Minggu, 07 Februari 2021

Menghela Narasi Peradaban yang Hilang

Dr. Marsel Robot, M.Si *
Pos Kupang, 11 Sep 2017
 
Ujung Juli (24-26 Juli 2017), Dinas Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur menyelenggarakan ritual bertajuk: “Dialog Kebudayaan (silaturahmi) Raja-raja Sedaratan Flores dan Lembata”.
 
Turut hadir perwakilan Raja Rote. Dialog itu dilangsungkan di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Dialog yang berusaha meretas jalan ke masa lalu, melewati gundukan peradaban dan lorong-lorong kehidupan komunal yang telah begitu jauh dan merabun.
 
Sementara status kemanusiaan kita saat ini sedang diselimut lumut hedonistik (kebahagiaan artifisial). Padahal, “setiap kita bepergian, dan kemanapun kita tuju, kita boleh lupa kain dan baju, tetapi jangan lupa identitas dan jatidiri, karena itu harga diri”, kata Kepala Dinas Kebudayaan Pieter Sinun Manuk pada sesi seminar kala itu.
 
Saya diundang untuk memberikan kesaksian sebagai pesakitan, semacam sosok yang terlantar karena terlontar dari masa silam. Status saya sebagai manusia telah menjadi perkakas atau kalau direken-reken, maksimal menjadi suku cadang dari handphone android.
 
Sosok jengang, tertawa sendiri di tepi jurang pragmatisme. Lantas, kehidupan terasa sangar berada dalam kontainer yang mengangkut kepentingan dari satu pelabuhahn ke pelabuhan lain.
 
Lembata di siang itu memang rada cuek. Panas yang menampar kota dan pulau-pulau yang berkeluh pada kemarau, kampung-kamopung jauh dan sunyi seakan merimbunkan nostalgia.
 
Dalam ruang seminar seorang tuan raja menyergap saya dengan pertanyaan pendek: Sejak kapan kita ini kehilangan kepesonaan sebagai manusia? Pertanyaan pilu yang mencuatkan reflektif kritis tentang harkat hidup manusia di rimba raya teknologi komunikasi yang amat masif menyusutkan kemuliaan manusia di bumi.
 
Saya menimpali dengan alegoris, seraya menghela narasi peradaban yang hilang. Ya, ketika suara burung di pagi hari atau perarakan awan senja di leher bukit sebagai penanda waktu diganti dengan jam dinding dan arloji, maka dari sinilah kita mulai berhala pada benda dan masuk dalam regukan materilisme.
 
Di sana peradaban individualistik dan persaingan terus menikam jantung masyarakat komunal. Di sana pula, rumah kita tak lagi berfungsi sebagai institusi yang membiakkan nilai-nilai, tetapi sekedar tempat istirahat malam, terasa tengik, sumpek, tak ada mawar, tak ada lagu yang dinyanyikan ibu menjelang tidur.
***
 
Dialog terus menggergaji logika dengan sejumlah pertanyaan bernuansa ontoloogis. semisal, masih berartikah hidup kita? Kalau masih punya arti, seberapa besar atau pada level mana kita berada? Atau kita sedang dikepung oleh kesedihan yang tak tertahankan selama karnaval dari old society menuju modern society?
 
Seperti diketahui, bahwa yang kekal dari kebudayaan adalah perubahan dan yang kekal dari perubahan adalah konsekuensi. Salah konsekuensi paling sengit ialah kepesonaan kita sebagai manusia direbut oleh teknologi yang kita ciptakan.
 
Bayangkan, setelah televisi hadir 28 Agustus 1962, maka meja perjamuan kemanusiaan di ruang tengah dilenyapkan. Tak lama berselang, datanglah setan baru yang sengit menggigit kemanusiaan kita, internet (4 Juni 1988). Makhluk ini membiakkan spesies lain seperti facebook, instagram, twitter dan media sosial yang terus mendorong kita ke tepi jurang, sendirian, tanpa belaian ayah-bunda.
 
Kita begitu rela menyerahkan diri kepada android (hp dengan vitur internet paling canggih), sehingga sangat tergantung padanya. Jika sapu tangan atau celana dalam jatuh dari jemuran, diberitakan terlebih dahulu melalui media sosial sebelum ia bertanya kepada warga rumah. Memarahi suami atau istri atau menagih utang melalui media sosial.
 
Lebih dari itu, facebook, twitter, instagram telah menjadi gereja atau masjid, tempat melayat, tempat pembaringan jenazah, menjadi rumah bersalin dan tempat penipuan paling vulgar, tempat memuntahkan dahak-dahak hoaks, menjadi pódium demagog (penghasutan).
 
Sebagian besar waktu bangun kita bersemuka dengan android daripada sesama manusia. Kita begitu latah, apatis dan menjadi autis (asyik sendiri) tanpa berkomunikasi dengan orang sekitar. Kisah ibu dua anak bernama Tung asal Tiongkok menegaskan naifnya kita bersahabat dengan hp android.
 
Tung mati mendadak di ranjang dengan keadaan sangat aneh. Kedua tangannya memegang hp dan matanya terbuka menatap hp. Ibu mertuanya mengira, Tung sedang bermain hp, ternyata Tung sudah dingin. Tung telah meninggal. Dicari tahu penyebab kematiannya, Tung meninggal karena kelelahan. Siang bekerja sebagaimana ibu-ibu lainnya, tetapi di malam hari, ia menghabiskan waktu untuk bermain hp.
 
Tenknologi selalu menampilkan dua wajah paradoksal. Satu wajah memperlihatkan kehadirannya sebagai juru selamat umat manusia dari berbagai keterbatasannya.
 
Hadirnya ban yang digerakan motor, mempercepat langkah kaki manusia dari satu tempat ke tempat lain. Televisi membantu meluaskan mata dan pengetahuan tentang dunia, datangnya internet manusia diselamatkan dari keterkungkungan informasi, pengetahuan dan pergaulan dunia. Akan tetapi, pada sisi lain, teknologi menjadi monster yang rakus melahapi kepesonaan kita sebagai manusia.
 
Secara sosial, kita ditakdirkan hidup sebagai masyarakat komunal. Seseorang hanya merasa dirinya hadir dan dihargai sebagai manusia apabila ia tergantung pada sesamanya. Peradaban kita adalah peradaban komunal dimana individu sangat tergantung pada kolektivitas.Tempat pembimbitan dan pembobotan peradaban manusia adalah kampung (Lewo Tana, terminologi orang Flores Timur, Kuni Agu Kalo, terminologi orang Manggarai, Kuamnasi, terminologi Dawan).
 
Kampung (Lewo Tana, Kuni Agu Kalo, atau Kuamnasi) dalam pengertian masyarakat komunal bukan deretan rumah, melainkan gugusan makna membentuk institusi kemanusiaan. Kampung merupakan tempat mendikte nilai, norma, aturan dan perilaku.
***
 
Dalam konteks ini, kampung merupakan rumah besar bagi warganya, sekaligus institusi peradaban warganya. Sebab, kampung hanya merupakan perluasan subjektif dari rumah tangga dimana warga diikat oleh hubungan saudara sedarah.
 
Individu dalam kampung komunal merasa tentram secara psikologis (merasa ada dan berarti) jika mampu memahami hubungan kekeluargaan. Sebaliknya, individu merasa sendirian jika terpisah atau dikeluarkan dari keluarga. Setiap orang wajib memberikan penghormatan yang tepat kepada orang sesuai hirarki geneologis dan sosiologis.
 
Sepanjang tali hubungan kekeluargaan sepanjang itu pula pengontrol moral dalam pergaulan sosial. Dalam konteks itulah dibentuk tata peradaban tiga dimensi yakni hubungan manusia dengan wujud tertinggi, hubungan manusia masyarakat, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
 
Gundukan tanah dan gundukan makna kampung dilenyapkan ketika binatang modern bernama buldozer menggusur jalan setapak menjadi jalan raya. Jalan raya sebuah revolusi peradaban. Di atas jalan raya tidak hanya lalu-lalang manusia yang mengakses barang dan jasa dan mendekatkan jarak dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi jalan raya membawa perubahan kesadaran dan perubahan peradaban yang revolutif.
 
Orang datang dan pergi dari dan ke titik kepentingan. Jarang kita lewati jalan setapak sebagai proses sosial meski sekedar meminta air minun di tetangga, singgah di kampung lain sebagai bentuk perjamuan sosial (ritual kebersamaan). Jalan setapak adalah prosesi sosial, sedangkan jalan raya adalah prosesi kepentingan. Orang yang melewati jalan setapak datang dan pergi menuju manusia, sedangkan orang yang melewati jalan raya datang dan pergi menuju benda.
 
Tegur sapa sepanjang jalan setapak adalah orkestra kemanusiaan yang alami, sedangkan tegur sapa sepanjang jalan raya adalah orkestra manipulatif. Jalan raya terus menyedot nilai kolektivitas manusia sehingga sekali kelak ia menjadi manusia pemburu kepentingan. Dan kita pergi kian jauh dan menjauh dari kampung halaman yang terus mewanti kita tentang hakikat hidup, hakikat semesta dan hakikat manusia.
 
Mungkin terlalu mudah jatuh dalam pangkuan teknologi dan peradaban modern menyedot kolektivitas dan peradaban primordial hingga status kita menjadi manusia rongsokan. Kita hanya menjadi suku cadang teknologi dan terlalu kerasan berhala kepadanya. Akhirnya, kita apatis dan menjadi autis (asyik sendiri) tanpa komunikasi semuka. Dunia cuma seluas layar hp dan direngkuh di ujung jari.
 
Sering, kita lebih banyak diam, menunduk dan senyum-senyum sendiri. Dan dari perbukitan nun jauh, suara sayup terus mewanti: Nak, engkau terlalu jauh pergi meninggalkan dirimu, tanpa mawar dan mazmur di tangan.*
 
*) Dosen FKIP Undana Kupang
http://kupang.tribunnews.com/2017/09/11/menghela-narasi-peradaban-yang-hilang?page=3
http://sastra-indonesia.com/2017/10/menghela-narasi-peradaban-yang-hilang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar