Catatan kecil buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”
Taufiq Wr. Hidayat *
Orang-orang memberikan gelar dan penghargaan pada kenangan tua dari sosok yang tua dan uzur. Rasanya tak ada lagi orang lain yang sanggup membuat pencapaian baru. Tapi baiklah. Negeri membutuhkan pahlawan atau sosok teladan untuk diteladani, katanya. Itu boleh saja guru teladan, penyair teladan, atau ulama teladan. Agaknya hidup masih membutuhkan legenda hidup. Legenda itu tak harus fosil. Dan orang-orang menyediakan meja makan guna menyambut sang pahlawan, seorang teladan itu.
“Alangkah malangnya sebuah negeri yang tak punya pahlawan,” kata seseorang pada Galileo Galiliei dalam drama Bertold Brecht, "Leben des Galilei".
Galileo tak setuju.
“Oh tidak! Justru negeri yang malang adalah negeri yang selalu membutuhkan pahlawan.”
Bertolt Brecht, sang Marxis itu, menyebut dramanya "Intrument der Aufklärung" di tengah khalayak. Pencerahan yang menyadarkan. Bukan menenggelamkan. Nama-nama pahlawan atau tokoh-tokoh teladan dimunculkan---meminjam istilah Brecht, supaya terbangun kesadaran terhadap kehidupan. Agar lahirlah generasi baru. Supaya hidup semakin baik. Dan kreatif. Tetapi “pahlawan tua” yang membawa kenangan tua, hidup di dalam ingatan suatu bangsa. Mungkin saja ia dapat dikenang di tengah makan siang, di antara android yang menyala dengan sekian juta warna berkelap-kelip memesona. Tetapi manusia yang “terlanjur” menjadi legenda itu, selalu konyol di kepala Borges. Mereka hanya menyejarah dalam fiksi, lantaran gemar menutup aib, dan menghindari segala yang mempertanyakan posisinya “yang menyejarah” itu. Sang tokoh teladan penyabet penghargaan malas meladeni atau mendengarkan sikap kritis “anak ingusan”, buang energi, dan tak berguna. “Ngawur! Tahu apa mereka?!” batinnya.
Namun pada puncaknya, “nama agung” itu hanya aib. Ia menemui sunyi lantaran menutup pandangan yang jujur terhadap kenyataan. Tak ada suara yang ia anggap melampaui dirinya. Tak ada orang lain yang perlu didengarkannya dengan saksama selain dirinya sendiri dengan segala “nama besar” yang dipikulnya itu. Ia pun bagai Don Quixote dalam wujud baru, terlahir di ruang waktu yang terlambat. Uzur dan menyedihkan. Bagai ampas yang tak menyimpan apa-apa lagi, lantaran tak mematangkan diri dengan kerendahan hati. “Sepa sepi lir sepah ngasamun,” ujar orang Jawa.
“Wahai anak ingusan, berhati-hatilah memakai terompah tinggi itu. Jangan sampai kamu terjatuh,” ujar Tuan Imam Hanafi dalam sebuah buku kuno khazanah pesantren.
“Baiklah, Tuan Hanafi yang agung dan mashur. Andai aku terjatuh dari terompah ini, yang mungkin terluka kakiku. Tapi jika engkau tergelincir dari nama dan gelar agungmu itu, engkau akan tergelincir hingga ke akhirat kelak,” jawab si anak ingusan.
Tuan Imam Hanafi terkejut. Ia segera menyadari dirinya.
Ilustrasi sederhana itu, sesungguhnya mencerminkan sikap hidup orang-orang yang hidup dalam tradisi keilmuan pesantren yang sesungguhnya. Dalam pandangan ini, segala pencapaian bukanlah segala-galanya. Orang harus “tawadhu’” (rendah hati), bukan rendah hati yang berwujud basa-basi pergaulan belaka tentunya. Melainkan belajar dan menggali ilmu-Nya sejatinya tak dibatasi oleh gelar atau nama besar.
Lupakanlah kisah dari buku kuno itu.
Ada dunia citra yang dibangun manusia sejak lama. Jean Baudrillard melihatnya cemas ketika ia menyandingkan dunia citra itu dengan konsumsi. Manusia tak aktif di hadapan benda-benda. Ia menghamba (pasif) pada benda-benda; membeli tidak untuk kehendak mendapat daya guna, tapi mendapatkan simbol dan nilai pamer. Orang-orang membeli semangka dari kulkas dengan merek tertentu. Semangka tanpa merek, bukan buah layak beli. Membeli model baju terbaru yang "bernilai pamer", bukan baju penutup tubuh. Nilai nominal---atau yang harafiah, ditentukan oleh tanda atau simbol pada benda-benda yang dipoles politik, agama, atau budaya massa. Orang dianjurkan mengimani simbol tanpa harus mempertanyakan fungsi dan daya gunanya. Sebagaimana gelar yang melekat atau dilekatkan guna membangun citra terhadapnya.
Barangkali apa yang dicemaskan Kundera memang bukan fiksi. Imagologi bukan fiksi! Rasanya Kundera menegaskannya seraya berusaha sangat waras menahan tawa. Ia tak sedang berlelucon! Begitu juga Boges. Imagologi bukan fiksi. Tetapi dapat “lebih canggih” daripada fiksi. Menjadi iman dan mitos yang dipastikan dalam aksi pada yang publik dan profan. Ia lahir dari kebakhilan yang tidak mau disetarai. Tapi gila menguasai atau berada di atas segalanya. Bagi Kundera, imagologi (sebut saja imej) yang dibangun dengan kekuasaan uang, politik, keyakinan, atau keahlian sanggup bertahta di atas realitas, ideologi, bahkan sejarah. Sesuatu yang sesungguhnya palsu. Tetapi yang tampak sangat asli.
Kemudian dalam sastra, orang bagai menulis serangkaian kata di atas telor angsa. Bersama angin musim kemarau. Ada negeri yang tak bersedia membuang uang demi kata-kata indah dan berguna. Aku pun membaca buku Nurel Javissyarqi “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”. Cukup asik. Bagi saya yang tak begitu perhatian pada para “sastrawan berprestasi”, “penyair teladan”, atau yang memanggul “nama agung”, itu buku punya judul yang sangar. Dan tampak "sangat akademik". Kalau dalam dunia kitab klasik, judul itu seolah mewakili suatu kajian “ilmu alat” atau metodologi Fiqih yang rumit. Namun isi buku---sejatinya, tak sepenuhnya mewakili judul, atau mungkin ekspektasi penulisnya. Akan tetapi, ia setidaknya memulai sesuatu yang katakanlah baru (atau baru disadari) dalam sastra Indonesia mutakhir.
Buku Nurel agaknya hendak menyadarkan kita terhadap apa "mitos sastra". Suatu istilah yang tampak asing atau tak wajar disebutkan dalam kritik sastra. Orang yang terlanjur dengan "nama besar" dalam sastra, kadangkala memang “jumawah”. Apakah itu disadari atau tidak. Seolah sastra yang bagus harus melewati tangan mereka, dibaca mereka, diperbincangkan atau sekurang-kurangnya pernah disebutkan oleh mereka, dan best seller. Seolah seorang profesor yang merasa lebih mumpuni, sehingga mengesankan sikap "ngajari" orang lain dengan kepakarannya, juga dengan sikap congkak dan "tak hati-hati".
Baiklah.
Tapi lihatlah Sutardji Calzoum Bachri yang bicara perihal ayat suci tanpa gerbong keilmuan atau metodelogi tafsir di hadapan khalayak (yang dikutipkan dalam buku MMKI ini), seakan cuma demi mensahihkan kredonya itu. Dengan tanpa beban dia menyampaikan, bahwa “kun fayakun” itu ucapan Maha Penyair yang dipunyai seorang penyair. Tak ada makna. Melainkan “jadi” adalah “jadi itu sendiri”. Dalam bukunya, Nurel keberatan. Ia tak setuju. Ia pun berkomentar dengan 500 halaman. Lantaran baginya, ayat suci bukan alat pembenar atau komoditas untuk melanggengkan kepentingan praktis manusia atau sekadar mendukung “sebuah kredo”. Orang tak perlu menjadi rasul dalam sastra. Ia cukup mengemukakan karyanya terus menerus. Celakanya, sikap “merasulkan diri” dalam banyak sisi hidup pakai ayat suci itu diimani sebagai “hal baru”. Ia lalu bersifat politis. Dan tak lebih dari pencitraan belaka. Atau barangkali sekadar membangun imej, bahwa ia “orang suci” di dunianya.
Terdapat ayat suci yang berbunyi “kun fayakun”. Kalimat itu sejatinya tak dapat diucapkan manusia, lantaran kata “fa” adalah “waktu Tuhan”, bukan “waktu manusia” yang membutuhkan proses kesejarahan. “Kun” adalah fi’il amr (kata perintah) dari “kaana” yang memaknakan pada “fa-yakun”. Kata “fa-yakun” yang berasal dari “fa-yakuunu” (memakai huruf wau), tetapi huruf wau tidak dipakai dalam kata “fayakun” pada teks ayat suci tersebut. "Kun" itu masdar-nya: "kaunan: kaana-yakuunu-kaunan". Bentuk dasar yang menyembunyikan pelaku pada kata kerja. "Fa-yakunu" kalimat fi'il (kerja). "Fa" (maka, jeda waktu) kepada "yakunu" (terjadi/jadi). Jeda waktu itu pun merahasiakan pada pelaku. "Kun fa-yakuna" ber-athaf (terlimpahkan, bukan dilimpahkan) pada "yaqulu" (yang berkata), huruf ya' mengandung dhamir (kata ganti) "huwa" (subyek yang tak terdefinisi). Maka kalimat "kun fa-yakun" sebenarnya tak bisa diucapkan manusia, sebab jika pengucapnya manusia akan berbunyi: "kun fa-kana" (jadi, maka akan terjadi). Nah "kun fa-yakun" berbentuk fi'il amr (kata perintah) dan fi'il mudhari' (perfect-present-future), yang berarti "jadi, maka (pasti) terjadi dan terus-menerus jadi". Ada jeda bagi makhluk (yang bukan pengucap), tapi tidak mutlak bagi pengucapnya (yaqulu).
Bukankah dalam konteks ini perlu dimengerti sebagai kata yang bukan kata itu sendiri, atau mantra? Apakah ayat suci itu mantra? Alangkah dangkalnya jika ayat suci dianggap atau diperlakukan sebagai mantra. Bahkan yang tak berbentuk kata---misalnya: “alif-lam-mim”, pun membuka peluang adanya tafsir atasnya, juga arti. Tanpa begitu, ia mustahil dioperasionalkan dalam realitas kesejarahan sebagai petunjuk Tuhan. Dalam hal ini, tentu pandangan terhadap ayat suci tak setara dengan pandangan terhadap diksi. Keduanya memiliki landasan keilmuan yang berbeda. Tak dapat disamakan dan diperbandingkan secara membabi buta. Memerlukan sebentuk “alat” untuk melihatnya. Meski ayat suci tak lain adalah bahasa manusia. Ayat ialah “tanda”. Ia adalah kata. Dan ia pun bahasa. Cukup jauh dari apa yang dibicarakan dalam pidato Tardji yang dikutip dalam buku Nurel itu, bukan?
Buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” Nurel Javissyarqi, tentu tak mungkin kupandang dengan argumentasi yang dilandasi referensi lengkap sebagaimana pola pandang akademik atau yang memakai pola seperti itu. Saya hanya sejauh mungkin memberikan sebentuk komentar atasnya. Hanya catatan kecil dari orang yang pemalas. Lebih sebagai pembaca atau penikmat yang tidak kritis. Bagi saya, buku ini kaya nutrisi. Penulisnya pembaca buku yang tekun. Dan pengelana, walaupun ia memang gemar mengelana atau tidak. Ia mengawali---meski dengan segala keterbatasannya, perihal kritik sastra yang mesti memerhatikan "paralatan lengkap" dan melibatkan rasa---meminjam istilah HB. Jassin---membongkar "wilayah politis", citra, dan "nama agung". Buku ini, dalam perpustakaan kitab kuning---menurut saya, mirip "kitab syarah hadist" yang sering ditulis misalnya oleh Imam Nawawi al-Bantani yang mashur. Ia berisi komentar-komentar subyektif (kadangkala juga berusaha obyektif) perihal hadist atau ayat-ayat. Apakah komentar-komentar tersebut memakai metodelogi keilmuan yang lengkap atau tidak, kurasa itu bukan syarat wajib, meski hal itu pun perlu. Ia mengurai dengan wawasan penulisnya, pengalaman, analisa peristiwa atau pustaka. Namun ia adalah teks yang seringkali menjadi pertimbangan---bahkan mungkin acuan, dalam melihat sesuatu secara metodelogis. Ia membuka pintu pertama pada suatu wilayah yang dapat menjadi tema lebih luas lagi. Gaya bahasa Nurel mengalir asik. Sebagai sekumpulan komentar, ia menakjubkan, dengan wawasan atau modal bacaan yang tak main-main. Adanya komentar dan kritik terhadap buku tersebut, mengingatkan saya pada “perdebatan sastra kontekstual” yang pernah dilungsurkan Ariel Heryanto dan Arief Budiman sekitar 1984.
Telor-telor dalam sastra Indonesia itu pun dierami. Orang tak pernah mengira, ada sebutir atau tiga butir telor ayam di antara puluhan telor-telor bebek. Ketika menetas, si anak ayam tak menyadari---atau tak sepenuhnya sadar, ia harus “meng-ayam” atau “membebek”. Oh kenangan tua. Usia yang tua. Museum ingatan. Dan kebanggaan-kebangaan yang terkubur android dan belantara suara, gambar, warna. Tak cukup digjaya mengusik makan siang di antara lagu dangdut atau jazz.
Banyuwangi, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2019/09/sastra-indonesia-dalam-komentar-orang-bernama-nurel/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar