Kamis, 19 Agustus 2021

FORMALISME RUSIA: BEBERAPA TESIS, TANGGAPAN, DAN CATATAN KAKI •)

Moh. Syafari Firdaus
 
Terlahir dari sekelompok teoritisi yang menamakan dirinya Opayaz, Formalisme Rusia (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut “kaum formalis”) dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap, gagasan-gagasan yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori sastra modern[1]. Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di dalamnya. Dengan “metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.
 
Boris Eichenbaum memberi penegasan, kaum formalis dipersatukan oleh adanya gagasan untuk membebaskan diksi puitik dari kekangan intelektualisme dan moralisme yang diperjuangkan dan menjadi obsesi kaum simbolis. Mereka berusaha untuk menyanggah prinsip-prinsip estetika subjektif yang didukung kaum simbolis (yang bersandar pada teori-teorinya Alexander Potebnya, seorang filologis Rusia yang terpengaruh Willhelm von Humboldt) dengan mengarahkan studinya itu pada suatu investigasi saintifik yang secara objektif mempertimbangkan fakta-fakta[2]. Di sisi ini, buah pikir dan gagasan kaum formalis tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para penyair Futuris Rusia yang kemunculan karya-karyanya pun merupakan reaksi untuk melakukan perlawanan terhadap poetika kaum simbolis tersebut.
 
Prinsip yang mendasari studi kaum formalis bukan dititikberatkan pada, “bagaimana sastra dipelajari”; melainkan lebih merujuk pada “apa yang sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu sendiri.” Bagi kaum formalis, sebagaimana yang ditegaskan Jakobson, “objek ilmu sastra bukanlah (kesu)sastra(an), melainkan kesastraannya (literariness)?yaitu yang menjadikan sebuah karya bisa disebut sebagai karya sastra.” Sedangkan di sisi lain, Eichenbaum menjelaskan bahwa karakteristik dari (cara kerja) kaum formalis hanyalah berusaha untuk mengembangkan ilmu sastra secara tersendiri, yang studinya lebih dikhususkan pada bahan-bahan kesastraan (literary material); mereka hanya menyarankan untuk mengenali fakta-fakta teoritis yang tersimpan di dalam seni sastra. Dalam hal ini, ide dan prinsip (dari studi) kaum formalis tersebut diarahkan untuk menuju pada suatu teori umum estetika.
 
Dengan demikian, kaum formalis sebenarnya mulai mencoba untuk melepaskan studi sastra dari hal-hal lain yang berdiri di luar dirinya. Mereka melihat sastra sebagai sebuah entitas otonom; (hanya) sebatas “poetika”. Dengan karakteristik gerakannya yang mereka sebut berusaha untuk menumbuhkan gairah baru bagi positivisme saintifik, mereka menolak setiap bentuk interpretasi terhadap karya sasra yang dikaitkan dengan asumsi filosofis, psikologis, estetis, dls.. Bagi mereka, seni harus dipertimbangkan terpisah dari estetika filosofis maupun teori-teori ideologis. Maka dari itu, mereka pun lebih memilih untuk menempatkan (objek) studi sastra secara spesifik pula yang keberadaannya bisa terbedakan dari objek ilmu-ilmu lainnya.
 
Kedekatan metode formal yang digagas kaum formalis dengan keberadaan ilmu lain hanyalah dengan linguistik. Hal ini menjadi bisa dimungkinkan karena linguistik merupakan ilmu yang bersentuhan (secara langsung) dengan “poetika” yang menjadi titik perhatian bagi (objek) studi mereka. Kendatipun demikian, kaum formalis ini memang boleh dikatakan mendekati linguistik dari perspektif dan permasalahan yang berbeda. Hal ini setidaknya terlihat dari ketertarikan mereka terhadap linguistik dalam relevansinya dengan bahasa yang menjadi sarana artikulasi sastra. Dalam hal ini, kaum formalis menyikapi komponen-komponen linguistik yang tersedia di dalam bahasa (fonetik, morfem, sintaksis, maupun sematik; begitu pun halnya dengan ritma, rima, matra, akustik/bunyi, aliterasi, asonansi, dls.) [3] sepanjang hal itu dimanfaatkan (oleh pengarang[4]) sebagai sarana untuk mencapai tujuan “artistik” (untuk menghasilkan efek-efek estetik). Perhatian pada kata-kata nonsens dalam karya-karya para penyair futuris Rusia sebagaimana yang dianalisis oleh Shklovsky, misalnya, bisa ditunjuk sebagai contoh dalam kaitannya dengan masalah tersebut.
 
Persoalan yang berkaitan dengan masalah bahasa, pada dasarnya telah dikedepankan oleh kaum formalis ketika mereka memandang perlu untuk membedakan berbagai ragam (pemakaian) bahasa. Di sini mereka telah membedakan antara ragam bahasa puitik dengan bahasa praktis/prosais (Jakubinsky)[5] dan ragam bahasa puitik dengan bahasa emotif/emosional (Jakobson). Dalam pandangan mereka, pembedaan tersebut menjadi sangat penting karena masing-masing ragam (pemakaian) bahasa itu memiliki dan menyediakan konteks/tujuan, fungsi[6], nilai, dan hukum-hukumnya sendiri.
 
Gagasan perihal bentuk (form) dan isi (content) yang dikedepankan kaum formalis mulai menyingkirkan pandangan tradisional yang melihat bentuk semata-mata hanyalah “kemasan” untuk isi. Bagi kaum formalis, bentuk merupakan sesuatu yang komplet, konkret, dinamis, dan berdiri sendiri. Kaum formalis memahami bahwa bentuk membawahi “makna” pula; bila bentuk diubah, maka isi pun secara otomatis akan berubah. Dengan kata lain, aspek bentuk ini akan bisa mendeterminasi isi[7].
 
Korelasi lebih lanjut dari ketertarikan kaum formalis pada aspek bentuk ini adalah dengan gagasan mengenai teknik[8]. Dalam hal ini kaum formalis berpandangan bahwa persepsi bentuk merupakan hasil dari pengoperasian teknik-teknik artistik khusus yang memaksa pembaca untuk memperhatikan kehadiran bentuk tersebut. Selain untuk kebutuhan artistik, dalam pandangan kaum formalis keberadaan teknik pun diperlukan untuk membuat objek (yang dideskripsikan) “sulit dikenali”, menjadikannya tidak lazim, dan memperpanjang persepsi (pembaca) karena proses persepsi merupakan akhir estetika dalam dirinya dan mesti diperluas[9].
 
Teori mengenai plot dan fiksi mesti dicatat pula sebagai gagasan yang cukup penting yang dikedepankan oleh kaum formalis. Konstruksi plot menjadi subjek dasar dari kaum formalis semenjak plot didapati menyimpan kekhasan dalam seni naratif[10]. Dalam analisisnya, Shklovsky menunjukkan kehadiran sarana khusus dari “konstruksi plot” dan hubungannya terhadap sarana stilistik umum dalam berbagai keragaman bahan, yang kemudian disebutnya sebagai skaz[11]. Dalam kaitannya dengan masalah ini Shklovsky sekaligus menyingkirkan pandangan sebelumnya yang memandang plot sebagai sinonim dari cerita (story). Bagi Shklovsky, cerita hanyalah bahan untuk memformulasikan plot; sementara plot itu sendiri menempati posisinya sebagai struktur.
 
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum formalis mulai melirik pada masalah perkembangan sastra dan sejarah sastra. Perubahan studi mereka pada wilayah sejarah sastra bukanlah ekspansi sederhana; hal itu dihasilkan dari perkembangan konsep mereka perihal bentuk[12]. Mereka menemukan bahwa mereka tidak dapat melihat karya sastra dalam isolasi; bentuknya harus dilihat dengan latar belakang karya lain daripada lewat bentuk yang ada pada dirinya sendiri[13]. Sementara itu, di dalam studi sejarah sastra itu pun mereka agaknya tetap pada karakteristinya untuk tidak hanya menurunkan konklusi historis, namun konklusi teoritis juga; mereka mengedepankan masalah teoritis baru untuk sekaligus menguji yang lama.
 
Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal yang mendalami suatu karakter khusus dengan tetap mempertahankan independensinya, terlepas dari kultur lainnya. Mereka tetap membatasi secara khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin berusaha untuk tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung?pada hubungan dan karespondensi yang tidak terbatas?yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah bisa menjelaskan perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak mengedepankan pertanyaan perihal biografi dan psikologi (pengarang)?yang bagi mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks. Mereka hanya tertarik pada masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan, sejauh hal itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi mereka, fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa personalitas–studi sastra sebagai fenomena sosial yang terbentuk sendiri[14].
 
Sejumlah gagasan yang dikedepankan oleh kaum formalis, dalam beberapa hal dipandang masih menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Setidaknya ini dicatat oleh Leon Trotsky. Meskipun Trotsky mengakui bahwa gagasan-gagasan yang diajukan oleh kaum formalis itu menyimpan nilai penting, namun Trotsky menyikapi kaum formalis sebagai sebuah kelompok yang arogan dan tidak matang. Trotsky yang melihatnya dari perspektif materialisme-Marxis, pada intinya menilai bahwa gagasan kaum formalis sama sekali mengabaikan kompleksitas sosial-kemasyarakatan yang menjadi basis dari energi penciptaan, dan tempat karya itu hadir di tengah lingkungan masyarakatnya. Dengan dialektika materialistiknya itu, Trotsky menyikapi bahwa dari sudut pandang historis-objektif karya seni selalu berperan sebagai abdi sosial dan berfaedah dalam sejarahnya. Di sisi ini, Trotsky mencermati jika kaum formalis agaknya hanya menunjukkan kepercayaannya pada “kesaktian kata-kata”, sehingga tidak bisa membawa gagasan perihal seninya itu pada konklusi yang logis; mereka hanya memperlihatkan bahwa proses kreasi puitik seolah-olah telah cukup hanya dengan mempersoalkan kombinasi bunyi dan sederetan kata-kata, yang pada gilirannya akan bisa terselesaikan pemecahannya itu lewat suatu “formulasi puitik” sebagaimana kombinasi dan permutasi aljabar.
***
 
•) Catatan mengenai Formalisme Rusia yang saya tulis ini merupakan resume dari hasil bacaan, terutama, atas esai Art as Technique-nya Victor Shklovsky, The Theory of the “Formal Method”-nya Boris Eichenbaum, dan The Formalist School of Poetry and Marxism-nya Leon Trotsky. Kendatipun kedua esai yang disebut pertama merupakan dua esai terpenting yang menandai gerakan dan sederet gagasan Formalisme Rusia, namun tidak urung—dengan hanya bertolak dari dua esai itu—ada beberapa gagasan penting yang dikedepankan kaum formalis, menjadi tidak bisa terketengahkan dalam catatan ini: gagasan perihal “konsep dominan” yang dilontarkan Roman Jakobson, misalnya. Adapun esai Trotsky kehadirannya menjadi cukup penting dalam hubungannya dengan gerakan Formalisme Rusia berkenaan dengan sejumlah pandangannya yang mengkritik teori yang dirumuskan oleh kaum formalis tersebut.
 
[1] Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, dkk. menyebut secara tegas hal tersebut. Sebutan itu agaknya memang menjadi tidak terlalu berlebihan. Gerakan otonomi dengan kecenderungan telaahnya yang “objektif-ergosentris” memberi ciri saintifik yang diperlukan bagi studi akademis. Teori Strukturalisme yang kemudian berkembang pun banyak mengadopsi gagasan-gagasan Formalisme Rusia (sehingga Formalisme Rusia ini sering disebut pula sebagai proto-strukturalisme). Sementara itu, jika kita mencermati buku-buku teks teori sastra (terutama yang membahas secara historiografis-kronologis), maka kita (hampir) akan selalu mendapatkan bahasan mengenai Formalisme Rusia hadir pada bagian (paling) awal.
 
[2] Dalam hal ini, fakta awal yang didapatkan kaum formalis adalah adanya perbedaan antara bahasa puitik dan bahasa praktis. Dalam pandangan Shklovsky, telaah puitika saintifik haruslah dimulai secara induktif dengan membangun sebuah hipotesis yang mengakumulasikan bukti. Hipotesis tersebut adalah bahwa bahasa puitik dan bahasa prosaik (praktis) itu ada, bahwa hukum-hukum yang membedakannya ada, dan akhirnya, perbedaan-perbedaannya itulah yang dianalisis.
 
[3] Hal-hal yang berkaitan dengan komponen-komponen linguistik dan bahan-bahan kesastraan yang tersedia di dalam bahasa sebenarnya mendapatkan perhatian yang serius dari kaum formalis. Berbagai analisis dan telaah mengenainya kemudian menghasilkan gagasan-gagasan yang cukup signifikan dalam perkembangan studi dan teori mereka. Satu yang bisa dicatat di sini adalah gagasan mengenai ritme yang dipandang sebagai unsur pembangun dari puisi secara keseluruhan yang mengantar untuk memahami puisi sebagai suatu bentuk ungkapan khusus yang menyimpan ciri-ciri linguistik secara khusus pula (dilihat secara sintaktikal, leksikal, maupun semantis).
 
[4] Pengarang yang dimaksud oleh kaum formalis di sini adalah hanya sebatas motivasi individu yang (secara distinktif) memanfaatkan dan mengolah bahan dan sarana kesastraannya—demikian pula halnya dengan teknik—di dalam karyanya, dengan tidak memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan biografi maupun psikologi pengarang itu sendiri.
 
[5] Persoalan yang berkaitan dengan pembedaan antara bahasa puitik dengan bahasa praktis yang dikedepankan Jakubinsky ini tampaknya merupakan titik keberangkatan dari kelahiran gagasan-gagasan kaum formalis. Dalam esai Shklovsky maupun Eichenbaum, masalah perbedaan ini begitu kerap disinggung. Shklovsky, misalnya, bertolak dan mengedepankan perbedaan antara bahasa puitik dan bahasa praktis/ prosais ketika ia mengajukan keberatan dan penolakannya atas teori-teorinya Potebnya. Dalam hal ini, Shklovsky memandang, citraan (simbolisasi) bukanlah merupakan perbedaan yang spesifik di antara bahasa puitik dan bahasa praktis sebagaimana yang dipahami kaum simbolis (puisi=citraan, citraan=simbolisme). Yang justru membedakan di antara keduanya adalah persepsi strukturnya itu sendiri.
 
[6] Gagasan mengenai fungsi boleh dicatat sebagai gagasan paling penting dalam teori-teori yang dikemukakan oleh kaum formalis; menjadi foreground bagi studi mereka. Kerja mereka yang diarahkan untuk melihat bahan-bahan spesifik, kekhususan sarana struktural, dan berusaha untuk menunjukkan identitasnya dalam keragaman bahan, telah memaksa mereka untuk berbicara mengenai fungsi dan sekaligus menjadi usaha bagi mereka untuk membedakan dan memahami fungsi sarana itu pada masing-masing kasusnya. Maka menjadi suatu hal bisa dipahami apabila dari sederet tesis general yang dikedepankannya, mereka hampir selalu menyertakan gagasan tentang fungsi ini. Berawal dari gagasan mengenai fungsi ini pula, kaum formalis kemudian bisa merevisi gagasan-gagasan mereka mengenai sarana; hingga hal ini pun berdampak pada teorinya sendiri yang pada akhirnya menuntut mereka untuk kembali menengok sejarah.
 
[7] Sebelum akhirnya pemaham mengenai bentuk ini direvisi: “bentuk baru tidaklah mengekspresikan isi baru, namun mengubah bentuk lama yang telah kehilangan kualitas estetiknya” (Shklovsky). Dengan adanya pemahaman baru mengenai konsep bentuk inilah yang kemudian menggiring kaum formalis untuk memasuki wilayah studi perkembangan dan sejarah sastra. Pada konteks relasi yang berkenaan dengan aspek bentuk dan isi ini pula yang telah membedakan gagasan Formalisme Rusia dengan formalisme yang dikembangkan oleh kalangan New Criticism di Amerika. Dalam hal ini, kalangan New Critic memandang, aspek isilah yang akan bisa mendeterminasi bentuk.
 
[8] Keterkaitan antara aspek bentuk dan teknik ini menjadi tidak bisa dipisahkan dari gagasan-gagasan kaum formalis berkenaan dengan kecenderungan studi mereka yang lebih mengkhususkan diri pada masalah bahan (material) dan sarana/alat (device) kesastraan. Lebih dari itu, karena dipandang berhubungan secara langsung dengan ciri yang membedakan antara ungkapan puitik dengan praktis, gagasan mengenai teknik sebenarnya menjadi lebih signifikan dalam ruang lingkup perkembangan formalisme daripada gagasan bentuk. Bahkan, metode formal sendiri dianggap menjadi kontroversial karena fokus studinya yang lebih merujuk pada masalah teknik ini.
 
[9] Dalam pandangan Shklovsky, seni berarti menghancurkan persepsi dari yang tadinya otomatis menjadi tidak otomatis; tujuan dari imaji bukanlah untuk menghadirkan makna dari objek yang dideskripsikan pada pemahaman kita, melainkan untuk membentuk suatu persepsi khusus dari objek tersebut?membentuk visinya sendiri, dan tidak untuk mengenali maknanya. Dengan titik tolak seperti inilah Shklovsky kemudian mengedepankan konsep yang disebut teknik defamiliarisasi.
 
[10] Munculnya teori tentang plot tersebut mulai membuka kaum formalis untuk berdekatan dengan masalah-masalah yang berkenaan dengan studi prosa. Lebih dari itu, penjelasan mengenai tipikal teknik konstruksi plot telah memberi peluang bagi mereka untuk berlanjut menelaah masalah sejarah dan teori novel. Hal ini telah mempengaruhi keseluruhan rangkaian studi, bukan hanya dari mereka yang tergabung dalam Opayaz saja, melainkan juga dari mereka yang tidak berhubungan secara langsung dengannya; Mikhail M. Bakhtin boleh ditunjuk sebagai salah satu dari mereka yang gagasan-gagasannya?terutama mengenai (teori) novel?mengadopsi gagsan kaum formalis ini.
 
[11] Satu hal yang agaknya perlu diperhatikan, di dalam buku-buku teori sastra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (di antaranya Pengantar Ilmu Sastra, Jan van Luxemburg, dkk. dan Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, Rahman Selden), dalam bahasannya mengenai Formalisme Rusia term skaz ini tidak pernah muncul. Yang muncul adalah term suzjet. Dengan mencermati deskripsi yang dikedepankan Shklovsky di atas, apakah skaz yang dimaksud itu adalah suzjet? Sebagai bahan perbandingan, dalam kaitannya dengan masalah plot yang digagas oleh kaum formalis ini (Shklovsky), Luxemburg menyodorkan tiga pengertian: motif, sebagai kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan; fobula, sebagai rangkaian motif dalam urutan kronologis; dan sujzet, sebagai penyusunan artistik motif-motif tersebut, akibat penerapan penyulapan terhadap fobula.
 
[12] Esai Shklovsky, The Relation of Devices of Plot Construction to General Devicse of Style, sebagaimana dicatat Eichenbaum, telah menandai perubahan kaum formalis dari studi teoritis pada studi sejarah sastra. Tesis Shklovsky yang menyatakan bahwa karya seni muncul dari latar belakang karya lainnya dan melewati asosiasi dengannya; setiap bentuk karya seni diciptakan paralel dan sekaligus berlawanan dengan bentuk lainnya; dan, tujuan dari bentuk baru bukanlah untuk mengekspresikan isi baru, namun mengubah bentuk lama yang telah kehilangan kualitas estetiknya, memberi fakta baru pada mereka tentang ciri-ciri baru perkembangan dinamis dan variabilitasnya yang terus menerus.
 
[13] Pandangan ini kemudian lebih teraktualisasikan dalam tesis Jakobson?Tynyanov ( 1928 ) yang pada intinya (mulai) menolak formalisme yang mekanistis. Mereka mengusahakan untuk tidak hanya melihat perspektif kesusastraan secara sempit, namun dengan mencoba untuk mulai mengaitkan rangkaian sistem kesusastraan dengan rangkaian kesejarahan yang lain: “We cannot understand literary develovment as long as the problem of evolution is overshadows by questions of episodic and unsystematically conceived genesis, both literary (literary influence) and extraliterary. Literary and extraliterary materials used in literature may be placed within the scope of scientific research only if judged from the functional viewpoint [….] The problem of concrete choise of direction, or at least of its dominant, can be opproached only through analyzing the relations of the literary series to other historical series. The interrelatedness (the system of system) has its analyzable structural laws. It is methodically pernicius to examine the interrelatedness of system without keeping in mind the immanent laws of every particular system” (Vodicka, 1972, h.7).
 
[14] Ini merupakan karakteristik yang menandai awal kerja kaum formalis dalam studi sejarah dan perkembangan sastra (sebelum dikembangkan lebih lanjut oleh Jakobson dan Tynyanov). Di sini, gagasan dari perkembangan sastra yang dikedepankannya tanpa mengusung ide kemajuan dan pergantian yang statis, tanpa ide realisme dan romantisme, tanpa memperhitungkan bahan-bahan ekstra-sastra. Mereka masih melihat sastra sebagai suatu kelompok fenomena yang spesifik dan bahan-bahan yang spesifik. Mereka hanya berusaha untuk menjelaskan fakta-fakta historis yang konkret, fluktuasi, dan perubahan bentuk, untuk memperhitungkan fungsi-fungsi spesifik dari sarana-sarana yang ada?dengan kata lain, di sisi inilah mereka ingin menemukan batas antara karya sastra sebagai fakta sosial yang definit dan suatu interpretasi bebas dari sudut keperluan sastra kontemporer, selera, atau ketertarikan. Dengan demikian, mereka menyebut bahwa gairah dasar dalam studi sejarah sastra mereka adalah gairah untuk mendestruksi dan menegasi.
 
DAFTAR PUSTAKA:
 
Adams, Hazard (ed.). 1992. Critical Theory Since Plato. Harcourt Brace Jovanovich College Publishers
Eichenbaum, Boris. The Theory of the “Formal Method”, dalam Adams (ed.), h.801—16
Luxemburg, Jan van, dkk.. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Cet.-3. Jakarta: Gramedia.
Bakhtin, Mikhail M.. Epic and Novel: Toward a Methodology for the Study of the Novel, dalam Adams (ed.), h.839—855
Newton, K.M.. 1994. Menafsirkan Teks. Semarang: IKIP Semarang Press.
Selden, Rahman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Cet.-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Shkovsky, Victor, Art as Technique, dalam Adams (ed.), h. 751—59
Trotsky, Leon. The Formalist School of Poetry and Marxism, dalam Adams (ed.), h.792—799
Vodicka, Felix. 1972. The Integrity of the Literary Process: UIT Poeties 4, h.5—15

http://sastra-indonesia.com/2012/02/formalisme-rusia-beberapa-tesis-tanggapan-dan-catatan-kaki-%e2%80%a2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar