
Ari Welianto
Kompas.com, 28/03/2020
Dalam sejarah bangsa Indonesia, pernah terjadi perang yang cukup ganas, yakni Perang Jawa, yang mampu merepotkan Belanda dalam menjajah bangsa Indonesia. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830. Dipimpin oleh Raden Mas Ontowirjo atau disebut Pangeran Diponegoro. Perang Jawa berlangsung di sebagian Pulau Jawa, dari Yogyakarta di pantai selatan hingga perbatasan Banyumas dibagian barat dan Magelang di utara.
Memakai struktur militer Turki
Dalam perang Jawa tersebut, Pangeran Diponegoro menyusun perang dengan menggunakan sistem struktur pasukan seperti yang digunakan pasukan militer Turki Utsmani. Nama berbagai kesatuannya merupakan adaptasi dari nama kesatuan militer Khilafah Utsmani. Dilansir National Geographic, pada Perang Jawa, laskas Diponegero memakai nama dengan organisasi ala Turki Ustamani, yakni Bulkiya, Barjumuah, Turkiya, Harkiya, Larban, Asseran, Pinilih, Surapadah. Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanang Prang.
Hierarki merupakan kepangkatan beraksen Turki. Alibasah setera dengan komandan divisi, basah setara komandan brigade, dulah setara komandan batalion, dan seh setara komandan kompi. Pertama kali dalam militer Jawa dikenal kepangkatan seperti itu. Pangeran Diponegara dan para laskarnya bersorban serta mencukur habis rambutnya atau gundul. Serdadu Hindia Timur bukanlah orang Belanda asli. Pasukan tentara reguler infanteri, kavaleri, arteleri, dan pionir tediri atas orang Eropa dan pribumi.
Diperkuat Hulptroepen, yang merupakan kesatuan tentara pribumi dari legiun Mangkunegaran, barisan Natapraja, Sumenep, Madura, Pamekasan, Bali, Manado, Gorontalo, Buton, kemudian Kepulauan Maluku. Kemudian, Jayeng Sekar, polisi berkuda direkrut dari setiap karesidenan. Ini menandakan hubungan Indonesia dengan kekhilafahan Islam di Turki sudah terjalin cukup lama.
Dalam buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2011) karya Peter Carey, banyak orang Jawa kagum dengan kemaharajaan Turki Ustmani waktu itu sebagai benteng kekuasaan Islam di Timur Tengah dan pelindung atas meluasnya kekuatan Eropa yang Kristen. Pangeran Diponegoro pernah menyalin sejumlah pangkat dan nama-nama resimen untuk keperluan organisasi militernya. Karena itu pasukan kawal elitenya mengenakan sorban aneka warna dan panji-panji resimen berlambang ular, bulan sabit, dan ayat-ayat Al Quran.
Di mana ditata dalam kompi-kompi dengan nama Bulkio, Turkio, dan Arkio. Nama resimen langsung meniru nama-nama Boluki (dari boluk, satu regu), oturaki, dan resimen kawal sultan Turki Utsmani, janissar ardi yang waktu itu baru saja menjalani beragam perubaha penting. Panji perang Diponegoro sendiri pola layar segitiga hijau dengan bulatan matahari di tengah dan panah bersilang. Mungkin juga diilhami oleh tradisi militer Turki Utsmani.
Sudah Diramalkan
Perang Jawa sudah disiapkan selama 12 tahun. Pangeran Diponegero telah melakukan konspirasi dalam senyap dengan sabar, tertutup, dan rahasia. Pangeran Diponegora membentuk jaringan para bekel, demang, bupati, ulama, santri, dan petani untuk menyusun kekuatan. Perang Jawa menjadi sejarah besar bukan sekadar biaya dan korbannya yang berjumlah fantastis. Tapi aspek politik-militer yang melingkupinya, kedaulatan, keinginan Dipanagara membentuk negara Islam, dan organisasi militer modern yang digunakan kedua pihak yang berseteru.
Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), selama 5 tahun prestasi militer Pangeran Diponegoro sangat melumpuhkan Belanda, dan membuatnya mendapatkan tempat menonjol dalam jajaran pahlawan nasionalis Indonesia. Perang Jawa dipicu oleh serangkaian reformasi tanah yang kejam dan melemahkan posisi ekonomi di Jawa.
Di mana ketika Belanda memasang tanda di tanah milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Itu membuat geram Pangeran Diponegero, dan kemudian menantang Belanda. Beberapa tahun jelang Perang Jawa, bandar-bandar gerbang tol kian meresahkan rakyat. Mereka memungut pajak secara membabi buta dan sering tak sopan saat penggeledahan pada perempuan.
Selanjutnya, Residen Surakarta dan Residen Yogyakarta membuat tim audit. Tim ini kemudian mengusulkan kepada gubernur jenderal untuk menghapus gerbang-gerbang tol di kedua kerajaan itu. Kalau gerbang-gerbang tol tetap diizinkan, maka waktunya tidak lama lagi, pada saat orang-orang Jawa itu akan bangkit dengan cara yang mengerikan. Inilah perang lima tahun (20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830) yang membuat Belanda nyaris membinasakan dan melenyapkan Keraton Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar