Minggu, 27 Juni 2021

DUNIA SURAM MARHALIM ZAINI

Maman S. Mahayana *
 
Marhalim Zaini: sebuah nama yang patut diperhitungan dalam deretan sastrawan Riau masa kini. Ia tergolong sastrawan generasi selepas Ibrahim Sattah, Rustam S. Abrus, BM Syam, Idrus Tintin, Ediruslan PE Amanriza, Sutardji Calzoum Bachri, Sudarno Mahyudin, Rida K. Liamsi, Tien Marni, Al-Azhar, Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Hoesnizar Hood, Samson Rambah Pasir, Abel Tasman, Syaukani Al Karim, dan sederet panjang sastrawan Melayu lainnya yang bermunculan seperti tiada habisnya. Langgam Negeri Puisi (Dewan Kesenian Bengkalis, 2004) adalah salah satu antologi puisi yang cantik yang dihasilkan Marhalim Zaini, menyusul antologi puisi awalnya, Segantang Bintang, Sepasang Bulan (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2003). Di sana, khasnya dalam Langgam Negeri Puisi, sejumlah puisinya memperlihatkan tarik-menarik tradisi yang suram dan kegamangan untuk mempertahannya. Sebuah kerinduan pada kampung halaman yang dimasukkannya ke dalam gerbong gagasan puitika.
 
Dengan semangat yang sama, meski dengan ragam dan gaya yang berbeda, cerpen-cerpen Marhalim Zaini (lahir di Teluk Pambang, Bengkalis, Riau, 15 Januari 1976) yang terhimpun dalam buku ini menghadirkan suasana yang penuh suram, pesimistik, dan nostalgik. Dengan latar alam dan latar suasana yang kuat, ia bermain dan mempermainkan masa kini dan masa lalu, bukan untuk berangkat ke masa depan, melainkan sebagai pintu masuk memekik dan merintih ketika ia melihat kemiskinan, penderitaan, dan ketidakberdayaan menjerat masyarakatnya dalam menghadapi kehidupan ini. Periksalah cerpen-cerpennya yang berujudul: “Kopi Senja di Negeri Siti,” “Malam Lebaran di Pelabuhan,” “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api,” “Pengantin Hamil,” atau “Ucu Sam” dan sejumlah cerpen lainnya yang terhimpun dalam buku ini.
 
“Kopi Senja di Negeri Siti” yang dikisahkan dengan style yang terasa begitu kalem dan dingin (calm?cool) mengisahkan sekelumit kehidupan masyarakat Melayu di pinggiran sungai Siak. Tokoh aku yang hidup dan dibesarkan di Jakarta datang ke sana dan melihat Melayu seperti sebuah noktah kecil dalam lingkaran kapitalisme dan politik nasional.
 
Marhalim Zaini bertutur dengan kebersahajaannya, seolah-olah bicara biasa saja tanpa pretensi mempertanyakan, menuntut, bahkan menggugat sesuatu yang sebenarnya merupakan persoalan serius. Ia laksana sedang bersenandung dalam kesunyian dan hawa dingin. Tetapi di sana, muncul kepedihan dari sosok jiwa yang tersisih?terpinggirkan. Maka, yang muncul adalah suasana muram yang disampaikan secara kalem dan dingin. Ketika ia hendak menyampaikan kritiknya, ia memanfaatkan tokoh lain untuk melakukan itu.
 
Dengan demikian, segala kesederhanaan, kebersahajaannya, dan keluguannya yang tanpa kesan mendesakkan pesan ideologisnya itu, hadir tidak menyerupai teriakan protes, melainkan ekspresi kejengkelan yang dahsyat seorang warga Melayu. Perhatikanlah kutipan berikut ini:
 
“Kalau kayu-kayu penyangga air sudah ditebang dengan serakah, beginilah jadinya.” Atan membuang puntung rokoknya ke sungai. “Air jadi dangkal. Setelah itu, ekosistem perairan pun terganggu. Habibat ikan dan biota habislah. Lenyap entah ke mana. Pukimak!”
 
Agaknya, aku harus mafhum. Bahwa makian adalah bahasa kekesalan yang buntu. Luapan yang tak menemukan tempat. Ia spontan. Melompat dari ketidaksadaran yang terpendam. Maka tak perlu ada pertanyaan atau jawaban.
 
Begitulah, dengan mamanfaatkan tokoh Atan -yang Melayu-dan dirinya yang lahir dan dibesarkan di Jakarta, tokoh aku sekadar bertindak sebagai pengamat dan tokoh Atan itulah yang muncul dengan segala umpatan kejengkelannya. Jadi, tokoh aku seakan-akan berdiri di antara kemarahan orang Melayu dan latar belakang yang melahirkan kemarahan itu. Dalam posisi yang seperti itu, ia juga seperti tidak hendak membela siapa-siapa. Ia sekadar bertindak sebagai penonton yang juga diberi kesempatan untuk melihat latar belakang munculnya tuntutan itu.
 
Dengan cara itu, posisi Marhalim Zaini yang pengarang menjadi lebih objektif dan netral, lantaran ia berlindung di belakang tokoh Aku. Di sana ada paradoks yang tampak hendak dibenturkan: kualitas desa yang jujur dengan segala tradisinya dan kualitas kota yang penuh kepalsuan dengan segala semangat materialistiknya. Perhatikan lagi kutipan berikut:
 
Makanya aku tak pernah menolak ajakan Atan untuk minum kopi. Meski bukan di kafe, lama-lama kedai kopi di kampung Atan ini memberi nuansa yang lain. Jika kafe dibangun oleh kepentingan industri, maka kedai kopi di sini terasa seperti dibangun oleh kekuatan sejarah. Ada semacam ketuaan yang eksotis?
 
Marhalim Zaini lewat kisahan tokoh aku telah menyuguhkan sebuah peristiwa yang memberi penyadaran betapa orang-orang macam Siti atau mereka yang tinggal di pinggiran sungai Siak, sungguh hidup dengan segala kesederhanaannya yang tidak mungkin terdapat dalam kosa kata kehidupan masyarakat kota. Sebuah keluguan dan keberterimaan akan nasib yang sesungguhnya terbentuk oleh keserakahan tangan raksasa kekuasaan kapitalisme. Sebuab ketakberdayaan ketika kehidupan desa dimarjinalkan oleh nafsu masyarakat kota yang tak terkendali.
 
Gambaran yang penuh dengan suasana muram tampak pula dalam cerpen “Malam Lebaran di Pelabuhan”. Dua sosok manusia Tok Bayan, seorang Melayu yang tersingkir dan Markus, seorang Ambon yang terbuang -berjumpa karena nasib buruklah yang mempertemukan mereka. Sebagai pekerja kapal, keduanya harus hidup terasing dari keluarga dan puaknya. Seputar kedua orang inilah cerita ditarik ke sana ke mari melewati masa lalu mereka yang suram, masa kini yang dihadapi bagai roda ban yang menggelinding begitu saja, dan masa depan yang tak jelas. Sebuah pesimisme yang juga terbentuk oleh ketakberdayaan mematahkan nasib buruk.
 
Di belakang itu, hubungan persahabatan dan korespondensi Tok Bayan dengan Alan Lightman, seorang novelis dari Memphis, memberi kesempatan baginya untuk membuka ingatan kolektifnya tentang sejarah masa lalu puaknya, seperti yang telah dilakukan Raja Ali Haji. Perhatikan kutipan berikut:
 
Akhirnya Tok Bayan memutuskan untuk mengirimkan surat-surat itu kepada setiap kenalannya, pada setiap kota yang pernah disinggahinya. Ia tak pernah peduli, apakah ia akan menerima balasannya. Seperti layaknya Raja Ali Haji yang sampai akhir hidupnya terus menulis surat buat sahabatnya H. von de Wall dari Jerman.
 
Mengapa persahabatan Tok Bayan dengan Alan Lightman menyerupai persahabatan Raj Ali Haji dengan von de Wall- Itulah salah satu ingatan kolektif orang (Melayu) Riau. Di sana selalu saja muncul kesadaran tentang sejarah, tentang keagungan puak Melayu yang dicederai oleh sebuah perundingan yang bernama Traktat London.
 
Apa yang sesungguhnya diharapkan Tok Bayan sebagai orang Melayu yang tersingkir dan jauh dari puaknya? Hanya satu tujuan yang menjadi cita-cita Tok Bayan, bahkan juga Markus, yaitu pulang. Pulang melepaskan rindu yang lama menggantung. Pulang adalah sebuah konsep psikologis yang punya rumah, tempat tinggal, atau kampung halaman. Ada kerinduan untuk kembali ke kampong halaman. Tetapi pulang ke mana? Sebuah pertanyaan tak dapat dijawabnya. Dan malam lebaran itu, Tok Bayan telah bertemu rindu.
 
“Besok pagi, maukah kau menghidangkan ketupat buatku?” Hidungnya agak tersumbat, membuat suaranya tersendat. “Kita makan bersama Lela di kedai kopinya. Lalu kita bersama-sama pergi ke Masjid. Setelah itu kita saling bermaafan. Maukah kau, Markus?”
Serupa fajar Syawal yang mengambang di ufuk timur, matahari terbit di hatinya.
 
Marhalim Zaini menutup cerpennya dengan penemuan rindu Tok Bayan pada sesuatu yang transenden: Tuhan. Masjid sebagai simbolisasi Tuhan, dan bermaafan sebagai bentuk rekonsialiasi antarsesama adalah sumber kerinduan yang paling asasi. Dalam hal ini, tradisi menjadi bagian penting yang dapat menghadirkan emosi dan sentimen yang sama. Dan kampung halaman yang secara fisik berada jauh di entah, dihadirkan dalam simbol tradisi: ketupat, lebaran, masjid, dan bermaafan.
 
Masih dalam suasana muram, Marhalim dalam “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” menampilkan sosok perempuan yang tak berdaya dan teraniaya. Dan dalam puncak keteraniayaannya itu, ia dapat menjadi ledakan bom yang dahsyat. Tokoh Soi, perempuan yang hamil akibat pemerkosaan, pada mulanya seperti menerima begitu saja nasib buruk yang menimpanya. Sebagai perempuan, ia ingin memelihara janinnya, meski tidak jelas, lelaki mana yang telah membuahinya. Dalam kondisi itulah, para kuli pelabuhan kerap mengolok-olok dan melecehkan. Penantian Soi sia-sia, sementara kandungannya makin besar, dan para kuli pelabuhan itu, makin banyak menumpuk dendam dalam diri perempuan itu. Hingga suatu saat, kemarahan meledak. Ia membakar gudang pelabuhan itu hingga semuanya hangus. Tumpas!
 
Cerpen ini sesungguhnya sangat kuat menampilkan kedukaan yang dalam dan kesetiaan sosok seorang perempuan. Deskripsi dan rangkai peristiwa yang dibangun memperlihatkan pengamatan yang cermat Marhalim tentang suasana dan latar di sekitar pelabuhan, aktivitas para kuli, warung kopi, dan segala yang hidup di sekitar tempat itu.
 
“Pengantin Hamil” juga berkisah tentang sosok perempuan yang hamil sebelum nikah. Suri hamil, pacarnya yang pergi ke kota berjanji akan mengawininya. Dan seperti lazimnya, segala hal yang buruk langsung ditimpakan kepada perempuan itu. Namun, ketika segala gunjing berkembang dan caci-maki serta sumpah seranah berhamburan, saat itulah, Suri mengatakan, bahwa orang yang telah menghamilinya itu tak lain adalah anak kepala desanya sendiri. Seketika, segala gunjing dan sumpah seranah berubah jadi persetujuan dan suka cita.
 
Sejak peristiwa itu, hampir setiap bulannya, gadis-gadis kampung hamil sebelum menikah. Dan hampir setiap bulan pula kita dapat menyaksikan sepasang pengantin yang ganjil (sebab dalam perut pengantin perempuannya telah tersimpan seorang bayi)?
 
Sebuah potret terjadinya perubahan tata nilai dalam kehidupan masyarakat kita. Hamil sebelum nikah telah dianggap sebagai sesuatu yang lazim, bahkan di pihak laki-laki atau perempuan, atau bahkan keduanya, hamil sebagai senjata untuk mewujudkan pesta perkawinan.
 
Dari cerpen-cerpen tadi, tampak bahwa problem dunia perempuan cukup mendapat perhatian. Dalam hal ini, Marhalim agaknya punya persepsi sendiri atas nasib perempuan. Keberpihakannya kepada nasib perempuan disampaikan dengan cara menyentuh empati pembaca. Maka, nasib tokoh perempuan dalam sejumlah cerpen Marhalim kerap berada dalam posisi sebagai pihak yang kalah lantaran kekuasaan dan hegemoni laki-laki digunakan secara salah kaprah.
 
Lihatlah tokoh Siti (“Kopi Senja di Negeri Siti”), Lela (“Malam Lebaran di Pelabuhan”), Soi dan Kak Dar (“Perempuan yang Pandai Menyimpan Api”) dan Suri (“Pengantin Hamil”) selalu ditempatkan sebagai perempuan yang tak berdaya, marjinal, dan teraniaya. Sesungguhnya, itulah representasi kehidupan dunia perempuan di negeri ini. Mereka sering harus ditakdirkan menjadi orang yang terpinggirkan. Dan Marhalim coba mengungkapkannya dengan caranya sendiri, yaitu menggugat posisi laki-laki yang hegemonik atas nasib perempuan.
 
Dalam cerpen “Ucu Sam” Marhalim Zaini seperti lepas kontrol dan tak kuasa menahan kegelisahannya dalam melihat masalah penyerobotan lahan-lahan perkebunan yang terjadi di sekitarnya. Pembakaran kebun karet oleh entah siapa sesungguhnya merupakan modus operandi yang dilakukan para pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Itulah yang terjadi pada kebun karet milik Ucu Sam, dan belakangan juga menimpa kebun karet Wak Loyang. Kebun karet yang telah menjadi mata pencaharian penduduk, yang telah menjadi bagian dari hidup mereka, tiba-tiba tinggal tersisa puing dan abu.
 
Meskipun pesan ideologisnya jelas menyangkut persoalan pembabatan hutan, Marhalim cukup cerdas menyelimuti pesan itu lewat fokus ceritanya yang jatuh pada tokoh Ucu Sam dan Wak Loyang. Kemarahan, kebencian dan entah perasaan apa lagi yang dihadapi Ucu Sam akibat kebuh karetnya terbakar, dibungkus oleh anggapan penduduk bahwa Ucu Sam, sakit, bahkan dianggap kemasukan hantu galah. Cerita pun merembet ke peristiwa bagaimana para tetangga Ucu Sam menyembuhkan sakitnya itu. Mantri dan dukun pun didatangkan. Ucu Sam tokh tetap meracau sebagai ekspresi dari kemarahannya yang memuncak dan tidak dapat ditahan lagi. Perhatikan kutipan berikut.
 
“Pukimak! Ini pasti ulah bule bedebah itu. Betul cakapku dulu, pasti budak-budak yang sok pandai tu telah mulai berani buat rusuh, telah berani membawa penjajah ke kampung kita ni. Tengoklah, kebuh karetku satu-satunya telah mereka bakar?”
 
Perhatikan lagi kutipan berikut:
Ucu Sam seperti tersadar- Ia kembali berteriak, “Bedebah. Kalian penjajah. Kalian nak usir kami dari sini. Kalian nak rampas hidup kami. Tak cukupkah kekayaan kami yang kalian jual buat kenyang perut kalian sendiri. Tak sudahkah derita kami selama ini. Sekarang kalian nak bunuh kami pelan-pelan. Kalian bakar kebun karet kami dengan api dengki. Hati kalian telah mati!”
 
Ternyata, kemarahan Ucu Sam itu ditanggapi oleh penduduk setempat, dan terutama Wak Loyang sebagai tuduhan tak berdasar. Maka ia pun coba menasihati Ucu Sam agar berhati-hati. Pada saat Wak Loyang tidak dapat lagi menahan kesabarannya, saat itulah seseorang mengabarkan bahwa hutan karet Wak Loyang pun terbakar.
 
Ke arah mana sasaran kritik itu dialamatkan? Kemarahan Ucu Sam dan keluguan para tetangganya merupakan potret yang terjadi di banyak perkebunan di tanah air. Keluguan penduduk yang tidak tahu persoalan sebenarnya yang menimpa Ucu Sam merupakan gambaran umum, betapa masyarakat terlalu mudah dibohongi, diiming-imingi. Kasus kebun karet Ucu Sam dan Wak Loyang adalah satu titik dari sebuah garis yang begitu panjang dari serangkaian peristiwa pembakaran hutan yang terjadi di tanah Riau. Pada satu titik itu pula masyarakat (Melayu) Riau merasakan langsung akibat yang ditimbulkannya. Maka, seperti orang mengigau yang tidak jelas akan didengar oleh siapa, Marhalim pun bergumam: “ia sangat tahu betapa tidak nikmatnya hidup dalam sejarah yang berulang. Ah, setelah ini entah kebun siapa karet siapa lagi yang terbakar. Entah, hati siapa lagi yang terbakar.”
***
 
Seperti umumnya cerpen-cerpen sastrawan generasi awal 2000-an, kemasan bahasa sering menjadi titik perhatian. Maka, selain kekuatan latar tempat dan latar suasana yang terasa begitu kelam, narasinya mengalir dengan diksi dan metafora yang begitu puitik. Tentu saja cara ini ikut memperkaya khazanah cerpen Indonesia kontemporer dalam soal yang menyangkut tema, style dan gaya pengucapan. Dalam konteks itulah, antologi cerpen ini menempati kedudukannya yang khas. Itulah salah satu kekuatan antologi cerpen ini.
 
Melalui antologi cerpennya ini, Marhalim Zaini telah berhasil membuka pintu masuk dunia cerpen Indonesia garda depan. Ia telah menempati posisi di antara deretan cerpenis Indonesia kontemporer. Maka, di masa depan, niscaya posisinya akan makin kukuh sebagaimana yang telah dilakukan para seniornya, macam Taufik Ikram Jamil atau Fakhrunnas MA Jabbar. Kita lihat saja nanti!
 
Bojonggede, 21 Mei 2006

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/09/dunia-suram-marhalim-zaini/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar