Ni
Made Purnama Sari
Kompas, 14 Mei 2016
Kompas, 14 Mei 2016
Sejak akhir abad ke-19, hadirnya ruang-ruang sastra di
media massa cetak Indonesia telah membuka kemungkinan interaksi yang unik
antara penulis dan pembaca. Hubungan keduanya bukan hanya sekadar berkreasi dan
mengapresiasi, namun lebih jauh terbukti meregenerasi pengarang, yang muncul
justru dari pengalaman mencermati karya-karya yang dimuat pada koran atau
majalah. Kecenderungan ini pun mentradisi yang—sebagaimana kita tahu—turut
membentuk pergaulan kreatif dan karakter kesusastraan di negeri ini.
Maka,
ketika arus perubahan digital mulai mengepung, kita lantas mencemaskan,
setidak-tidaknya oleh publik sastra Indonesia, apakah mungkin suatu tradisi
susastra ini, yang memang telah melahirkan sederetan nama-nama cerpenis,
novelis, kritikus, serta penyair ternama kita, akan tetap bertahan?
Berikutnya
berlanjut pada pertanyaan: mungkinkah ruang-ruang digital, termasuk sosial
media di dalamnya, dengan segala kebebasan dan keterbukaan berekspresinya,
mampu merekahkan tulisan-tulisan sastrawi yang bernas dan berkualitas
sebagaimana selalu dijaga para redaktur media massa yang secara hati-hati
mengkurasi pemuatan karya para pengarang?
Diskusi
“Senjakala Ruang Sastra di Media” yang digelar di Gedung OLVEH, Jakarta (28/04)
membedah masalah-masalah tersebut. Keempat pembicara, antara lain Agus Noor
(sastrawan), Djenar Maesa Ayu (novelis), Putu Fajar Arcana (redaktur budaya
Kompas, sastrawan) dan Triyanto Triwikromo (cerpenis dan penyair yang juga
redaktur pelaksana Harian Suara Merdeka), dalam argumentasinya masing-masing
sepakat bahwa ruang sastra di media telah berpengaruh signifikan bagi
bersemainya budaya bersastra di Indonesia.
Sastra Koran vs Laman Digital?
Tatkala
peran media massa sebagai ruang berkarya sekaligus “patron” susastra terancam
oleh tutupnya halaman prosa, puisi maupun esai-kritik, sebagian dari khalayak
kita rupanya masih ragu-ragu memandang dunia digital sebagai wadah baru
penciptaan. Alam sosial media dan internet dipandang terlalu memberikan
“kemerdekaan”, di mana seseorang dapat dengan mudah memuatkan cerita ataupun
puisinya dalam aneka motivasi—meliputi di antaranya apa yang oleh Triyanto
disebut sebagai sastra-selfie, yakni sastra cenderung asyik-asyik sendiri.
Triyanto
mencermati bahwa seolah ada dikotomi antara media cetak dan digital. Pemuatan
karya cetak dipandang mencerminkan kualitas sementara postingan di sosial
media, blog, atau situs media online hanyalah sebagai media berekspresi—yang
nyaris tanpa kurasi. Dia menegaskan, perubahan menuju zaman digital tidaklah
terelakkan. Pengarang, tambahnya selaras dengan pendapat Djenar, harus berani
masuk ke dalam dunia baru ini seraya secara kreatif memanfaatkan kemungkinan
intertekstualitas tak tepermanai.
Pandangan
Triyanto bukannya tanpa alasan. Berbeda dengan laman internet, frekuensi
pemuatan karya di ruang sastra media massa memang terbatas. Terbit seminggu
sekali dengan maksimal 52 edisi dalam setahun menimbulkan kompetisi tingkat
tinggi. Tulisan yang berhasil lolos tak ayal dianggap sebagai kelas tersendiri,
yang oleh Agus Noor dinilai sebagai semacam legitimasi kehadiran seseorang
sebagai sastrawan—kendati Putu Fajar Arcana kemudian mengingatkan, bahwa
keberadaan ruang sastra di sebagian besar surat kabar setiap hari Minggu
awalnya adalah memberikan nuansa berbeda dari pemberitaan koran yang
menyampaikan fakta-fakta setiap harinya.
Ruang
sastra di koran mulai dianggap serius justru akibat kian redupnya
majalah-majalah yang memuat sastra dan budaya, sebut saja Poedjangga Baroe,
Budaya, Prosa, termasuk Horison. “Apalagi ketika Kompas menerbitkan buku Cerpen
Pilihan Kompas tahun 1992, sastra koran tidak bisa lagi dianggap sepele.
Pertumbuhan dan perkembangan sastra dilihat dari koran-koran,” tambah Putu
Fajar Arcana.
Bila
penulis berebut laman pemuatan, maka ruang-ruang sastra di media belakangan
berkompetisi dengan berita, atau bahkan promosi iklan. Kepentingan finansial
acap menjadi pertimbangan atas pengurangan halaman sastra, sebagaimana
pengalaman Triyanto dalam mengelola Harian Suara Merdeka. Dari yang semula
bertujuan memberikan selingan mingguan, halaman sastra kemudian terancam
ditiadakan lantaran tidak signifikan membuahkan iklan—yang membuat beberapa
koran terpaksa bernegoisasi mengubah waktu terbit bagi kolom puisi maupun
prosa. Lainnya bahkan harus menutup halaman sastranya, atau berhenti
melanjutkan terbitan medianya sebagaimana yang terjadi pada Sinar Harapan belum
lama kemarin.
Menyaksikan
semua ini, senjakala ruang sastra di media massa sungguhkah memang seakan suatu
keniscayaan: tradisi kepengarangan yang tergerus akibat perubahan di segala
lini?
Masalah Sastra
Ekspresi
dan apresiasi atas kebahasaan, khususnya kesusastraan di media massa, belumlah
panjang umurnya dan itu pun terjadi dalam konteks yang seolah patah-tumbuh
hilang-berganti: dari satu surat kabar ke koran lain, dari sebuah majalah ke
terbitan berikutnya. Keberadaan ruang-ruang sastra selama ini tidak berjalan
berkesinambungan atau secara kontinyu lagi konsisten memberikan ruang sastra
demi menghargai capaian karya penulis-penulis kita, yang selama bertahun-tahun
terus bersetia berkarya.
Baik
Triyanto maupun Fajar Arcana sama-sama menegaskan bahwa kelangsungan
ruang-ruang sastra di media sangat bergantung pada sosok-sosok sastrawan
pengampunya, yang secara ideologis menumbuhkan semangat bersastra kepada lapis
penerusnya atas nama kesadaran literasi. “Ruang sastra hampir tidak pernah
menjadi keputusan sistemik dari sebuah penerbitan umum,” ujar Fajar Arcana.
Peran
utama ruang sastra di media dalam melestarikan budaya literasi memang tidak
terbantahkan. Kehadirannya tetap perlu dipertahankan bukan semata atas
pertimbangan kesejarahan ataupun tradisi interaksi penulis dan pembaca,
melainkan lebih sebagai daya dukung sekaligus perjuangan bahwa sastra masih
dipandang penting maknanya.
Dalam
dunia kini yang menawarkan kemudahan secara segera, ringkas dan hampir serba
‘instan’, seyogyanya media massa tetap tampil sebagai lembaga yang benar-benar
menghargai intensitas kebahasaan dalam aneka wujud pengungkapannya, termasuk di
dalamnya susastra. Apalagi kiranya semangat dan hakikat idealisme susastra
dengan esensi media massa tidaklah berseberangan, sebagaimana pendapat
Adinegoro sang pionir jurnalistik, bahwa berita merupakan pernyataan
antarmanusia yang dikabarkan seluas-luasnya demi aneka tujuan penting bagi
masyarakat. Keduanya terbukti dapat saling menyempurnakan, seperti yang
dicerminkan dalam penganugerahan Nobel Sastra 2015 kepada penulis perempuan
Svetlana Alexievich atas karya-karyanya yang menuturkan kenyataan penuh empati,
paduan antara jurnalisme dan sastrawi.
Selanjutnya,
persoalan senjakala ruang-ruang sastra di media massa jangan hanya berhenti
menjadi permasalahan publik sastra semata. Sebab tentulah kita sama memahami,
bahwa upaya memuliakan bahasa melalui susastra sejalan pula dengan niatan kita
dalam merawat nilai-nilai besar dan esensial, sebutlah kemanusiaan, kebangsaan,
kebudayaan atau bahkan keberpihakan kepada yang terpinggirkan—suatu hal yang
senantiasa hidup penuh harap dalam diri setiap manusia, sebuah impian yang
dipersembahkan menjadi karya, entah apapun wujudnya. Sastra, dengan ekspresinya
yang bebas, mencerminkan tradisi panjang nusantara yang telah teruji, dan
menyiratkan amanat hati nurani rakyat, adalah salah satunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar