Jumat, 20 November 2020

SASAK HILANG SASAK

(melihat dari jauh sasak yang gelap itu)
 
Salman Faris *
 
Saya termasuk orang yang percaya, Sasak pada akhirnya akan hilang. Atau pasti hilang. Sebenarnya hilang Sasak sudah terjadi sejak 1670 yang ditandai dengan pendaratan awal orang Bali sebagai bangsa yang lebih kuat dan lebih dulu mengenal peradaban. Namun pada masa itu, Tuhan masih menyisakan Kuasanya dengan mengirimkan pejuang-pejuang agama yang sholeh dari Jawa. Rupanya, para wali Alloh ini pun jarang yang bisa bertahan lama di tengah orang Sasak karena mereka tidak tahan melihat orang Sasak saling makan. Para wali Alloh ini tahu yang menghancurkan Selaparang, Pejanggik, dan kelompok kecil lainnya itu ialah pemakan isi perut sesama sendiri di tengah orang Sasak. Karena itu, mereka bertahan dengan tidak lagi memusatkan aktivitas keagamaan di tengah pusat kekuasaan. Mereka tidak lagi memilih sebagai wakil penguasa dengan cara membangun desa sebagai peletak peradaban. Kelayu, misalnya dibangun oleh para wali Alloh yang menjelmakan diri sebagai rakyat biasa. Mereka menyusun strategi agar Sasak tidak hilang secara cepat. Misi mereka ialah menyelamatkan Sasak atau setidak-tidaknya memperlambat hilang Sasak. Mereka menyebarkan diri. Membangun jaringan dengan menciptakan pondok-pondok pengajian. Kelayu, Sekarbela, Bun Timbe, misalnya, ialah jaringan yang amat kuat pada masa itu. Kemudian diteruskan dengan jaringan Pancor, Bengkel, Kediri yang juga tak kalah hebat dan kuatnya. Pondok itulah benteng terakhir orang Sasak karena mereka sama sekali tidak memiliki akses kuasa. Sepenuhnya di bawah Karangasem Bali dan kaum elite Sasak. Namun akhirnya perjuangan ini juga mengalami masa kegelapan, terutama ketika Tuan Guru Ali Batu dapat dikalahkan penguasa. Mirisnya, kekalahan itu bukan disebabkan oleh kekuatan penguasa melainkan karena Tuan Guru Ali Batu dimakan oleh orang Sasak sendiri. Peran wali Alloh ini tak berhenti. Perang Praya yang berlangsung lama dan hampir membuat penguasa menyerah kalah namun akhirnya menang karena Praya dibakar dan dimakan oleh orang Sasak sendiri. Salah satu sebabnya ialah masalah perut. Orang Sasak yang mengalami masa kelaparan begitu lama, gugusan iman dalam dada mereka yang sudah diletakkan oleh para wali Alloh tidak mampu menjadi pelindung ketika melawan lapar yang panjang. Akhirnya, banyak di antara mereka yang menjadi prajurit penguasa yang tugas utamanya adalah memakan sesama Sasak.
 
Dari sedikit narasi di atas, saya ingin menunjukkan skema lampanan Sasak. Dalam konteks aktor, ada tiga pemeran utama yang selalu ada mewarnai seluruh sejarah Sasak hingga sekarang. Pertama ialah Tuan Guru, kaum elite, dan penjajah. Tuan Guru hingga saat ini masih tetap bernama Tuan Guru, tidak mengalami metamorfosis ke dalam bentuk lain. Sedangkan elite Sasak ini bermetamorfosis sebagai orang yang banyak menggumuli politik. Hal yang sama terjadi pada aktor ketiga yakni penjajah. Jika dimulai dari 1670 itu, maka penjajah itu ialah Bali, kemudian setelah 1894 ialah Hindia Belanda, Jepang, dan setelah merdeka ialah sentralistik Jawa. Kemudian terakhir barulah menjelma ke dalam bentuknya yang paling asli ialah kapitalisme. Dalam masa sebelumnya, meskipun alas kuasa penjajah itu dalam bidang produksi, distribusi, penguasaan terhadap pertukaran, konsumsi, dan aksesibilitas ekonomi, namun yang menonjol adalah kekerasan fisik dalam bentuk kerja paksa, pemerkosaan, pembunuhan, dan perampasan hak-hak kemanusiaan sehingga kapitalisme belum membiak secara nyata seperti rupa wajah penjajah baru di tengah orang Sasak di masa sekarang.
 
Menariknya, dalam seluruh rentang sejarah orang Sasak itu, terutama setelah 1670. Tuan Guru dan elite Sasak ini tidak bersatu. Mereka selalu menjadi musuh sehingga menciptakan keababadian perang simbolik. Boleh jadi penyebab awalnya ialah karena ada kekecewaan para Tuan Guru kepada elite Sasak. Di satu sisi, elite Sasak tak pernah percaya kepada Tuan Guru. Akibatnya, sejak era Tuan Guru Umar Kelayu, sistem dakwah yang dijalankan ialah dakwah ngamari (boleh jadi ini yang menjadi cikal bakal orang-orang cerdik pandai dalam agama di Sasak, dipanggil guru dan kiyai). Tuan Guru Umar tidak membangun pondok sebagai pusat aktivitas sebagai bentuk antitesis (perlawanan diskursus) kepada elite Sasak yang sangat menggemari membangun pusat-pusat kuasa. Pada masa ini, Tuan Guru benar-benar menyatu dengan masyarakat dengan cara mendatangi masyarakat. Berjalan sepanjang waktu seolah-olah memilih jalan sunyi. Hal sebaliknya dengan elite Sasak yang bergerumun di sekitaran penguasa karena berebut remah-remah kuasa. Maka kedua pemeran ini, dalam perkembangannya, mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Tuan Guru dalam kekuasaan dan kekuatan moral spiritual. Sedangkan elite Sasak dalam bentuk material dan politik. Maka seterusnya yang terjadi di tengah-tengah orang-orang Sasak hingga sekarang ialah pertarungan antara penganut moral spiritual dan pengikut meterialisme dan politik.
 
Ada dua pertanyaan penting dalam situasi tersebut di atas. Siapa yang menjadi dalang pertarungan tersebut dan apa masalah dasar orang Sasak?
 
Sebenarnya, sudah ada usaha yang sungguh untuk menyatukan Tuan Guru dan elite Sasak ini, terutama sejak Tuan Guru Ali Batu yang berlanjut ketika perang Praya. Namun usaha ini selalu gagal karena selain dasar ideologi kedua kelompok ini jauh berbeda, juga disebabkan oleh kecerdikan penjajah memanfaatkan keterbelahan kedua kelompok tersebut. Dengan kata lain, penjajah selalu menjadi pemenang dalam sejarah orang Sasak. Penjajah selalu menjadi mandor agung dalam setiap konflik orang Sasak. Orang ketiga seolah-olah menjadi ibu kandung peradaban orang Sasak. Sebagai contoh ialah, penjajah sangat lihat bin jitu menibabobokan elite Sasak dengan pemenuhan kebutuhan material dan pemberian kuasa politik. Sementara di satu sisi, gerakan-gerakan orang Sasak di bawah Tuan Guru disikat habis. Dalam situasi seperti itu, penjajah memompa kedua kelompok ke dalam arus kecurigaan yang amat dalam. Tuan Guru memandang elite Sasak berperan besar merusak moral dan kesatuan orang Sasak. Sedangkan elite Sasak beranggapan bahwa Tuan Guru mempunyai agenda merebut kuasa politik mereka. Akhirnya terbentuklah satu habitus sebagai watak dasar orang Sasak, yakni kecurigaan yang menimbulkan keterpecahan. Dengan kata lain, orang Sasak menjadi bangsa yang paling mudah diadu domba. Bangsa Sasak menjadi bangsa yang tak henti-henti membuat polarisasi. Bahkan polarisasi kemudian menjadi keahlian orang Sasak paling tinggi.
 
Uniknya, polarisasi ini timbul dari hal yang paling dasar yakni keluarga. Kemudian masyarakat kampung dan seterusnya ke tingkat yang lebih tinggi. Misalnya, usik saja papuk balok orang Sasak, maka dia akan kehilangan akal sehat. Menjadi tidak berilmu dan lemah iman. Karena didikan dasar ialah keluarga mereka ialah yang paling hero dibandingkan yang lain. Papuk balok mereka ialah datu, keluarga yang lain adalah kaule bale. Begitu seterusnya. Desa orang lain tak pernah sebagai yang lebih baik dalam doktrin di tingakt desa. Dan seterusnya. Sentil saja tentang guru orang Sasak, maka mereka akan mengasah pedang. Karena doktrin yang diterima adalah guru mereka yang terbaik. Singgung saja organisasi orang Sasak, mereka akan kibarkan bendera perang. Jangankan menyinggung asal gumi paer, menyinggung isi tunggangan motor pun bisa jadi darah.
 
Lalu yang ditimbulkan oleh situasi semacam itu ialah terjerumusnya orang Sasak kepada masalah dasar yang tidak pernah bisa diatasi sejak dahulu, yakni kemiskinan dan kelaparan, seperti yang sudah disinggung di awal bahwa masalah perut ialah masalah sejarah orang Sasak. Jika sejak 1670 itu mereka menjadi budak yang dipaksa kerja tanpa upah oleh penjajah yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan. Lain lagi soalnya sekarang. Karena orang Sasak sibuk membanggakan keluarga, papuk balok, asal gumi paer, keindahan Lombok, menterengnya gunung Rinjani, Kek Mandalika, Gili Trawangan, keagungan menyan adat istiadat dan budaya, mereka abai kepada akses ekonomi yang sudah dikuasai kaum kapitalis. Orang Sasak tak punya kepandaian atau peradaban tinggi dalam soal ekonomi ini. mereka tak pernah punya sekolahan informal yang mendidik mereka menjadi pedagang-pedagang hebat dan saudagar-saudagar ulung yang menguasai dunia seperti Minang, Jawa, dan Bali. Ratusan tahun dijajah Bali benar-benar habis waktu dan tenaga digunakan untuk orang Sasak bertahan hidup saja. Bukan untuk membangun dasar peradaban sebagai penakluk ekonomi di dunia ini. Beratus-ratus tahun berada dalam tradisi yang mudah teradu domba, mudah saling curiga, mudah saling iri hati, mudah saling dengki ditambah kebanggan pada keluarga dan papuk balok yang sudah melampaui akal sehat, mereka lupa berpikir bahwa masalah utama yang dihadapi ialah kemiskinan dan kelaparan. Akhirnya sejarah kemiskinan dan kelaparan di tengah-tengah orang Sasak ini ialah sejarah paling panjang dan belum ada jalan keluar hingga sekarang.
 
Pada era sekarang, ketika orang Sasak sudah bertumpuk-tumpuk kaum cerdik pandai dan mereka hidup dalam pusat gadgetisme, sebenarnya ada di antara mereka yang sudah tercerahkan tentang kemiskinan dan kelaparan ini. Namun sayang, sudah terlambat. Pulau Lombok tempat mereka menjalani hidup sejak ribuan tahun yang lalu sudah bukan sepenuhnya milik mereka lagi. Pulau Lombok sudah menjadi milik global kemudian didatangi dan dihuni oleh orang-orang global yang mempunyai sumber daya dan sumber dana jauh di atas orang-orang Sasak.
 
Sementara, orang Sasak tak bisa keluar dari mudahnya dipecah belah, manusia-manusia global semakin menguasai Lombok. Dan inilah pintu masuk berakhirnya orang Sasak. Maka Sasak hilang. Hilanglah Sasak.
 
Lalu adakah iman masih dapat memberikan perlindungan kepada orang Sasak? Kita tunggu bagaimana Tuan Guru dapat menyesuaikan diri.
***
 
Malaysia, 20/11/2019
 

*) Dr. Salman Faris: Penulis, Peneliti Budaya dan Dosen. https://sastra-indonesia.com/2020/11/sasak-hilang-sasak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar