Untung
Wahyudi *
Tak dapat dimungkiri, kehadiran sastra remaja yang lebih
populer dengan TeenLit (teenagers literature) memang cukup memengaruhi minat
baca para remaja. Mereka yang kurang menyukai bacaan berat (sastra serius)
memang lebih banyak meminati bacaan TeenLit, karena karya jenis ini memang
lebih ringan dan mudah dicerna. Bahasa yang digunakan pengarang pun tak berat
dan rumit, sehingga mereka lebih mudah memahami apa yang disampaikan pengarang.
Mayoritas
remaja mengakui, kegemaran mereka terhadap TeenLit disebabkan cerita dan
bahasanya yang memang ‘renyah’ dan dekat dengan dunia mereka. Ini tak
mengherankan karena sebagian besar pengarang-pengarang TeenLit sendiri masih
remaja, atau paling tidak anak muda. Mereka dapat bercerita dengan fasih
tentang lika-liku kehidupan remaja, sehingga para remaja yang membaca
karya-karya mereka merasa dekat dan akrab.
Sementara
itu, dalam dunia penerbitan, kehadiran TeenLit memang cukup menggiurkan. Pangsa
pasar remaja yang luas membuat beberapa penerbit sangat antusias menghadirkan
bacaan yang memang sedang marak dan banyak diburu di pasaran. Tak sedikit dari
penerbit yang sebelumnya tak memiliki lini TeenLit, akhirnya memasang caption
khusus di setiap buku yang diterbitkan. Sebut saja penerbit Gramedia. Penerbit
yang cukup merajai dunia perbukuan di Tanah Air itu sejak 2004 memang konsisten
dengan penerbitan buku TeenLit setelah sebelumnya sukses dengan buku-buku
ChickLit. Novel Dealova karya pengarang muda Dyan Nuranindya tercatat sebagai
salah satu pelopor novel TeenLit asli (non terjemahan) yang diterbitkan
Gramedia. Novel ini terbilang sukses, terutama setelah difilmkan dengan judul
sama.
Sejak
itulah geliat penerbitan novel dengan genre TeenLit ini makin terasa. Banyak
penerbit yang berlomba-lomba menerbitkan novel tema remaja yang ringan dan
mudah dicerna. Membacanya pembaca tak perlu mengerutkan kening karena dari segi
isi memang tak terlalu ‘berat’.
Jika
diteliti, tema yang diangkat dalam sastra remaja memang tak jauh dari tema
cinta dan pernak-pernik dunia remaja. Tema yang lebih banyak memotret
problematika kehidupan remaja itulah yang menyebabkan novel TeenLit laris manis
di pasaran.
Lahirnya
Penulis-penulis
Baru
Selain efek menjamurnya penerbit yang menerbitkan novel
TeenLit, dampak hadirnya bacaan ini juga berpengaruh terhadap jumlah penulis
muda di Tanah Air. Tak terhitung jumlah penulis remaja yang sekarang
bermunculan. Baik dari kalangan anak-anak atau remaja yang ikut memeriahkan
dunia literasi. Tentu, ini merupakan berita baik yang perlu diapresiasi. Kehadiran
mereka di ranah literasi patut diacungi jempol karena mereka telah memberi
sumbangsih pada masyarakat dan generasi mendatang agar bisa membaca, demi
mengurangi jumlah penduduk yang buta aksara.
Namun, bermunculannya novel TeenLit dan para penulis diakui oleh pengarang dan praktisi perbukuan memang akan mengalami ‘persaingan’ yang kentara, melihat jumlah penulis yang makin banyak. Apalagi, tema yang mereka garap hampir serupa; tentang cinta dan lika-liku pergaulan dunia remaja.
Menurut Asma Nadia, salah seorang pengarang novel remaja, sejauh ini novel-novel TeenLit mayoritas memaparkan kehidupan remaja dan permasalahannya, tapi hanya sekadar potret. Mereka belum banyak yang memberi solusi yang mendidik. Padahal, menurut Asma Nadia, sebuah karya seharusnya bisa berfungsi lebih dari sekadar bacaan yang menghibur. Tapi, juga ada nilai-nilai yang ditawarkan serta memberi kontribusi yang kentara pada remaja.
Sementara dari para pengarang sendiri, Asma Nadia melihat belum ada yang jejak kepengarangannya kuat, atau yang punya gaung. Untuk itu, pengarang TeenLit harus berbenah jika memang ingin serius jadi pengarang. (Annida, 2007: 22)
TeenLit dan Royalti Penulis
Menulis selain sebagai salah satu bentuk ekspresi seorang
penulis, juga sebagai ‘lahan’ penghasilan yang diharapkan oleh semua penulis.
Tak heran, jika ada penulis yang sukses dan kaya raya dari hasil penjualan
buku-bukunya. Sebut saja JK Rowling yang kekayaannya konon melebihi kekayaan
Ratu Inggris, Elizabeth II. Berkah itu didapatnya dari serial novelnya Harry
Potter, yang berkisah tentang penyihir cilik. Padahal, sebelumnya Rowling
adalah perempuan yang terbilang miskin.
Namun,
tahun 1997 nasibnya berubah total ketika penerbit Inggris, Bloomsbury Press,
menerbitkan buku Harry Potter yang pertama, Harry Potter and The Philosopher’s
Stone (di Amerika terbit dengan Harry Potter and Sorcerer’s Stone). Bahkan,
seri kelima Harry Potter and The Order of the Phoenix, laris terjual pada hari
pertama diluncurkan. Meledaknya penjualan ini membuat buku itu dinobatkan
sebagai buku terlaris sepanjang masa. Cetakan pertama seri kelima ini, yang
berjumlah 8,5 juta eksemplar, sebagian besar dipesan sebelum naik cetak.
(Rahmadiyanti, 2004: 57).
Bagaimana Nasib Penulis-penulis di Indonesia?
Di negeri ini jumlah penerbit tak terhitung jumlahnya.
Namun, seringkali para penulis mengalami perlakuan yang ‘kurang baik’ dari
penerbit yang kurang bertanggung jawab dengan royalti yang harus mereka terima.
Memang, kualitas karya seorang penulis akan menentukan sukses tidaknya buku
mereka di pasaran. Jika karya mereka standar dan penjualannya di pasaran cukup
lambat, hasil yang didapat pun akan sedikit.
Tapi, bukankah sebelum karya mereka diterbitkan, penerbit lebih dulu memberi MoU yang harus dipelajari dan ditandantangani penulis? Yang berarti para penulis berhak dapat hak atau bayaran sesuai surat perjanjian. Baik dengan sistem royalti atau beli putus (lump sum) atas karya-karya yang diterbitkan.
Seorang pengarang novel remaja mengaku pernah mengalami pahit-getirnya berurusan dengan penerbit. Sebuah penerbit yang menerbitkan salah satu novelnya sama sekali belum memberi royalti yang harus dia terima. Padahal, bukunya sudah terbit dan beredar selama tiga tahun di pasaran.
Lalu, apa artinya surat perjanjian kontrak yang telah disepakati antara kedua belah pihak; penulis dan penerbit, jika hak-hak yang seharusnya diterima penulis tak juga ditunaikan? Ini setidaknya bisa jadi pelajaran bagi para penulis yang memang ingin serius terjun ke dunia penulisan, baik karya fiksi maupun nonfiksi. Mereka harus bisa selektif memilih penerbit yang hendak menerbitkan karya mereka. Jika tidak, penulis sendirilah yang akan rugi. Apalagi karya yang diterbitkan dapat respon positif dari pembaca sehingga menjadi karya yang best seller dan fenomenal seperti karya-karya Habiburrahman el-Syirazy atau Andrea Hirata.***
*) Untung Wahyudi, Pembina Sanggar Sastra Pesantren di Sumenep, Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar