Tulisan ini terinspirasi, ketika ada seorang wanita sibuk dengan pekerjaannya, tapi masih bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri yang sholiha, ibu yang bijak untuk anak-anaknya, dan tetap kompeten dalam pekerjaannya, tanpa menyalahi kodratnya sebagai wanita. Kaum wanita berbeda dengan laki-laki dalam hal-hal tertentu, jadi tidak bisa wanita bertindak layaknya laki-laki, bebas keluar rumah dan eksis di ranah publik. Tapi ada sebagian yang menyatakan semua itu boleh dilakukan, asal ada izin dari suami dan menyangkut hal yang positif.
Contoh perbedaan laki-laki dan wanita yang akan berpengaruh dalam pekerjaan yang boleh untuk wanita, dan yang tidak adalah perbedaan fisik. Perbedaan fisik ini pertama. Laki-laki punya fisik lebih kuat, sehingga mampu menerima tantangan keras dalam bekerja di luar rumah, sedangkan wanita dengan lemah lembutannya diciptakan tetap berada di rumah, mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Kedua, perbedaan hormon. Ketiga, perbedaan kondisi fisik dan psikis, di antaranya keadaan wanita yang mudah tersinggung, temperamental, apalagi ketika masa haid. Keempat, perbedaan susunan otak pria dan wanita. Otak laki-laki lebih unggul dari otak wanita, sehingga tepat bila lelaki banyak berada di ranah publik. (muslimah.or.id)
Sering kita dengar tugas wanita ialah (3M) Masak, Macak (berdandan) dan Manak (melahirkan), kreteria itu memang masih sering kita dengar sampai sekarang, “buat apa berpendidikan tinggi, toh wanita tetap pada tugasnya pegang uleg dan cobek di dapur.” Wanita berpendidikan tinggi bukan untuk menyaingi para lelaki, tapi demi membangun generasi ( you teach a women = you teach a man, you teach a women = you build a generation, pendidikan anak bukan dimulai sejak dini, tapi semenjak memilih istri.
Islam memuliakan kaum hawa, Islam datang untuk menempatkan kedudukan wanita pada posisi yang layak, memberikan hak-haknya dengan sempurna tanpa dikurangi secara fitrohnya. Islam memuliakan kedudukan kaum wanita, sebagai ibu, anak atau saudara perempuan, juga sebagai istri. Di poin terakhir ini yaitu sebagai istri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi makanan, pakaian, dan sebagainya. Mendapatkan apa yang dibutuhkan lewat meminta pada sang suami dengan cara yang ma’ruf.
Sebenarnya, wanita karir melakukan aktivitasnya, karena didorong keinginan maju, ingin mendapatkan ilmu pengetahuan, mendakwahkan ajaran agamanya, dan berharap hidupnya bermanfaat bagi orang lain, atau lantaran motivasi tertentu. Dalam ajaran Islam, istri atau ibu tidak diperintahkan atau diwajibkan bekerja. Karena nafkahnya dicukupi suami, demikian juga anak-anak dan semua kebutuhan rumah tangganya. Kewajiban istri hanya taat kepada Allah Swt dan suaminya; menjaga diri, keluarga, dan harta suaminya, ketika ia pergi (ghaib) sesuai dengan Firman Allah dalam AlQur’an Surat An-Nisa‘ ayat 34 yang artinya:
“Kaum lelaki (suami) itu penanggung jawab/pelindung bagi wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atau sebagian yang lain, dan karena mereka telah memberi nafkah sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang baik ialah yang taat (kepada Allah dan suaminya) lagi memelihara diri, ketika suaminya pergi sebagaimana Allah telah menjaga (mereka).”
Dan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Dan istri adalah pemimpin di rumah tangga suaminya serta anak-anaknya dan ia dimintai mempertanggungjawabkan tentang mereka dalam (kepemimpinannya).” Dengan demikian, maka istri tak dituntut bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi dalam kenyataannya, kita banyak menemui kaum istri yang bekerja. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal:
1. Disuruh suami atau orang tua, karena kondisi keuangan keluarga masih belum mencukupi.
2. Keinginan istri atau wanita itu sendiri, karena memiliki ilmu dan keterampilan, meskipun keuangan keluarga tidak kekurangan dan mendapat izin dari suami.
3. Keinginan wanita atau istri, karena kekurangan keuangan keluarga dan diizinkan suami.
Wanita istri yang bekerja lantaran sebab tersebut di atas, dibolehkan dalam ajaran Islam dengan syarat:
1. Mendapat izin dari suami atau orang tua (bagi wanita yang belum bersuami).
2. Dalam rangka taat kepada Allah dan suaminya.
3. Dapat menjaga diri.
4. Berjilbab atau menutup aurat.
5. Tidak menimbulkan fitnah dan ma’siat.
6. Tugas pokok kodrati wanita, istri, dan ibu tidak terabaikan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diutarakan di sini tentang beberapa hukum wanita /istri bekerja:
1. Wajib, jika disuruh oleh suami atau orang tuanya, dan dapat melaksanakan syarat-syaratnya.
2. Sunnah, jika mendapat izin dari suami/orang tua, dan bisa melaksanakan syarat-syaratnya serta hasilnya dibutuhkan oleh keluarga.
3. Makruh, jika mendapat izin dari suami/orang tua dan dapat melaksanakan syarat-syaratnya, tapi hasilnya tidak dibutuhkan oleh keluarga, karena sudah tercukupi dari hasil kerja suaminya.
4. Haram, jika tidak mendapatkan izin dari suami/orang tua atau tidak dapat melaksanakan syarat-syaratnya. Karena ini akan menimbulkan kerusakan dalam rumah tangga; antara lain terjadinya PIL (Pria Idaman Lain), WIL, perzinaan, dan bentuk-bentuk kemaksiatan yang lain.
Wanita atau istri yang bekerja, memanglah ada keuntungan atau segi positifnya, seperti bertambahnya sumber finansial, meluasnya network (jaringan hubungan), adanya kesempatan menyalurkan bakat dan hobi, terbukanya kesempatan mewujudkan citra diri yang positif dan lain-lain, tetapi di sisi lain kadang-kadang dihadapkan pada resiko yang buruk, misalkan:
1. Terabaikannya keluarga, karena kesibukan di luar rumah.
2. Terkurasnya tenaga dan pikiran.
3. Sulitnya menghadapi konflik peran, antara kedudukan sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir.
4. Timbulnya stres dan beban pikiran.
5. Berkurangnya waktu untuk diri sendiri dan keluarga. (Dirujuk dari Y.P.P. Nurul Faizah)
Maka, jadilah wanita muslimah yang mulia di mata Allah, suami, anak, dan orang-orang yang berada di sekitar. Setinggi apapun jabatan dan prestasi, ingatlah selalu kodratmu. Seimbangkan kewajibanmu sebagai istri yang selalu taat pada suami, ibu yang dapat mewujudkan anak yang sholeh dan sholeha, serta kewajiban di dalam pekerjaan (jika bekerja sebagai wanita karier).
03 Juli 2019
*) Nurul Komariyah, M.Pd., lahir 22 September 1985 di Dusun Bagel, Sumberagung, Sukodadi, Lamongan. Mengajar di SDN Sumberaji, Sukodadi, dan aktif di Kepramukaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar