Maman S. Mahayana
Di awal abad ke-21 ini, cerpen Indonesia makin menunjukkan signifikansinya.Ia hadir tidak hanya lantaran derasnya penerbitan buku antologi cerpen, tetapi juga lebih disebabkan oleh kuatnya kecenderungan untuk terbebas dari mainstream. Kondisi itu tentu saja bukan tanpa alasan. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya.
Penerbitan naskah drama berikut pementasannya yang makin lesu dan terjadinya inflasi antologi puisi yang cenderung asal terbit, tanpa seleksi, boleh jadi merupakan pemicu yang mendongkrak popularitas cerpen dalam konstelasi peta kesusastraan Indonesia abad ke-21. Meski dalam tiga tahun terakhir ini, muncul novel-novel penting yang menjadi bahan perdebatan, seperti yang diperlihatkan Ayu Utami (Saman, 1998), Taufik Ikram Jamil (Hempasan Gelombang, 1999), Gus tf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan, 2000), Korrie Layun Rampan (Perawan, 2000), Dewi Lestari (Supernova, 2001), dilihat dari segi jumlah, tetap kalah jauh dibandingkan penerbitan cerpen.
Kondisinya itu disemarakkan pula oleh usaha Kompas yang sejak tahun 1992 (Kado Istimewa) sampai tahun 2000 (Dua Tengkorak Kepala) melangkah dengan tradisi memilih dan menerbitkan cerpen terbaiknya. Kegiatan itu diikuti pula dengan diskusi dan peluncuran buku bersangkutan. Itulah yang mendorong cerpen Indonesia melaju meninggalkan drama, puisi, dan novel.
Bagaimana pula dengan perkembangan di tahun-tahun mendatang? Mencermati fenomena yang terjadi dalam dua dasawarsa belakangan ini, drama tampak makin terpuruk. Selepas dasawarsa 1970-an dan 1980-an, Arifin C. Noer lewat Kapai-Kapai-nya sekadar menyebut salah satunya, Putu Wijaya lewat Dag-Dig-Dug, dan Rendra lewat mini katanya, eksperimentasi seolah-olah sudah kehilangan tenaganya lagi. Memang Rendra masih mencoba dengan Panembahan Reso-nya, kemudian N. Riantiarno dengan Opera Kecoa dan Opera Sembelit, Putu Wijaya dengan monolog Dar-Der-Dor dan Zat atau Wisran Hadi dengan Jalan Lurus, semua seolah-olah tanpa gaung atau cuma bergema sesaat. Praktis, kini tinggal Riantiarno yang masih bertahan dan terus melakukan pementasan karya terbarunya.
Kegairahannya tak cukup kuat untuk menumbuhkan semangat generasi di bawahnya. Budi S. Otong dan Radhar Panca Dahana yang coba melakukan estafet, mendadak tengge-lam di tengah jalan dan kini entah di mana. Tentu kita masih berharap pada keduanya. Yang muncul belakangan, Butet Kartaredja, berpotensi untuk menghasilkan karya monumental.
Puisi, kharismanya masih didominasi para penyair mapan. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, Abdul Hadi, D. Zawawi Imron, dan deretan nama lain, masih akan tetap menyedot perhatian kita. Sementara generasi berikutnya, macam Darmanto Jatman, Eka Budianta, Hamid Jabbar, Afrizal Malna, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Y. Herfanda, F. Rahardi, belum cukup kuat menggoyangkan kemapanan para penyair senior itu.
Jika demikian, maka deretan berikutnya seperti Agus R. Sarjono, Sitok Srengenge, Gus tf, Taufik Ikram Jamil, sangat mungkin masih akan tetap berada di bawah bayang-bayang nama-nama mapan tadi. Tentu saja itu menyulitkan kita membayangkan lahirnya gebrakan besar seperti keberhasilan Sutardji Calzoum Bachri tahun 1970-an. Afrizal Malna tahun 1980-an, coba membangkitkan kembali gebrakan itu. Memang ada dampaknya dengan munculnya begitu banyak puisi gelap. Selepas itu, tak ada pula kabar beritanya.
Menapaki abad ke-21 ini, peta puisi kita akan dibanjiri oleh begitu banyaknya penulis puisi. Dari deretan nama yang melimpah itu, sekitar sepuluhan yang sangat pantas mendapat predikat penyair, selebihnya masuk kategori: penulis puisi. Meskipun begitu, beberapa nama telah mendatangkan optimisme; prospek puisi Indonesia akan jauh lebih cerah. Periksa saja karya-karya Gus tf (Sangkar Daging, 1997), Mathori A Elwa (Yang Maha Syahwat, 1997; Rajah Negeri Istighfar, 2000), Zeffry J. Alkatiri (Pintu Etalase Batavia Centrum, 1998), Joko Pinurbo (Celana, 1999), Dorothea Rosa Herliany (Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999; Kill the Radio, 2001), Hoezinar Hood (Tarian Orang Lagoi, 1999), Arif B. Prasetyo (Mahasukka, 2000) dan sederetan nama lain yang juga tak kalah menjanjikannya. Sebut saja, di antaranya, Cecep Samsul Hari, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D. Rahman, Medy Loekito, Nenden Lilis A., Oka Rusmini, Radhar Panca Dahana, Syaukani Al Karim, Tomy Tamara, Ulfatin Ch., dan Wowok Hesti Prabowo.
Sejalan dengan itu, kita juga melihat makin redupnya sejumlah nama yang agaknya sudah kehabisan energi. Jika dalam dua-tiga tahun ini, mereka tidak menghasilkan apa-apa, barangkali mereka sedang bersiap gantung sepatu. Revolusi puisi sangat mungkin baru akan terjadi dalam waktu yang masih panjang. Selama menunggu gebrakan itu, panorama puisi Indonesia, akan lebih banyak berhias nama dan peristiwa yang terjadi di seputar pertemuan-pertemuan berkala. Gaungnya akan hilang dalam sekejap, meski di sana-sini akan tetap lahir beberapa monumen yang dihasilkan sejumlah nama tadi.
***
Novel, juga punya harapan cerah. Sejumlah nama masih menyimpan potensi besar untuk membangun sebuah tonggak penting. Ayu Utami, Taufik Ikram Jamil, Korrie Layun Rampan, Dewi Lestari, Gus tf Sakai logikanya masih akan memberi sumbangan berarti. Demikian juga Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Budi Darma, Darman Moenir, Danarto atau Wisran Hadi. Mereka masih akan terus berkarya. Nh. Dini dan Titis Basino juga masih akan mengalirkan karyanya meski tetap dengan konvensi yang sama.
Harapan lebih besar justru terletak pada sejumlah cerpenis. Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Sirikit Syah, Jujur Prananto, Joni Ariadinata atau Agus Noor, sungguh masih menyimpan potensi. Persoalannya tinggal menunggu keberanian mereka untuk melangkah lebih panjang; melahirkan novel. Tengoklah Danarto! Setelah sekian lama tegak berdiri dengan cerpen-cerpennya yang menduduki tempatnya sendiri, lahirlah dari tangannya Asmaraloka. Langkah ini menunjukkan keberanian Danarto memasuki ragam lain. Apakah langkah ini dapat dikatakan gagal atau berhasil, itu masalah lain lagi.
Bagaimana dengan kritik sastra kita? Ia masih tetap berjalan di tempat. Soalnya bukan tiadanya potensi, melainkan terbatasnya ruang yang memungkinkan publikasi luas sejumlah karya kritik. Jika saja penerbit-penerbit kita mau mempublikasikan skripsi, tesis, disertasi atau hasil-hasil penelitian ilmiah kaum akademik, boleh jadi kehidupan kritik sastra kita akan kembali semarak sebagaimana yang terjadi awal tahun 1970-an.
Meski begitu, Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta Budi Darma atau Faruk HT, tetap akan menggeliat dengan antologi esainya. Juga Maman S. Mahayana, boleh jadi ikut meramaikan dengan buku-buku terbarunya. Dua nama lagi yang sungguh potensial adalah Nirwan Ahmad Arsuka dan Tommy Awuy. Keduanya telah banyak melontarkan gagasan kritis atas persoalan kesenian dan kesusastraan kita.
***
Demikian, secara umum kondisi kesusastraan kita masih belum begitu cerah. Dalam situasi yang seperti itu, cerpen kembali akan menjadi primadona. Lebih daripada itu berbagai eksperimentasi, sangat mungkin akan ikut menyemarakkan pemetaannya. Periksa saja, apa yang terjadi dalam dasawarsa akhir abad ke-20 ini.
Ada sedikitnya 100-an antologi cerpen yang terbit dalam sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, rata-rata dalam setahun terbit 10 antologi cerpen atau hampir setiap bulan terbit satu antologi. Jumlah ini niscaya akan membengkak jika kita tidak terpaku pada lima kota besar, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Padang, dan Pekanbaru. Belum lagi jika kita mencermati setiap koran minggu dan beberapa majalah yang selalu menyediakan ruang untuk cerpen. Tentu jumlahnya akan sangat mengejutkan. Dari segi kuantitas, itulah peta cerpen Indonesia.
Lalu bagaimana kualitasnya? Leila S. Chudori, Lea Pamungkas, Dorothea Rosa Herliany, dan Sirikit Syah, jelas punya kelas tersendiri dalam mengangkat soal gender yang umumnya digarap cerpenis wanita lain secara verbal. Seno secara meyakinkan membawa gaya jurnalistik yang mengangkat potret sosial kita. Kurnia Jaya Raya mengalirkan pikiran imajinatif yang pernah digarap Iwan Simatupang dan P. Sengojo. Taufik Ikram Jamil dan Gus tf Sakai menguak problem kultural masyarakat etniknya. Dengan style yang berbeda, Joni Ariadinata, Indra Tranggono dan Shoim Anwar membeberkan kehidupan kaum gembel, gelandangan marjinal, dan wong cilik yang selalu tergusur. Agus Noor dan Hudan Hidayat mengangkat problem psikologis manusia urban. Herlino Soleman lain lagi dengan usahanya memotret pengalamannya di Jepang. Sementara Eka Kurniawan menunjukkan pengamatan terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. Semua tema itu disajikan dengan cukup memukau, khas, dan dengan style yang menjanjikan. Jadi, dari segi kualitas, cerpen-cerpen mereka sudah pantas diterjemahkan ke dalam bahasa dunia.
Dengan demikian, pemeliharaan kualitas patut diperhatikan para cerpenis kita. Seno Gumira (5 antologi), Yanusa Nugroho (3 antologi), Shoim Anwar (3 antologi), Ariadinata (3 antologi), Gus tf Sakai (2 antologi), misalnya, dalam masing-masing antologinya berisi sejumlah cerpen dengan kualitas sederajat. Tetapi jika antologi itu berisi karya dari serombongan cerpenis dengan kualitas yang domplang, maka hasilnya terkesan sebagai kerja projek, tanpa seleksi, tanpa pertimbangan kualitas
Untuk antologi yang memuat rombongan cerpenis ini, Cerita Pendek Indonesia I-IV, Satyagraha Hoerip (1986), Pagelaran (1993) dan Cerpen Pilihan Kompas (1992 sampai 1999), dapat dijadikan sebagai acuan bahwa kualitas merupakan landasan penting sebagai dasar kriteria pemilihan cerpen-cerpen itu. Tanpa landasan itu, ia akan cenderung menjadi sekadar ?gado-gado? seperti yang terjadi pada Limau Walikota (1993) dan Bermula dari Tambi (1999), meski jauh lebih baik daripada Maling (1994), Lidah (1994), Ritus (1995), atau dua antologi Dewan Kesenian Lampung (1996 dan 1998).
Terlepas dari persoalan itu, dalam beberapa tahun ke depan, cerpen Indonesia tetap akan menjadi primadona dalam konstelasi kesusastraan kita. Dengan begitu, menempatkan posisinya menjadi semakin penting. Wajar jika sejumlah antologi cerpen kembali akan meramaikan peta kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Dan kembali, secara perlahan, mengangkat pamor cerpen Indonesia sebagai wacana yang pantas menjadi bahan perdebatan intelektual. Masalahnya tinggal, bagaimana para cerpenis ini, terus-menerus berkarya dan meningkatkan kualitasnya.
***
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2009/02/cerpen-dalam-konstelasi-sastra-indonesia-mutakhir/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar