Nezar Patria *
Tempo, 2008
PERISTIWA itu terjadi sepuluh tahun lalu, tapi semuanya
masih tetap basah dalam ingatan. Kami berempat: Aan Rusdianto, Mugiyanto,
Petrus Bima Anugerah, dan saya adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untuk Demokrasi (SMID). Baru sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun
Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur itu.
Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan
antikediktatoran. Saat itu, Maret 1998,
politik Indonesia sedang panas. Di tengah aksi protes mahasiswa, Sidang Umum
MPR kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Di kampus, gerakan menentang
rezim Orde Baru kian marak. Setiap hari, kemarahan membara di sekujur negeri.
Kota-kota dibungkus selebaran, spanduk, dan poster. Indonesia pun terbelah: pro
atau anti-Soeharto.
Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996
(tapi tak pernah terbukti di pengadilan), SMID dan semua organisasi yang
berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) dinyatakan oleh pemerinah sebagai
organisasi terlarang. Sejak itu, hidup kami terpaksa berubah. Kami diburu
aparat keamanan Orde Baru. Maka, tak ada jalan lain kecuali bergerak gaya bawah
tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru
sebagai pedagang buku atau lainnya.
Tapi petualangan bawah tanah itu berhenti pada 13 Maret
1998. Malam itu, sekitar pukul tujuh, saya baru saja pulang dari Universitas
Indonesia, Depok. Ada rapat mahasiswa sore itu di sana. Aan, mahasiswa
Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah. Setelah mandi, saya
menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan membeli
makan malam. Sementara, Bima Petrus berpesan pulang agak larut.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka
pintu, empat lelaki kekar merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan
Aan. Saya kaget. Sekelebat saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai
dua, dan di bawah sana sejumlah "tamu tak diundang" sudah menunggu.
Mereka memakai seibo (penutup wajah dari wol), tapi digulung sebatas tempurung
kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas. "Mau mencari siapa?" tanya
saya. "Tak usah tanya, ikut saja," bentak seorang lelaki. Setelah
mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit saya.
Kami digiring menuruni tangga. Saya agak meronta, tapi
dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran saya bicara: saya
diculik! Dan dua mobil Kijang sudah menunggu di bawah. Di dalam mobil, mata
saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala saya dengan seibo itu.
Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan. Dompet saya
diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli. "Wah, benar,
dia Nezar, Sekjen SMID!" teriak salah satu dari mereka.
Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu
house music diputar berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan
berhenti sejam kemudian. Tak jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie
mencicit, "Merpati, merpati." Agaknya itu semacam kode mereka.
Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka.
Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke
ruangan itu. Pendingin udara terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara
orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya didudukkan di kursi. Lalu, mendadak
satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul bertubi-tubi tendangan. Satu
terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu patah. Bibir terasa
hangat dan asin. Darah mengucur. Setelah
itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel.
Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan
jawaban, alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan
tulang dan sendi. "Kalian bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan?
Mau menggulingkan Soeharto kan?" tanya suara itu dengan garang.
Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan
kediktatoran. Tapi belum pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak
banyak menjawab. Mereka mengamuk. Satu mesin setrum diseret mendekati saya.
Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai
dada. "Allahu akbar!" saya
berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada
membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak sadar, tapi
masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar
jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap.
ENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm
memekakkan telinga. Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini
mungkin kuil penyiksaan sejati, tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit.
Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat listrik yang suara setrumannya
seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan Mugiyanto. Rupanya, dia
"dijemput" sejam setelah kami ditangkap. Hati saya berdebar mendengar
dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami
terlibat konspirasi rencana penggulingan Soeharto.
Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu.
Penyiksaan berlangsung dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu,
pukulan, dan teror mental. Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami
dikejutkan tongkat listrik. Mungkin itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas,
karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang. Selintas saya berpikir bahwa
penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah bertugas di Aceh
dan Papua segala.
Klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke
pelipis saya. "Sudah siap mati?" bisik si penculik. Saat itu mungkin
matahari sudah terbenam. Saya diam. "Sana,
berdoa!" Kerongkongan saya
tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu bahwa hidup
saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak
begitu menyakitkan. Tapi "eksekusi" itu batal. Hanya ada ancaman
bahwa mereka akan memantau kami di mana saja. Akhirnya kami dibawa ke suatu
tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan lembaga lain. Belakangan,
diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap
orang dengan lampu lima belas watt, tanpa matahari dan senam pagi.
Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya
takut melihat pintu angin di sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih
berada di luar, dan bisa menembak dari lubang angin itu. Ternyata semua kawan
merasakan hal sama.
Sepekan kemudian, Andi Arief (kini Komisaris PT Pos
Indonesia) diculik di Lampung. Setelah disekap di tempat "X", dia
terdampar juga di Polda Metro Jaya. Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi
buruk bagi kami, terutama mengenang sejumlah kawan yang hilang dan tak pernah
pulang. Mereka adalah Herman Hendrawan, Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul.
Setelah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang
disebut Tim Mawar sudah dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan
Kehormatan Perwira memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo
sebagai perwira tinggi TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang.
Semuanya hidup, dan sudah dibebaskan.
Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro
Djojohadikusumo, ekonom dan ayah kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan
dilakukan Prabowo atas perintah para atasannya. Siapa? "Ada tiga: Hartono,
Feisal Tanjung, dan Pak Harto," ujar Sumitro. Lalu kini apakah kami, rakyat
Indonesia, harus memaafkan Soeharto? Doa saya untuk kawan-kawan yang belum
(atau tidak) kembali.
*) Ada perintah pada masa Orde Baru, untuk menculik sejumlah
aktivis mahasiswa. Empat orang dari mereka yang diculik belum kembali sampai
hari ini. Wartawan Tempo Nezar Patria, pada 1997 adalah aktivis Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi yang menjadi satu dari korban penculikan yang
selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar