Selasa, 08 Juni 2021

Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas, Katrin Bandel

 
Judul: Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
Karya : Katrin Bandel
Editor : Saut Situmorang
Proofreader : Irwan Bajang
Layout : Indie Book Corner
Desain Cover : Saut Situmorang
Ilustrasi Cover : Composition II in Red, Blue, and Yellow, 1930, karya Piet Mondrian
Cetakan Pertama: Desember 2013
270 Hlm.; 15,5 x 23 Cm
ISBN : 978-602-1599-24-2
Penerbit : Pustaha Hariara, Jogjakarta
 
Pengantar Katrin Bandel *
 
Bagi saya, salah satu unsur terpenting dalam penulisan esei adalah memposisikan diri. Memposisikan diri bisa dimaknai sebagai “berpendapat”, dalam arti mengekspresikan pandangan atau penilaian mengenai permasalahan tertentu. Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam jangka waktu tujuh tahun yang terdokumentasikan dalam kumpulan esei ini, usaha memposisikan diri juga semakin sering dan semakin eksplisit saya kaitkan dengan peta relasi kekuasaan global dan posisi saya sendiri di dalamnya. Sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa yang menulis dalam bahasa Indonesia, di manakah saya berdiri?
 
Ada persoalan apa dengan identitas saya sebagai perempuan berkulit putih asal Eropa, dan apa kaitannya dengan kegiatan tulis-menulis yang saya geluti? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin berangkat dari sebuah anekdot yang diceritakan pemikir pascakolonial asal India Gayatri Chakravorty Spivak dalam sebuah dialog seputar masalah representasi:
 
“I will have in an undergraduate class, let’s say, a young, white male student, politically-correct, who will say: ‘I am only a bourgeois white male, I can’t speak.’ In that situation—it’s peculiar, because I am in the position of power and their teacher and, on the other hand, I am not a bourgeois white male—I say to them: ‘Why not develop a certain degree of rage against the history that has written such an abject script for you that you are silenced?”
(Gayatri Chakravorty Spivak 1993, hlm. 197)
 
(Misalnya, dalam sebuah kelas untuk matakuliah S1 yang saya ampu akan ada seorang mahasiswa laki-laki muda berkulit putih yang, karena ingin bersikap politically-correct, akan berkata: ‘Saya hanya laki-laki borjuis kulit putih, saya tidak bisa bicara.’ Dalam situasi tersebut—dan situasi itu memang unik, sebab saya dalam posisi berkuasa sebagai dosen mereka, tapi di sisi lain, saya bukan laki-laki borjuis berkulit putih—saya akan kemudian berkata pada mereka: ‘Kenapa Anda tidak mencoba untuk, sampai tingkat tertentu, menumbuhkan kemurkaan dalam diri Anda terhadap sejarah yang telah menuliskan naskah yang begitu keji bagi Anda, sehingga kini Anda tidak dapat bicara?’)
 
Mengapa mahasiswa laki-laki borjuis berkulit putih itu merasa “tidak bisa bicara”? Mahasiswa tersebut tampaknya berangkat dari kesadaran bahwa identitasnya cenderung menempatkannya pada posisi yang sangat diuntungkan. Untuk masa yang cukup lama, justru umumnya hanya laki-laki borjuis berkulit putih yang bisa dan berhak bicara, dalam arti diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangannya secara publik dan dengan demikian berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan (baik secara nasional/lokal maupun global). Manusia lain— perempuan, kelas buruh, orang berkulit coklat atau hitam—umumnya hanya dibicarakan, namun tidak diberi kesempatan untuk ikut bersuara. Political correctness yang disebut dalam anekdot di atas berdasar pada kesadaran akan ketidakadilan kondisi tersebut. Meskipun sampai saat ini tetap saja terdapat cukup banyak laki-laki borjuis berkulit putih yang berbicara dengan suara otoritatif seperti sediakala, di bidang-bidang akademis tertentu kini situasi telah berubah secara cukup substansial. Suara-suara lain kini ikut hadir, tidak jarang untuk menyampaikan gugatannya, antara lain lewat perspektif teoritis yang dikembangkan misalnya dalam Kajian Pascakolonial, Kajian Gender dan Kajian Budaya. Berangkat dari kesadaran akan perkembangan tersebut, di manakah kini posisi seorang laki-laki borjuis berkulit putih? Selain posisi otoritatif yang cenderung meniadakan perspektif lain, masih adakah pilihan lain yang tersedia? Tampaknya mahasiswa dalam anekdot Spivak di atas tidak melihat adanya alternatif apa pun, sehingga dia merasa satu-satunya pilihan adalah diam.
 
Saya memang bukan laki-laki. Tapi sebagai orang Eropa berkulit putih yang berasal dari kelas menengah, saya tetap merasa tersapa oleh anekdot yang diceritakan Spivak. Sesuai dengan yang dikatakan Spivak, tidak jarang saya merasa ada semacam script (naskah) yang sudah disediakan untuk saya, dan script tersebut memang kurang mengenakkan. Apabila saya setia pada bidang studi yang saya pilih semasa kuliah (di dunia Barat), saya “seharusnya” menjadi indonesianis yang berperan menjelaskan kebudayaan Indonesia kepada orang sebangsa saya, atau kepada “komunitas akademis internasional” (alias komunitas akademis berbahasa Inggris). Dengan kata lain, saya seharusnya menduduki posisi otoritatif sebagai “ahli Indonesia” yang diberi wewenang khusus untuk berbicara mengenai Indonesia dalam forum-forum tertentu, dengan catatan bahwa sampai saat ini orang Indonesia sendiri kerapkali kurang memiliki akses untuk ikut bersuara dalam forum tersebut.
 
Dari manakah datangnya script tersebut? Dalam karya monumentalnya Orientalism (1978) yang kerapkali disebut sebagai tonggak awal Kajian Pascakolonial, Edward Said mendeskripsikan betapa dalam tradisi pemikiran Barat tumbuh sebuah wacana khusus mengenai “Orient” (“Timur”), yaitu wacana “orientalisme”. “Timur” dipelajari sebagai sebuah entitas yang konon memiliki ciri khas sendiri, sehingga berbeda secara substansial dari “Barat”. Lewat wacana itu hadirlah sebuah suara otoritatif yang mendefinisikan dan menguasai “Timur”. Otoritas suara di sini secara langsung berkaitan dengan kekuasaan sebab wacana orientalisme berkembang bersamaan dengan kolonialisme. Pengetahuan tentang “Timur” dan penjajahan fisik saling menopang.
 
Di dunia akademis, orientalisme antara lain mengambil bentuk institusi-institusi khusus yang melakukan atau mendukung studi mengenai “budaya oriental”. Struktur semacam itu kerapkali masih berbekas sampai saat ini, meskipun orientasi keilmuannya tentu saja sudah mengalami banyak perubahan. Misalnya, saat saya kuliah di Universitas Hamburg, Jerman, fakultas tempat saya mempelajari budaya Indonesia masih bernama “Orientalistik”. Jurusan yang saya ambil, yaitu jurusan “Bahasa dan Budaya Austronesia” (di mana bahasa Indonesia dipelajari sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia), merupakan salah satu jurusan tertua di universitas itu sebab jurusan itu berawal sebagai sebuah “institut kolonial”. Jerman memang sempat memiliki beberapa koloni di wilayah tersebut, yaitu di kepulauan Pasifik dan di Papua.
 
Struktur-struktur semacam itu ikut melanggengkan relasi kekuasaan global yang timpang. Universitas di negara-negara Barat mempelajari budaya-budaya di seluruh dunia, kemudian pengetahuan tersebut dipublikasikan dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya di media-media akademis yang dipandang bergengsi dan terpercaya. Manusia-manusia yang budayanya dipelajari tersebut kerapkali melakukan hal sebaliknya, yaitu mempelajari bahasa dan budaya Barat, namun bukan dalam rangka memperoleh suara otoritatif seperti manusia Barat yang membicarakan “Timur”. Akses terhadap dunia Barat dirasakan perlu sebab pada kenyataan memang pengetahuan dan gaya hidup Barat tetap (atau bahkan semakin?) dominan secara global. Bahkan tidak jarang budaya sendiri kemudian dipelajari lewat pengetahuan Barat, misalnya lewat tulisan peneliti asing (orientalis).
 
Sebagai manusia Eropa berpendidikan orientalis, saya tidak mungkin mengelak dari wacana tersebut. Namun meskipun secara institusional struktur-struktur orientalis yang hierarkis itu tetap dipertahankan, manusia-manusia yang bekerja dalam struktur tersebut belum tentu sepenuhnya patuh padanya. Misalnya, sebagian peneliti Barat yang bekerja di bidang “Studi Asia-Afrika” (untuk menyebut salah satu istilah yang telah menggantikan istilah “orientalisme” pada masa kini, termasuk di almamater saya Universitas Hamburg) kini bersikap kritis terhadap struktur-struktur tersebut, dan mengekspresikan kritik itu dalam tulisan-tulisan mereka. Di samping itu, usaha untuk lebih melibatkan suara-suara non-Barat dalam produksi pengetahuan tersebut pun banyak dilakukan.
 
Dalam pengalaman pribadi saya, struktur yang timpang tersebut pada mulanya hanya saya rasakan secara samar-samar saja. Saat kuliah, saya tidak memiliki kesadaran politis yang cukup kuat, dan saya pun tidak pernah berkesempatan mempelajari teori pascakolonial atau teori-teori lain yang dapat membantu saya untuk sampai pada sebuah semangat yang lebih kritis dalam memandang dunia. Yang saya alami pada tahap itu hanya semacam perasaan kurang nyaman dan kurang termotivasi untuk memasuki dunia akademis di mana saya diharapkan memproduksi tulisan-tulisan berbahasa Jerman atau Inggris mengenai Indonesia. Untuk siapakah saya menulis, dan apa yang ingin dan perlu saya sampaikan? Pekerjaan tersebut terasa hambar dan kurang mengasyikkan.
 
Perjalanan hidup kemudian membawa saya menetap dan bekerja di Indonesia. Disebabkan oleh kondisi hidup tersebut, saya lalu mulai aktif menulis dan berpublikasi bukan dalam bahasa Jerman atau Inggris, tapi dalam bahasa Indonesia. Hal itu pada mulanya saya lakukan sama sekali bukan disebabkan oleh sebuah semangat “heroik” untuk melawan struktur kekuasaan wacana akademis, namun sekadar mengikuti naluri dan keasyikan berkarya. Dengan menulis di Indonesia dalam bahasa Indonesia, saya merasa menyapa audiens yang jelas (yaitu orang-orang yang menaruh minat pada sastra Indonesia), dan lewat respon dan apresiasi yang saya peroleh saya pun merasakan betapa kontribusi tersebut memberi manfaat yang nyata bagi pembaca saya. Maka kemudian fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia pun berlanjut.
 
Dalam perkembangannya, kadang-kadang terbersit niat untuk menulis dalam bahasa Inggris atau Jerman, dilandasi semacam rasa keharusan dan kecemasan. Pada awalnya saya tidak merefleksikannya lebih jauh, tapi saya sekadar secara samar-samar merasa bahwa ada yang aneh atau keliru pada perjalanan penulisan dan karir akademis saya. Sepertinya saya sedang “salah jalur”: bukan inilah pekerjaan yang “seharusnya” saya lakukan sebagai indonesianis! Namun karena permintaan untuk menyumbang tulisan dalam bahasa Indonesia atau menjadi pembicara dalam acara-acara berbahasa Indonesia terus-menerus berdatangan, dan berbagai perdebatan dan perkembangan di dunia sastra Indonesia terus memancing saya untuk ikut bersuara, rencana untuk menulis dalam bahasa Jerman atau Inggris itu sangat jarang terwujud. Saya tetap asyik menulis dalam bahasa Indonesia.
 
Seiring dengan waktu, fokus pada tulisan dalam bahasa Indonesia semakin saya mantapkan sebagai pilihan yang memberi saya kesempatan untuk menduduki posisi yang sedikit unik. Peta relasi kekuasaan global yang saya gambarkan di atas semakin tampak bagi saya. Dengan demikian, perjalanan karir yang “salah jalur” itu pun berubah makna, yaitu menjadi keistimewaan yang saya syukuri. Tanpa pernah merencanakannya dengan sadar, saya rupanya sudah menyimpang dari script yang disediakan bagi saya. Meskipun tentu saja saya tetap tidak dapat sepenuhnya mengelak dari wacana orientalisme, paling tidak secara institusional saya kini berada pada jalur yang agak berbeda.
 
Kumpulan esei ini mendokumentasikan perjalanan penulisan saya selama tujuh tahun terakhir, yaitu masa yang membawa saya kepada kesadaran semakin kritis akan relasi kekuasaan global yang membentuk dunia intelektual tempat saya berkarya. Dalam anekdot yang saya kutip di atas, Spivak menganjurkan sebuah “kemurkaan” atas “script keji” yang disediakan bagi kami, manusia keturunan penjajah yang mesti berhadapan dengan berbagai bentuk ketidakadilan yang disebabkan oleh ulah bangsa-bangsa kami. Kemurkaan semacam itu yang coba semakin eksplisit saya kembangkan dan saya ekspresikan dalam esei-esei saya.
***
 
Daftar Rujukan:
 
Said, Edward W., Orientalism, Penguin Books: London dll, 1991(cetakan pertama 1978).
Spivak, Gayatri Chakravorty, dalam dialog dengan Sneja Gunew, “Questions of multiculturalism”, Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader, Routledge: London & New York, 1993, hlm. 193- 202.
***
 
*) Katrin Bandel lahir 29 Desember 1972 di Wuppertal, Jerman. Menyelesaikan studi doktoral dalam bidang Sastra Indonesia pada tahun 2004 di Universitas Hamburg, Jerman, dengan topik “Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam Prosa Modern Indonesia”. Sejak tahun 2002 menetap di Yogyakarta. Tulisan-tulisannya yang mayoritas berbahasa Indonesia terbit di berbagai media, baik media umum maupun akademis. Sejak tahun 2004 sampai sekarang mengajar pada Program Magister (S2) Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma (Yogyakarta). Kumpulan eseinya Sastra Perempuan Seks terbit pada tahun 2006.
 
Buku bisa dibeli di: twitter @indiebookcorner | facebook Indie Book Corner | sms 0274-9207841 |
***

http://sastra-indonesia.com/2021/06/sastra-nasionalisme-pascakolonialitas-katrin-bandel/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar