berangkat dari tempat itu menjalin perasaannya ke dalam kenangannya. Ia mengerti! Keratasapuan biru di langit malam yang masih muda, menyiramkan kesejukan maaf ke dalam dadanya.
 
Ia tersenyum, menganggukkan kepalanya. Cepat langkah-langkahnya menuju hotel kecil tempat ia menginap. Bersiul kecil, ia mengambil kunci kamarnya dari kantor pengusaha hotel.
 
"Agaknya kota kami menyenangkan Tuan?" sapa pengusaha hotel, seorang janda gemuk, lewat lima puluhan.
 
"Sangat menyenangkan," sahutnya. "Mungkin saya menetap di sini."
 
"Syukur."
 
Otaknya cepat menghitung uang bayar makan per bulan yang akan dimintanya dari tamu yang tampaknya selalu riang ini. Di kamar mandi, dia ini senantiasa menyanyikan lagu-lagu yang kebetulan juga kesukaannya. Tetapi ia sangat heran, ketika tamunya itu menolak dipinjami gramofon bersama piringan hitam dari justru lagu-lagu yang dinyanyikannya di kamar mandi itu.
 
"Saya suka Tuan menyukainya," katanya kecewa.
 
"Menyukainya tak harus berarti kita menjadi budaknya."
 
Ia berusaha keras jangan melukai hati perempuan itu.
 
"Tuan sakit?" tanya janda itu sejam kemudian mengetuk pintu kamarnya. Di tangannya sepiring sup panas.
 
"Tidak," sahutnya ramah. Hatinya mengutuk perempuan gemuk jelek yang tampaknya ingin mengobral kebaikan hati itu.
 
"Mengapa Tuan tidak pergi jalan-jalan? Di musim begini, kota kami paling indah." Ia letakkan sup di atas meja. Dan, sambungnya genit, "Kota kami terkenal wanita-wanita cantiknya." Ia mengedipkan mata kirinya.
 
"Mungkin besok. Tetapi malam ini, terang tidak."
 
Dengan hormat sekali, ia untuk kedua kalinya malam itu berusaha jangan terlalu melukai perempuan itu. Pelan-pelan ia mengiringnya keluar pintu.
 
"Selamat sore," sapanya sekali lagi, petang esoknya.
 
"Selamat sore."
 
Nada suara istrinya seperti kemarin. Lurus, dangkal. Netral, seperti netralnya keindahan barang-barang di balik kaca pajangan.
 
Ia melihat ke sekeliling. Tak ada laki-laki lain. Ia hampiri istrinya. Istrinya memandanginya. Persis pandangan pedagang jagal sapi pada langganan yang baru masuk kedainya.
 
Bingung ia dibuat pandangan seperti itu. Danau biru bening yang ditinggalkannya sepuluh tahun lalu pada kedua mata itu, tak ditemuinya. Tiba-tiba satu rasa yang khas menusuk masuk ke dalam dirinya. Rasa, yang menyuruh ia cepat berpaling saja, lari meninggalkan istrinya. Tetapi, niatnya ini dibatalkan segera oleh satu bau di udara. Bau minyak wangi dan pupur harga murah.
 
Ia terkejut sekali! Berbeda bau ini dari minyak wangi yang dulu acap dibelinya bagi istrinya. Memang, tak sering ia membelinya. Tetapi, sekali ia beli, pastilah itu dari jenis paling bagus, paling mahal. Bau ini dapat memuncakkan segala kasih birahinya kepada istrinya.
 
Satu rangsang nakal hinggap atas pelupuk matanya. Ia ingin tajam-tajam memandang dalam mata istrinya. Kalau perlu, dengan segala risiko yang dibawa oleh pandangan nakal serupa itu.
 
Tetapi... di luar dugaannya, istrinya sedikit pun tak menundukkan kepalanya. Dengan usaha untuk di saat terakhir mempertahankan dirinya, ia membalas tatapan mata suaminya itu. Untuk suatu ketika, mereka saling berpandangan, menerobos ke lubuk jiwa masing-masing.
 
Tetapi, bintang-bintang di langit malam yang berangkat tua, memberi kodrat lain pada pertemuan pandang seperti itu. Apakah arti sepuluh tahun di bumi bagi bintang-bintang di ruang angkasa?
 
Sebelum keduanya tahu apa-apa, keduanya telah menemui diri mereka dalam pelukan pihak lain. Mata mereka basah. Bibir mereka berkali-kali saling bersentuhan. Sentuhan, yang dengan paksa membuka pintu besi berkarat ke masa lampau.
 
Tangan mereka saling berpegangan. Keduanya tak tahu mau mengungsikan ke mana bahagia mereka malam ini.
 
"Ke mana?" tanya istrinya.
 
Ke mana? Ya, Allah! Sesudah sepuluh tahun, ia masih juga belum dapat menjawab pertanyaan serupa itu. Dirinya adalah justru tanya itu sendiri, bukan jawabnya.
 
"Entah," bisiknya. Bisik, antara bisik dan usaha untuk ... namun tak menyia-nyiakan malam ini.
 
"Kau masih seperti dahulu juga," kelakar istrinya.
 
Suara itu menyatakan dakwaan yang mengambang dalam kasmaran yang telah memperbarui dirinya kembali.
 
"Aku masih tetap aku," jawabnya. Tangan istrinya semakin erat digenggamnya. Keduanya tak adapat memulai percakapan biasa. Dada mereka terlalu sesak. Kata-kata mereka sangkut di kerongkongan, untuk kemudian mereka telan kembali bersama ludah asin.
 
Mereka sampai di ujung kakilima. Mereka berhenti. Persimpangan jalan yang dihadapi itu sangat membingungkan. Ia selalu dibingungkan oleh sekian arah sekaligus. Pandangnya dilarikannya ke bintang-bintang langit malam. Lama ia menatapnya, sambil mendengarkan pernapasan istrinya yang tegak di sampingnya. Pelan mereka membalik, menyusuri kakilima itu kembali.
 
"Ya. Tampaknya kau masih tetap kau juga," kata istrinya.
 
Ia terkejut. Suatu nada asing ditemuinya pada suara istrinya.
 
"Mengapa kau terkejut?" tanya istrinya.
 
"Kau bukan kau lagi."
 
"Aku masih saja... menunggu," sahut istrinya.
 
Ia berusaha memperdengarkan suara sungguh-sungguh.
 
"Ya. Kulihat kemarin."
 
"Habis, kau suruh aku menunggu...."
 
Tiba-tiba mereka merasa yang sepuluh tahun itu telah menghadirkan dirinya antara mereka. Kehadiran, yang dipantulkan bintang-bintang di langit, yang berkedip telah jutaan tahun. Gong dalam hati sanubari mereka berbunyi. Gong! Yang menyatakan gugurnya babak bagi mungkinnya mereka bersatu kembali di masa datang.
 
Suatu benci mengental dalam dirinya. semua pada wanita yang tegak di sampingnya ini dibencinya. Sangat dibencinya! Minyak wanginya, pupurnya, cat bibirnya, cat kukunya, gaunnya dari sutra hijau. Semua dari harga murah, dengan hanya tugas: merangsang birahi jalang pada laki-laki.
 
Tiba-tiba saja ia memutuskan bagi dirinya, bahwa wanita yang berjalan di sampingnya ini pada hakikatnya adalah sama saja dengan wanita-wanita lainnya yang pernah ditegurnya di kaki-kaki lima. suatu rasa asing merebut dirinya. Napasnya mulai panas, sesak.
 
"Mari!" bisiknya, padat dengan birahi.
 
"Ke mana?" tanya istrinya. Pengalamannya selama sepuluh tahun ini cepat dapat menerka makna pegangan tangan dan tarikan napas laki-laki seperti itu.
 
"Masa kau tak tahu. Ayo!"
 
Istrinya tersenyum. Sejenak, ia menatapi suaminya baik-baik. Matanya menyatakan penjungkiran suatu harapan yang hampir berhasil dibangunnya. Sinar gaib memancar dari kedua bola matanya. Sinar dari penderitaan selama (dan pembalasan untuk) sepuluh tahun. Senyum bibirnya sejak itu memiliki kepastian.
 
"Ayo! Mari...," desaknya lagi.
 
Berpegangan tangan erat sekali mereka berdua pergi dari pojok jalan itu. Langkah-langkahnya doyong, diseret oleh langkah-langkah pasti istrinya. Tiba-tiba istrinya berhenti.
 
"Tunggu dulu!" katanya, sambil mengetuk tangan suaminya.
 
"Ada apa?"
 
"Tarifku dua ratus sampai tengah malam. Sampai pagi, dobel...."
 
Seperti kena sambar halilintar di siang bolong, tubuhnya menjadi kejang dan kelu. Mukanya pucat pasi. Ludah basi dan asin sekali dengan kentalnya merekatkan geraham-gerahamnya. Pandangannya pudar, makin pudar. ia melihat segumpal bayang saja lagi.
 
Tetapi tak lama kiamat kecil ini berlangsung dalam dirinya. Pelan-pelan ia bangkit kembali dari titik nadir kesadarannya dan naik ke titik zenith-nya untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan tentang dirinya di dalam pertautan persoalan antara dia, istrinya, dan seluruh alam raya. Ia mengerti!
 
Pelan-pelan getar-getar kecil tadi datang kembali, makin lama makin banyak. Napasnya, tubuhnya, kembali membara. Akhirnya, ia dapat memulihkan kembali garis-garis profil wajah istrinya, wajah yang tersenyum menantang, tersenyum menang....
 
Esok paginya, dengan kereta api pertama yang berangkat subuh, ia meninggalkan kota itu. Ia telah memutuskan untuk mencari kota lain saja tempat ia menetap.
 
Petangnya, di bawah lentera di pojok sebuah jalan di kota itu, seorang wanita dalam gaun sutra hijau menunggu..., menunggu laki-laki mana saja. Kepada mereka yang datang kepadanya ia selalu berseru, "Selamat sore...."
***

(Disalin dari Tegak Lurus dengan Langit, Lima Belas Cerita Pendek Iwan Simatupang, Penerbit Sinar Harapan, cetakan II, 1985) http://sastra-indonesia.com/2021/08/tunggu-aku-di-pojok-jalan-itu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar