Kamis, 21 Januari 2021

Pita Ungu Multatuli

Beni Setia *
suarakarya-online.com
 
Berkali-kali Nina bermimpi jadi kembang api. Terdorong ke ketinggian langit kota yang kelam, dengan bunyi bercericis yang membuat orang-orang menengadah mengawasi gerakannya melintas, lantas tiba di zenit dan meledak menebarkan aneka lentik api warna-warni dalam bentuk bola cahaya. Terbahak-bahak melihat mata [orang-orang] yang membelalak, mulut yang ternganga heran, dan kemudian lirikan pada yang di sebelah sambil berdecak kagum dan menggeleng-gelengkan kepala.
 
Kata-kata mereka itu, yang berkubang dalam kekaguman dan takjub keheranan, akan mengalun dan meluas seperti efek lemparan kerikil di tengah kolam yang tenang. Menjilat-jilat pematang kolam, menggoyang-goyang benda-benda yang terapung di atas muka air, dan membuat ikan-ikan resah selusupan sebelum kembali di permukaan bila goncangan jadi tenang. Celingukan memeriksa lengkung langit yang disangkanya rubuh itu tetap lengkung biru dengan sedikit hiasan awan yang meng-geliat dan melintas menjauh. Memeriksa tepi kolam dan menemukan dirinya yang tersenyum sambil menimang-nimang kerikil yang siap dilomtar ke kolam. Tertawa mendengar desah kaget dan kagum akibat lontaran kerikil di pagi hari.
***
 
"Aku bahagia," gumannya. Dan Nina selalu ingin mengatakan hal itu kepada setiap orang agar setiap orang tahu kalau ia memang berbahagia. Terutama kepada orang-orang kampung ketika bertemu di warung saat belanja untuk makan siang di hari libur. Ketika arisan, ketika sama-sama pergi menjenguk yang sakit, mengucapkan bela sungkawa, dan terutama ketika pergi ke hajatan perkawinan atau sunatan. Kepada orang-orang kantor yang merasa dirinya sebanding, sama-sama PNS - cuma guru bidang studi di SMP pinggiran. Ya! Padahal ia itu istri Yuwana, PNS Pemkab yang sekarang menjadi Kabag. Yang baru membeli mobil setelah mempunyai tiga sepeda motor - dengan rumah baru dengan perabotan lengkap anyar.
 
Ya! Tapi kenapa mereka mencibir, melengos, dan terkadang - di balik punggungnya - tertawa, meniru intonasi, caranya bicara dengan nyinyir, lalu terbahak-bahak.
 
Apa tidak boleh orang merasakan kebahagian, penuh dengan kebahagiaan, dan karenanya kepengen menjalarkan kebahagiaan itu pada seluruh teman dan tetangga? Apa kebahagiaan hanya boleh dirasakan dalam hati, dihayati dalam hati, dan kare-nanya dirayakan di dalam hati - dengan sedikit gejala yang diekspresikan ke luar. Bersenandung, mengganti model rambut, memakai baju baru, dan sekedar memba-wa jajan yang dibagi-bagi di kantor? Kenapa tidak boleh diperkatakan, sebagai ke-bahagiaan yang dipertontonkan - selama tidak diekspresikan secara berlebihan.
***
 
"Kenapa orang-orang itu?" katanya pada Muis - rekan sekantor yang lembut dan penuh pengertian, mau mendengar kebahagiaannya dan penuh perhatian bila ia mengeluhkan kesumpekan batin. Lelaki langsing dengan rambut tercukur dan tersi-sir rapi - seperti juga garis setrikaan baju seragamnya dan semiran sepatunya - itu tersenyum.
 
"Bukan di sana pokok persoalannya," katanya sambil terus memainkan jarinya di keyboard komputer, sambil terus menyelesaikan tugas-tugas sebagai staf. "Mereka mengapresiasi kebahagiaanmu bukan dengan gairah berbahagia yang kamu rasa-kan, tapi dengan ketidakbahagiaan mereka, bahkan dengan semacam ketersinggungan, luka karena mereka merasa dicemooh sebagai yang tidak berbahagiaan - ketika kamu mengekspresikan kebahagiaanmu."
"Jadi aku harus bagaimana?"
 
"Coba membungkam. Coba belajar diam, memendam kebahagian - karena itu bisa jadi duri yang melukai orang-orang yang sumpek di tengah keterpurukan."
 
"Tapi ...?"
"Ingat Kisah Pita Multatuli? Fenomena kita hidup untuk disalahtafsiri, selalu," katanya, sambil tersenyum. Nina tefakur. Melongo di sisi Muis. Matanya mengawasi layar monitor, tapi tak menangkap deretan huruf yang muncul dari balik garis yang terus bergeser mengikuti gerak jari Muis pada keyboard. Sekaligus ia kembali teri-ngat akan Kisah Pita Multatuli yang diungkapkan Muis. Begini kisahnya: Seorang ibu mendandani gadis kecilnya dengan pita, lalu menmbawanya ke tetangga sebe-lah untuk dibanggakan. "Lihat, cantik bukan?" katanya. Si tetangga menggangguk. "Gaun yang anggun," katanya. Ibu gadis kecil itu ternganga. Yang dipertontonkan dan dibanggakannya itu sesungguhnya pita rambut anaknya dan bukan gaun, tapi kenapa si tetangga malah memuji gaunnya - yang sudah sering dipakai itu -? Ya! Dan itu menunjukkan bahwa kita berkomunikasi untuk senantiasa terjerunuk dalam miskomunikasi. Dan setelah itu?
 
Nina memenjam. Ia ingat, cerita itu dituturkan Muis ketika satu hari - ia masih ingat tanggal, bulan, tahun, dan bahkan jam dan menitnya -: ia mengeluhkan suaminya yang marah besar saat disiapkan menu [makan siang] sayur lodeh, ikan asin, dan sambal dengan lalab. Suaminya yang pulang dari olah raga pagi di hari libur itu membelalak.
 
"Memangnya aku ini kucing kok disuruh makan ikan asin!" teriaknya sambil menndorong piring. Beranjak ke kamar, lantas berangkat ke kota untuk makan soto. Nina terbelalak. Bukankah terkadang dia suka minta dibuatkan sambal, lengkap dengan lalab dan lauk ikan asin yang digoreng garing - terkadang ikan segar goreng. Apa ia salah?
 
Siangnya ia menyembah - minta maaf. Tapi Yuwana diam saja. Di keesokan harinya ia mengeluhkan kelakuan suaminya itu pada Muis, mempertanyakan menga-pa Yuwana tak menyukai menu yang seingatnya merupakan menu favorit sang suami. Muis tersenyum. Menceritakan Kisah Pita Multatuli itu, dan menambahinya dengan sebuah nasihat pendek. Bahwa kita tidak bisa menebak selera, keinginan, dan angan-angan orang lain, meski dia itu suami, dan karennya lebih baik bertanya terlebih dulu - untuk mencari tahu apa yang paling diinginkannya saat itu.
 
Terkadang ia membayangkan kebahagiaan bersuamikan Muis yang begitu bijaksana, penuh toleransi dan pengertian. Ya! Tapi apa Muis bisa membuatnya mencelat ke zenit malam dan meledak sebagai kembang api di tengah kota dengan puluhan orang yang membelalak dan ternganga - takjub dan mengagumi kecerlangnya sebagai si kembang api? Sebagai istri yang beruntung, dengan anak cerdas dan su-ami yang punya jabatan - serta melimpahinya dengan kekayaan -?
 
Terkadang ia berpikir, satu saat suaminya akan sebijak, setoleran dan sepenuh pengertian Muis. Tapi terpikir juga: bagaimana rasanya jadi istri Muis? Mungkin cuma dapat senyum, sentuhan dan belaian - dengan tugas rutin mencuci yang bersih dan menyetrika yang rapi. Mungkin. Benarkah begitu? Bukankah itu juga semacam jebakan Pita Multatuli? Tapi bisakah kita memahami keinginan setiap orang? Atau ia tak perlu memikirkan mood setiap orang, dengan tetap setia pada nalurinya untuk memperkatakan kebahagiaan yang dilimpahkan-Nya?
***
 
Dengan lantang ia bilang bahwa SMP kota yang katanya berdisiplin nilai itu ternyata omong kosong. "Tidak percaya?" katanya, "Anakku tak diidzinkan Thukul ikut her olah raga - agar nilai angka 5-nya bisa dikoreksi. Bojo-ku menggertak. Membawa pengacara dan bersumpah akan menuntut. Mereka tekuk lutut, dan angka 5 pun berubah jadi 7. Dan karenanya anakku bisa ikut tes SMA Taruna," kata Nina sambil tertawa, kepada setiap orang di setiap kesempatan.
 
Ketika anaknya lulus di Magelang - setelah lulus seleksi tingkat Kodim dan Kodam -, dengan bangga Nina bilang bahwa semua itu karena ada yang menun-jukkan dalan Jendral dan Yuwana berani bayar ongkos tol-nya. "Pada zaman sekarang ini tidak ada yang gratis," kata Nina dengan setengah mencibir dan meneliti reaksi orang-orang, "Pokoknya ono rupa ono rego!" Dan orang-orang mengiyakan sambil menunduk menahan marah dan menelan rasa pahit dari kepapaan tak punya kuasa dan harta. Dan Nina yakin, di balik punggungnya, mereka pasti menggerutu.
 
Tapi bisa apa mereka? Bahkan Muis yang mengingatkan agar Nina tidak banyak omong. "Bahaya itu," katanya, "Bisa jadi bahan fitnah," Nina cuma meng-angkat bahu. Siapa yang bisa mengutak-ngutik dan mengganggu-gugat sesuatu yang telah tertulis secara formal-legal? Seperti kata suamiku, guman Nina setengah tertawa. Dan ia merasa terbang di atas langit malam dan meledak jadi berkas cahaya warna-warni dengan bentuk bola yang menggelembung - sambil merasakan banyak tatapan dengan mata terbelalak dan mulut menganga, decakan kagum dan gelengan kepala yang menyatakan ketakjuban.
 
Dan memang tak setiap orang dilahirkan untuk merasakan lengkung keberuntungan yang cemerlang di langit malam. Hanya Nina, hanya seorang Nina: Lantas tidak bolehkah aku merasakan sensasi kepuasan dari kebahagiaan yang dijalarkan secara verbal kepada setiap orang?
***
 
"Akulah malam, Kembang api yang menguasai dan menghiasai malam."
 
Meski sesaat, guman Nina, tapi aku bisa merasakan indahnya ketinggian dan gemerlapnya percikan lentik cahaya warna-warni yang menggelembung membentuk wujud bola api imajiner. Ya! Karena, SMP Kota - di mana anakku disekolahkan - ditelepon Kodim, yang merasa mendapat telepon dari seseorang yang mengatakan bahwa Thukul, guru olah raga, merasa dirinya ditekan dan dipaksa untuk mengu-bah nilai olah raga anaknya, dari 5 jadi 7, dan seterusnya. Kemudian SMP Kota memanggil kami dan KS-nya menegur aku - yang dikatainya banyak omong. Aku cuma tersenyum. Bukankah segala sesuatunya telah tetulis formal-legal? Biarlah sekolah dan Thukul yang bertengkar berkepanjangan. Bukankah suamiku akan kembali membayar pengacara dan menggertak dengan gugatan?
 
"Atas dasar apa mereka melarang aku berbicara mengekspresikan kebahagiaan yang menjalari punggung dan ingin diteriakan kepada setiap orang - agar mereka mengerti kalau aku sedang berbahagia," teriak Nina - sambil tetap duduk di pojok, bergoyang-goyang meski kedua tangannya ada dalam lengan baju terpal yang dibelitkan dan diikat tali di punggung. Sesaat Nina tersenyum. Terbahak dengan rambut masai. Di kamar belakang yang sunyi. Terpencil.
***
 
10 Juli 2005
 
*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar