Kamis, 24 Juli 2014

TUHAN DI PELUPUK SITOR SITUMORANG

Mianto Nugroho Agung *
miantonalove.blogspot.com/2011/08

Sekelumit Sitor Situmorang

Sitor dilahirkan di Harianboho (Sumatera Utara) pada 2 Oktober 1924. Dibanding mereka yang sezamannya, ‘bocah’ Sitor cukup beruntung di bidang pendidikan. HIS (Balige dan Sibolga) dan AMS (Jakarta) berhasil ia lalui. Bahkan ia pernah memperdalam pengetahuan mengenai sinemaografi di Universitas California (Amerika Serikat). ‘Sebelum’ menjadi sasterawan, ia adalah wartawan di berbagai media massa. Kemudian berbagai jabatan Struktural maupun non srtuktural ia gapai pula. Dari mulai pegawai DPK sampai dosen ATNI, dan dari mulai anggota DPN, MPRS hingga Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional. Belakangan ia tinggal di Pakistan, setelah berbagai negara di dunia ia ‘singgahi’.

Sekelumit Proses Kepenyairannya

Barangkali Sitorlah penyair yang lahir dari ketidaksengajaan setelah pada tahun 1939, ketika duduk di kelas II SMP, berkenalan dengan “Saijah dan Adinda”-nya Max Havelaar. Sebuah perkenalan pertama yang unik dan tragis, karena baru terasa gregetnya 10 tahun kemudian, yakni ketika ia menulis sajaknya yang pertama (Kaliurang, 1948). Hebatnya, sajaknya ini ketika dikirim ke SIASAT yang -katanya- ‘sangat berpengaruh dan baik’, langsung dimuat. Ia mengaku bahwa sajaknya yang pertama ini sebagai bukan karena ilham, tetapi karena emosi belaka.

Berbeda dari Chairil Anwar -’teman’ seangkatan dan sedaerah-, Sitor belum juga exist apalagi mencuat di tengah suasana yang ‘buruk’ akibat berbagai perubahan. Tetapi kalau ditanya apa cita-citanya, ia selalu menjawab ‘pengarang’. Namun apa lacur, aspirasi sastra yang samar, sekolahnya yang putus di tahun 1943-1945 karena pendudukan Jepang, dan ‘badai’ (istilahnya untuk masa sulit) saat itu menyebabkan ia lebih memilih menjadi wartawan dulu. Ia malang melintang di dunia jurnalistik dari Sibolga, Medan, Pematang Siantar, Jakarta hingga Yogyakarta.

Pada usia 25 tahun, di tengah kesibukannya sebagai wartawan, ia “ … makin terpesona oleh dunia sastra dan dunia kesenian”. Dikunjunginya berbagai pusat kesenian di Solo dan Yogyakarta. Berkenalan dengan Chairil Anwar pun dia alami. Puncaknya adalah: Kaliurang. Dan, disusul ‘potret’ lain sekitar alam, perjuangan, dan tema-tema lain di luar tema pribadi yang diakuinya sebagai belum menjelma karena belum ‘kesurupan (trance)’. Pengalaman seperti itu muncul di tahun-tahun 1953-1954. Ketika Chairil Anwar meninggal, beberapa saat kemudian ia ke Eropa, dan dari sana lahirlah berbagai karyanya. Hingga ratusan jumlahnya yang sudah diterbitkan.

Tuhan Dalam Jendela Sastra Sitor

Tidak banyak karyanya yang benar-benar eksplisit berdimensi religius (dalam arti berbingkai latar belakang agama). Namun toh bukan berarti ‘potret’ Tuhan tak tertemukan dalam karya Sitor. Anehnya, dari yang sudah sedikit itu ternyata Sitor ‘berkesimpulan’ amat mengejutkan. Tuhan dipotret dalam medium realitas seorang Sitor saja. Atau, setidaknya lewat dirinya.

“Malam Jakarta”, adalah mozaik kota Jakarta yang dalam transisi setelah dilanda berbagai kerusuhan. Karena itu nada pesimis dan skeptisnya terasa menonjol. Wajah bopeng itu mendorongnya untuk menggugat eksistensi Tuhan. Warna La-Paste-nya Sartre terasa kental, dan sampailah Sitor pada kesimpulannya bahwa ‘Salib di Kutub’ setelah ‘bayang sepi’ maka dikatakannya ‘Tuhan tak ada’. Bandingkan dengan gugatan Nitsche yang berani membunuh tuhannya (t kecil) setelah jengkel tuhan tak berbuat apa-apa untuk kesejahteraan manusia. Bagi Sitor, seperti ternyata dalam “Chathredale de Chartes”, ‘ … kesucian nyanyi gereja kepercayaan ‘ hanya berarti sebagai yang kondisional agar ‘bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan/lambaian cinta setia dan pelukan perempuan’. Syukur pada awal sajak ini Sitor masih berani bertanya ‘Akan bicarakah Ia di malam sepi’ seperti ia juga menanyakan ‘kenapa takkan percaya pada Tuhan?’ setelah ‘ … dalam duka tak mau beranjak’. Tapi, toh ia membuat semacam konklusi bahwa ‘Ia pun didera sepi’.

Penghakiman bahwa ‘Tuhan tak ada’ di “Macan Jakarta” ternyata tidak saja dihidupkan dalam puisi berjudul “Sajak”; lebih dari itu, tuhan yang dihidupkannya itu ternyata perlu ‘dadili’. Pertama-tama ia menyatakan ‘Adakah Ia penipu ataukah anak Tuhan?’. Akibatnya, Sitor merasa menjadi “Si Anak Hilang” dan karena penjelajahannya ke negeri-negeri seberang, pada hari “Raya Pasah” ia merasa butuh pegangan. Sayang ia cuma berani menyesali ketakberdayaannya dengan berkata ‘Isa; Isa’ Isa/Aku tak punya Rupa’. Dalam “Gerejanya”, Sitor bahkan ‘ … tak berharap karenanya?’ walaupun ‘telah begitu lama diam / hingga tak dapat membedakan / suara burung’.

Pertanyaan kontemplatis barangkali perlu kita ajukan kepada Sitor setelah kita tahu betapa ‘jauhnya’ ia dari tuhan, yakni: Siapakah Kristus itu baginya dalam “Kristus di Medan Perang”: sorga bagi Sitor itu apa, saat ia menuliskannya dalam “Gerejanya”. Atau, pengakuan ‘jika aku ada di sini, hanyalah aku sendiri’ layak diamini seperti ia tulis di akhir sajak “Ziarah dalam Gereja Gunung”, amin (=kiranya Tuhan mengabulkan) merujuk pada Tuhan yang mana? Tuhan toh tidak ada bagin Sitor? Lantas, Yesus itu siapa, kalu ia menulis dalam “Sumpah Galileo”? Allah yang ditulis dalam “Keridaan” pun masih terlalu pagi untuk dirujuk sebagai tuhan Sitor. Rentetan pertanyaan itu masih bisa kita perpanjang lagi kalau mencermati sajak-sajaknya. Namun, agaknya tak terlalu berlebihan kalau mengatakan bahwa setidak ada-tidak adanya tuhan Sitor, bukan berarti Sitor tidak butuh dan percaya akan eksistensi Pribadi yang Supranatural itu. Terutama manakala ia menyadari betapa sepinya hidup tanpa tuhan. Lihat, dalam “Potret Maria Magdalena” toh ia juga memerlukan mujizat agar ‘Guru membuat anggur dari air/orang mati bangkit hidup’.

Tuhan Sitor Itu …

Tuhan Sitor itu barangkali bisa siapa saja, apa saja, asal Ia (dengan I besar) adalah figur supranatural (yaitu yang mampu bermujizat); yang tetap hadir dalam romantisme tepian Danau Toba, dinamika penduduknya, ibu yang membawa oleh-oleh kue, dan saat ikan emas bercengkerama. Dan, harus dalam kenangan dunia kanak-kanaknya Sitor seperti ternyata dalam “Danau Toba”. Kalau toh yang supranatural itu sepertinya Yesus Kristus (Tuhan orang Kristen) semata-mata karena Ia hadir dalam Injil yang kemudian ‘mendarat’ pada karya si – “Anak Hilang”, itupun bagi Sitor membaca Injil juga sebatas dalam kenangan. Artinya, secara tensis, sudah lampau. Tentu kita tak bisa berkesimpulan bahwa kini atau kelak tak bakal diulang Sitor.

Tuhan Sitor itu adalah pribadi / figur yang lebih berdimensi sosial di atas dimensi supranatural-Nya (dengan N besar). Ia harus terampil menjembatani kebutuhan Sitor manakala ia perlu menjenguk sahabatnya sehingga lahir “Malam Lebaran”. Tapi (jangan heran), di atas segalanya, rupanya Sitor cukup arif untuk meneriakkan kata pujian dan sembahan Allahuakbar! Dua kali. Dengan tanda seru lagi! Jadi …? Semoga Tuhan tetap ada dan sudi menerima teriakan seorang Sitor Situmorang.

*) Mianto Nugroho Agung, pemerhati awam sastra Indonesia. Alumnus FPIPS-IKIP Malang FTh.-UKSW, dan Pascasarjana Misiologi STT Abdiel. Sekarang staf pelaksana Yayasan Bina Darma, Salatiga. Mengajar di Fakultas Psikologi UKSW dan STT Abdiel.
Dijumput dari: http://miantonalove.blogspot.com/2011/08/tuhan-di-pelupuk-sitor-situmorang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar