Selasa, 10 September 2019

YANG TERTAWA

Taufiq Wr. Hidayat *

Bagi yang kaku dalam beragama, akan tampak alergi pada lelucon. Lantaran ia mengedepankan tradisi dan keharusan. Ia tidak yakin dan selalu meragukan pikiran atau perbuatan yang spontan, ambigu, atau sesuatu “yang lain” secara nyeleneh. Agama yang melembaga, yang dipagari secara ketat oleh keharusan hukum dan aturan, tak pernah bisa menyambut baik guyonan, sesuatu yang dianggap tidak serius. Ia dijaga iman yang berwajah sangar, bagai satpam supermarket yang mengawasi dengan kecurigaan tiap orang berbelanja.

Humor dan kejenakaan menghancurkan bangunan struktur yang melembaga dalam agama itu. Sehingga humor hanya dianggap sikap yang lalai. Membuat orang melupakan Tuhan. Dan melihat aturan agama yang adalah segala-galanya itu dengan enteng. Atau yang terkesan diringankan. Agama harus menghindari humor dan pikiran-pikiran kritis, supaya agama (yang melembaga itu) kokoh dengan kewibawaannya menertibkan dan menghakimi masyarakat, berkuasa atas kebebasan manusia.

Agaknya agama yang berwatak melembaga itu, menjadi cara pandang mereka yang memang berwatak kaku. Bercanda itu dosa! Lantaran canda dapat merusak pandangan orang terhadap tatanan demi tatanan yang dipastikan dan diniscayakan dalam agama. Dalam lawakan umpama, seorang pembantu dapat bergurau dan duduk sejajar dengan tuannya.

Sehingga tidak heran, orang-orang yang taat beragama secara gawat tak pernah bisa bercanda dan tertawa dengan bebas. Menghina, mengolok-olok, memandang rendah orang lain yang tak sejalan adalah cara kebakhilan tertawa. Tertawa yang congkak merendahkan. Merasa paling suci dan benar, sehingga ia melihat semua orang yang tak sejalan harus digurui dan ditunjukkan ke jalan yang penuh hidayah. Bukan yang mengkritik dan membebaskan keadaan. Di tangan mereka, Tuhan sangat keras dan membenci yang di luar agama atau konsepsi keimanan tertentu. Mengkapling surga dengan sejuta persyaratan tak masuk akal, bahkan mustahil. Orang pun mengejar laki-laki atau perempuan surga dalam doktrin agama. Padahal perempuan dan lelaki dunia lebih nyata. Tinggal santap saja. Sedangkan perempuan surga di dalam pikiran agama yang melembaga dengan ketentuan pasti itu, tak lain serupa perempuan dunia belaka, hanya dibubuhi lebih cantik lagi, lebih hebat lagi, lebih seksi lagi, sampai berkali-kali lipat sebatas ukuran sahwat dan kekuasaan jenis kelamin.

Pengertian Tuhan maha-tertawa (sebagaimana diabadikan dalam teks suci), sesungguhnya mengajarkan nilai ketundukan yang cair. Lentur. Dan penuh dengan kemungkinan dan ketakterdugaan dalam kehidupan. Dengan demikian, orang dapat bersikap dan berpikir kritis mengarifi agamanya sebagai ajaran yang membebaskan serta memudahkan hidup yang diniscayai ketaksempurnaan. Tak belaka kelembagaan yang menegakkan dirinya dengan struktur yang paten dan tak dapat diotak-atik oleh suatu konteks dan peristiwa, membatasi kebebasan berpikir dan menggali ilmu sebagai alat menemukan kearifan sebagaimana yang diinginkan ajaran agama itu sendiri. Dalam kekakuan beragama, tak ada peluang sedikit pun bagi manusia. Hanya Tuhan maha-kuasa, kemahakuasaannya itu lalu diterjemahkan dalam aturan iman yang dipraksiskan pada sebentuk sistem yang harus berada di atas segala-galanya, maha-menindak dengan tanpa toleransi dan kelonggaran. Bukankah hal itu sejatinya telah mengkufuri kemaha-pengampunan Tuhan?

Bagi Adonis, seorang sastrawan Arab modern yang mashur, dalam buku “al-Huwiyyah Ghairu al-Muktamilah”, Tuhan berada dalam segalanya. Tetapi sekaligus melampaui segalanya. Pun segala yang tak pernah dimengerti. Dia mustahil tak berdaya dalam doktrin suatu agama. Meski Dia pun bisa berada di dalamnya. Dia adalah diri-Nya sendiri. Ketika Allah yang dikecilkan dalam sebuah konsepsi manusia belaka, kemudian menjadi satu definisi yang baku, harus, dan pasti, maka dunia ini—dalam konsepsi keberimanan yang bakhil/eksklusif itu—dipandang secara serupa dengan konseptualisasi yang baku tersebut. Benturan tak terhindarkan. Karena di luar konsepsinya, berarti kafir dan murtad.

Dalam “al-Huwiyyah Ghairu al-Muktamilah”, Adonis mengisahkan sebuah anekdot. Sahdan Ratu Bulqis yang memesona jatuh cinta dan bersedia menerima lamaran Nabi Sulaiman bukan lantaran kekuasaan. Karena barangkali baginya, kekuasaan akan menjelma penindasan dan penguasaan. Pemerasan dan kejahatan. Tatkala kekuasaan atau kekayaan itu tak dilandasi pengertian yang halus dan memelihara yang hanya dapat dicapai oleh manusia yang memahami nilai kemanusiaannya. Nilai kemanusiaan itu ditandai dengan pengertian dan keimanan kepada Tuhan, ketundukan kepada Tuhan, dan pengentasan. Ketundukan yang bermakna tak menguasai Tuhan dan mengklaim-Nya secara mutlak dalam doktrin dan konsepsinya sendiri. Sehingga ia dapat menerima sesama dalam kasih-sayang yang tidak menguasai. Ratu Bulqis bertanya.

“Wahai Sulaiman yang agung, Tuhan itu warnanya apa?”

Nabi Sulaiman gugup. Dengan wibawa kenabiannya, ia mengatakan bahwa dirinya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Ia pun tak berusaha memberikan penjelasan perihal Tuhan. Atas itu, ia tak punya kuasa pengetahuan meski ia seorang nabi. Luluhlah hati Ratu Bulqis. Ia menerima lamaran Nabi Sulaiman. Ketidaktahuan—atau ketidakberkuasaan, Nabi Sulaiman perihal “apa warna Tuhan”, membuktikan ketundukan. Maka cinta baginya bukan untuk menguasai, meski secara politik ia berkuasa. Tapi menjaga, menerima, dan menghamba kepada Tuhan dengan sepenuh keyakinan, juga kecemasan. Namun dengan harapan. Bukankah itu sikap sang pujaan hati yang menakjubkan?

Canda dan anekdot perihal pertanyaan Ratu Bulqis itu, sesungguhnya telah melampaui doktrin keimanan. Ia memasuki sikap keimanan yang sejati. “Yang lain”, nyeleneh, ambigu, baru, dan spontan dalam sebuah humor yang sehat, memberi sebentuk kearifan untuk memahami agama ke dalam kelenturan dan apa yang manusiawi. Syauqi Dhaif menulis perihal muslihat Abu Nawas kepada Allah. Dalam “tarikh al-adab al-arabi”, sebuah buku klasik perihal sastra Arab kuno, dikisahkan tentang doa jejaka tua. Jejaka tua itu bernama Tuan Abu Nawas. Ia berdoa.

“Ya Allah, anugerahilah hamba seorang istri cantik, pintar, muda, dan ahli masak. Amin.”

Doanya tak terkabul. Bertahun-tahun. Usianya bertambah. Abu Nawas memaksa Allah. Ia pun merubah doanya.

“Ya Allah, kasih aku istri. Tidak perlu cantik, pintar, dan ahli masak. Yang penting perempuan. Titik! Amin.”

Bertahun-tahun doa itu ia panjatkan ke hadirat Allah. Tak terkabul. Ia berpikir. Ia bermuslihat. Ia merubah lagi doanya.

“Ya Allah, ayolah. Beri aku istri. Jangan kasihani aku. Tapi kasihanilah ibuku. Beliau memerlukan menantu perempuan untuk merawatnya di hari tua. Amin.”

Kali ini doa Abu Nawas dikabulkan. Ketiga doanya jadi kenyataan. Ternyata Allah gemar bercanda. Pikir Abu Nawas. Apakah Tuhan bisa dimuslihati? Bukan begitu kiranya pesan kisah ini. Melainkan manusia telah bernegosiasi dengan dirinya sendiri untuk meraih segala yang diinginkan dengan upaya yang tak berputus asa. Namun ia tanpa daya selain atas kehendak yang maha-daya. Yang ia punya hanya doa dan upaya-upaya apa adanya. Ia menyiasati dirinya sendiri guna mengarifi keadaan dan mengolah hidupnya dalam penghambaan kepada Tuhan yang tak mungkin ia duga dan ia definisikan.

Kisah dalam sastra Arab yang mashur ini telah melampaui kesantunan kepada Tuhan yang ditegakkan secara kaku dan gawat dalam aturan agama yang melembaga. Ia dihancurkan dengan anekdot: menipu Tuhan. Bisakah Tuhan ditipu? Kita tertawa. Tuhan pun tertawa. Bagai dalam film Ernst Ingmar Bergman—sutradara teater dan film Swedia yang berpengaruh di paruh kedua abad ke-20—“The Seventh Seal” (1957), mengisahkan seseorang yang menolak kematian dengan cara mengajak sang maut bermain catur, taruhannya nyawa. Bisakah maut diajak bermain catur? Orang tertawa. Menertawakan dirinya yang alangkah bodoh. Puncak penderitaan itu tertawa. Manusia gemar membunuh. Tapi dirinya tak mau dibunuh. Gemar membenci, tapi ia tak mau dibenci.

Tuhan yang menciptakan tawa dan air mata, kata segaris teks suci. Menangis atau bergembira. Agar sekiranya manusia dapat mengarifi dan menikmati lezatnya syukur atas kasih-sayang-Nya yang tak terbatas. Tapi kasih-sayang-Nya yang maha tak terbatas itu pula yang seringkali disempitkan manusia sendiri dengan sikap dangkal, harus, dan angkuh.

Tembokrejo, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi "Suluk Rindu" (YMAB, 2003), "Muncar Senjakala" [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita "Kisah-kisah dari Timur" (PSBB, 2010), "Catatan" (PSBB, 2013), "Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti" (PSBB, 2014), "Dan Badut Pun Pasti Berlalu" (PSBB, 2017), "Serat Kiai Sutara" (PSBB, 2018). "Kitab IBlis" (PSBB, 2018), "Agama Para bajingan" (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2019/08/yang-tertawa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar