Mashuri *
Di ranah penulisan di Jawa Timur, tinta kencana pernah tertoreh dengan indah terkait perempuan penulis. Kini, memang agak sulit mencari perempuan generasi kiwari yang benar-benar kuat dan liat dalam menempuh jalan kepenulisan. Meski demikian, pada perkembangan mutakhir, tercatat satu-dua nama perempuan penulis Jawa Timur yang berkarakter.
Dengan pertimbangan untuk menelusuri kiprah perempuan penulis Jawa Timur, saya melakukan serangkaian penelusuran agar generasi kiwari dapat menghirup aura positif nan inspiratif dari para pendahulu yang berkarya dengan keihlasan tiada tara. Mumpung Ramadan, Coy!
Tonggak penelusuran pertama saya lakukan pada kiprah Ratna Indraswari Ibrahim. Prosais perempuan yang wafat sembilan tahun lalu dan dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Sama’an Malang tersebut adalah sosok istimewa yang semangat berkaryanya hingga kini masih terasa dan tak lekang oleh masa, terutama bagi penggerak seni dan budaya di Malang Raya.
Selanjutnya, penelusuran saya pun sampai ke beberapa penulis perempuan yang pernah berkiprah dan berkibar di Jawa Timur, yaitu pada sosok raksasa dalam sastra Jawa St. Iesmaniasita dari Mojokerto, lalu ke beberapa daerah lainnya, baik itu yang menggurat karya dalam penulisan karya sastra berbahasa Indonesia maupun karya sastra berbahasa daerah.
KACA BENGGALA
Semasa hidup, Ratna Indraswari Ibrahim yang sering disapa Mbak Ratna adalah sosok langka. Secara fisik, perempuan penulis yang lahir pada 24 April 1949 dan wafat 28 Maret 2011 tersebut dikaruniai keterbatasan. Namun, daya kreatifnya jauh melampaui fisiknya. Ia adalah prigi inspirasi yang tak habis-habisnya bagi siapa saja. Ia tidak hanya menjadi simbol kaum difabel yang berdaya, tetapi ia juga menjadi kaca benggala dari para kaum sehat sentausa untuk bercermin dan melakukan introspeksi diri.
Bahkan, para penulis dari kaumnya sendiri juga berkaca pada mendiang, sebagaimana yang diakui Helvy Tiana Rosa, pendiri Komunitas Lingkar Pena, dalam sebuah tulisan “Tempat Bercermin: Ratna Indraswari Ibrahim” yang dimuat dalam buku Saya dan Mbak Ratna. Buku setebal setebal 68 halaman tersebut diluncurkan untuk peringatan 40 hari kematian Mbak Ratna, pada Sabtu, 7 Mei 2011 di jalan Diponegoro 3 Malang.
Tidak hanya dari penulis kaum hawa. Malah, berdasar pengakuan beberapa penulis pria di Jawa Timur, Mbak Ratna juga seringkali menjadi tempat berkaca, media pembanding dan penyemangat diri, manakala semangat menulis tiba-tiba redup dalam kehidupan kreatif.
“Bila gairah menulis dan bersastra saya menurun, saya selalu menyempatkan diri ke Malang. Bersilaturrahmi pada Mbak Ratna. Di depannya saya malu karena orang yang dikaruniai fisik yang terbatas dapat terus menghasilkan karya yang seakan tanpa batas. Adapun, saya yang berfisik utuh kok mau-maunya tidak berkarya,” tutur Aming Aminoedhin, salah satu penyair terkemuka Jawa Timur, yang tinggal di Mokokerto.
Memang, meski dalam kondisi fisik yang serba terbatas, Mbak Ratna terus ‘istiqamah’ berkarya hinga akhir hayat. Bahkan, ada sebuah novelnya yang berkisah tentang gerakan mahasiswa memperjuangkan reformasi tahun 1998 diterbitkan secara anumerta oleh Gramedia, yaitu 1998 karena Mbak Ratna berpulang lebih dulu ke alam keabadian. Kiprah Mbak Ratna dalam dunia penulisan sangat brilian. Cerpennya berkali-kali masuk dalam cerpen unggulan Kompas. Karyanya pun sangat melimpah.
Sekadar menyebutkan adalah sebagai berikut. Cerpen-cerpennya yang masuk dalam buku antologi pilihan Kompas, di antaranya Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997), dan Waktu Nayla (2003). Karya-karya tunggalnya di antaranya adalah Aminah di Suatu Hari, Menjelang Pati (1994), Namanya Massa (2000), Lakon Di Kota Senja (2002), Sumi dan Gambarnya (2003), Bukan Pinang Dibelah Dua (2003), Lemah Tanjung (2003), Pecinan di Kota Malang (2007), Lipstik di Tas Doni (2007), dan lainnya. Bahkan, sebuah sumber menyebut bahwa Mbak Ratna juga pernah menulis puisi. Cerpen-cerpennya ratusan, bahkan mendekati jumlah seribu.
Keluasan spektrum ide dan gagasan dalam karya-karya dan pemikiran Mbak Ratna begitu luas, menjadikannya mendapat banyak sekali gelar, mulai dari perempuan pembela lingkungan, pembela perempuan, pembela kemiskinan, dan lainnya. Ia pun dikenal peduli dengan kaumnya. Banyak penulis cerpen muda perempuan dari Malang yang mengaku berguru pada Mbak Ratna. Memang Mbak Ratna tidak pernah secara legal formal memiliki murid, tetapi dari beberapa nama yang pernah menjadi ‘juru ketiknya’, telah menjadi perempuan penulis andal, di antaranya Elwieq Pr, Titik Komariyah, Zizi Hefni, dan masih banyak lagi.
Ihwal kepedulian Mbak Ratna pada kaumnya, saya sempat merekam dalam sebuah pembicaraan, ketika saya bertandang ke rumahnya, sekitar 2009, sebelum dia jatuh sakit. Dia usul agar dibuatkan sebuah acara pelatihan atau sayembara yang melibatkan kaum perempuan untuk suka dan menekuni dunia tulis-menulis, terutama untuk peringatan Hari Kartini atau Hari Ibu, sehingga tidak terkesan peringatan itu diisi dengan peragaan busana kebaya dan tidak mengesankan perempuan hanya berada pada wilayah domestik semata.
“Coba diadakan sayembara penulisan pada saat peringatan Hari Kartini atau Hari Ibu. Tujuannya, agar perempuan dan ibu-ibu itu mau membaca dan menulis dan tidak hanya urusan seputar dapur, sumur, dan kasur saja,” tegasnya.
Selain itu, ada pula usul Mbak Ratna yang cukup menggelitik yang menarik untuk dilakukan. Di antaranya adalah sosialisasi buku bacaan pada ibu-ibu yang sedang menyusui atau yang punya anak sedang duduk di bangku PAUD dan TK, sehingga ibu-ibu dapat menularkan hasil bacaannya pada anak-anaknya. “Menyusui sambil membaca buku itu kan bagus. Begitu pula, memberi bacaan bermutu pada ibu-ibu PAUD dan TK, sehingga mereka dapat memberi asupan gizi batin pada anak-anak yang sedang membutuhkannya,” tuturnya.
Ide atau usulan tersebut dapat dikatakan melampaui masanya, karena ide itu diungkapkan jauh sebelum gerakan literasi membahana di mana-mana dan menjadi program nasional. Sejak dulu, Mbak Ratna memang bergulat dalam dunia penulisan dan pemberdayaan masyarakat. Ia menjadikan rumahnya sebagai sebuah ruang perjumpaan dari berbagai elemen masyarakat untuk berdiskusi dan melek kondisi sosial budaya, serta tradisi tulis-menulis, dengan nama Komunitas Pelangi. Di rumahnya, juga dibuka tobucil, alias toko buku kecil yang dikelola oleh orang-orang yang dekat dengannya dan membantunya dalam aktivitas keseharian.
Sebagai manusia biasa, ia pun pernah mencurahkan keluhan hatinya terkait dengan perhatian pemangku kebijakan di Indonesia pada dunia tulis-menulis, terutama bagi nasib penulis di tanah air. Ia pernah mengatakan, jika selama ini, banyak orang tidak melihat penulis sebagai pengukir jiwa bangsa yang selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari pemegang kebijakan tentang pendidikan di Indonesia.
“Penulis dan sastrawan itu adalah penyusun elemen halus dan batin masyarakatnya. Mereka pengukir jiwa bangsa. Tetapi, yang terjadi seringkali ironi, karena nasib mereka seringkali tidak diperhatikan,” tutur Mbak Ratna.
Meski demikian, ia tidak pernah patah arang untuk berbakti secara nyata kepada masyarakat lewat karya-karyanya. Yang menggembirakan, meski kini Mbak Ratna sudah berpulang, tetapi nyala Komunitas Pelangi yang pernah digagasnya, hingga kini masih benderang dan menjadi penopang api literasi di Malang. Namanya kini menjadi Pelangi Sastra Malang. Kini komunitas warisan Mbak Ratna tersebut menjadi kawah candradimuka, tempat menempa dan berproses kawan-kawan sastra di Malang.
“Pelangi Sastra Malang memang kelanjutan dari Komunitas Pelangi yang digagas Mbak Ratna,” tutur Deny Mizhar, ketua Pelangi Sastra Malang.
PEMBAHARU SASTRA JAWA
Bila menyebut hubungan sastra Jawa di Jawa Timur dan peran penulis perempuan, ingatan akan langsung menukik ke nama. St Iesmaniasita. Bagaimanapun, St. Iesmaniasita layak disebut sebagai pionir, pendobrak, dan sebuah mercu, tidak hanya dalam lokal Mojokerto, lingkup Jawa Timur, tetapi secara nasional. Beberapa pengamat dan kritikus sastra melabeli St Iesmaniasita dengan berbagai label yang mengguncang dunia persilatan sastra Jawa. Ia tidak hanya berkiprah dalam penulisan cerpen saja, tetapi juga puisi. Keduanya mendapat apresiasi luar biasa.
Sri Widati, kritikus Sastra Jawa dari Yogyakarta, menobatkan St. Iesmaniasita sebagai pembaharu puisi Jawa modern. Hal itu termaktub dalam judul buku yang ditulisnya “St. Iesmaniasita: Pembaharu Puisi Jawa Modern” yang diterbitkan oleh Gama Media Yogyakarta, 2004. Buku tersebut berisi biografi St. Iesmaniasita yang mencakupi latar belakang pribadi pengarang, kondisi keagamaan, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan sosialnya, serta kiprahnya dalam dunia penulisan sebagai pembaharu.
Widati menegaskan, kepeloporan St. Iesmaniasita terkait penulisan puisi Jawa modern, baik dalam bentuk bebas dalam larik, jumlah silabus, irama yang ringan, dan persajakan yang dinamis, maupun dalam tema dan masalah yang digarap. Widati juga mengatakan bahwa St. Iesmaniasita telah mengawali model penulisan perempuan yang berbeda dengan laki-laki.
Hal yang sama juga berlaku dalam cerpen. Sri Widati menjelaskan, sejarah sastra Jawa di Indonesia pernah mengalami dekadensi dengan langkanya penulis perempuan untuk mengguratkan karya. Untuk menyikapi hal itu, beberapa penulis laki-laki menggunakan nama samara perempuan. Namun, sejak kemunculan Iesmaniasita, gejala itu tidak lagi ada.
“Sejak tahun 1950—an, muncul penulis cerpen wanita yang andal, yaitu St. Iesmanisita, guru SD dari Mojokerto, Jawa Timur. Berbeda dengan gaya penyaraman sebagai wanita dalam karya pengarang cerpen pria yang dirintis Any Asmara, gaya Iesmaniasita menonjolkan dirinya dengan gaya filosofis, meski tetap feminine. Ia banyak berbicara tentang pendidikan, cinta kasih, hubungan antar keluarga, dan masalah wanita. Masalah-masalah tersebut digarap dengan gaya diskriptif didaktis. Sejak akhir tahun 1960—an, penulisannya bergeser ke arah gaya realisme,” demikian tulis Sri Widati.
Sementara itu, Suripan Sadi Hutomo menegaskan, cerpen St Iesmaniasita memberi tawaran pada gaya penulisan sastra yang dikuasai oleh kaum pria. Dengan demikian, kehadirannya dalam dunia prosa berbahasa Jawa adalah sebagai pionir dan menawarkan kekhasannya dengan gaya baru. “Sejak kemerdekaan, muncul tiga jalur atau gaya penulisan sastra yang memimpin arah perkembangan gaya cerpen Jawa, yaitu jalur Any Asmara, jalur Iesmaniasita, dan jalur Poerwadhie Atmodihardjo,” tulis kritikus sastra yang digelari HB Yasin sastra Jawa tersebut.
Rekam jejak perempuan yang lahir di desa Terusan, Mojokerto, 18 Maret 1933 dan wafat 8 April 2000 tersebut memang luar biasa. Semasa hidup, perempuan yang bernama asli Sulistyo Utami Djojowisastro ini dikenal sebagai penulis serba bisa dan sangat produktif. Karyanya berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, drama, dan puisi. Jumlah karyanya membuat siapapun ternganga.Puisinya lebih dari 500 judul, cerpennya lebih dari 100 judul, dan cerita bersambungnya lebih dari 10 judul.
Ia mulai menulis pada tahun 1950, sejak kelas III SMP. Tulisan pertamanya berupa cerpen. Akan tetapi, dia baru dikenal luas pada tahun 1954 ketika puisinya yang berjudul ”Kowe Wis Lega?” (”Sudah Puaskah Engkau?”) terbit di majalah Panjebar Semangat No. 8 Tahun XIII, tanggal 2 Februari. Selanjutnya, ”Kowe Wis Lega?” masuk dalam buku Kalimput ing Pedut: Kumpulan Crita Cekak Lan Guritan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1976. Puisi itu amat terkenal dan dinilai bersifat avant garde. Dia adalah pengarang perempuan pertama dalam sastra Jawa dan dianggap sebagai pengarang pertama yang berani tampil dengan bahasa Jawa yang tidak baku. Bahasa Jawa ragam ngoko yang digunakannya mengundang kontroversi.
Kemampuannya berolah sastra memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi membaca. Kesenangan membaca yang dimiliki St Iesmaniasita berasal dari tradisi keluarganya yang senang membaca. Keluarganya yang tergolong berkecukupan pada zamannya berlangganan media berbahasa Jawa dan Indonesia. Ia juga memiliki hobi mendengarkan musik klasik dan membaca karya-karya Alexander Pushkin (sastrawan Rusia).
Dalam mempublikasikan karya, St Iesmaniasita juga mempunyai nama samaran. Biasanya dengan nama Lies Djojowisastro atau Umi Gultoum. Karyanya yang berupa kumpulan cerpen dan sudah diterbitkan adalah Kidung Wengi ing Gunung Gamping (1958) dan Kringet Saka Tangan Prakosa (1974). Kumpulan puisinya yang telah diterbitkan adalah Kalimput ing Pedhut (1976) yang di dalamnya ada 3 buah cerpen dan 20 puisi dan Mawar-Mawar Ketiga (1996). Antologi puisi bersama yang memuat karya Iesmaniasita adalah Geguritan: Antologi Sajak-Sajak Jawa (1978), Seroja Mekar (1985), Kalung Barleyan: Antologi Guritan Penyair Wanita, Kabar Saka Bendulmrisi:Kumpulan Guritan (2001), Lintang-Lintang Ambyor (1983) dan Guritan:Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980.
Terkait dengan kiprah St Iesmaniasita, Suripan Sadi Hutomo pernah mengatakan bahwa St Iesmaniasita adalah pengarang wanita yang meretas jalan bagi kaumnya dalam mengembangkan sastra Jawa modern karena sebelum St Iesmaniasita muncul, belum ditemukan hasil karya perempuan pengarang sastra Jawa. Meski kini, tak banyak orang yang tahu tentang sosok St Iesmaniasita, tetapi kiprahnya dalam jagat sastra Jawa akan selalu dicatat sebagai tilas emas. Setelah itu, generasi perempuan penulis sastra Jawa lanjutannya bermunculan dan terus berkiprah, seperti Yunani, Sri Setya Rahayu, Mbah Brintik, Titah Rahayu, Trinil, Ary Nurdiana, dan lain-lainnya.
MEMBUHUL HARAPAN
Dalam ranah sejarah Sastra Indonesia, Jawa Timur memang memiliki beberapa penulis perempuan generasi mapan. Umumnya mereka menulis prosa. Di antaranya adalah Totilawati Tjitrawasita, Ratna Indraswari, Lan Fang, Sirikit Syah, Yati Setiawan, Wina Bojonegoro, Zoya Herawati, dan lain-lainnya. Beberapa di antaranya terbilang ‘raksasa’ dalam dunia penulisan terkait dengan karya-karya yang dihasilkannya. Misalnya, cerpen “Jakarta” karya Totilawati Tjitrawasita dianggap sebagai standar cerpen pada masanya.
Yulitin Sungkowati, peneliti Balai Bahasa Jawa Timur, dalam jurnal Atavisme volume 16, No 1 (2013), meneliti beberapa penulis perempuan Jawa Timur tersebut dengan judul “Perempuan-Perempuan Pengarang Jawa Timur (Kajian Feminis)”. Menurutnya, perempuan pengarang Jawa Timur yang cukup produktif adalah Totilawati Tjitrawasita, Ratna Indraswari Ibrahim, Yati Setiawan, Sirikit Syah, Lan Fang, Zoya Herawati, dan Wina Bojonegoro. “Karya-karya Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, Wina Bojonegoro, Lan Fang, dan Yati Setiawan berada pada garis yang sama meskipun dalam spektrum yang berbeda dalam menghadirkan atau mencitrakan perempuan, yakni menampilkan perempuan yang berada di bawah bayang-bayang laki-laki. Citra perempuan yang tidak tergantung pada laki-laki tampak pada karya?karya Totilawati Tjitrawasita dan Zoya Herawati,” tegasnya dalam tulisannya.
Ibarat ombak, dinamika perempuan penulis di Jawa Timur memang pasang surut. Pada masa setelah reformasi, awal tahun 2000-an, terdapat beberapa nama yang menghiasi dunia penulisan di Jawa Timur. Dari beberapa terbitan buku, terdapat beberapa nama penyair perempuan, seperti Luska Vitri, Denny Tri Aryanti, Puput Amiranti, Jeni Indri, Juwairiyah Mawardi, Benazir Nafilah, dan lain-lainnya. Setelah satu dasawarsa, ada yang tetap, ada yang berubah. Pascatahun 2010, muncul penulis perempuan lainnya, terutama prosa, yaitu Vika Wisnu, Dwi Ratih Ramadany, Muna Masyari, Intan Andaru, dan lain-lainnya.
Sungguh, kita perlu membuhul sebentuk harapan bahwa dari Jawa Timur muncul para penulis yang andal, kuat, dan bermarwah, dari kalangan perempuan.
On Sidokepung, 2020.
[Tulisan ini merupakan penyuntingan ulang edisi yang pernah dimuat di sebuah majalah, tahun 2016]
_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.
[Jepretan kawan Ragil Sukriwul, 2005]
http://sastra-indonesia.com/2020/04/menelusuri-perempuan-penulis-di-jawa-timur-sebuah-jelajah-awal/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 25 Mei 2020
MENELUSURI PEREMPUAN PENULIS DI JAWA TIMUR, SEBUAH JELAJAH AWAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar