Maaf,
jika kata-kata dalam tulisan ini seruduk lompat-melompat radak ganjil. Karena
disaat menuliskannya sedang sakit kepala, oleh kelelahan berposting ria.
Seperti biasa, sakit ringan saya anggap bagian dari gejala keabadian. Yang
menerbitkan keyakinan atas kesaksian bertutur kata; kalau kelak kan ada para
penyimaknya. Ini sepaham sajaknya Subagio Sastrowardoyo dalam antologi
“Simphoni” (Pustaka Jaya 1971), yang bertitel ALI BABA:
Kata-kata
sajak ini:
uang
panas
yang
kucuri
dari
gua penuh emas
tercecer
dari tangan seribu jari
yang
mendekap ke dada deras berdebar
sambil
berlari
sebelum
raksasa Penjaga
mendekat
dan
menutup
segala pintu?
Uang
di tangan
jadi
darah melekat!!
Lempar
kata ini
sebelum
dituntut kembali.
Apakah
derap itu
suara
jantung berdegup
atau
datang Penjaga menutup?
***
Entah
kenapa tiba-tiba judul di atas nyelonong saja ke otak, dan memaksa dituliskan.
Mungkin lantaran sedang membaca ruh ulang Kumpulan Surat-surat H.B. Jassin di
dalam buku “Surat-Surat 1943-1983,” (Gramedia 1984). Lalu bergerilyalah ingatan
saya mengenai PuJa (PUstaka puJAngga).
Dulu,
setelah PuJa menerbitkan buku-buku stensilan (kertas fotokopian, cover
sablonan). Dengan penuh percaya diri, saya berbilang kata kepada kritikus Maman
S. Mahayana, bahwa “kelak kan ada pembahasan serius dari sejarah Balai Pustaka
sampai PUstaka puJAngga,” begitu guyonan saya. Dan itu bisa dimulai lewat
catatan kaki dalam bukunya “Bermain dengan Cerpen.”
PuJa
yang sekali waktu menerbitkan buku-buku bermodal semangat, tengah sudah
setengah tahun lebih bergiat mendokumentasi sastra di internet, melalui Website
Sastra-Indonesia.com (Web SI), dan blog-blog pendukungnya. Yang awalnya
diniatkan bagi karya-karya teman yang sulit menembus media seperti karya saya.
Namun seiring berjalannya waktu, langkah tertutup bolehlah dipelajari,
pandangan sempit pertama perlulah diinsafi, demi menderu menembus guna menebus
kematangan.
Ide
pembuatan Web SI ialah berkah selepas diundang baca puisi dalam rangkaian acara
pengukuhan guru besar Abdul Hadi W.M., ini serupa mendapati kilatan cahaya
percaya diri, meski sampai kini dihinggapi perasaan minder, digrogoti keterkucilan
batin sunyi sendiri. Dan entah alam bawah sadar mana menyeret pada pelantikan
itu, setidaknya bisa terekam; sebelum siang hari kabar undangan diterima, malam
harinya mendung serasa pekat, diri ini terpuruk putus asa benar-benar hebat,
perasaan mentok di pinggiran jurang maut. Pun saya tahu, kelak kan muncul
kesepian menyayat-nyayat jiwa macam itu lagi.
Kabar
membacakan puisi di Universitas Paramadina, mengingatkan saya pada pergolakan
batin disaat-saat merampungkan “Kitab Para Malaikat.” Dan terkenang karangan
Abdul Hadi W.M. yang bertitel “Tasawuf Yang Tertintas,” Kajian Hermeneutik
terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri (Paramadina 2001). Kala menggumuli bukunya,
tersentak batin ini; “Kapan ya bisa bertemu beliau,” dan gumam lirih itu
Alhamdulillah terobati.
Sebelum
berangkat ke Jakarta, saya kangen berat almarhum Suryanto Sastroatmodjo,
tentunya beliau bangga jika mengetahui saya diundang ke sana. Namun Tuhan
berkehendak lain, Allah Swt menjemput ruhnya sebelum kabar terindah itu datang.
Dan tak berselang lama di kesunyian lara, perasaan kehilangan itu disembuhkan
oleh pengayoman Maman S. Mahayana, seakan menjadi penggantinya. Meski sekali
tempo diserang perasaan rindu sangat terhadap Mas Suryanto; kesunyian
menyakitkan tanpa kawan atau guru, tempat berteduh menyandarkan soal batiniah,
walaupun ada saat-saat kokoh seorang diri sepenuh pasrah berontak.
Ketika
berada di kampus Paramadina, diri sempat tersanjung, setidaknya dalam acara itu
saya paling muda yang baca puisi, pula bersyukur dapat bertatap muka dengan
para jawara sastra Indonesia yang ada di Ibukota. Sewaktu dipanggil baca puisi,
merasai seperti penyair saja di hadapan penyair-penyair senior. Dan paling
berkesan benak ini, saat menunggu giliran baca, kabar dari rumah kalau orang
tua dalam keadaan tak sadar diri di ruang operasi. Lalu entah bagaimana Tuhan
Maha Ajaib bekerja, setelah rampung membaca, mendapati kabar orang tua sudah
siuman di Rumah Sakit LA.
Ketika
balik ke Lamongan dalam perjalanan kereta saya berfikir keras, acara di
Paramadina tidaklah megah, tapi gaungnya hebat. Ini tentunya peranan media
massa, disamping kebesaran nama para undangan lain. Lantas nalar berputar balik
atas keadaan karya saya tak diambu media. Maka di sinilah berpijak membuat
situs dengan harapan kelak diketahui khalayak, dan nama websitenya sepantulan
kepercayaan diri selepas dari Jakarta. Namun perihal itu tidak lantas membuat
nyaman mencantelkan kata “penyair” di belakang nama. Saya masih biasa sebagai
pengelana, seperti hari-hari kemarin.
***
Di
selang waktu berbeda, saya memohon izin mengambil data-tulisan Maman S.
Mahayana pada situsnya, untuk mengisi ruang kritik di Web, Alhamdulillah
diperbolehkan. Dan sewaktu mendapat undangan JILFest 2008, berkesempatan
bertatap muka dengan sastrawan Putu Wijaya, lalu mohon izin pula untuk
mengangkut tulisan-tulisannya di wordpressnya, Alhamdulillah diri tersanjung
diperkenankan. Namun tentu tak melupa, kawan-kawan lebih dulu membolehkan isi
blognya dijumputi pasukan jemari saya.
Maka
dengan hormat terima kasih saya ucapkan kepada: Abdul Hadi W.M., Maman S. Mahayana, Putu
Wijaya, Joni Ariadinata, Saut Situmorang, Asarpin, Hudan Hidayat, Amien
Wangsitalaja, Fahrudin Nasrulloh, Budhi Setyawan, Sutejo, Ribut Wijoto, S. Jai,
Mashuri, Rakhmat Giryadi, Gugun el-Guyanie, A. Qorib Hidayatullah, Liza
Wahyuninto, MG. Sungatno, Bernando J. Sujibto, Kirana Kejora, Dian Hartati,
Denny Mishar, M. Faizi, dan para anggota FSL; Imamuddin SA, A.S. Sumbawi, Haris
del Hakim, Joko Sandur, Agus B. Harianto, A. Rodhi Murtadho, Rodli TL. Tak lupa
terimakasih bagi media-media massa yang datanya memperkuat kematangan Website;
Jawa Pos, Tempo, Suara Merdeka, Republika, Kompas, Pikiran Rakyat, Suara
Pembaruan, Riau Pos, Surabaya Post, Lampung Post, Kedaulatan Rakyat, dll.
Kegiatan ini sekadar dokumentasi atas harapan tak sekadar di ladang maya media
saiber.
Saya
sadar, Sastra-Indonesia.com serta blog-blog penyokongnya, masih jauh dari purna
kalau dimaksud sebuah dokumentasi. Mohon dimaklumi sebab dikelola sendiri, tapi
semoga berlanjut menampung karya-karya para sastrawan, khususnya yang
berkisaran di jendela internet, sambil sekali waktu menulis ulang isi buku-buku
yang belum tersentuh cyber.
Kendala
lain belum kenal atau tidak memiliki kontak dengan
para sastrawan pemilik blog yang menyimpan karya-karyanya, sehingga tak
mengambil datanya. Namun selaras perjalanan waktu, tetap menjumputi dengan menyertakan link-nya. Dan sapaan terimakasih
patut diteruskan atas catatan Goenawan Muhammad di TempoInteraktif, meski belum bisa tepat waktu mengupload,
hitung-hitung belajar menepati melodi, walau lewat bahasa meruh yang menjelma
ini.
Mengakhiri
catatan, saya teringat cerpennya Hamsad Rangkuti yang berjudul “Penyakit
Sahabat Saya” dalam kumpulan cerpen “Cemara.” Maka disematlah ini sebentuk ngelindur. Akhirnya
salam budaya, dan semoga sehat wal afiat semuanya, amin...
11
Februari 2009.
*)
Pengelana asal Desa Kendal-Kemlagi,
Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur, Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2009/02/suratan-hati-dari-hb-jassin-sampai-sastra-indonesiacom/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar