Senin, 25 Mei 2020

MENELUSURI PEREMPUAN PENULIS DI JAWA TIMUR, SEBUAH JELAJAH AWAL

Mashuri *

Di ranah penulisan di Jawa Timur, tinta kencana pernah tertoreh dengan indah terkait perempuan penulis. Kini, memang agak sulit mencari perempuan generasi kiwari yang benar-benar kuat dan liat dalam menempuh jalan kepenulisan. Meski demikian, pada perkembangan mutakhir, tercatat satu-dua nama perempuan penulis Jawa Timur yang berkarakter.

Dengan pertimbangan untuk menelusuri kiprah perempuan penulis Jawa Timur, saya melakukan serangkaian penelusuran agar generasi kiwari dapat menghirup aura positif nan inspiratif dari para pendahulu yang berkarya dengan keihlasan tiada tara. Mumpung Ramadan, Coy!

Tonggak penelusuran pertama saya lakukan pada kiprah Ratna Indraswari Ibrahim. Prosais perempuan yang wafat sembilan tahun lalu dan dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Sama’an Malang tersebut adalah sosok istimewa yang semangat berkaryanya hingga kini masih terasa dan tak lekang oleh masa, terutama bagi penggerak seni dan budaya di Malang Raya.

Selanjutnya, penelusuran saya pun sampai ke beberapa penulis perempuan yang pernah berkiprah dan berkibar di Jawa Timur, yaitu pada sosok raksasa dalam sastra Jawa St. Iesmaniasita dari Mojokerto, lalu ke beberapa daerah lainnya, baik itu yang menggurat karya dalam penulisan karya sastra berbahasa Indonesia maupun karya sastra berbahasa daerah.

KACA BENGGALA

Semasa hidup, Ratna Indraswari Ibrahim yang sering disapa Mbak Ratna adalah sosok langka. Secara fisik, perempuan penulis yang lahir pada 24 April 1949 dan wafat 28 Maret 2011 tersebut dikaruniai keterbatasan. Namun, daya kreatifnya jauh melampaui fisiknya. Ia adalah prigi inspirasi yang tak habis-habisnya bagi siapa saja. Ia tidak hanya menjadi simbol kaum difabel yang berdaya, tetapi ia juga menjadi kaca benggala dari para kaum sehat sentausa untuk bercermin dan melakukan introspeksi diri.

Bahkan, para penulis dari kaumnya sendiri juga berkaca pada mendiang, sebagaimana yang diakui Helvy Tiana Rosa, pendiri Komunitas Lingkar Pena, dalam sebuah tulisan “Tempat Bercermin: Ratna Indraswari Ibrahim” yang dimuat dalam buku Saya dan Mbak Ratna. Buku setebal setebal 68 halaman tersebut diluncurkan untuk peringatan 40 hari kematian Mbak Ratna, pada Sabtu, 7 Mei 2011 di jalan Diponegoro 3 Malang.

Tidak hanya dari penulis kaum hawa. Malah, berdasar pengakuan beberapa penulis pria di Jawa Timur, Mbak Ratna juga seringkali menjadi tempat berkaca, media pembanding dan penyemangat diri, manakala semangat menulis tiba-tiba redup dalam kehidupan kreatif.

“Bila gairah menulis dan bersastra saya menurun, saya selalu menyempatkan diri ke Malang. Bersilaturrahmi pada Mbak Ratna. Di depannya saya malu karena orang yang dikaruniai fisik yang terbatas dapat terus menghasilkan karya yang seakan tanpa batas. Adapun, saya yang berfisik utuh kok mau-maunya tidak berkarya,” tutur Aming Aminoedhin, salah satu penyair terkemuka Jawa Timur, yang tinggal di Mokokerto.

Memang, meski dalam kondisi fisik yang serba terbatas, Mbak Ratna terus ‘istiqamah’ berkarya hinga akhir hayat. Bahkan, ada sebuah novelnya yang berkisah tentang gerakan mahasiswa memperjuangkan reformasi tahun 1998 diterbitkan secara anumerta oleh Gramedia, yaitu 1998 karena Mbak Ratna berpulang lebih dulu ke alam keabadian. Kiprah Mbak Ratna dalam dunia penulisan sangat brilian. Cerpennya berkali-kali masuk dalam cerpen unggulan Kompas. Karyanya pun sangat melimpah.

Sekadar menyebutkan adalah sebagai berikut. Cerpen-cerpennya yang masuk dalam buku antologi pilihan Kompas, di antaranya Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997), dan Waktu Nayla (2003). Karya-karya tunggalnya di antaranya adalah Aminah di Suatu Hari, Menjelang Pati (1994), Namanya Massa (2000), Lakon Di Kota Senja (2002), Sumi dan Gambarnya (2003), Bukan Pinang Dibelah Dua (2003), Lemah Tanjung (2003), Pecinan di Kota Malang (2007), Lipstik di Tas Doni (2007), dan lainnya. Bahkan, sebuah sumber menyebut bahwa Mbak Ratna juga pernah menulis puisi. Cerpen-cerpennya ratusan, bahkan mendekati jumlah seribu.

Keluasan spektrum ide dan gagasan dalam karya-karya dan pemikiran Mbak Ratna begitu luas, menjadikannya mendapat banyak sekali gelar, mulai dari perempuan pembela lingkungan, pembela perempuan, pembela kemiskinan, dan lainnya. Ia pun dikenal peduli dengan kaumnya. Banyak penulis cerpen muda perempuan dari Malang yang mengaku berguru pada Mbak Ratna. Memang Mbak Ratna tidak pernah secara legal formal memiliki murid, tetapi dari beberapa nama yang pernah menjadi ‘juru ketiknya’, telah menjadi perempuan penulis andal, di antaranya Elwieq Pr, Titik Komariyah, Zizi Hefni, dan masih banyak lagi.

Ihwal kepedulian Mbak Ratna pada kaumnya, saya sempat merekam dalam sebuah pembicaraan, ketika saya bertandang ke rumahnya, sekitar 2009, sebelum dia jatuh sakit. Dia usul agar dibuatkan sebuah acara pelatihan atau sayembara yang melibatkan kaum perempuan untuk suka dan menekuni dunia tulis-menulis, terutama untuk peringatan Hari Kartini atau Hari Ibu, sehingga tidak terkesan peringatan itu diisi dengan peragaan busana kebaya dan tidak mengesankan perempuan hanya berada pada wilayah domestik semata.

“Coba diadakan sayembara penulisan pada saat peringatan Hari Kartini atau Hari Ibu. Tujuannya, agar perempuan dan ibu-ibu itu mau membaca dan menulis dan tidak hanya urusan seputar dapur, sumur, dan kasur saja,” tegasnya.

Selain itu, ada pula usul Mbak Ratna yang cukup menggelitik yang menarik untuk dilakukan. Di antaranya adalah sosialisasi buku bacaan pada ibu-ibu yang sedang menyusui atau yang punya anak sedang duduk di bangku PAUD dan TK, sehingga ibu-ibu dapat menularkan hasil bacaannya pada anak-anaknya. “Menyusui sambil membaca buku itu kan bagus. Begitu pula, memberi bacaan bermutu pada ibu-ibu PAUD dan TK, sehingga mereka dapat memberi asupan gizi batin pada anak-anak yang sedang membutuhkannya,” tuturnya.

Ide atau usulan tersebut dapat dikatakan melampaui masanya, karena ide itu diungkapkan jauh sebelum gerakan literasi membahana di mana-mana dan menjadi program nasional. Sejak dulu, Mbak Ratna memang bergulat dalam dunia penulisan dan pemberdayaan masyarakat. Ia menjadikan rumahnya sebagai sebuah ruang perjumpaan dari berbagai elemen masyarakat untuk berdiskusi dan melek kondisi sosial budaya, serta tradisi tulis-menulis, dengan nama Komunitas Pelangi. Di rumahnya, juga dibuka tobucil, alias toko buku kecil yang dikelola oleh orang-orang yang dekat dengannya dan membantunya dalam aktivitas keseharian.

Sebagai manusia biasa, ia pun pernah mencurahkan keluhan hatinya terkait dengan perhatian pemangku kebijakan di Indonesia pada dunia tulis-menulis, terutama bagi nasib penulis di tanah air. Ia pernah mengatakan, jika selama ini, banyak orang tidak melihat penulis sebagai pengukir jiwa bangsa yang selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari pemegang kebijakan tentang pendidikan di Indonesia.

“Penulis dan sastrawan itu adalah penyusun elemen halus dan batin masyarakatnya. Mereka pengukir jiwa bangsa. Tetapi, yang terjadi seringkali ironi, karena nasib mereka seringkali tidak diperhatikan,” tutur Mbak Ratna.

Meski demikian, ia tidak pernah patah arang untuk berbakti secara nyata kepada masyarakat lewat karya-karyanya. Yang menggembirakan, meski kini Mbak Ratna sudah berpulang, tetapi nyala Komunitas Pelangi yang pernah digagasnya, hingga kini masih benderang dan menjadi penopang api literasi di Malang. Namanya kini menjadi Pelangi Sastra Malang. Kini komunitas warisan Mbak Ratna tersebut menjadi kawah candradimuka, tempat menempa dan berproses kawan-kawan sastra di Malang.

“Pelangi Sastra Malang memang kelanjutan dari Komunitas Pelangi yang digagas Mbak Ratna,” tutur Deny Mizhar, ketua Pelangi Sastra Malang.

PEMBAHARU SASTRA JAWA

Bila menyebut hubungan sastra Jawa di Jawa Timur dan peran penulis perempuan, ingatan akan langsung menukik ke nama. St Iesmaniasita. Bagaimanapun, St. Iesmaniasita layak disebut sebagai pionir, pendobrak, dan sebuah mercu, tidak hanya dalam lokal Mojokerto, lingkup Jawa Timur, tetapi secara nasional. Beberapa pengamat dan kritikus sastra melabeli St Iesmaniasita dengan berbagai label yang mengguncang dunia persilatan sastra Jawa. Ia tidak hanya berkiprah dalam penulisan cerpen saja, tetapi juga puisi. Keduanya mendapat apresiasi luar biasa.

Sri Widati, kritikus Sastra Jawa dari Yogyakarta, menobatkan St. Iesmaniasita sebagai pembaharu puisi Jawa modern. Hal itu termaktub dalam judul buku yang ditulisnya “St. Iesmaniasita: Pembaharu Puisi Jawa Modern” yang diterbitkan oleh Gama Media Yogyakarta, 2004. Buku tersebut berisi biografi St. Iesmaniasita yang mencakupi latar belakang pribadi pengarang, kondisi keagamaan, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan sosialnya, serta kiprahnya dalam dunia penulisan sebagai pembaharu.

Widati menegaskan, kepeloporan St. Iesmaniasita terkait penulisan puisi Jawa modern, baik dalam bentuk bebas dalam larik, jumlah silabus, irama yang ringan, dan persajakan yang dinamis, maupun dalam tema dan masalah yang digarap. Widati juga mengatakan bahwa St. Iesmaniasita telah mengawali model penulisan perempuan yang berbeda dengan laki-laki.

Hal yang sama juga berlaku dalam cerpen. Sri Widati menjelaskan, sejarah sastra Jawa di Indonesia pernah mengalami dekadensi dengan langkanya penulis perempuan untuk mengguratkan karya. Untuk menyikapi hal itu, beberapa penulis laki-laki menggunakan nama samara perempuan. Namun, sejak kemunculan Iesmaniasita, gejala itu tidak lagi ada.

“Sejak tahun 1950—an, muncul penulis cerpen wanita yang andal, yaitu St. Iesmanisita, guru SD dari Mojokerto, Jawa Timur. Berbeda dengan gaya penyaraman sebagai wanita dalam karya pengarang cerpen pria yang dirintis Any Asmara, gaya Iesmaniasita menonjolkan dirinya dengan gaya filosofis, meski tetap feminine. Ia banyak berbicara tentang pendidikan, cinta kasih, hubungan antar keluarga, dan masalah wanita. Masalah-masalah tersebut digarap dengan gaya diskriptif didaktis. Sejak akhir tahun 1960—an, penulisannya bergeser ke arah gaya realisme,” demikian tulis Sri Widati.

Sementara itu, Suripan Sadi Hutomo menegaskan, cerpen St Iesmaniasita memberi tawaran pada gaya penulisan sastra yang dikuasai oleh kaum pria. Dengan demikian, kehadirannya dalam dunia prosa berbahasa Jawa adalah sebagai pionir dan menawarkan kekhasannya dengan gaya baru. “Sejak kemerdekaan, muncul tiga jalur atau gaya penulisan sastra yang memimpin arah perkembangan gaya cerpen Jawa, yaitu jalur Any Asmara, jalur Iesmaniasita, dan jalur Poerwadhie Atmodihardjo,” tulis kritikus sastra yang digelari HB Yasin sastra Jawa tersebut.

Rekam jejak perempuan yang lahir di desa Terusan, Mojokerto, 18 Maret 1933 dan wafat 8 April 2000 tersebut memang luar biasa. Semasa hidup, perempuan yang bernama asli Sulistyo Utami Djojowisastro ini dikenal sebagai penulis serba bisa dan sangat produktif. Karyanya berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, drama, dan puisi. Jumlah karyanya membuat siapapun ternganga.Puisinya lebih dari 500 judul, cerpennya lebih dari 100 judul, dan cerita bersambungnya lebih dari 10 judul.

Ia mulai menulis pada tahun 1950, sejak kelas III SMP. Tulisan pertamanya berupa cerpen. Akan tetapi, dia baru dikenal luas pada tahun 1954 ketika puisinya yang berjudul ”Kowe Wis Lega?” (”Sudah Puaskah Engkau?”) terbit di majalah Panjebar Semangat No. 8 Tahun XIII, tanggal 2 Februari. Selanjutnya, ”Kowe Wis Lega?” masuk dalam buku Kalimput ing Pedut: Kumpulan Crita Cekak Lan Guritan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1976. Puisi itu amat terkenal dan dinilai bersifat avant garde. Dia adalah pengarang perempuan pertama dalam sastra Jawa dan dianggap sebagai pengarang pertama yang berani tampil dengan bahasa Jawa yang tidak baku. Bahasa Jawa ragam ngoko yang digunakannya mengundang kontroversi.

Kemampuannya berolah sastra memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi membaca. Kesenangan membaca yang dimiliki St Iesmaniasita berasal dari tradisi keluarganya yang senang membaca. Keluarganya yang tergolong berkecukupan pada zamannya berlangganan media berbahasa Jawa dan Indonesia. Ia juga memiliki hobi mendengarkan musik klasik dan membaca karya-karya Alexander Pushkin (sastrawan Rusia).

Dalam mempublikasikan karya, St Iesmaniasita juga mempunyai nama samaran. Biasanya dengan nama Lies Djojowisastro atau Umi Gultoum. Karyanya yang berupa kumpulan cerpen dan sudah diterbitkan adalah Kidung Wengi ing Gunung Gamping (1958) dan Kringet Saka Tangan Prakosa (1974). Kumpulan puisinya yang telah diterbitkan adalah Kalimput ing Pedhut (1976) yang di dalamnya ada 3 buah cerpen dan 20 puisi dan Mawar-Mawar Ketiga (1996). Antologi puisi bersama yang memuat karya Iesmaniasita adalah Geguritan: Antologi Sajak-Sajak Jawa (1978), Seroja Mekar (1985), Kalung Barleyan: Antologi Guritan Penyair Wanita, Kabar Saka Bendulmrisi:Kumpulan Guritan (2001), Lintang-Lintang Ambyor (1983) dan Guritan:Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980.

Terkait dengan kiprah St Iesmaniasita, Suripan Sadi Hutomo pernah mengatakan bahwa St Iesmaniasita adalah pengarang wanita yang meretas jalan bagi kaumnya dalam mengembangkan sastra Jawa modern karena sebelum St Iesmaniasita muncul, belum ditemukan hasil karya perempuan pengarang sastra Jawa. Meski kini, tak banyak orang yang tahu tentang sosok St Iesmaniasita, tetapi kiprahnya dalam jagat sastra Jawa akan selalu dicatat sebagai tilas emas. Setelah itu, generasi perempuan penulis sastra Jawa lanjutannya bermunculan dan terus berkiprah, seperti Yunani, Sri Setya Rahayu, Mbah Brintik, Titah Rahayu, Trinil, Ary Nurdiana, dan lain-lainnya.

MEMBUHUL HARAPAN

Dalam ranah sejarah Sastra Indonesia, Jawa Timur memang memiliki beberapa penulis perempuan generasi mapan. Umumnya mereka menulis prosa. Di antaranya adalah Totilawati Tjitrawasita, Ratna Indraswari, Lan Fang, Sirikit Syah, Yati Setiawan, Wina Bojonegoro, Zoya Herawati, dan lain-lainnya. Beberapa di antaranya terbilang ‘raksasa’ dalam dunia penulisan terkait dengan karya-karya yang dihasilkannya. Misalnya, cerpen “Jakarta” karya Totilawati Tjitrawasita dianggap sebagai standar cerpen pada masanya.

Yulitin Sungkowati, peneliti Balai Bahasa Jawa Timur, dalam jurnal Atavisme volume 16, No 1 (2013), meneliti beberapa penulis perempuan Jawa Timur tersebut dengan judul “Perempuan-Perempuan Pengarang Jawa Timur (Kajian Feminis)”. Menurutnya, perempuan pengarang Jawa Timur yang cukup produktif adalah Totilawati Tjitrawasita, Ratna Indraswari Ibrahim, Yati Setiawan, Sirikit Syah, Lan Fang, Zoya Herawati, dan Wina Bojonegoro. “Karya­-karya Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, Wina Bojonegoro, Lan Fang, dan Yati Setiawan berada pada garis yang sama meskipun dalam spektrum yang berbeda dalam menghadirkan atau mencitrakan perempuan, yakni menampilkan perempuan yang berada di bawah bayang­-bayang laki­-laki. Citra perempuan yang tidak tergantung pada laki­-laki tampak pada karya­?karya Totilawati Tjitrawasita dan Zoya Herawati,” tegasnya dalam tulisannya.

Ibarat ombak, dinamika perempuan penulis di Jawa Timur memang pasang surut. Pada masa setelah reformasi, awal tahun 2000-an, terdapat beberapa nama yang menghiasi dunia penulisan di Jawa Timur. Dari beberapa terbitan buku, terdapat beberapa nama penyair perempuan, seperti Luska Vitri, Denny Tri Aryanti, Puput Amiranti, Jeni Indri, Juwairiyah Mawardi, Benazir Nafilah, dan lain-lainnya. Setelah satu dasawarsa, ada yang tetap, ada yang berubah. Pascatahun 2010, muncul penulis perempuan lainnya, terutama prosa, yaitu Vika Wisnu, Dwi Ratih Ramadany, Muna Masyari, Intan Andaru, dan lain-lainnya.

Sungguh, kita perlu membuhul sebentuk harapan bahwa dari Jawa Timur muncul para penulis yang andal, kuat, dan bermarwah, dari kalangan perempuan.

On Sidokepung, 2020.
[Tulisan ini merupakan penyuntingan ulang edisi yang pernah dimuat di sebuah majalah, tahun 2016]

_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.
[Jepretan kawan Ragil Sukriwul, 2005]
http://sastra-indonesia.com/2020/04/menelusuri-perempuan-penulis-di-jawa-timur-sebuah-jelajah-awal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar