S. Jai
Radar Surabaya, 22 Agu 2010
KETIKA aku datang kali pertama di dusun itu, rumahnya bobrok ditumbuhi
kebun nanas yang sulit dijangkau manusia. Rimbun pohon bambu dengan
ujung-ujungnya yang menyentuh tanah menggelikan aku. Bahwa ini bukan tempat
yang cocok buatku. Bila malam hari lampu teplok berbinar melawan bintang atau
bulan yang terhalang.
Dua puluh lima tahun lalu aku pendatang dan merasa diriku di tempat baru
bukan sebagai saudara, kerabat atau orang baru. Ya, aku lebih pas berada di
kampung itu sebagai hantu. Atau lebih tepatnya aku benar-benar tidak mengenali
siapa sesungguhnya diriku. Apalagi bila harus menjawab pertanyaan, angan-angan
bila kelak dewasa bagaimana nasibku, hendak jadi apa aku, pergi ke mana saja
aku, lalu akankah juga dikuburkan jasadku di belakang kebun nanas itu?
Membayangkan diri menjadi hantu lebih gampang ketimbang merasa diri jadi
manusia, meski hantu itu sendiri tak lain adalah kata-kata buatan manusia
akibat kebuntuan mencari jawab suatu pertanyaan. Jadi ia adalah ciptaan manusia
juga. Barangkali cuma hasil otak-atik dari kata Tuhan. Dua hal yang entah
bagaimana mulanya begitu menakutkan sampai di telingaku.
Seperti juga Tuhan, Hantu itu tiba-tiba hadir di benakku seperti
bayang-bayang hitam yang membesar. Ya, meski tak pernah berkata-kata, dongeng
juga cerita dari mulut ke mulut lebih cepat menyebar dan hadir menyeramkan.
Jadi sesungguhnya takut benar-benar menjadi manusia itulah yang menyebabkan
diriku memilih bersahabat dengan hantu. Ketidaktahuan nasib sebagai manusia
jadi penyebab diriku seperti itu.
Dan ternyata menjadi hantu itu cukup enak. Setidaknya sedikit mengurangi
rasa takut sebagai manusia meski tentu saja terpikir olehku ada juga hantu yang
kurangajar, suka menggoda. Ini sisa rasa takut itu yang berbenih. Tapi bersaing
dengan Tuhan mulai terpikir sejak itu. Tidak ada beban, tak ada kewajiban
karena keberadaannya juga diragukan tentu saja oleh manusia. Tetapi terhadap
sesama kaum punya persoalan tersendiri. Pendek kata antara ada dan tiada.
Selama berpuluh-puluh tahun aku hidup seperti itu, aman dan tanpa ada yang
mengusik. Bila ada yang mengusik bisa dipastikan itu akibat ulah manusia juga
yang usil mencoba menempatkan dirinya separuh manusia dan separuh lagi bukan.
Barangkali semacam dukun yang mencoba mempengaruhi makhluk halus yang jahat
untuk menjahati diriku. Dan biasanya, uanglah pemicu paling dahsyat dalam hal
begitu kacau-mengkacau.
Berikutnya, pendidikan, pekerjaan, menjadi kehidupan yang di kampung itu
lebih ruwet. Jumlah orang yang separuh dirinya manusia dan separuh lagi bukan,
menjadi bertambah dan berlipat. Segelintir saja yang bersitahan menjadi hantu
saja atau manusia saja. Salah satunya, diriku. Sekolah agama, sekolah teknik,
sekolah ekonomi, ah kenapa tidak tersedia pilihan sekolah penerbang yang
menempatkan guru besarnya seekor elang, sehingga aku bisa jadi penerbang
seperti burung lain lalu bebas menghilang kemana aku suka.
Di depan rumah bobrok yang kuhuni itu, ada surau kecil. Bila sore hari
ramai sekali anak-anak mengaji di bawah asuhan ustadz Harjito dan guru ngaji
Rokemah dan Rofiah, gadis kampung yang paling cantik selain rupawan juga
lantaran ramah dan murah hati. Semuanya itu sudah terbukti. Termasuk karena itu
santri-santrinya dari hari ke hari bertambah banyak. Tapi mulai tumbuh keanehan
bagiku, karena sekalipun aku tak pernah masuk di surau itu. Alasannya, tentu
sudah bisa diketahui: takut. Apalagi lantai yang hitam dingin tersebar hingga
di depan pintu. Terlebih gelap yang mengurung melebihi bayang-bayang sendiri.
Aku tahu tak ada hantu di situ, tapi takut itu tak pernah sudi beranjak.
Inilah keanehan yang kurasakan mulai menjangkiti tubuhku, perasaanku dan
jiwaku-menjadi makhluk setengah manusia dan sisanya tidak jelas. Apalagi bila
hanya seekor hantu. Bila menjelang bulan puasa, pemilik surau Haji Sinto
mengajak ustadz, para santri Mendengarkan pengajian-pengajian di pesantren.
Rokemah dan Rofiah hadir pula. Dibaan dan Yasinan tak pernah sepi. Aku sendiri
hanya sebagai saksi dan tak pernah hadir di tengah-tengah itu semua. Bagiku
menjadi pendatang dari tempat yang telah kulupa telah jadi siksaan. Akan tetapi
hidup yang tak bisa menentukan diriku sendiri di tempat ini telah terasa
menyiksa lagi.
Lalu siapa yang salah, tentu sebagai anak bau kencur, aku tidak tahu. Salah
besar itu padaku bila aku tak melakukan apa-apa. Kenyataannya aku beberapa
waktu lamanya mencoba nyantrik, mondok pada Haji Sinto, pemilik surau. Dari
situ aku mulai bisa mengintip santri-santri yang mengaji atau menyalakan lampu
teplok untuk anak angkatnya, Lukman bila sedang menyalin huruf-huruf Al-Quran
mengerjakan tugasnya. Dia sekolah di pesantren dan seminggu sekali pulang. Tapi
sebagian besar kesehariannya kuhabiskan bergumul dengan tahu ayam karena harus
mengurus ayam-ayam peliharaan Haji Sinto yang jumlahnya ratusan itu. Aku harus
mengeruk kotorannya dan membuangnya di ladang-ladang pisang atau kebun lombok
miliknya. Lalu aku harus mencuci pakaian yang menggunung di sumur. Satu-satunya
kenangan yang tak terhapus dalam hidupku adalah saat ustadz Harjito
membelikanku sebuah pensil, kertas dan penghapus, dan ia tak berkata sepatah
kata pun untuk itu.
Semenjak saat itu mulai tumbuh dalam diriku suatu pengetahuan bahwa aku
bukan siapa-siapa. Aku lebih gampang mengerti bahwa diriku serupa dengan tahi
ayam yang dikumpulkan untuk makan gedebok pisang atau vitamin tanaman lombok.
Sebab itu semenjak itu pula aku tak punya keberanian untuk membentak sang majikan,
dalam hal ini ayam. Aku selalu menyimpan seluruh rahasianya baik-baik. Karena
itu di luar dugaan bila kelak di kemudian hari bagiku kehidupan seekor ayam tak
kurang pentingnya dengan kehidupan seorang manusia. Biarpun manusia sempurna
sepanjang zaman. Setidaknya seekor ayam adalah leluhurku atau ibu kandungku
yang melahirkan aku. Meski ia melahirkan untuk kemudian membiarkan aku tumbuh
berkembang sendiri secara liar. Sebelum akhirnya berujung di bawah pohon
pisang.
Berbekal filosofi seekor ayam, sayap, cakar, tahi, aku meninggalkan kampung
basah gelap oleh rerimbunan pohon bambu itu. Aku pergi mencangklong ransel
mengembara tanpa tujuan-sesuatu yang telah diajarkan leluhurku. Persinggahan
tak boleh terlampau jenak sebab hal itu justru akan membunuhku, apalagi bila
sampai mengambil tempat untuk menetap. “Kau tak boleh membangun rumah lagi,”
demikian tutur leluhurku itu. “Tapi peliharalah sungguh rumahmu sendiri, meski
kamu memilih jadi pengembara.” Ya, sebuah pesan yang tak gampang dicerna karena
bisa jadi memang tak kumengerti.
Rumah? Ah, rumahku yang sekarang adalah ransel dan sepotong ijazah lusuh di
dalamnya agar aku bisa mendapatkan kerja. Bukan maksudku meremehkan nilai,
bahan ajar, dan paraf atau cap jempol pada kantor keluaran Dinas Pendidikan
negeri ini. Sebaliknya, justru dari situ kusimpan sejumlah gedung, bangunan,
sekolah, kantor, pasar, pabrik, pemerintah, swasta, bahkan kebun dan hutan,
laut dan pantai bisa tersimpan dalam ijazah itu. Lalu kupendam dalam ranselku.
Begitulah sebagai pengembara, berkat selembar kertas itu aku begitu gampang
mencari kerja, gaji lumayan, meski makin susah mencari kawan. Aku keluar masuk
kantor dengan leluasa. Aku bisa lakukan hal terburuk atau terbaik dari setiap
perusahaan yang mempekerjakan aku. Semua tersedia dengan gratis. Itu tentu saja
bila aku mau. Tapi apa boleh dikata bila itu semua pada akhirnya satu pun tak
ada yang pernah kulakukan baik yang terburuk maupun terbaik bagi perusahaan.
Jadi apa yang saya kerjakan hanyalah hal yang biasa-biasa saja-hal yang sama
sekali tak ada dalam pesan leluhurku dan menjadi bagian hidupku. Apalagi,
perihal kehidupan yang penuh dengan dunia basa-basi dan kompromi tak bisa
kujalani. Jadi apa yang sebetulnya kucari tidak pernah berhasil kutemui dan tak
pernah ada. Aku betul-betul merasa sendiri. Aku sungguh-sungguh jadi orang
asing, lengkap dengan segala penderitaan sebagai makhluk hidup. Anehnya, itu
bisa terjadi padaku selama bertahun-tahun.
Lalu apa yang kau cari, hei bung?
Di balik itu sebuah keajaiban diam-diam muncul pada diriku: aku kembali
merasa sebagai manusia di atas banyak sekali timbunan kertas. Ya, meski
seringkali aku merasa terjepit diantara kertas-kertas itu. Betapa tidak, dunia
ini tiba-tiba dalam pandanganku bagitu banyak disesaki kertas-kertas-ijazah,
sertifikat, surat keputusan, lamaran, koran, brosur, surat pajak, uang kertas,
akta kelahiran, surat nikah, sim, ktp, rekening listrik. Ah, bahkan dunia ini
bisa terlihat lantaran tersusun dari kertas koran. Hebatnya lagi, seperti dalam
puisi Subagio Sastrowardoyo, Tuhan pun terselip di balik surat pajak.
Begitulah, untuk pertama kalinya aku kembali menjadi manusia dan sendiri.
Aku cemas bukan karena mencemaskan diriku. Melainkan mencemaskan dunia yang
kelihatannya cepat berputar makin cepat tapi sebetulnya sia-sia. Ya,
kesia-siaan disana-sini banyak terjadi dan kekalahan seringkali terjadi pada
diri manusia. Sudah menjadi rahasia umum dunia ini antara ada dan tiada, meski
disana-sini juga kian dahsyat maknanya dikorup. Buktinya, antara ada dan tiada
sering nongol di layar kaca dan bintang utamanya justru bukan manusia tapi
hantu.
Lalu manusia sendiri malah terus berpacu mengeruk rezeki dari hantu-hantu
bikinan stasiun televisi. Apalagi untuk meresapi kata-kata “sebagai makhluk
yang serba merugi kecuali bagi yang tahu diri.” Tidak.
***
KINI setelah puluhan tahun bersusah payah mengembara dan sia-sia, aku
pulang ke kampung halaman. Aku tak membawa buah tangan yang menempel di badan
kecuali sepotong sajak penyair Hamzah Fansuri. Di Barus ke Qudus terlalu payah.
Akhirnya ditemukan di dalam rumah. Di kampung halaman surau yang dulu kotor dan
beratap genteng yang bocor bila musim hujan, telah berganti bangunan yang kokoh
dan megah, cantik dan menarik. Gentong-gentong tempat wudlu yang dulu kini telah
diganti dinding berlapis porselin indah dengan kran-kran air berwarna keemasan.
Juga lantai telah berwarna-warni lebih terang dan dingin.
Tapi mengapa surau itu kini telah berubah sepi, tiada lagi anak-anak yang
rajin mengaji. Loudspeaker terlihat berdebu dan tak tersentuh tangan. Sesekali
saja berkumandang bila adzan magrib.
“Begitulah, Nak. Zaman sudah berganti,” ungkap Haji Sinto. “Semenjak ustadz
Harjito, Rokemah dan Rofiah pergi, tak ada lagi yang mengurus surau. Tak ada
lagi yang mau jadi guru ngaji. Semula saya sendiri yang menggantikan, tapi
lama-kelamaan anak-anak yang nyantrik telah habis dengan sendirinya. Barangkali
karena saya sudah terlampau tua untuk mereka. Jadi tidak menarik lagi. Saya
sendiri juga pilih mengurus sawah sampai petang hari. Maklum, tidak ada orang
lagi. Lukman memilih hidup di kota. Jangankan untuk anak-anak mengaji, bila
adzan magrib berkumandang, surau ini tetap sepi dari jamaah.”
“Terus, Rokemah dan Rofiah kemana lagi, Pak Haji?”
“Oh, dia jadi orang besar sekarang. Dia pilih bekerja di Hongkong dan
Malaysia. Rumahnya bagus dan dua tahun sekali pulang bisa beli tanah.
Orangtuanya dihormati orang. Apa yang mereka cari lagi di dunia ini kecuali
itu? Ya, kampung ini sepi sekarang, Nak. Mereka banyak yang ke luar negeri jadi
TKI dan TKW ke Hongkong, Malaysia, Arab, Korea, Kuwait. Mereka kaya dan
rumahnya kau lihat sendiri, megah-megah tapi kosong ditinggal penghuninya,”
ujar Haji Sinto.
“Lalu siapa yang menempati, Pak Haji?”
“Ya, yang punya orangtua dia yang mengurus. Tapi yang sudah nggak punya,
siapa yang menghuni? Nggak tahu saya.” Seperti biasa Haji Sinto Sinis dengan
giginya yang gemeretak karena gemetar. “Syukurlah kamu pulang. Kamu bisa Bantu
saya mengurus surau.”
“Ah, Pak Haji. Saya belum cukup untuk tahu diri seperti Pak Haji,” takut
mengecewakandia.
“Setidaknya, aku tahu kamu telah pulang. Itu artinya kamu tak membiarkan
rumahmu itu kosong. Biarpun rumah itu tua dan terlihat tak terurus yang penting
ada penghuninya. Seperti juga surau ini apa gunanya dibangun megah bila tak ada
santrinya.”
Kata “kosong” Pak Haji mengganggu pikiranku. Sebagai orang yang tahu agama
tentu yang ia maksud bukan cuma kosong tanpa penghuni, melainkan jiwa yang
kosong. Barangkali rumah-rumah megah itu juga dihuni banyak orang, tapi mereka
tidak benar-benar ada. Di rumah itu malam-malam bagi mereka hanya untuk tempat
tidur. Ketenangan, kenyamanan dan hidup serba cukup mengakhiri problem mereka
sebagai manusia. Tidak ada lagi yang dipersoalkan, diperbincangkan. Ada atau
tidak ada bagi mereka adalah sama saja. Jadi sebetulnya mereka ini tidak sedang
benar-benar ada. Dunia pun berjalan seperti biasa, tapi sesungguhnya tidak ada
sesuatu yang bergerak. Mereka makan juga dalam keadaan diam. Bekerja pun tak
ada yang peduli. Manusia ataukah binatang ternak juga tak ada yang cukup punya
keberanian untuk Menyimpulkan.
“Ceritakanlah padaku mengapa kamu pulang, Nak?”
“Saya tidak yakin benar, apakah saya sesungguhnya telah pulang Pak Haji.
Karena saya tak punya rumah lagi di sini. Rumah itu bukan hak saya dan telah
jadi milik saudara-saudara saya,” kataku.
“Baiklah, mengapa engkau kembali?” desak Haji Sinto.
“Karena ternyata yang saya cari tidak jauh dari tempat saya berdiri
sekarang, Pak Haji.”
“Kamu belum jawab pertanyaanku, tentang kembali Nak.”
“Oh, soal itu. Saya sendiri tidak yakin apakah di sini adalah tempatku yang
terakhir. Kapan saja, saya bisa tiba-tiba pergi kemana saja, Pak Haji.”
“Baiklah. Sekarang apa yang kamu cari ditempat ini. Setidaknya untuk hari
ini?”
“Seperti juga apa yang Pak Haji cari selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh
tahun di tempat ini dengan mendirikan surau ini,” jawabku.
“Jadi sekarang kamu menyesal dengan kau tunjukkan kepulanganmu ini, Nak?”
“Tidak Pak Haji. Sama sekali tidak. Apalagi seperti yang saya katakan tadi,
saya tidak yakin diri saya telah pulang.”
“Lalu apa artinya ini semua?”
“Selama mengembara saya telah banyak singgah di pelbagai kota, bangunan dan
rumah, mencari kawan, sahabat atau saudara. Tapi semakin jauh pengembaraan
saya, semakin aneh lantaran tak seorangpun saya temukan itu yang saya cari.
Saya justru mengundang banyak lawan dan musuh. Saya seperti hidup sendiri di
dunia ini. Saya seperti batu yang berguling-guling di dasar kali tapi tak
mengenal dan tak dikenal satu sama lain di planet ini. Pekerjaan saya
sehari-hari hanyalah membersihkan diri dari perbuatan dosa yang jumlahnya
ternyata berlipat ganda. Baru kemudian saya menyadari dalam pengembaraan saya,
bahwa persinggahan yang sesungguhnya, di tempat yang bersih tanpa noda, terang
dengan cahaya dan sejuk serta nyaman untuk istirah justru ada dalam diri saya
sendiri. Tak seorang pun yang boleh berlama-lama singgah di tempat saya ini
yang jauh dari hiruk pikuk kemabukan zaman. Kecuali bagi yang sangat kucintai
dan kukasihi. Karena itulah, jujur saja saya akui Pak Haji. Saya sendiri tak
tahu mengapa pada akhirnya pengembaraanku sampai di tempat ini dan kembali
bertemu Pak Haji,” kataku.
“Kalau boleh kutahu, apa rencanamu sekarang, Nak?”
“Saya tidak tahu Pak Haji. Tepatnya saya tidak punya keberanian untuk
membuat Rencana-rencana, karena sesungguhnya dalam diriku telah ada kekuatan
yang menggerakkan tubuh dan jiwaku dengan sendirinya. Aku sangat takut
kepadanya dan aku takut mengecewakannya.”
“Katakan saja, aku yakin kamu tak akan mengecewakannya.”
“Betulkah? Maukah Pak Haji menjadi jaminanku untuknya?”
Haji Sinto mengangguk.
“Saya ingin membeli beberapa ekor kambing dan jadi penggembala untuknya.”
“Oh, semoga aku tak salah dengar. Itu keinginanku yang berpuluh-puluh tahun
tak pernah terwujud, Nak.”
Kampung Istana Kediri, 2009-2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar