Kamis, 23 April 2020

SAJAK-SAJAK RELIGIUS BAHRUM RANGKUTI

Maman S. Mahayana *

Konon, puisi adalah ragam karya sastra yang dianggap paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu, mungkin saja berupa kerinduan, kegelisahan, atau pengagungan kepada kekasih, kepada alam, atau kepada Sang Khalik. Oleh karena itu, bahasa dalam puisi terasa sangat ekspresif, lebih padat, kental, dan langsung.

Jika penyair hendak mengagungkan alam, maka bahasa sebagai sarana ekspresi-nya cenderung memanfaatkan imaji-imaji atau majas dan diksi yang hendak menggambar-kan panorama keindahan alam. Sementara jika ekspresinya merupakan kegelisahan dan kerinduan kepada Sang Khalik, ia cenderung bersifat kontemplatif (perenungan) atau penyadaran akan eksistensinya dan hakikat keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan. Inilah yang terjadi dalam sejumlah puisi Bahrum Rangkuti.

Bahrum Rangkuti memulai dunia kesastrawanannya lewat sebuah cerpen “Dito-long Arwah” yang dimuat majalah Pandji Poestaka (1936). Sedangkan kepenyairannya dimulai dari majalah Poedjangga Baroe (1941). Barangkali karena itulah, Linus Suryadi dalam Tonggak 1 (Gramedia, 1987) memasukkan Bahrum Rangkuti sebagai salah seorang pengarang dari periode Pujangga Baru.

Puisi awal yang ditulis Bahrum, “Rindoe” yang dimuat Poedjangga Baroe, No. 7, VIII, Januari 1941 –E.U. Kratz dan Anita K. Rustapa menyebut karya ini sebagai cerpen– mempelihatkan kerinduan aku lirik kepada sang kekasih yang berada di seberang lautan; kegelisahannya sebatas terpisahnya dua anak manusia yang sedang dirundung asmara. Puisi kedua “Basa Indonesia” yang juga dimuat Poedjangga Baroe, No. 9, VIII, Maret 1941 –yang oleh Kratz dan Rustapa disebut cerpen– mengungkapkan pengagungan aku liris pada bahasa Indonesia sebagai bahasa kepulauan Nusantara. Dalam hal ini, nada religius mulai kelihatan, meskipun masih dalam bentuk pernyataan: “Engkau lagukan alam dengan dendangmu, engkau pujikan Tuhan dengan tasbihmu!

Dalam puisi ketiga, “Tuhan” kegelisahan aku liris diejawantahkan dalam bentuk kerinduannya kepada Sang Khalik. Nada religius yang hendak diangkat terasa kental: “Hanyut aku Tuhanku/Dalam lautan kasih Mu// atau hasratnya untuk menyatu dengan Tuhan: “Tuhan, bawalah aku/Meninggi ke langit rohani …” Di sini, ada pergeseran ekspresi yang dilakukan Bahrum. Jika dalam puisi pertama, Bahrum masih menekankan hubungan antara manusia, maka dalam puisi kedua, hubungan itu antara masyarakat dan bahasa yang mempersatukannya. Jadi, ada pesan nasionalistik di sana. Dan dalam puisi ketiga, hubungan itu benar-benar masuk dalam kualitas rohani yang pengagungannya kepada Tuhan dinyatakan dengan: “Ta’ dapat kusifatkan/Suka hatiku Kasih//.

Meskipun demikian, kegelisahan dan kerinduan Bahrum pada Sang Khalik, bukanlah ekspresi seorang pencari atau seorang yang mabuk dan ingin menyatu dengan Tuhan, sebagaimana yang dirasakan Amir Hamzah. Bahrum sudah menemukan apa yang diyakininya. Akibatnya kemudian, ekspresi kerinduan atau kegelisahan itu memantul kembali dalam kehidupan. Inilah religiusitas Bahrum yang tidak dapat melepaskan dirinya dari realitas kehidupan.

Puisi “Doa Makam” adalah gambaran yang mencitrakan suasana ketika seseorang sedang berdoa di hadapan sebuah pusara orang yang dicintainya. Penekanan pada citra suasana itulah yang justru menjadikan pesan religiusnya terasa lebih kontemplatif; perlahan hilang warna hijau/dunia dan langit mengudus sunyi/kenang melayang ke alam rohani//

Dalam puisi “Insyaf” religiusitasnya justru muncul lantaran si aku liris kembali melanjutkan perjalanannya mencari kebenaran hakiki yang bermuara ada Iqbal: Insan kaca Ilahi. Jika di akhir puisi itu si aku liris menyatakan: Aku ini pengembara padang pasir/berjalan dari mata air ke mata air!// tidak pula itu berarti ia masih terus mencari. Ia sudah menemukan pada Iqbal, tetapi ia masih perlu untuk melengkapinya dengan pemikir lain dengan wawasan keislaman.

Suasana yang seperti itu justru tidak tampak pada puisi “Kembali” yang menggambarkan penyesalan si aku liris. Keluh-kesah dan penyesalan di hadapan Tuhan, seolah-olah menjadi pengakuan dosa, lantaran tidak ada perenungan di sana. “Rabbi, bawa daku ke jalan lurus/aku sudah letih dari cinta dunia, menghamba rasa …” Bagi si aku liris, tidak ada jalan lain untuk kembali, kecuali dengan pertolongan-Nya. 

Kontemplasi religius yang diejawantahkan dalam realitas kehidupan, digambarkan secara baik dalam dua puisi panjang “Haiyya ‘Alash Shalaah Haiyya ‘Alal Falah” dan “Miraj”. Dalam puisi yang disebut pertama, makna salat untuk menuju kemenangan, justru mestinya diwujudkan juga dalam perilaku kehidupan sosial. Doa harusnya diikuti pula dengan perbuatan, dan itu tidak terjadi pada kaum muslimin Indonesia: “Mana Mujahidin Indonesia membanting tulang/dari subuh ke isya tengah malam/ melenyap-kan dosa dan aniaya…” Dalam “Miraj” perenungan kontemplatif itu cenderung berupa abstraksi-abstraksi yang malah kurang memantulkan aspek religiusitasnya.

Sejumlah puisi Bahrum Rangkuti yang kemudian yang dimuat dalam Horison, memerplihatkan perpaduan penghayatan keagamaan dengan kepedulian sosial. Sikap religiusitasnya justru jadi bermuara pada realitas kehidupan sosial. Itulah puisi-puisi yang saya anggap mewakili sikap kepenyairan Bahrum yang religius, sekaligus juga responsif atas kehidupan di sekelilingnya.

Periksalah puisi-puisi “Lebaran di tengah Gelandangan”, “Mercon Malam Takbiran” atau “Anak Anakku”. Dalam “Lebaran di tengah Gelandangan” kontras antara harapan dan kenyataan menjadi sebuah tindakan. “Tuhan inilah persembahan kami/ Tanah, empang, kebun, dan bukit-bukit ini/ bagi mereka yang kehilangan jalan// Sementara itu, dalam “Mercon Malam Takbiran” kontras itu terjadi di malam takbiran. “berminggu minggu di taman Ilahi, nafsu dikekang/rajin mengaji. Doa dan sembah-yang malam hari// Namun, ketika perjuangan itu memperoleh kemenangan di malam takbiran, yang dilakukan bukanlah pengagungan kebesaran Allah lewat takbir, melainkan ledakan mercon!

Yang muncul dalam “Anak Anakku” lain lagi. Pesan Bahrum sesungguhnya merupakan tumpuan harapan bagi generasi bangsa ini: “Tuhan membina kalian jadi tiang tiang padu/rumah kita dirikan/bersama Khatulistiwa/wilayah pantai, pulau dan lautan// Meskipun barangkali pesan ini hendak disampaikan kepada orang-orang terten-tu, kenyataan yang terjadi di negeri ini sekarang, menjadikan puisi ini tidak lekang ditelan waktu; relevan dan kontekstual. “Resapilah ayat ayat Quran/dalam cita cita dan amal berilmu/agar Jibril datang membantu//
***

Pembicaraan ringkas mengenai puisi-puisi Bahrum Rangkuti ini, tentu saja sebatas bentuk luarnya saja. Ada banyak hal yang sesungguhnya menarik, dan pembahas-an mengenai hal-hal yang menarik itu, tidak cukup hanya dikupas sepintas lalu. Meskipun begitu, pembicaraan ini setidak-tidaknya sebagai langkah awal untuk mengupas lebih jauh karya-karya Bahrum rangkuti. Bagaimanapun juga, Bahrum dengan cara dan gayanya sendiri, telah ikut memperkaya peta perpuisian di Tanah Air.

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/sajak-sajak-religius-bahrum-rangkuti/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar