Kamis, 24 Juli 2014

Lesbumi dalam Pembentukan Budaya Bangsa

Muhammad Alimudin
alieserenisme.blogspot.com

Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) merupakan lembaga seniman budayawan yang di usung oleh NU pada tahun 1950-1960-an. Lebih tepatnya, lesbumi diresmikan pada 28 Maret 1962, oleh almarhum Kiai Saifudin Zuhri, Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia, sekaligus melantik almarhum Djamaludin Malik sebagai ketuanya. Usmar Ismail dan Asrul Sani mendampingi Djamaludin, sebagai Ketua I dan Ketua II. Di lembaga itu para seniman dan budayawan muslim NU berkumpul.

Berdirinya lesbumi bersamaan dengan munculnya lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan yang berafiliasai dengan partai politik yang tentunya bila diamati keadaan seperti ini menjadikan seni dan budaya dimanfaatkan sebagai alat politik. Awal sejarahnya, Lesbumi yang berafiliasi pada partai NU, memposisikan dirinya berada di”tengah-tengah” (moderat) dari dua titik ekstrim antara kubu Lekra dan Manifes Kebudayaan. Antara paham realisme sosialis dengan humanism universal. Lesbumi menolak jargon “politik adalah panglima,” yang menjadi gerak aktivitas lekra dan “seni untuk seni” yang menjadi pandangan manifes kebudayaan.

Sikap Lesbumi tersebut dikeluarkanya Surat Kepercayaan Gelanggang. Berikut kutipan dari Surat Kepercayaan Gelanggang.

SURAT KEPERCAYAAN
…..
Dengan ini jelaslah bahwa dalam penilaian kita, kita akan memberikan tempat yang sentral pada permasalahan masyarakat dan kehidupan. Kita tidak berpegang pada semboyan “kata untuk kata, puisi untuk puisi”. Kita tidak mau melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya. Adalah hal yang wajar jika seniman mencipta berdasarkan masalah-masalah konkret yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan masyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak “isme” apapun dalam kesenian – artinya “isme” dalam kesenian bagi kita tidak penting sama sekali. Yang penting adalah gaya pribadi seniman yang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan pada masyarakat.

Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang yang keras pendirian “politik adalah panglima”. Pendirian ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah menjadikan seluruh kehidupan kreatif menjadi korup. Pendirian ini telah mengingkari hak tanggung jawab dan kebebasan memilih pertanggungan jawab kaum seniman dan inteligensia (budayawan), dengan memaksa mereka menyerahkan pertanggungan jawab itu pada suatu ideologi, pada suatu sistem pemikiran yang bersifat memaksa.
……
Pernyataan tersebut jelas menandakan eksisnya para seniman dan budayawan muslim Indonesia. Sikap yang memberikan warna lain yang membedakan Lesbumi dari Lekra dan Manifes Kebudayaan.

Lembaga ini sempat stagnan hingga pasca pemerintahan Soeharto, namun kembali dihadirkan melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) . Apa yang dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.

Eksistensi Lesbumi: Polemik Kebudayaan, Surat kepercayaan Gelanggang, Politik Aliran Kepercayaan

Tiga peristiwa kebudayaan Indonesia di abad 20, yaitu: polemik kebudayaan, surat kepercayaan gelanggang dan politik aliran kepercayaan merupakan perdebatan kebudayaan dimana dalam ketiga peristiwa itu memunculkan pembeda antara kebudayaan “baru” dan “lama” sebagai upaya dalam pembentukan Negara-bangsa Indonesia.

1) Polemik Kebudayaan
Manurut kamus istilah sastra, Polemik kebudayaan adalah perbantahan pikiran antara dua pihak yang berbeda paham tentang suatu amasalah konkret ataupun pendirian yang mendasar atau sering disebut juga dengan perang pena.[1]

Polemik kebudayaan yang berawal dari esai-esai yang dikumpulkan menjdai buku oleh Achdiat Karta Miharja, mengandung tiga bagian inti, yaitu polemik menuju masyarakat dan kebudayaan baru Indonesia, pendidikan dan perguruan nasional, serta pembangunan bangsa.

Bagian pertama yang merupakan pencarian kebudayaan baru Indonesia, Sutan Takdir Ali Syahbana (STA) dan Sanusi Pane memperdebatkan identitas antara timur dan barat. Sanusi Pane yang mengajukan semangat ketimuran, sedangkan STA mengajukan kebudayaan barat sebagai kiblat yang harus ditempuh oleh bangsa Indonesia. STA mengemukakan bahwa Indonesia sedang mengarah ke “barat’ yang lebih dinamis dengan indikasi fenomena semangat ke-indonesiaan dan rasa kebangsaan, keinginan untuk maju dan munculnya perkumpulan Budi Utomo tahun 1908 sebagai organisasi modern yang dipimpin oleh mereka yang berpendidikan barat, demikian juga nama Indonesia yang sebenarnya di impor dari bangsa barat.

Pendidikan dan perguruan nasional sebagai bagian kedua dari polemik kebudayaan menjadi perdebatan antara Dr. Soetomo, Tjindarbumi, Adi Negoro, Ki Hajar Dewantara di satu pihak dan STA di pihak lain. Bermula dari hasil Kongres I Permusyawaratan Perguruan Indonesia pada 8-10 Juni 1935 di Solo, polemik ini menghadirkan sistem pendidikan ala Pesantren dan ala Barat. Pesantren yang merepresentasikan budaya timur diajukan oleh sebagian pembicara (Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantara dan Sutopo Adiseputro) dalam kongres sebagai model perguruan ‘yang asli’, yang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Model pesantren ini dihadapkan dengan model perguruan yang ada di barat, yaitu H.I.S. (Hollandsch Inlandsche School) dan E.L.S. (Europesche lagere School) yang diajukan oleh STA. Perdebatan ini dapat dikatakan sebagai bentuk refleksi dari situasi peralihan yang dihadapi masyarakat Kolonial, terutama pada masa-masa akhir pemerintahan Hindia-Belanda.

Pada bagian ketiga, tentang polemik pembangunan bangsa. Sebenarnya semua yang bertentangan telah mendapatkan pendidikan dari barat dan hasil dari perdebatan itu hanyalah hal-hal yang sifatnya imajiner.

2) Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG)
Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan resmi yang menyatakan sikap dan pendirian kelompok gelanggang mengenai kebudayaan yang tertanggal 18 Februari 1950 dan diumumkan melalui majalak Siasat edisi tanggal 22 Oktober 1950.[2]

SKG yang sebenarnya dirumuskan oleh Asrul Sani pada 18 Februari 1950 tetapi baru dipublikasikan Sembilan bulan berikutnya, pada 22 Oktober 1950, mengindikasikan bentuk reaksi terhadap Mukadimah Lekra yang dicetuskan pada 17 Agustus 1950. Indikasi itu terlihat dari masuknya beberapa pencetus SKG ke Lekra, perbedaan ideologis antara Lekra dan Generasi Gelanggang, dan Kemajuan Lekra.[3]

Pada saat desakan Lekra begitu kuat, Asrul Sani dan Usmar Ismail dan beberapa teman lainya mendirikan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) yang berinduk pada NU.

Sebagaimana yang tercantum dalam SKG, Asrul Sani selalu memegang teguh idealismenya untuk membangun kebudayaan Indonesia, “…ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Asrul Sani juga menolak tegas gagasan politik adalah panglima, “kita tidak menolak ‘isme’ apapun dalam kesenian…kita adalah penentang keras ‘politik adalah panglima,” yang dianut oleh Lekra. Dalam pembangunan budaya Indonesia Asrul Sani menyebut kalimat, “Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan pemberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.”
Dengan SKG ini menandakan Asrul Sani sebagai bagian dari Lesbumi yang selalu mengawal pembangunan kebudayaan Indonesia dari pengaruh kekuatan penguasa dan pemurnian budaya dengan berpegang pada agama.

3) Politik-Aliran Kebudayaan
Politik-aliran kebudayaan yang berkembang pada tahun 1950-an dibagi menjadi dua aliran utama di kalangan seniman-pengarang saat itu: aliran universalisme (seniman-pengarang gelanggang) dan aliran realisme sosialis (seniman–pengarang Lekra).

Dalam perkembanganya, aliran-aliran kebudayaan hanya mempertentangkan soal jalan atau metode, belum mencapai soal hasil dalam berkebudayaan dan berkesenian. Keadaan itu brejalan sampai memasuki tahun 1960 dan pada saat itulah politik Indonesai dihadapkan pada bapak baru, yaitu diterapkanya ‘Demokrasi Terpimpin’. Sistem Demokrasi Terpimpin ini dilakukan oleh Soekarno sebagai ganti dari liberalisme yang gagal. Selanjutnya konsep Demokrasi Terpimpin yang digagas Soekarno melalui pidato 17 Agustus 1959 ini disebut Manifesto Politik (Manipol). Di mana tidak hanya persoalan yang ekonomi dan politik saja yang menjadi konsen, tetapi juga mengenai kebudayaan.

Pidato tersebut mendapat tanggapan, antara lain dari Asrul Sani yang mengemukakan tentang ketidakmajuan seni budaya nasional disebabkan oleh jatuhnya seni budaya ke tangan kaum birokrat tanpa mengikutsertakan kaum seniman. Lebih jauh, Asrul Sani menyebut bahwa kaum birokrat sibuk dengan soal infiltrasi kebudayaan.

Manipol ini memberikan ruang untuk saling dukung antara pemerintah dan kaum seni. Di satu sisi mengikutsertakan kaum seni dalam revolusi pembangunan bangsa. Namun di sisi lain, terjadi arus politisasi kebudayaan yang sebenarnya bertentangan dengan naluri kaum seni yang beraliran seni otonom.

Konsep Manipol ini juga menjadi momen persinggungan antara kaum seni dan dunia politik. Peringgungan ini yang memunculkan kaum seni yang berafiliasi dengan pemerintah, yaitu Lekra dengan slogan utama ‘Politik adalah Panglima’ dan kaum seniman-pengarang ‘angkatan baru’ (angkatan 45) yang melahirkan Manifes Kebudayaan dengan falsafah kebudayaan Pancasila.

Berbeda dengan kedua kelompok di atas, Lesbumi melalui para pelopornya—meskipun lembaga ini dibawah partai NU—monolak ‘Politik adalah Panglima’. Lesbumi menempuh jalan tengah sesuai dengan karakteristik NU, partai induknya. Alasan ini dikemukakan karena kaum Lesbumi ‘tidak berpegang pada kata untuk kata, puisi untuk puisi’ dan ‘tidak ingin melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya’. Selain itu, Lesbumi juga menegaskan ‘isme’ dalam kesenian tidaklah penting dan yang penting adalah ‘gaya pribadi seniman yang dipergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak disampaikan kepada masyarakat’.

Meskipun demikian, tantangan kaum terdidik (seperti usmar Ismail dan Asrul Sani) dalam mengembangkan seni budaya Lesbumi di lingkungan nahdhiyyin adalah bagaimana memadukan seni budaya yang ‘modern’ sekaligus ‘religius’ sebagai kepaduan yang baru.

Persoalan lain juga adalah mengenai membumikan pandangan ‘keagamaan Islam tentang seni budaya’ dalam komunitas nahdhiyyin. Tentunya ini menjadi pekerjaan bersama oleh kaum seni Lesbumi dengan para Ulama.

Tantangan Lesbumi di dalam berkesenian dan Berkebudayaan
Hadirnya modernitas yang mendasari sifat kebudayaan pragmatis kini menjadi tantangan nyata bagi Lesbumi untuk berkesenian dan berkebudayaan yang lebih berkualitas dan manusiawi khususnya dengan mengajak seluruh warga NU agar mengembalikan ruh kebudayaan sebagai medium baragama dan bersosialisasi.

Menghadirkan kembali lesbumi sebagai upaya untuk menjadikan berkesenian dan berkebudayaan sebagai pilar dari sikap kemanusiaan. Hal ini dilandasi oleh keadaan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan kebudayaan sehingga yang nampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku, tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi menjadi sesuatu yang hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya akan terkesan kering, keras dan kaku.

Lesbumi yang terdiri dari para budayawan, seniman, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia, memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kretifitas masyarakat. Proses alienasi kesenian dari komunitasnya disebabkan oleh komersialisasi dan komodifikasi kesenian yang menciptakan pasar mengakibatkan kesenian rakyat selalu dapat dikalahkan oleh kebudayaan dan kesenian kapitalis.

Sudah saatnya NU memberikan perhatian khusus pada dunia seni dan budaya serta menjawab persoalan- persoalan yang dihadapi oleh seniman dan budayawan meski konsekuensinya adalah NU harus memperkaya Bahtsul masail kebudayaan dan kesenian yang dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu.

Untuk meneguhkan komitmenya di bidang kesenian dan kebudayaan, NU melalui Lesbumi sudah saatnya mengembangkan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran islam dalam rangka untuk membina manusia nuslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan Negara.

Sumber:
Chisaan, Choirotun, Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan, 2008, Yogyakarta: LKIS
Zaidan, Abdul Razak dkk., Kamus Istilah Sastra, 2007, Jakarta: Balai Pustaka, h.156
Mahayana, S. Maman, 9 Jawaban Sastra Indonesia: sebuah oriantasi kritik, 2005, Jakarta: Bening Publishing, h. 452-455

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar