Sabtu, 11 Agustus 2018

Kecebong Modernis-Liberal dan NU

Hasan Basri

Kecewa itu mubah dalam tradisi pesantren sebagai tanda tidak matang dalam suluk. Jabatan sakral dalam jejaring kultural NU itu harus ditinggalkan karena jabatan duniawiah. Rais aam itu jabatan yang tidak cocok bagi tokoh yang kepekaan indrawiahnya masih di bantalan dunia. Jabatan sakral ini di postur NU merupakan tarjamah (trasnalasi) “level tiga” untuk mempertahankan dan merawat pokoknya otoritas keulamaan dalam tradisi Islam kultural di Indonesia.
NU yang menolak semua asumsi kolonial yang berhasrat mempreteli otoritas keulamaan yang kemudian mereka tularkan kepada subjek terjajah yang menyebut diri sbg pembaharu, wahabi, kaum sinikal,dan ‘self-loathing’ kepada Islam dipangkas oleh NU. Memahami konteks pendirian NU harus melalu telusur sejarah mengenai ‘pembredelan’ dan pemeretelan otoritas keulamaan dalam konteks ahlusnunnah wal jamaah dan Islam diterjemahkan sampai pada tingkat kultural di Indonesia. Nama NU sendiri sudah menegaskan bahwa ini ormas yang hendak menegakan dan memulihkan otoritas keulamaan yang diporakporandakan oleh kaum kolonial dan para pendukung pribuminya.

Dalam tradisi lokal saya, mengungkapak kekecewaan itu sesuatu yang mubah dan lumrah sepanjang dalam koridor tradisi kepesantrenan. Kecewa karena menimbang kesakralan posisi Rais Aam dalam kultur NU mubah. Tapi tidak mengizinkan diri menyebut nama tertentu dan mengumbar keburukan personal adalah suatu ikhtiar menjaga marwah keulamaan sebagai nilai dan etika dalam kultur pesantren,bukan marwah yang semata melekat dalam diri peorangan. Pesantren tidak seperti persangkaan kaum kolonial dan para pendukung pribuminya. Masih banyak orang pesantren yang lebih dari sekedar waras alias berakhlak, menjaga fatsoen kulturalnya.

Ulamen apesantren itu pernah disebut sebagai dukun, orang yang mengaku-ngaku jadi wali, sang juru selamat, mengajarkan jampi-jimat-mujarobat-primbon, dan para kutu loncat, broker budaya, pimpinan petani (sartono kartodirdjo) dan lainnya oleh para kolonial dan antek pribuminya. Kenapa mereka begitu sengit terhadap ulama? karena Faktanya ulama pada jaman kolonial tidak saja bersaing dalam wilayah keilmuwan dan kultural dengan kaum penjajah,tetapi ‘yang risisten’ secara fisikal atau berjihad melawan penjajah. Fakta ini membuat Belanda menghabiskan begitu banyak energi untuk menemukan formula efesien untuk menundukkan para ulama. Mereka melakukan pembatasan fisikal dan kultural terhadap para ulama dan terus mengontrol pergerakan mereka. Salah satu yang paling efektif adalah dengan menyususn model otoritas baru keilmuwan islam yang pro-kolonial.

Umat Islam, khsususnya NU dalam pembicaraan ini, adalah elemen Islam yang tidak pernah benar-benar bisa ditaklukkan oleh kaum kolonial dan para turunan pribuminya. Maka ketika beberapa pengamat yang notabenenya dari tradisi Islam yang lahir dari bentukan kolonial dan rezim modal menumpahkan kemarahan mereka kepada pribadi ulama yang dan NU, ini adalah suatu bentuk gejala neurotik-megalamoniak yang mereka warisi dan rawat dari teks teks orientalistik-kompradoristik yg mereka buntuti.

Pagi ini, di tengah mengikuti acara temu nasional Gus Durian, saya membaca komentar seorang turunan ulama Masyumi yang terangan-terangan mendaku sebagai pendakwah Islam Liberal yang membully sosok kyai MA. Dia dalam hitungan jam ia menulis berulang kali serangan di “langit” facebooknya terhadap kiai MA dan NU. Dan saya juga membaca ulasan kawan juniornya yang belakangan populer sebagai pedagang survei dan “tukang obat” politik yang menyebut “kekecualian” (exceptionalism) NU dengan mengutip ‘sampah’ seperti Greg Felay atau nama lainnya.

Kesimpulannya, NU susah diringkus dengan pengertian defenitif. Selalu lepas dari setiap perumusan. Rumusan siapa dulu, pengertian siapa dulu dan deinisi siapa dulu? Sebenarnya dengan silat bahasanya dia kurang cakap dan kurang canggih mencari serapan intelektual untuk menulis fakta NU yang selalu menolak dimasukkan dalam ‘harapan’ dan ukuran yang mereka rumuskan. Artinya, setiap kali mereka mengintip NU mereka selalu mengembalikannya kepada rujukan mereka yang sudah baku. Mereka memaksakan rumusan tertentu terhadap sebuah jejaring kultural seperti NU yang pasti dinamis. Di titik inilah mereka sama pekoknya dengan kaum fundemantalis agama yang mereka serang dan anggap sebagai sebagai satu-satunya masalah hidup mereka dunia-akhirat. NU yang lepas itu adalah NU yang tidak sesuai dengan rumusan dan anggapan mereka karena mereka samasekali tidak mau membuka diri , apalagi mengakui (rekoginisi), bahwa NU itu sebuah entitas seperti umat manusia umumnya yang terus berubah dengan modal kulturalnya sendiri (dengan segala plus-minusnya). Paling parah, mereka tidak mau mendengar “idiomacity” (meminjam spivak) yang diucap-rapalkan NU sendiri, dan tidak hanya mendengarkan suara sendiri dengan mengabaikan suara orang lain (ini kan ciri fundamentalisme yang mereka nistakan padahal mereka dalam kubu yang sama). Di sinilah masalah etika-pembacaan itu hilang,kata Spivak –saya yakin ini tafsir atas spivak yang bisa dipertanggungjawabkan. Yaitu,hilangnya kepekaan kemanusiaan untuk mendengar dan membiarkan ‘subaltern’ (walaupun NU bukan subaltern ya) berbicara tentang dirinya. Merecoki saja tidak etis,apalagi memaksakan hasrat (lebih dekat hasrat libidinal) kepada mereka. Kata kunci di sini adalah kesedian memberi tempat yang sama bagi suara yang selama ini mereka abaikan dan ingin tundukkan. Dan betapa sulitnya mendapatkan orang indonesia modern,hatta yang muslim sekalipun, yang tidak memakai nalar kolonial dalam ‘mengakui’ Islam dalam tarjamah Indonesia nya.

Di tengah melihat anak-anak muda NU yang bergairah meneladani Gus Dur, saya pun berteladan kepada Gus Dur dalam hal mengubah kemarahan terhadap para ‘kecebong’ intelektual yang inlander itu dalam kosakata keterpelajaran. Dan pada tahun 1970-an akhir, 1980-an ketika Gus Dur rajin merespons penilaian mereka terhadap pesantren,Gus Dur selalu membuka diri dengan mereka dengan positioning yang sangat pasti. Dan ini sangat melelahkan. Maka sayapun tidak mampu mengikuti keuletan Gus Dur dalam konteks ini.

Ketika beberapa teman dekat saya yang sesama NU mengatakan bahwa ada hal-hal menarik dari apa yang disampaikan oleh para “pengamat” seperti si bule ini atau itu (seperti Greg felay misalnya) tentang NU mutakhir bermanfaat. Dalam hati saya berdoa, mudahan mereka menangkap semangat Gus Dur dalam berhadapan dengan para orientalis-indinoesianis beserta turunannya berupa para ‘cebong’ intelektual pribumi, yaitu tidak menganggap mereka sebagai segalanya, dan jangan sampai kita terlibat mengagungkan otoritas mereka. Hasil intelektual mereka tidak lebih dari penanda kekuasaan daripada “kebenaran” ilmiah. Kita membaca mereka untuk memberi catatan kritis terhadap mereka. Dan kita akan selalu lebih nyinyir dengan para turunan ‘otoritas asing’ di sini. Jangan samapi Gus Durian itu setali-tiga-uang dengan liberalisme kecebong seperti mereka yang selalu sinikal dan benci dengan NU. Wallahu’alam bis shawab.

Saya tidak lanjutkan karena kacamata baca saya hilang di arena temu nasional Gus Durian dan harus cari, di samping harus segera pergi nyari atm utk bayar utang buku....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar