Selasa, 29 Januari 2019

Afrizal dan Puisi Peristiwa

Geger Riyanto *
Kompas,10 Mar 2013

Artikel Bandung Mawardi di Kompas (3/2) menarik untuk memicu diskusi tentang puisi Afrizal Malna. Sayangnya, tulisan itu sendiri berhenti setelah meraba bahwa ada recik gambaran kenyataan urban dalam karyanya, tak membawa kita lebih jauh dari pembacaan yang nyaris sama tuanya dengan usia kepenyairan Afrizal sendiri.

Sejak setidaknya Abad yang Berlari pada tahun 1984, puisi-puisi Afrizal dibicarakan sebagai simbolisasi kehidupan urban. Banyak yang lantas lekas mengamininya—sekurangnya, tidak menolaknya—lantaran kesamaan ”cita rasa” antara puisinya dan realitas kota. Kedua teringkus dengan satu kata: kekacauan. Sebagaimana keselarasan adalah hal yang terkesan jauh dari kota, tata bahasa adalah hal yang terasa asing dari puisi khaotiknya.


Namun menjumpai pembacaan urbanisme yang menembus Afrizal lebih jauh dari sebatas menemukan keserupaan antara larik-larik disfiguratifnya dengan kehidupan keras dan serak-semarak kota pun adalah hal yang sulit (pembacaan Tia Setiadi dan Acep Iwan Saidi, yang bernas, saya anggap di luar tema ini). Pembacaan puisinya sebagai visualisasi tata bahasa atas benda-benda pun—yang kemudian berkembang menjadi pembacaan relasi dan tirani obyek atas manusia pada 1990-an dan 2000-an—tak lain berasal dari manifesto Afrizal sendiri.



Pertanyaannya, mungkinkah puisi yang demikian fragmentatif—dan membuat banyak pembacanya frustrasi ini—diselami lewat suatu cara baca yang sistematik? Di luar tak sedikit pembaca yang menyerah, mereka yang memilih melanjutkan membacanya pun biasanya mencoba untuk tidak memahami karyanya. Cukup dinikmati saja. Ada yang membentuk obyek-obyek puisi Afrizal dalam imajinasinya lalu menontonnya. Ada yang membayangkan diri berada di tengah-tengah aliran tak beraturan kata-katanya dan membiarkan diri tenggelam di antaranya. Dan bagi mereka yang melakukan ini, memang, sajak-sajak itu nikmat.



Namun, pembacaan yang tidak melibatkan perangkat kognitif semacam itu sebenarnya sebuah petunjuk. Menikmati karya sastra, mengutip alur berpikir kritik strukturalis, tak dimungkinkan tanpa adanya keserupaan logika di antara karya terkait dengan realitas perasaan yang dihidupi pembacanya. Sajak-sajak Chairil tak mungkin memperoleh perhatian yang didapatnya sekarang bila kalimatnya dimengerti tetapi pembaca tidak dapat merasakan apa-apa darinya. Puisi dibaca untuk sensasi yang bisa diperah darinya, rasa terbakar oleh entakannya untuk menyitir seorang kritikus, dan, tentu saja, bukan untuk informasi aktual yang bisa diperoleh di halaman lain.


Dan inilah menariknya. Bila Chairil mendayagunakan bentuk, bunyi, dan metafora yang gamblang untuk menikamkan sentakan akustik pada pembacanya, ketiga hal di atas nyaris absen sama sekali dari puisi-puisi Afrizal. Namun, tanyakanlah kepada para pembacanya, sajak-sajak Afrizal tak kehilangan efek merajam perasaan yang lazimnya diperoleh pembaca puisi dari perpaduan cakap perumpamaan yang efektif dengan lantunan pembacaan yang bergaung di ceruk kepalanya.

Ambil sepotong puisi Afrizal, ”palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tak mau berhenti. seribu jam menunjuk waktu yang beda-berbeda. semua berjalan sendiri-sendiri, palu.” Manakala dibacakan, apalagi secara spontan, puisi ini sukar untuk dibawakan dengan lantang dan berirama. Namun, asosiasi yang ditimbulkan di benak kita bukannya tidak dapat disebut puitik. Ia memiliki efek defamiliarisasi, yang menurut Viktor Shklovsky sebuah kualitas yang biasa kita peroleh dari karya seni yang kita nikmati.

Asosiasi

Kita mencecap karya untuk perasaan keterlemparan dan keterasingan, dan puisi barusan menorehnya dengan menyajikan jukstaposisi hal-hal yang telah kita pahami dalam adegan yang janggal. Waktu diperlakukan seperti algojo kejam yang tak punya rasa iba untuk berhenti dan palu menjadi sosok pendengar aku lirik dalam monolognya yang melankolis; kemudian adegan sontak berganti memperlihatkan jam dengan waktu berbeda-beda dan setiap hal berjalan dengan kesendiriannya masing-masing.


Tidak jelas? Sebaliknya. Saya kira, ketidakberdayaan seorang aku yang kehilangan pegangan akan dimensi kalanya tertoreh dengan sangat nyata di lirik-lirik tersebut. Jarang diketahui, tetapi dalam mengompensasi ketiadaan kiasan yang lazim dan eksperimen bentuk, ada kejernihan visual luar biasa sekaligus pengalaman ragawi yang kuat pada paparan Afrizal. Ini memungkinkan kita, seperti salah seorang pembaca tadi, membayangkan diri tergulung di tengah-tengah puisinya.


Kemenyeharian diksi-diksinya— yang mendatangkan kritik bahwa puisinya tidak elegan—justru memagnifikasi daya kekonkretan imaji yang dipicunya. Tema-tema besar yang lebih banyak kita pahami secara konseptual itu—waktu, dunia, abad, kematian, kota—dipadankan Afrizal dengan kata kerja yang adalah aktivitas kita sehari-hari, menjadikannya pengalaman yang betul-betul terasa di atas kulit dan daging manakala kita melewati lorong larik-lariknya.

Ambil sekali lagi Abad yang Berlari. Abad digambarkan berlari. Yang dari tanah kerja, dari laut kerja, dari mesin kerja. Peta berlari, dari kota datang, dari kota pergi, mengejar waktu. Manusia sunyi disimpan waktu. Dunia berlari. Seribu manusia dipacu tak habis mengejar. Runtutan elemen era kontemporer kita—peta, mesin, kota—dimetaforakan dengan aktivitas ketubuhan yang intens. Meski tak merangkai lirik dengan alur yang kentara, seseorang dapat merasakan, ya, ini dia. Inilah kehidupan modern.


Asosiasi-asosiasi nyaris liar ini sepintas tampak tanpa arti. Namun bacalah dengan pikiran sedang menonton film dan tiba di bagian di mana periode sekian tahun diceritakan dengan kilasan-kilasan adegan. Kejapan-kejapan puisi Afrizal, dibaca demikian, akan menyajikan sensasi terkejar-kejar dan ketidakberartian diri yang mendarah daging. Sebuah sensasi yang merangkum modernitas.



Puisi Afrizal tidak ranggi? Sangat benar. Namun, itulah impresi yang justru dihabisinya guna memperoleh serat-serat pengalaman terdalam realitas kekinian yang selama ini tak teraih puisi. Kehidupan yang tergulung dalam proses produksi kehidupan itu sendiri. Perubahan nan cepat yang nyaris-nyaris tak tercerap. Pesimisme, depresi, dan perasaan rendah diri. Susunan absurd puisi Afrizal menghunjamkannya tepat ke atas pembuluh perasa kita.


Dan kota itu sendiri, sebagai atom dari kehidupan modern, dalam sajak Afrizal tak lagi sekadar sesuatu yang digambarkan, tetapi digambarkan dengan intim. Amat intim. Belantara bangunan dan pusat kehidupan sosial itu bukan lagi menjadi proses-proses jauh di luar sana, tetapi ia—beserta segenap eksploitasi, kekerasan, ketergelungan yang dialami penduduknya—menyesap ke wilayah pengalaman pribadi pembacanya. Lewat sajak-sajak ”peristiwa” Afrizal, kota bukan hanya dibaca, bukan hanya sesuatu yang dikisahkan, tetapi terjadi.

Jadi bacalah. Alamilah. Alamilah kota, dalam puisi Afrizal, sebagai rangkaian peristiwa paradoksal. Kerap gelap. Kerap menyedihkan. Dan tak jarang, bertaburan ingatan, personal, menyentuh….

*) Geger Riyanto, Esais
http://masturbasikata.blogspot.com/2013/06/afrizal-dan-puisi-peristiwa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar