Jumat, 27 September 2019

SASTRA INDONESIA DALAM KOMENTAR ORANG BERNAMA NUREL JAVISSYARQI

Catatan kecil buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”
Taufiq Wr. Hidayat *

Orang-orang memberikan gelar dan penghargaan pada kenangan tua dari sosok yang tua dan uzur. Rasanya tak ada lagi orang lain yang sanggup membuat pencapaian baru. Tapi baiklah. Negeri membutuhkan pahlawan atau sosok teladan untuk diteladani, katanya. Itu boleh saja guru teladan, penyair teladan, atau ulama teladan. Agaknya hidup masih membutuhkan legenda hidup. Legenda itu tak harus fosil. Dan orang-orang menyediakan meja makan guna menyambut sang pahlawan, seorang teladan itu.

“Alangkah malangnya sebuah negeri yang tak punya pahlawan,” kata seseorang pada Galileo Galiliei dalam drama Bertold Brecht, "Leben des Galilei".

Galileo tak setuju.

“Oh tidak! Justru negeri yang malang adalah negeri yang selalu membutuhkan pahlawan.”

Bertolt Brecht, sang Marxis itu, menyebut dramanya "Intrument der Aufklärung" di tengah khalayak. Pencerahan yang menyadarkan. Bukan menenggelamkan. Nama-nama pahlawan atau tokoh-tokoh teladan dimunculkan---meminjam istilah Brecht, supaya terbangun kesadaran terhadap kehidupan. Agar lahirlah generasi baru. Supaya hidup semakin baik. Dan kreatif. Tetapi “pahlawan tua” yang membawa kenangan tua, hidup di dalam ingatan suatu bangsa. Mungkin saja ia dapat dikenang di tengah makan siang, di antara android yang menyala dengan sekian juta warna berkelap-kelip memesona. Tetapi manusia yang “terlanjur” menjadi legenda itu, selalu konyol di kepala Borges. Mereka hanya menyejarah dalam fiksi, lantaran gemar menutup aib, dan menghindari segala yang mempertanyakan posisinya “yang menyejarah” itu. Sang tokoh teladan penyabet penghargaan malas meladeni atau mendengarkan sikap kritis “anak ingusan”, buang energi, dan tak berguna. “Ngawur! Tahu apa mereka?!” batinnya.

Namun pada puncaknya, “nama agung” itu hanya aib. Ia menemui sunyi lantaran menutup pandangan yang jujur terhadap kenyataan. Tak ada suara yang ia anggap melampaui dirinya. Tak ada orang lain yang perlu didengarkannya dengan saksama selain dirinya sendiri dengan segala “nama besar” yang dipikulnya itu. Ia pun bagai Don Quixote dalam wujud baru, terlahir di ruang waktu yang terlambat. Uzur dan menyedihkan. Bagai ampas yang tak menyimpan apa-apa lagi, lantaran tak mematangkan diri dengan kerendahan hati. “Sepa sepi lir sepah ngasamun,” ujar orang Jawa.

“Wahai anak ingusan, berhati-hatilah memakai terompah tinggi itu. Jangan sampai kamu terjatuh,” ujar Tuan Imam Hanafi dalam sebuah buku kuno khazanah pesantren.

“Baiklah, Tuan Hanafi yang agung dan mashur. Andai aku terjatuh dari terompah ini, yang mungkin terluka kakiku. Tapi jika engkau tergelincir dari nama dan gelar agungmu itu, engkau akan tergelincir hingga ke akhirat kelak,” jawab si anak ingusan.

Tuan Imam Hanafi terkejut. Ia segera menyadari dirinya.

Ilustrasi sederhana itu, sesungguhnya mencerminkan sikap hidup orang-orang yang hidup dalam tradisi keilmuan pesantren yang sesungguhnya. Dalam pandangan ini, segala pencapaian bukanlah segala-galanya. Orang harus “tawadhu’” (rendah hati), bukan rendah hati yang berwujud basa-basi pergaulan belaka tentunya. Melainkan belajar dan menggali ilmu-Nya sejatinya tak dibatasi oleh gelar atau nama besar.

Lupakanlah kisah dari buku kuno itu.

Ada dunia citra yang dibangun manusia sejak lama. Jean Baudrillard melihatnya cemas ketika ia menyandingkan dunia citra itu dengan konsumsi. Manusia tak aktif di hadapan benda-benda. Ia menghamba (pasif) pada benda-benda; membeli tidak untuk kehendak mendapat daya guna, tapi mendapatkan simbol dan nilai pamer. Orang-orang membeli semangka dari kulkas dengan merek tertentu. Semangka tanpa merek, bukan buah layak beli. Membeli model baju terbaru yang "bernilai pamer", bukan baju penutup tubuh. Nilai nominal---atau yang harafiah, ditentukan oleh tanda atau simbol pada benda-benda yang dipoles politik, agama, atau budaya massa. Orang dianjurkan mengimani simbol tanpa harus mempertanyakan fungsi dan daya gunanya. Sebagaimana gelar yang melekat atau dilekatkan guna membangun citra terhadapnya.

Barangkali apa yang dicemaskan Kundera memang bukan fiksi. Imagologi bukan fiksi! Rasanya Kundera menegaskannya seraya berusaha sangat waras menahan tawa. Ia tak sedang berlelucon! Begitu juga Boges. Imagologi bukan fiksi. Tetapi dapat “lebih canggih” daripada fiksi. Menjadi iman dan mitos yang dipastikan dalam aksi pada yang publik dan profan. Ia lahir dari kebakhilan yang tidak mau disetarai. Tapi gila menguasai atau berada di atas segalanya. Bagi Kundera, imagologi (sebut saja imej) yang dibangun dengan kekuasaan uang, politik, keyakinan, atau keahlian sanggup bertahta di atas realitas, ideologi, bahkan sejarah. Sesuatu yang sesungguhnya palsu. Tetapi yang tampak sangat asli.

Kemudian dalam sastra, orang bagai menulis serangkaian kata di atas telor angsa. Bersama angin musim kemarau. Ada negeri yang tak bersedia membuang uang demi kata-kata indah dan berguna. Aku pun membaca buku Nurel Javissyarqi “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”. Cukup asik. Bagi saya yang tak begitu perhatian pada para “sastrawan berprestasi”, “penyair teladan”, atau yang memanggul “nama agung”, itu buku punya judul yang sangar. Dan tampak "sangat akademik". Kalau dalam dunia kitab klasik, judul itu seolah mewakili suatu kajian “ilmu alat” atau metodologi Fiqih yang rumit. Namun isi buku---sejatinya, tak sepenuhnya mewakili judul, atau mungkin ekspektasi penulisnya. Akan tetapi, ia setidaknya memulai sesuatu yang katakanlah baru (atau baru disadari) dalam sastra Indonesia mutakhir.

Buku Nurel agaknya hendak menyadarkan kita terhadap apa "mitos sastra". Suatu istilah yang tampak asing atau tak wajar disebutkan dalam kritik sastra. Orang yang terlanjur dengan "nama besar" dalam sastra, kadangkala memang “jumawah”. Apakah itu disadari atau tidak. Seolah sastra yang bagus harus melewati tangan mereka, dibaca mereka, diperbincangkan atau sekurang-kurangnya pernah disebutkan oleh mereka, dan best seller. Seolah seorang profesor yang merasa lebih mumpuni, sehingga mengesankan sikap "ngajari" orang lain dengan kepakarannya, juga dengan sikap congkak dan "tak hati-hati".

Baiklah.

Tapi lihatlah Sutardji Calzoum Bachri yang bicara perihal ayat suci tanpa gerbong keilmuan atau metodelogi tafsir di hadapan khalayak (yang dikutipkan dalam buku MMKI ini), seakan cuma demi mensahihkan kredonya itu. Dengan tanpa beban dia menyampaikan, bahwa “kun fayakun” itu ucapan Maha Penyair yang dipunyai seorang penyair. Tak ada makna. Melainkan “jadi” adalah “jadi itu sendiri”. Dalam bukunya, Nurel keberatan. Ia tak setuju. Ia pun berkomentar dengan 500 halaman. Lantaran baginya, ayat suci bukan alat pembenar atau komoditas untuk melanggengkan kepentingan praktis manusia atau sekadar mendukung “sebuah kredo”. Orang tak perlu menjadi rasul dalam sastra. Ia cukup mengemukakan karyanya terus menerus. Celakanya, sikap “merasulkan diri” dalam banyak sisi hidup pakai ayat suci itu diimani sebagai “hal baru”. Ia lalu bersifat politis. Dan tak lebih dari pencitraan belaka. Atau barangkali sekadar membangun imej, bahwa ia “orang suci” di dunianya.

Terdapat ayat suci yang berbunyi “kun fayakun”. Kalimat itu sejatinya tak dapat diucapkan manusia, lantaran kata “fa” adalah “waktu Tuhan”, bukan “waktu manusia” yang membutuhkan proses kesejarahan. “Kun” adalah fi’il amr (kata perintah) dari “kaana” yang memaknakan pada “fa-yakun”. Kata “fa-yakun” yang berasal dari “fa-yakuunu” (memakai huruf wau), tetapi huruf wau tidak dipakai dalam kata “fayakun” pada teks ayat suci tersebut. "Kun" itu masdar-nya: "kaunan: kaana-yakuunu-kaunan". Bentuk dasar yang menyembunyikan pelaku pada kata kerja. "Fa-yakunu" kalimat fi'il (kerja). "Fa" (maka, jeda waktu) kepada "yakunu" (terjadi/jadi). Jeda waktu itu pun merahasiakan pada pelaku. "Kun fa-yakuna" ber-athaf (terlimpahkan, bukan dilimpahkan) pada "yaqulu" (yang berkata), huruf ya' mengandung dhamir (kata ganti) "huwa" (subyek yang tak terdefinisi). Maka kalimat "kun fa-yakun" sebenarnya tak bisa diucapkan manusia, sebab jika pengucapnya manusia akan berbunyi: "kun fa-kana" (jadi, maka akan terjadi). Nah "kun fa-yakun" berbentuk fi'il amr (kata perintah) dan fi'il mudhari' (perfect-present-future), yang berarti "jadi, maka (pasti) terjadi dan terus-menerus jadi". Ada jeda bagi makhluk (yang bukan pengucap), tapi tidak mutlak bagi pengucapnya (yaqulu).

Bukankah dalam konteks ini perlu dimengerti sebagai kata yang bukan kata itu sendiri, atau mantra? Apakah ayat suci itu mantra? Alangkah dangkalnya jika ayat suci dianggap atau diperlakukan sebagai mantra. Bahkan yang tak berbentuk kata---misalnya: “alif-lam-mim”, pun membuka peluang adanya tafsir atasnya, juga arti. Tanpa begitu, ia mustahil dioperasionalkan dalam realitas kesejarahan sebagai petunjuk Tuhan. Dalam hal ini, tentu pandangan terhadap ayat suci tak setara dengan pandangan terhadap diksi. Keduanya memiliki landasan keilmuan yang berbeda. Tak dapat disamakan dan diperbandingkan secara membabi buta. Memerlukan sebentuk “alat” untuk melihatnya. Meski ayat suci tak lain adalah bahasa manusia. Ayat ialah “tanda”. Ia adalah kata. Dan ia pun bahasa. Cukup jauh dari apa yang dibicarakan dalam pidato Tardji yang dikutip dalam buku Nurel itu, bukan?

Buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” Nurel Javissyarqi, tentu tak mungkin kupandang dengan argumentasi yang dilandasi referensi lengkap sebagaimana pola pandang akademik atau yang memakai pola seperti itu. Saya hanya sejauh mungkin memberikan sebentuk komentar atasnya. Hanya catatan kecil dari orang yang pemalas. Lebih sebagai pembaca atau penikmat yang tidak kritis. Bagi saya, buku ini kaya nutrisi. Penulisnya pembaca buku yang tekun. Dan pengelana, walaupun ia memang gemar mengelana atau tidak. Ia mengawali---meski dengan segala keterbatasannya, perihal kritik sastra yang mesti memerhatikan "paralatan lengkap" dan melibatkan rasa---meminjam istilah HB. Jassin---membongkar "wilayah politis", citra, dan "nama agung". Buku ini, dalam perpustakaan kitab kuning---menurut saya, mirip "kitab syarah hadist" yang sering ditulis misalnya oleh Imam Nawawi al-Bantani yang mashur. Ia berisi komentar-komentar subyektif (kadangkala juga berusaha obyektif) perihal hadist atau ayat-ayat. Apakah komentar-komentar tersebut memakai metodelogi keilmuan yang lengkap atau tidak, kurasa itu bukan syarat wajib, meski hal itu pun perlu. Ia mengurai dengan wawasan penulisnya, pengalaman, analisa peristiwa atau pustaka. Namun ia adalah teks yang seringkali menjadi pertimbangan---bahkan mungkin acuan, dalam melihat sesuatu secara metodelogis. Ia membuka pintu pertama pada suatu wilayah yang dapat menjadi tema lebih luas lagi. Gaya bahasa Nurel mengalir asik. Sebagai sekumpulan komentar, ia menakjubkan, dengan wawasan atau modal bacaan yang tak main-main. Adanya komentar dan kritik terhadap buku tersebut, mengingatkan saya pada “perdebatan sastra kontekstual” yang pernah dilungsurkan Ariel Heryanto dan Arief Budiman sekitar 1984.

Telor-telor dalam sastra Indonesia itu pun dierami. Orang tak pernah mengira, ada sebutir atau tiga butir telor ayam di antara puluhan telor-telor bebek. Ketika menetas, si anak ayam tak menyadari---atau tak sepenuhnya sadar, ia harus “meng-ayam” atau “membebek”. Oh kenangan tua. Usia yang tua. Museum ingatan. Dan kebanggaan-kebangaan yang terkubur android dan belantara suara, gambar, warna. Tak cukup digjaya mengusik makan siang di antara lagu dangdut atau jazz.

Banyuwangi, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2019/09/sastra-indonesia-dalam-komentar-orang-bernama-nurel/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar