Senin, 19 Juli 2021

Herta Muller dan Nobel Sastra

Asep Dudinov Ar
 
Tujuh hari tak posting tulisan membuat saya tak enak hati dan teu ngareunah awak dengan Kompasiana. Mubadzir rasanya jika saya menyia nyiakan “lapak” yang telah disediakan dengan gratis. Daripada kosong tak posting tulisan selama seminggu, saya cuplik kembali esai yang kebetulan termuat di salah satu surat kabar. Termuat mungkin hanya keberuntungan semata atau mungkin kasihan dengan saya yang sudah berkali kali kirim namun tak jua dimuat, daripada pundung, dimuatlah sekali ini saja. Sudah agak lama sebetulnya, tapi tak apalah. Nu saguru saelmu tong ngaganggu, mudah mudahan menjadi kebaikan kita bersama.
 
Death is not the biggest fear we have, our biggest fear is taking the risk to be alive, the risk to be alive and express what we really are (Don Miguel Ruiz).
 
Meraih Nobel Sastra memang bukan segalanya. Jean Paul Sartre-filsuf sastrawan asal Perancis-pernah menolak hadiah nobel karena dinilai ikon kapitalisme.Tersedia banyak jenis penghargaan bergengsi bagi kategori sastra di dunia ini. Tapi bagi sebagian pihak, meraih nobel sastra adalah puncak pencapaian karir kepenulisan, sebuah penghargaan berwibawa dan teramat penting untuk dilewatkan. Bisa dikatakan buah karya nobelis sastra adalah jaminan mutu. Penulis prolifik (alm) Pramoedya Ananta Toer pernah beberapa kali menjadi kandidat penerima nobel sastra-atas kegigihan Teeuw-tapi tersungkur di babak babak akhir, dan sampai meninggalnya, Pram tak pernah menerima hadiah itu.
 
Tradisi literasi di negeri kita memang masih amat muda, masih merangkak. Era bertutur yang mengakar kuat, masuk era literasi yang tergagap terus meloncat ke era visual yang juga masih tanggung. Serba setengah dengan kualitas yang masih terus dipertanyakan. Setelah Pram, tak ada lagi sastrawan Indonesia yang namanya disejajarkan dengannya. Lihatlah di Mesir ada Nagouib Mahfoudz; di India ada Tagore, Arundhati, Jumpha Lahiri, Rusdhie; di Cina ada Gao Xingjian; di Jepang ada Yasunari Kawabata. Sastrawan sastrawan tangguh Asia yang melegenda hingga kini.
 
Di kontinen Eropa tak terhitung berapa orang sastrawan yang namanya telah dipatri di Akademi Swedia, markas hadiah nobel ini diberikan. Sully Prudhomme adalah sastrawan pertama yang dianugerahi nobel sastra ini. Dan lagi lagi pada tahun 2009 ini penulis Eropa kembali menjadi kampiun nobel sastra-setelah nobel tahun 2008 juga jatuh pada novelis Perancis bernama Jean-Marie Gustave Le Clezio-yang disematkan pada Herta Muller. Muller menjadi perempuan ke-12 yang menerima Nobel Prize for Literature. Mengenai penganugerahan dirinya-dalam sebuah wawancara-ia merasa sangat gembira dan sekaligus tak percaya jika ia benar benar menerima Nobel Sastra.
 
Muller memang pantas menjadi penerima hadiah nobel tahun ini. Ia memenuhi syarat apa yang pernah dikemukakan oleh Alfred Nobel bahwa penerima Nobel Sastra adalah “seseorang yang melakukan aktivitas di bidang sastra dengan kerja kerja yang luar biasa”. Karir kepenulisan yang cukup panjang ditambah dengan perlawanan literasi yang sangat bernyali terhadap rezim yang menindasnya menambah bobot kualitas sebagai seorang penulis. Peter Englund, sekretaris tetap Akademi Swedia menyebut Muller sebagai seorang yang melakukan “extreme precision with words”. Bahkan panel juri Nobel Sastra mengatakan bahwa Herta Muller dinilai telah berperan pada “landscape of the dispossessed with the concentration of poetry and the frankness of prose and constant return to the oppression, dictatorship, and her own exile in her novel, poem and essays”.
 
Muller adalah tipe seorang penulis yang tidak menyerah hanya karena rasa takut yang menderanya. Ia gigih memperjuangkan kata hatinya bahwa apa yang ditulisnya adalah benar. Muller tahu betul bahwa tulisannya adalah sebentuk perjuangan melawan kekuasaan, yang berarti perjuangan melawan lupa. Albert Camus pernah menyatakan bahwa tujuan seorang penulis adalah menjaga peradaban dari segala sesuatu yang merusaknya. Dan Muller paham benar akan hal itu bahwa tegaknya peradaban manusia salah satunya dengan cara menulis. Rasa takut untuk tidak menulis hanya akan membuat gelap peradaban, dan aktivitas menulis adalah membuat pencerahan bagi peradaban suatu negeri bagaimana pun tiranik dan despotiknya rezim tersebut. Dan Muller melakukannya dengan rasa sadar.
 
Herta Muller dalam salah satu wawancaranya pernah menyatakan bahwa menulis adalah sesuatu yang teramat penting dan eksistensial bagi dirinya. Menulis adalah mengklarifikasi sesuatu dengan dirinya yang mulanya amat personal, mengklarifikasi sesuatu dengan sesuatu dan pada akhirnya adalah memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Menulis adalah salah satu cara yang bisa dia lakukan di tengah kepungan rezim komunis yang menindas kebebasan ekspresinya.
 
Siapakah Herta Muller?
 
Herta Muller adalah novelis, essais, dan penyair Jerman kelahiran Rumania. Ia lahir pada 17 Agustus 1953 tepatnya di kawasan Nitzkydorf, Banat, Rumania. Seperti lazimnya di sebagian besar negara negara Eropa Timur yang dikuasai oleh Komunis Soviet, ia hidup di bawah kekuasaan tiranik Komunis yang represif. Di bawah rezim Nicolas Ceasescu inilah ia mulai menjalani aktivitas kepenulisannya. Muller mulai dikenal secara internasional pada awal awal 1990-an di mana ketika itu karya karyanya telah diterjemahkan ke dalam kurang lebih 20 bahasa. Penghargaan yang diterimanya lebih dari 20 termasuk diantaranya adalah pernah menerima International IMPAC Dublin Literary Award pada 1998, The Kleist Prize, The Franz Kafka, dan lain lain.
 
Walaupun secara teritorial tinggal di Rumania, ia tetaplah berbahasa Jerman. Hal inilah mungkin yang menyebabkan keluarganya menjadi kelompok minoritas. Ibunya pernah menjalani kehidupan di kamp pekerja Gulag Ukraina (sekarang). Ayahnya pernah menjadi salah seorang anggota pasukan Waffen SS (Schutzstaffel), kesatuan militer yang menjadi kesayangan Hitler. Untunglah kakeknya seorang petani kaya hingga ia bisa menyelesaikan pendidikan tingginya pada Timisoara University dengan mengambil kajian Jerman dan Sastra Rumania.
 
Mungkin Muller tak mengira jika di kemudian hari ia akan menjadi penulis besar, karena pada awal karirnya ia hanyalah seorang penerjemah di sebuah pabrik mesin. Ia hanya bertahan tiga tahun sampai 1979 karena ia menolak bekerja sama menjadi informan bagi polisi rahasia rezim komunis, tentu saja ia dipecat karena perbuatannya itu. Dan ia tak menyesal akan keputusannya. Selepas itu ia menjadi guru di sebuah taman kanak kanak sambil memberikan privat Bahasa Jerman.
 
Pada 1982 adalah titik awal karir menulisnya. Pada tahun ini ia menulis buku yang merupakan kumpulan cerita pendek berjudul Niederungen yang diterbitkan di Bukares oleh Kriterion-Verlag dan pada 1984, buku ini juga diterbitkan di Berlin oleh Rotbuch-Verlag. Di tahun tahun awal kepenulisannya ia juga bergabung di sebuah komunitas penulis muda yang beroposisi pada pemerintahan diktator Ceasescu. Karena tulisan tulisannya yang kritis terhadap rezim, ia pada akhirnya dilarang untuk menerbitkan buku sendiri. Karena tak diakomodasi kebebasan berekspresinya, Jerman menjadi pilihan baginya dan suaminya, novelis Richard Wagner, untuk menjadi tempat tinggald sejak 1987 hingga sekarang. Rezim yang despotik telah memaksanya untuk pindah negara. Hal yang sama juga pernah dialami oleh Kundera, Kafka, dan lain lain.
 
Muller telah memberi pelajaran pada kita bahwa bahwa ide dan kebebasan tidak bisa dikekang oleh desingan peluru dan popor senjata. Bahwa kekuasaan yang tak ramah dengan kebebasan hanya akan menuai kelelahan dan kekalahan di kemudian hari. Muller telah menabalkan dirinya sebagai personifikasi penulis yang tak hanya sibuk dengan dunianya akan tetapi juga sanggup melawan tiran lewat literasi bernyali.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/10/herta-dan-nobel-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar