Seno Gumira Ajidarma
Kompas.com
Seminggu setelah
perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam
Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk
mendapatkan pesanannya.
Cappuccino¹ dalam lautan
berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar,
tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada
dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan
dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya,
seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah
mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada.
Mereka bergumam, tapi
tidak menjadi gempar, bahkan pura-pura seperti tidak terpengaruh sama sekali.
Mereka kembali duduk, berbincang dengan bahasa yang beradab, namun diam-diam
melirik, seperti kepalsuan yang telah biasa mereka peragakan selama ini. Para
pelayan yang berbaju putih lengan panjang, mengenakan rompi, berdasi kupu-kupu,
dan rambutnya tersisir rapi diam-diam juga memperhatikan. Semenjak kafe itu
berdiri sepuluh tahun lalu, baru kali ini ada yang memesan Rembulan dalam
Cappuccino. Kafe itu memang menyediakannya, dan minuman itu memang hanya bisa
dipesan satu kali, karena rembulan memang hanya satu.
“Rembulan dalam
Cappuccino, satu!” Teriak pelayan ke dapur, dan kepala bagian dapur
memijit-mijit nomor hp, seolah-olah ada persiapan khusus.
“Akhirnya tiba juga
pesanan ini,” katanya, “aku sudah bosan melihatnya di daftar menu tanpa pernah
ada yang pesan.”
Kepala dapur itu bicara
dengan entah siapa melalui hp.
“Iyalah, turunin aja,
sudah tidak ada lagi yang membutuhkan rembulan.”
Perempuan itu bukan tidak
tahu kalau orang-orang memperhatikannya. Apakah perempuan itu akan memakan
rembulan itu, menyendoknya sedikit demi sedikit seperti menyendok es krim,
ataukah akan menelannya begitu saja seperti Dewa Waktu menelan matahari?
Ia memperhatikan rembulan
yang terapung-apung di cangkirnya, permukaan cappuccino masih dipenuhi busa
putih, seperti pemandangan Kutub Utara-tapi cappuccino itu panas, bagaikan
masih mendidih. Ia senang dengan penampakan itu, dingin tapi panas, panas tapi
dingin, segala sesuatu tidak selalu seperti tampaknya.
Seminggu kemudian,
seorang lelaki memasuki kafe itu, dan memesan minuman yang sama.
“Rembulan dalam
Cappuccino,” katanya.
Para pelayan saling
berpandangan.
“Oh, minuman itu sudah
tidak lagi ada Tuan, seorang perempuan telah memesannya minggu lalu.”
Lelaki itu terpana.
“Apakah Tuan tidak
memperhatikan, sudah tidak ada rembulan lagi dalam seminggu ini?”
Lelaki itu tersentak.
“Seorang perempuan? Istri
saya? Eh, maaf, bekas istri saya?”
Para pelayan saling
berpandangan. Salah seorang pelayan menjelaskan ciri-ciri perempuan yang telah
memesan Rembulan dalam Cappuccino itu.
“Ah, pasti dia! Dasar!
Apa sih yang tidak ingin ditelannya dari dunia ini? Apakah dia makan rembulan
itu?”
Para pelayan saling
berpandangan lagi.
“Tidak Tuan…”
“Jadi?”
“Kalau memang perempuan
itu istri Tuan…”
“Bekas….”
“Maaf, bekas istri Tuan,
mungkin Tuan masih bisa mendapatkan rembulan itu.”
“Maksudmu?”
“Dia tidak memakannya
Tuan, dia minta rembulan itu dibungkus.”
“Dibungkus?”
“Ya Tuan, ia tidak
menyentuhnya sama sekali, hanya memandanginya saja berjam-jam.”
Para pelayan di kafe itu
teringat, betapa perempuan itu mengaduk-aduk Rembulan dalam Cappuccino, bahkan
menyeruput cappuccino itu sedikit-sedikit, tapi tidak menyentuh rembulan itu
sama sekali. Perempuan itu hanya memandanginya saja berlama-lama, sambil
sesekali mengusap air mata.
Mereka ingat, perempuan
itu masih di sana dengan air mata bercucuran, dan masih tetap di sana,
kebetulan di tempat sekarang lelaki itu duduk, sampai tamu-tamu di kafe itu
habis menjelang dini hari.
Kemudian dia meminta
rembulan itu dibungkus. Ketika dibungkus, rembulan sebesar bola pingpong yang
semula terapung-apung di dalam cangkir itu berubah menjadi sebesar bola basket.
Itulah sebabnya kepala
dapur meminta agar pencoretan Rembulan dalam Cappuccino dari daftar menu
ditunda.
“Rembulan itu belum
hilang,” katanya, “siapa tahu perempuan itu mengembalikannya.”
Lelaki itu memandang
pelayan yang berkisah dengan seru. Ia baru sadar semua orang memandang ke
arahnya. Ketika ia menoleh, tamu-tamu lain itu segera berpura-pura tidak
peduli, padahal penasaran sekali.
“Kalau dia muncul lagi,
tolong katakan saya juga mau rembulan itu.”
“Ya Tuan.”
Lelaki itu melangkah pergi,
tapi sempat berbalik sebentar.
“Dan tolong jangan
panggil saya Tuan,” katanya, “seperti main drama saja.”
Padahal ia sangat
menikmati perlakuan itu-seperti yang dilakukan bekas istrinya sebelum mereka
berpisah.
Tiada rembulan di langit.
Tidak pernah terbayangkan akan terjadi betapa tiada lagi rembulan di langit
malam. Namun di kota cahaya, siapakah yang masih peduli rembulan itu ada atau
tidak?
“Yang masih peduli
hanyalah orang- orang romantis,” kata perempuan itu kepada dirinya sendiri.
“Atau pura-pura
romantis,” katanya lagi.
Dia berada di suatu
tempat tanpa cahaya, kelam, begitu kelam, seperti ditenggelamkan malam,
sehingga bintang-bintang yang bertaburan tampak jelas, terlalu jelas, seperti
peta dengan nama-nama kota. Perempuan itu belum lupa, apalah artinya nasib satu
manusia di tengah semesta, nasib yang sebetulnya jamak pula dialami siapa pun
jua di muka bumi yang sebesar merica.
Namun, ia merasa bagaikan
kiamat sudah tiba. Agak malu juga sebetulnya.
Banyak orang lain harus
hidup dengan gambaran bagaimana ayahnya diambil dari rumahnya di tengah malam
buta. Digelandang dan diarak sepanjang kota sebelum akhirnya disabet lehernya
dengan celurit sehingga kepalanya menggelinding di jalanan dan darahnya
menyembur ke atas seperti air mancur deras sekali sampai menciprati orang-orang
yang mengaraknya itu. Tidak sedikit orang yang hidup dengan kutukan betapa
ibunya telah menjadi setan jalang yang memotong-motong alat kelamin lelaki
sambil menyanyi dan menari, dan karena itu berhak disiksa dan diperkosa,
padahal semua itu merupakan kebohongan terbesar di muka bumi. Hidup ini bisa
begitu buruk bagi orang baik-baik meskipuntidak mempunyaikesalahan samasekali.
Tanpa pembelaan sama sekali.² Tanpa pembelaan. Tanpa…
Langit malam tanpa
rembulan. Ada yang terasa hilang memang. Tapi selebihnya baik-baik saja. Tentu
kini hanya bisa dibayangkannya bagaimana rembulan itu seperti perahu yang
membawa kelinci pada malam hari dan mendarat di Pulau Jawa. Namun, tidakkah
manusia lebih banyak hidup dalam kepalanya daripada dalam dunia di luar batok
kepalanya itu? Apabila dunia kiamat, dan tidak ada sesuatu lagi kecuali dirinya
sendiri entah di mana, ia bahkan masih memiliki sebuah dunia di dalam
kepalanya. Tanpa rembulan di langit ia bisa melihat rembulan seperti perahu membawa
kelinci yang mendarat di Pulau Jawa.³
Rembulan itu berada di
punggungnya sekarang, terbungkus dan tersimpan dalam ransel-apakah ia berikan
saja kepada bekas suaminya, yang diketahuinya selalu bercita-cita memesan
Rembulan dalam Cappuccino? Kalau mau kan banyak cappuccino instant di lemari
dapur (ia lebih tahu tempat itu daripada suaminya) dan meski rembulan di
punggungnya sekarang sebesar bola basket, nanti kalau mau dimasukkan cangkir
akan menyesuaikan diri menjadi sebesar bola pingpong. Dia dan bekas suaminya
sebetulnya sama-sama tahu betul hukum rembulan itu, tapi itu cerita masa lalu-
sekarang ia berada di sebuah jembatan dan sedang berpikir, apakah akan
dibuangnya saja rembulan itu ke sungai, seperti membuang suatu masalah agar
pergi menjauh selamanya dan tidak pernah kembali? Setiap orang mempunyai
peluang bernasib malang, kenapa dirinya harus menjadi perkecualian? Ia seperti
sedang mencurigai dirinya sendiri, jangan-jangan ia hanya mewajibkan dirinya
berduka, karena selayaknyalah seorang istri yang diceraikan dengan semena-mena
merasa terbuang, padahal perpisahan itu membuat peluangnya untuk bahagia
terbuka seluas semesta…
Dalam kegelapan tanpa
rembulan, perempuan itu tidak bisa melihat senyuman maupun air matanya sendiri
di permukaan sungai yang mengalir perlahan- dan ia tak tahu apakah masih harus
mengutip Pablo Neruda.
Tonight I can write the
saddest lines….
Tiga minggu kemudian,
pada hari hujan yang pertama musim ini, perempuan itu muncul lagi di kafe
tersebut.
“Saya kembalikan rembulan
ini, bisa diganti soto Betawi?”
Itulah masalahnya.
“Tidak bisa Puan, kami
tidak punya soto Betawi, ini kan restoran Itali?4
Nah!
Pondok Aren, 31 Agustus
2003.
***
1. Kopi tradisional
Italia, biasanya untuk sarapan-kopi espresso yang dibubuhi susu panas dan buih,
sering juga ditaburi cokelat, dalam seduhan air panas 80 derajat celsius,
dihidangkan dengan cangkir. (Sumber: dari bungkus gula non- kalori Equal).
2. Tentang penyiksaan
sesama manusia Indonesia, bisa dilacak dalam sejumlah dokumen, antara lain,
Pipit Rochijat, “Am I PKI or Non PKI?” dalam Indonesia edisi 40 (Oktober 1985);
A Latief, Pleidoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000); Sulami,
Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999); Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang
(2003), dan tentu saja Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Tunggal Seorang Bisu
(1995).
3. Dari Sumanasantaka
(sekitar 1204) karya Mpu Monaguna: “sang hyang candra bangun bahitra dateng ing
kulem amawa sasa mareng jawa.” Tentang segi astronomi bait ini, apakah itu
bulan sabit di cakrawala sehingga bentuknya seperti perahu, ataukah bulan
purnama, yang memungkinkan gambaran seekor kelinci, baca PJ Zoetmulder,
Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), terjemahan Dick Hartoko,
h238.
4. Puedo escribir los
versos mas triste esta noches-dari “Puedo Escribir” (“Tonight I Can Write”)
dalam Pablo Neruda (1904-1973), 20 Puemas de amor y una Cancion desesperada
(Twenty Love Poems and a Song of Despair), 1924, terjemahan ke dalam bahasa
Inggris oleh WS Merwin, terbit pertama kali tahun 1969.
***
SENO GUMIRA AJIDARMA
lahir di Boston, 19 Juni 1958. Ia adalah seorang sastrawan, fotografer dan
kritikus film Indonesia. Cerita pendeknya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai
Cerita Pendek Terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerita pendeknya antara lain:
Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang
Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis
Tidak Pernah Mati (1999), juga beberapa novel seperti Matinya Seorang Penari
Telanjang (2000). Pada tahun 1987, ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerita
pendeknya Saksi Mata, ia memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997.
Pada 2005, ia mendapatkan Khatulistiwa Literary Award 2005. Kini ia tinggal di
Jakarta dan mengajar matakuliah Kajian Media di FFTV-IKJ dan Kajian Sinema di
Program Pascasarjana FIB UI.
http://sastra-indonesia.com/2009/02/rembulan-dalam-cappuccino/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar