Kamis, 15 Juli 2021

Butet Kertaredjasa dan Tanda-tanda Jaman

Rakhmat Giryadi *
 
Dalam konsep drama tragedi terdapat monolog, soliloque, dan aside. Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Monolog merupakan perenungan terhadap peristiwa yang sedang menimpa sang tokoh. Dalam drama tragedi misalnya, sang tokoh biasanya berujar sendiri terhadap nasib yang menimpanya. Seperti Hamlet ketika berbicara sendiri setelah mendapat bisikan dari roh bapaknya, yang ternyata dibunuh oleh pamannya.
 
Dalam drama tragedi, monolog muncul disaat tokoh sedang mengalami krisis. Dalam hal ini sang tokoh berusaha menemukan kembali (discovery) kenyataan-kenyataan yang dia hadapi. Disaat penemuan kembali itulah nasibnya dipertaruhkan (peripetia). Sang tokoh menemukan titik baliknya, apakah akan menuju tragedi atau katarsis, hanya nasiblah yang tahu.
 
Kemunculan Butet Kertaredjasa, ketika puncak kekuasaan Orde Baru berada dalam krisis adalah sangat tepat. Pada saat itu, kehidupan sosial politik mengalami ketegangan. Dalam struktur drama tragedi disebut peripetia (titik balik) tadi. Dalam konsep itu terkandung pengertian, terjadi karena adanya penemuan kembali (discovery) dari avidya menjadi vidya, dari cinta menjadi benci, atau dari beruntung ke nasib buruk. (Bakdi Sumanto : 2001: 245).
 
Namun Butet Kertaredjasa bukanlah tokoh utama. Dia tokoh yang berada dipinggir panggung kekuasaan yang bersama ratusan juta rakyat Indonesia mengalami nasib yang sama. Dimana kehidupan demokrasi dikekang. Disaat seperti itu, ia muncul dengan tepat lewat naskah Lidah Pingsan (Agus Noor dan Indra Tranggono, 1997).
 
Sebagai bagian dari drama tragedi, monolog Butet melibatkan orang-orang dalam istana kekuasaan. Melalui tokoh-tokoh besar itulah drama tragedi bisa berlangsung. Monolog Butet merupakan ketegangan antara rakyat dan kekuatan kekuasaan.
 
Dalam ketegangan itulah, harapan dan kecemasan saling bersinggungan. Karena pada saat itu jarak antara hidup dan mati, antara nasib baik dan buruk, menjadi sangat nisbi. Antara kebenaran dan keburukan juga sangat rentan. Kemunculan Butet menjadi penanda irama tragika itu sedang menuju yang dinamakan peripetia tadi.
 
Dengan sangat cerdik, kemudian Agus Noor dan Indra Tranggono mencobakan kembali naskah monolognya, pada tahun 1998, ketika masa ketegangan itu mencapai puncaknya. Lidah Masih Pingsan (1998) menjadi pertunjukan yang satiris sekaligus tragis untuk mencari sebuah katarsis.
 
Namun sebagaimana alur drama tragedi, penemuan kembali (discovery) dan titik balik (peripetia) akan menjadi tidak berdaya, ketika nasib berbicara lain. Dan nasib itu bisa terbaca saat musim reformasi berlangsung. Saat itu penguasa dengan menggunakan kekuatan militernya mampu ‘memukul’ kekuatan rakyat. Inilah sumber konflik batin, yang menampilkan seorang tokoh besar menjadi megah sekaligus jalan menuju kehancurannya. Dan kita sudah melihat sendiri, korban politik berjatuhan.
 
Dalam konseb drama tragedi situasi semacam ini dinamakan harmatia (salah pilih). Sumber harmatia adalajh free will, yaitu kemerdekaan melakukan sesuatu (Bakdi Sumanto: 2001:254). Seperti diketahui penguasa memilih represif pada kekuatan rakyat. Mereka memilih membunuh, menghilangkan, dan menculik kaum reformis. Inilah masa akhir drama tragedi itu. Agus Noor dan Indra Tranggono menandainya dengan pentas monolog Butet, Mayat Terhormat (1999).
 
Matinya Toekang Kritik (Agus Noor, 2006) adalah masa jeda yang panjang setelah musim reformasi yang tak menemukan jawabannya. Selama masa jeda itu agenda reformasi hanya diisi dengan ‘debat kusir’ yang tak ada ujung pangkalnya. Banyak politisi karbitan. Banyak kritikus gadungan. Dan banyak pula penguasa-pengusa dadakan yang diuntungkan oleh nasib baik. Maka selama jeda panjang ini yang terjadi adalah sebuah rekayasa demokrasi, untuk melanggengkan kekuasaan.
 
Saya mencatat, Matinya Toekang Kritik adalah babak akhir –kalau boleh saya sebut- dari tetralogi monolog yang dibuat Agus Noor dan Indra Tranggono (Lidah Pingsan (1997), Lidah Masih Pingsan (1998), Mayat Terhormat (1999) yang diperankan oleh Butet tersebut.
 
Bisa jadi, bagian akhir ini juga menandai berakhirnya sebuah harapan tentang demokrasi yang sehat. Matinya Toekang Kritik bukan mencerminkan sebuah kekuasaan yang telah berlaku adil dan tanpa celah untuk kritik, namun justru menggambarkan situasi membuncahnya kritik yang tanpa didasari oleh semangat demokratisasi.
 
Dalam hal ini saya teringat dengan cerpen Budi Darma, Kritikus Adinan, dan juga Pengarang Rasman. Kritik yang baik dan benar, telah terkubur hidup-hidup oleh kekuatan ‘rezim anti kritik.’ Kalau tukang kritik sudah mati (dibunuh), apa yang akan terjadi? Apakah mereka (kita) menyerah?
 
Ternyata Agus Noor dan Indra Tranggono tidak kehabisan (akal) energi. Mereka malanjutkan dengan naskah monolog Sarimin (2007) yang telah dipentaskan pada Art Summit (Jakarta 17-19 November), Purna Budaya (Yogjakarta, 26-27 November), dan di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (14-15 Desember).
 
Saya kira Sarimin bagian dari akibat salah pilih (membunuh kritik). Hukum tidak ditegakkan. Yang benar diganjar (dihukum), yang salah disembah. Logika menjadi terbolak-balik, tergantung kepentingannya. Karena itu dialog yang sangat menarik dan patut direnungkan dalam Sarimin, adalah ‘Karena benar, maka kamu salah.’
 
Begitulah, ketika kritik buntu, kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal. Agus Noor, Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, mengajak kita untuk merenung di tengah hukum yang carut marut. Monolog-monolognya menjadi penanda, sekaligus renungan kala kekuasaan (hukum) tidak berlaku adil.
Penanda itu semakin jelas, ketika seorang petinggi kepolisian di Surabaya, mengancam monolog Butet akan dicekal karena terlalu kritis mengkritik intitusinya. Meski tidak jadi dicekal, kenyataan ini menegaskan bahwa tengara ‘empat jagoan’ (Agus Noor, Indra Tranggono, Butet Kertaredjasa, dan Jaduk Ferianto) menemukan jawabannya, bahwa yang benar (jujur) bisa menjadi ajur (salah) ketika kekuasaan (hukum) berkata salah.
 
Maka akhir drama tragedi bangsa ini tergantung dari hasil negoisasi antara kekuasaan dan rakyat. Tragedi ini akan berakhir indah, jika demokrasi ditegakan. Demokrasi bisa tegak kalau hukum berlaku adil. Jika tidak, maka negeri ini menjadi negeri Sarimin. Negeri komedi kera. Rakyat hanya dikeluh (diperintah) kesana-kemari, jungkir balik (berakrobat) demi nasib sang majikan. Dengan cerdik, kita telah ditunjukan oleh ‘empat jagoan’ dari Jogjakarta, bahwa kita tidak lebih baik dari kera, eh Sarimin.
***

*) Rakhmat Giryadi, pekerja teater tinggal di Sidoarjo. http://sastra-indonesia.com/2009/02/butet-kertaredjasa-dan-tanda-tanda-jaman/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar