Rabu, 28 April 2021

SINEMA “INDONESIA”

Saut Situmorang
 
Apakah membuat “film” itu gampang? Di Jakarta jawaban pertanyaan serius ini kayaknya gampang. Setelah membuat novel itu gampang, membuat cerpen itu gampang, membuat puisi itu gampang, membuat biennale (seni rupa dan sastra) itu gampang, bahkan membuat hadiah seni juga gampang, maka sekarang tren terbaru keluaran Jakarta adalah “Membuat film itu gampang”. Makanya, setelah booming sastra, setelah booming seni rupa, sekarang adalah era booming film Indonesia. Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia, seru para pundit-nya di Jakarta. Istilah kerennya mungkin “The Renaissance of Indonesian Cinema”. Indikator dari fenomena musim semi (per)film(an) Indonesia ini, ternyata, cuma satu hal: film Indonesia sudah diputar kembali di bioskop-bioskop Indonesia!
 
Apakah karena “membuat film itu gampang” maka terjadilah “kebangkitan kembali (per)film(an) Indonesia?”
 
Mungkin Jakarta benar. Membuat film “Indonesia” itu memang gampang! Makanya siapa saja bisa membuat film “Indonesia”. Makanya bioskop-bioskop memutar-kembali film “Indonesia”. Makanya terjadilah kebangkitan kembali (per)film(an) “Indonesia”!
 
Ternyata, dalam menafsirkan istilah “Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia” di atas, fokus kamera pembicaraan harus dibidik pada kata “Indonesia”, bukan pada kata-kata lainnya. “Indonesia” yang terpenting dalam era “Bangkitnya kembali (per)film(an) Indonesia”, BUKAN “(per)film(an)”-nya. Nasionalismenya yang paling penting, bukan seninya! Makanya bioskop-bioskop Indonesia memutar-kembali film Indonesia, walaupun pengertian “bioskop Indonesia” di sini cuma “Studio 21” belaka.
 
Bangkitnya kembali nasionalisme (per)film(an) Indonesia. Gejala seperti ini tentu bukan sesuatu yang negatif, kalau kita bandingkan dengan nasionalisme “French Cinema”, “Italian Cinema”, “German Cinema”, “Chinese Cinema”, misalnya. Cuma yang jadi persoalan sekarang adalah apa “isi” nasionalisme (per)film(an) itu? Nationalism for nationalisms sake doang, nasionalisme bioskop belakakah? Atau ada sesuatu yang jauh lebih penting lagi yang memang ditawarkannya?
 
Dalam kata lain, apa memang ada “Film Indonesia” itu, “Indonesian Cinema” itu?
 
Karena “nasionalisme” adalah sebuah proses “pembayangan”, imajinasi, tentang sebuah “identitas diri” yang unik yang diyakini eksis secara historis oleh sebuah komunitas dalam menghadapi komunitas (-komunitas) lainnya, maka “identitas diri” yang unik yang bagaimanakah yang dibayangkan dimiliki “Film Indonesia” yang membedakannya dari film-film nasional lainnya di planet ini? Adakah style perfilman yang khas pada film-film made-in-Indonesia yang membuatnya pantas untuk disebut sebagai “Sinema Indonesia?”
 
Dari pengalaman menonton beberapa film buatan lokal, yang dianggap masterpiece film “Indonesia” kontemporer, beberapa tahun terakhir ini, apa yang saya temukan adalah betapa kuatnya kecenderungan bercerita mendominasi film-film tersebut. “Bercerita” dalam arti benar-benar menceritakan tentang sebuah peristiwa, lengkap dengan plot, tokoh dan setting yang dibuat serepresentatif mungkin dengan topik cerita, seperti pada novel pop, cerpen koran, atau seperti pada kebanyakan teater “realis” lokal. Realisme tentu saja bukan sesuatu yang aneh dalam dunia seni, apalagi dalam dunia sinema internasional, tapi “realisme” dalam film-film yang saya tonton tersebut ternyata cuma sebuah pseudo-realisme belaka, sebuah “realisme” yang dianggap representasi dari “realisme” di luar gedung bioskop. Dalam konteks sastra, mungkin apa yang dimaksud sebagai “realisme koran” cerpen-cerpen lokal itulah.
 
Indonesia adalah sebuah negeri Dunia Ketiga, sebuah negeri miskin, sebuah negeri pascakolonial. Ketidakadilan sosial-ekonomi dan penindasan politik adalah ciri negeri-negeri semacam Indonesia. Kalau mau “membayangkan Indonesia” sebagai sebuah nasionalisme, identitas sejarah ini tidak mungkin untuk dilupakan, apalagi dalam sebuah usaha representasi realisme. Hal inilah yang kembali gagal saya temukan dalam sebuah film “Indonesia” berjudul “Koper” yang entah kenapa bisa lolos seleksi dan ikut dalam kompetisi sebuah festival film internasional di Jogja sekitar dua tahun lalu. Bagaimana mungkin bisa mengklaim sebuah keluarga sebagai sebuah keluarga urban miskin kalau dalam rumah keluarga tersebut kita bisa melihat keberadaan kulkas dan mesin cuci sementara sang “kepala keluarga” kerjanya, disamping menjadi seorang pegawai bagian arsip sebuah kantor besar, hanya termenung, merokok, mengkoleksi piringan hitam langka, dan ngebir di sebuah cafe! Saya jadi bertanya-tanya apa sutradara dari film yang sejak penayangan Credits film terkesan sangat pretensius ini (pemakaian subtitle bahasa Inggris yang idiosinkratik untuk penonton Indonesia, sinematografi pseudo-artistik yang tidak menjelaskan apa-apa kecuali mengingatkan bahwa teknik kameranya diambil mentah-mentah dari film-film yang khas fotografinya seperti film-film Wong Kar Wai, pemilihan sederet selebriti sebagai aktor yang amatiran aktingnya, moralisme klise tentang “kejujuran dalam kemiskinan” dalam dialog-dialog ala cersil Kho Ping Hoo) memang pernah memasuki sebuah rumah keluarga miskin kota Indonesia! Ini baru tentang “realisme” Jakarta urban poor yang dibayangkan representatif itu. Belum lagi kita membicarakan “realisme” psikologis dari sebuah kemiskinan kota, “realisme” sinematik dalam sebuah representasi seluloid!
 
Absennya pengetahuan tentang “realisme Indonesia” merupakan identitas dari apa itu yang disebut sebagai sinema “Indonesia”, kalau makhluk ini memang mau dianggap ada. “Realisme Indonesia” yang direpresentasikan sinema “Indonesia” adalah sebuah realisme yang “dibayangkan” belaka, sebuah produk khayalan yang murni khayalan. Sebuah borjuisme realisme. Itulah juga sebabnya kenapa visualisasi sinematik sangat miskin dalam film-film lokal. Ini merupakan ciri utamanya yang lain. Sinema dianggap cuma sebuah teater “realis” yang direkam dengan sebuah kamera yang diletakkan di depan panggung pertunjukan. Film yang seharusnya membuat kita sebagai penonton sadar akan keberadaan kamera justru malah membuat kita lupa akan keberadaannya sehingga menonton film tak ada bedanya dengan mendengar sebuah drama radio belaka. Verbalisme kata telah menggantikan detil visualisme mata. Telinga menggantikan mata karena mata membuat/mengharuskan kita sadar apa-apa yang mesti diseleksi untuk masuk dalam kepala dalam sebuah peristiwa menonton, dan ini menuntut kecanggihan imajinasi seorang sutradara, sesuatu yang kayaknya tidak dimiliki sutradara Indonesia. Ironisnya, bukankah sebuah cerita, sebuah narasi, sebuah abstraksi imajinasi, justru akan lebih kuat mempengaruhi/melekat dalam benak penontonnya kalau dikisahkan dalam sekuen imaji ketimbang kebisingan bunyi!
 
Membuat film itu jadinya gampang karena visualisasi sinematik cerita dianggap bukan unsur paling penting dalam sinema. Metafor visual, misalnya, dianggap tidak relevan dalam sebuah film, sementara dialog adalah segalanya, walau dialognya rata-rata tidak cerdas, cenderung mengada-ada dan disampaikan seadanya pula. Tirani kata telah menggantikan kecerdasan kamera.
 
Bicara soal metafor saya jadi ingat pengalaman waktu kuliah film di Selandia Baru dulu. Sebelum menonton “Citizen Kane”-nya Orson Welles, pak dosen mengingatkan untuk mencari makna “rose bud” yang selalu diucapkan tokoh utama film tersebut. Atau bunyi suling nada tunggal dalam “Seven Samurai” Kurosawa. Dari khazanah sinema realis kontemporer, siapakah yang dapat melupakan sekuen pembuka film Maori-Selandia Baru tentang kehidupan “Dunia Ketiga” orang Maori urban (yang ceritanya diambil dari novel berjudul sama) “Once Were Warriors” yang kontroversial itu? Kalau “film” dianggap sama dengan drama radio, buat apa kita mesti “menonton”-nya lewat layar segala!
 
Memimpikan adanya sebuah industri film sendiri yang mendominasi dunia perfilman di negeri sendiri adalah sebuah mimpi yang luhur dan suci. Banyak negeri punya mimpi indah seperti ini, mulai dari Prancis, Jerman, Itali, Inggris, Kanada, Australia sampai Selandia Baru. Semuanya ingin melawan hegemoni kapitalisme studio besar Hollywood. Bagi Indonesia sendiri persoalannya lebih parah; bukan cuma Hollywood yang harus ditantang, Bollywood pun mesti diganyang. Tapi masalahnya adalah kalau negeri-negeri Barat yang kaya raya di atas saja impoten hanya membendung limbah sampah industri film Amerika Serikat saja, apa Jakarta mampu mengatasi dominasi kedua raksasa kapitalisme film dunia tersebut? Bukankah jauh lebih realistis, lebih bernilai, kalau mimpi tentang industri film sendiri ini dibuang saja dan Jakarta sebagai pusat kapital Indonesia mulai belajar bagaimana membuat “film sebagai film” sehingga “Sinema Indonesia” tidak mustahil untuk diciptakan, bukan dengan jumlah kuantitas produksi film tapi kualitasnya. Terserah negeri mana yang menjadi orientasi artistik: romantisme intelektualisme Prancis, realisme Itali, historisisme Cina, pascakolonialisme sinema Dunia Ketiga ala Amerika Latin atau Iran. Atau, demi mimpi terciptanya industri film sendiri, apakah “Sinema Indonesia” akan mau menjadi hanya sekedar versi lain dari “Sinetron Indonesia” yang merupakan industri televisi yang mendominasi televisi lokal itu?
 
***
http://sastra-indonesia.com/2010/06/sinema-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar