Hasnan Bachtiar *
Sastra-indonesia.com
“Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita.” (Azhar Ibrahim Alwee)
SUATU artikulasi estetis yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah kata-kata tanpa mutu, karena selalu memiliki kualitas-kualitas makna. Makna hidup, makna dunia, dan makna-makna yang terlahir dari nurani penciptanya. Namun yang jarang disadari adalah, sebagai goresan pena penyair, bahwa syair-syair (termasuk kritik sastra) merupakan ungkapan intelektual.
Bila demikian, kata kunci intelektual akan membawa kita kepada dua hal: yang pertama adalah bagaimana konstruksi sosial di balik teks, sedangkan yang kedua adalah untuk tujuan apakah teks tersebut ditulis. Dalam konteks ini, Nurel Javissyarqi yang memperkarakan sastrawan terkemuka Sutardji Calzoum Bachri dan kritikus sastra Ignas Kleden, menarik untuk diapresiasi.
Bila dahulu kita mengenal istilah “Paus Sastra” yang ternisbat kepada nama H.B. Jassin, dalam dunia sastra Indonesia kini, terbit “Presiden Penyair” yang tertuju pada Sutardji. Penobatan Sutardji sebagai presiden, mendapat dukungan intelektual secara mantap oleh Kleden. Anugerah megah ini, tentu lebih prestisius dibanding dengan gelar-gelar akademik semacam doktor kehormatan (honoris causa) dari universitas. Sebagai gelar kultural yang dianggap mendapatkan konsensus sekaligus legitimasi publik, maka tidak jarang masih menyisakan pertanyaan, pengujian lebih lanjut dan tantangan dari pelbagai jalan. Persoalan “otoritas” inilah yang menjadi masalah utama dalam perkara yang diajukan oleh Nurel.
Paling tidak, soal otoritas yang digugat ini memiliki lima poin penting yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Pertama, sandangan gelar “Presiden Penyair” bukan menunjukkan absolutisme, namun sekedar pengakuan (psikologis) oleh beberapa pihak yang setuju untuk mengangkat derajat Sutardji; Kedua, diamnya suara-suara kritis menunjukkan betapa kuatnya diskursus Sutardjian dan boleh jadi membentuk dogma tertentu; Ketiga, pengakuan terhadap suatu hal yang dianggap tinggi dan penting tanpa pengungkapan kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini; Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, namun lebih menitikberatkan pada soal kepantasan, kerabat, pertemanan atau nepotisme, berarti merupakan korupsi sejak dalam pikiran; Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, mengingat kompleksitas kondisi sosial (kemanusiaan) yang dialami oleh kebanyakan rakyat miskin negeri ini.
Pertama, “Presiden Sastra” yang kultural ini boleh digugat oleh siapapun, bila memiliki alasan-alasan yang sekiranya rasional dan masuk akal. Dengan demikian, berarti absolutisme tidak pernah ada. Betapapun masyarakat sastra tidak pernah menyebut istilah absolut, namun tidak adanya suara lain yang muncul untuk mencoba menguji kualitas ilmiah sastra tersebut, berarti menunjukkan betapa anggapan absolut telah mengendap di dalam alam bawah sadar dan menunjukkan betapa kritisisme telah tumbang termakan oleh trend, tersilap oleh semarak bungkus yang mewah dan melenakan. Adanya yang absolut bukan berarti karena yang relatif telah diasumsikan terlebih dahulu, atau keduanya saling mengisi. Dalam perbincangan filsafat kontemporer pun, persoalan ini tidak terselesaikan. Bukan hal ini yang menjadi soal penting untuk kita bahas, namun menganggap gelar kultural sebagai pengakuan yang taken for granted, kiranya lebih baik untuk dipikirkan ulang. Semua sastrawan memiliki sisi kemanusiaan yang wajar, setimbang, sederajat dan dengan demikian tidak perlu secara natural menumbuhkembangkan benih-benih feodalitas dalam khazanah ini.
Kedua, tanpa disadari “masyarakat bisu” telah hadir dalam pergumulan dan pergolakan sastra tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa kuat diskursus yang menguasai ruang publik. Jika demikian, dampak yang paling mungkin adalah terseret kepada arus popularisme dan bahkan popularisme narsistik, desublimasi represif dan dalam bahasa yang lebih jernih sebenarnya hal-hal itu adalah dogmatisme. Diagnosa psikoanalisa memberi kejelasan pada elemen-elemen alam bawah sadar bahwa sesungguhnya dogmatisme terhadap diskursus tertentu, sebagian sebagai ketidakberdayaan perlawanan, sementara sebagian yang lain adalah hukum moral yang menjelma secara natural, per se, otonom dan sesungguhnya itulah yang mengisi imajinasi, di samping sisi lain bahan-bahan imajiner dari yang faktual. Manusia sastra merasa “biasa saja” terhadap dogma Sutardjian atau melakukan pembelaan, keduanya sama-sama terpenjara oleh kekuasaan psikologis yang menumpulkan dimensi kritisisme. Dengan demikian, the silence community merupakan representasi yang paling tepat untuk menyebut diskursus – yang mestinya diteliti ulang ini – sebagai kekuasaan yang sangat besar, terlepas bahwa apakah hal itu berkualitas, berfungsi, baik, bermutu dan memiliki fondasi epistemologis yang kokoh.
Ketiga, pengakuan terhadap Sutardjian, namun alpa kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini. Artinya, ini persoalan politik. Di mana pun, perbincangan mengenai politik selalu dua arah: pusat dan pinggiran. Selalu ada yang dekat dengan kekuasaan, dan selalu ada yang dikuasai. Konteks di mana kontestasi susastra terjadi kini, menampakkan kejelasan bahwa berdirinya Sutardjian di hadapan publik berarti berdiri berdasarkan aktivitas politik sastra. Bukan sastra sebagai kewajiban moral, hukum alam dan hukum akal sehat untuk menjunjung humanisme sosial, tetapi sastra sebagai perangkat, komoditas, alat jual beli dan lain sebagainya. Meskipun Sutardji sendiri pernah mengungkapkan bahwa, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Pernyataan ini sangat janggal ketika terjadi kemenangan politik dan penaklukan sastra (dominasi), berarti kata-kata, puisi, prosa, kritik sastra yang ditulisnya hanyalah alat politik, sementara di lain pihak dinyatakan bahwa, “Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Ini membingungkan karena bebas dari apa? Adakah kata bebas dari permainan relasi kuasa? Sementara bila pengertian kata yang bebas berarti benar-benar bebas, akan memberi beban pembenaran bahwa dogma Sutardjian tidak memberikan kepedulian terhadap naturalitas hukum alam dan kemanusiaan. Menjadi pertanyaan di sini, hendak dibawa ke mana kontradiksi argument Sutardjian ini?
Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, jelas merupakan nepotisme. Bila sudah demikian, tidak heran bila terjadi korupsi intelektual, atau dengan kata lain, korupsi sejak pada pertimbangan akal sehat. Penganut Sutardjian sebenarnya bukan tidak memiliki kehendak kritis untuk menunjukkan di mana kekuarang maupun kelebihan atas apa yang didukungnya. Semua manusia punya potensi bawaan untuk membekali dirinya dengan ketajaman mata genealogis. Kiranya sulit dibantah bila ada argumen bahwa nepotisme-lah penyebab alpa kritisisme ini. Membawa persoalan ini lebih mendasar kepada relung kemanusiaan, maka tengah terjadi “korupsi intelektual” yang tengah menjangkiti para pengiman dogma Sutardjian. Lolosnya popularitas “resmi” Sutardjian (Presiden Penyair) menunjukkan bahwa, betapa kecurangan demi kecurangan ditampilkan, dilakukan terus-menerus, menjadi tradisi dan gaya sastra yang seksi, namun tercela. Apakah tidak ada yang memahami bahwa korupsi intelektual ini menghianati hukum akal sehat dan hukum hati nurani? Ataukah barangkali bergelimang dosa yang bersenjatakan penipuan-penipuan dan kelincahan metodis lebih memuaskan hati mereka?
Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, yang menginjak martabat realitas. Pelbagai kredo kebebasan tanpa batas, nihilisme dan kekosongan religious menjadi kunci-kunci hermeneutis yang menjadi simbol Sutardjian. Hal ini tidak akan dianggap aneh, jika seorang penyair tidak pula memiliki tanggungjawab intelektual. Dengan demikian, “bila tidak memiliki tanggungjawab sosial.” Karena hakikat intelektual bukanlah kera yang berpikir, namun kepedulian untuk mengangkat martabat sesamanya (humanisasi) yang sedang berkesusahan oleh pelbagai persoalan sosial. Menjadikan sastra berfundamen kebebasan tanpa batas (nihilisme) yang menopang mazhab dekonstruksionisme adalah hidup yang melanggar kodrat, yaitu kodratnya sebagai manusia yang eksistensial. Manusia yang semestinya memanusiakan dirinya dan manusia di sekitarnya, berbuat baik, membikin sastra berfungsi-sosial, artikulasi estetis untuk perjuangan perlawanan terhadap rezim kekuasaan politik yang korup, untuk dogma-dogma dan ideologi-ideologi yang membelenggu, serta berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, sangat berbeda dengan sastra untuk sastra, sastra untuk hura-hura, kenikmatan religious individual, egoisme dan keengganan berlaku ma’ruf. Hukum alam yang benar, menata agar manusia hidup rukun, berdampingan dan makan bersama-sama, serta hidup dengan penuh cinta, memberikan petunjuk bahwa itulah hidup berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Tentu saja hal ini sama sekali berbeda bila berhukum pada diri sendiri yang termangu dalam kekosongan yang hampa, tanpa ujung pangkal realitas yang mengemuka, kecuali hanya mimpi di dalam mimpi yang sedang dimimpikan.
Mempertimbangkan kelima persoalan di atas, maka tulisan-tulisan kritis Nurel ketika menelaah Kleden merupakan hal yang patut untuk dipikirkan secara serius. Tidak sembarang orang yang berani melawan dehumanisasi sastra Sutardjian. Hanya mereka yang memiliki ketajaman mata genealogis, kekuatan kritisisme, fundamen epistemologis yang kokoh dan keberanian untuk menantang otoritas, ideologi dan dogma-lah yang mampu melakukan humanisasi sastra, agar berfungsi sosial, agar berjalan selaras kodrat hukum alam, hukum hati nurani dan hukum akal sehat. Beberapa kali penulis secara khusus mencermati tulisan-tulisan Nurel penuh dengan konsistensi dan kedisiplinan untuk menimbang dan member catatan kritis atas dogmatisme sastra kontemporer dan adanya gejala-gejala sindrom kultus teori. Lebih dari itu semua, selaras dengan pendapat kritikus Azhar Ibrahim Alwee bahwa, “Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita”. Segala ikhtiar kritis Nurel janganlah pernah dianggap sebagai aktivitas untuk memperkeruh persoalan dan berniat membuat kegaduhan. Kritik sastranya adalah upaya untuk menetralkan segala dominasi sastra dan kritik sastra, agar kebebasan dan kemanusiaan berjalan beriringan, dengan penuh pertimbangan yang masuk akal. []
*) Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
http://sastra-indonesia.com/2014/03/melawan-dehumanisasi-sastra-sutardjian/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar