Kamis, 03 Januari 2019

Menyelami Jiwa Asia

Raudal Tanjung Banua *
Kompas, 22 Des 2018

Pelepasan burung merpati membuka flasmob kampanye cinta budaya "Tunjukkan IndonesiaMu" yang diikuti oleh 2000 penari dengan mengenakan kain tradisional Indonesia di jalan protokol Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta saat hari bebas kendaraan bermotor, Minggu (12/8/2018). Kegiatan yang digagas oleh Yayasan Belantara Budaya Indonesia ini dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 serta menyambut pesta olahraga Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.

Puisi merupakan cahaya hati, kata Xiang Yang, mengawali ceramahnya tentang sastra post-kolonial Taiwan. Penyair 70 tahun itu kemudian dengan penuh gairah menceritakan masa kecilnya di Nanto, Taiwan tengah. Waktu itu ia tinggal di kebun teh dekat kantor sebuah penerbit lokal.

Ia, sebagaimana orang Taiwan lainnya, sangat suka minum teh apalagi saat membaca. Keduanya didapatkan Xiang: teh terbaik dan buku-buku dari penerbit dekat rumah. "Jadi, saya hidup dengan buku dan teh sejak dulu, dari mana saya mulai menulis puisi lokal Taiwan."

Pernyataan dan kenangan itu bagi sebagian pihak mungkin kelewat datar dan romantik di tengah gencarnya wacana yang dianggap lebih progresif. Namun, pada Asian Poetry Festival 2018 yang diselenggarakan Qi Dong Poetry Salon, Taipei, 28 September-1 Oktober, hal-hal nostalgia dapat tempat—layak dicatat—baik dari kuliah umum, diskusi, maupun pembacaan puisi. Penyair Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Thailand, Indonesia, China, Hong Kong, Makau, dan Taiwan bersama melihat Asia yang berubah sambil menimbang nilai-nilai tradisinya.

Oleh karena itu, saat Xiang menceritakan proses kepenyairannya, hakikatnya ia membongkar tradisi kesusastraan Taiwan yang sempat retak. Bagaimana tidak. Ketika ia mulai kuliah di Taipei, kegemarannya menulis puisi tradisional terpaksa dihentikan.

Pemerintah Jepang yang kala itu menguasai Taiwan melarang penggunaan bahasa Taiwan. Seiring dengan itu, sastra klasik China mulai ditinggalkan dan orang lebih tertarik pada sastra Eropa.

Namun, Xiang mengambil napas sastra China klasik. Ia menulis pantun 10 baris yang merupakan karakteristik pantun China klasik. Padahal, ia menulis dalam bahasa Taiwan, tepatnya bahasa lokal yang dekat dengan bahasa Hokkian.

Karyanya dipublikasikan di surat kabar dan ia mulai menerjemahkan karya sastrawan Taiwan yang dipaksa menulis dalam bahasa dan aksara Jepang. Uniknya, ia menerjemahkan dengan pelafalan bahasa Taiwan— sebuah penyusupan!

Pelarangan dan pergulatan

Saat Jepang kalah, giliran bahasa dan aksara Jepang yang dilarang Kuomintang! Muncul masa vakum mengguncang jagat nilai dan orientasi sastrawan Taiwan; mau ke mana kita, mau apa kita? Saat itulah datang sastrawan China Daratan yang menulis dalam bahasa Taiwan dialek Hokkian.

Kini sastra Taiwan-Hokkian mulai diapresiasi, tetapi sudah banyak yang tak bisa membaca dan menulisnya lagi, apalagi bahasa "pribumi" dialek lokal. Jadi, semuanya akhirnya menulis dalam bahasa Mandarin.

"Saya kembali menulis dalam bahasa Taiwan meski tak lagi dimuat koran," kata Xiang. Ia mengubah strategi dengan mendatangi publik sastra. Dari situ ia dapat masukan berharga, misalnya, karyanya periode 1975-1985 memuat versi Taiwanis dan Mandarin.

Kalau dibaca terpisah, seperti tak ada maknanya. Namun, jika disatukan, akan saling menjelaskan. Ia banyak memakai tanda kotak untuk menggambarkan keadaan kacau dan kosong—situasi post-kolonial!

Selain Xiang Yang, penyair Korea Selatan, Park Hyu-soo, juga bicara hal-hal romantik dan konvensional. Guru Besar Kyungpook National University itu membahas puisi dari kehidupan keluarga dan situasi rumah tangganya. Tema lecture-nya mengarah pada yang lampau tetapi akrab: puisi modern Korea dari perspektif tradisional!

Pembicaraan semacam ini tak terelakkan di tengah bangsa-bangsa Asia Raya menghadapi globalitas-lokalitas, Timur-Barat, dan soal-soal lain identitas.

Bayangkanlah Makau dan Hong Kong yang megapolis, ternyata juga berurusan dengan identitas dan nilai tradisional. Lu Ao Lei, penyair Makau, menceritakan betapa sengitnya proses penyatuan tanah kelahirannya dengan Republik Rakyat China—setelah begitu lama di bawah Portugis. Waktu itu banyak lahir puisi yang mempertanyakan identitas. Ia ikut menulis tema mainstream tersebut.

"Aneka budaya berbaur di Makau, tetapi kami ingin melihat budaya sendiri. Maka, setelah bersatu dengan China, kami juga menyatu dengan tradisi kami," kata Lei.

Hal sama diceritakan penyair Hong Kong, Chen Mie. Menurut dia, kosmopolitanisme Hong Kong mendorong hasrat warga menggali nilai tradisional. Puncaknya pada masa transisi saat Inggris menyerahkan Hong Kong kepada China.

Waktu itu, puisi penyair Hong Kong sangat laris karena mewakili pertanyaan tentang identitas. Sayangnya, puisi-puisi yang laku keras itu tak boleh lagi dicetak ulang oleh pemerintahan yang baru. "Waktu itu saya menggunakan setting dan pola bursa saham yang penuh ironi dalam puisi. Itu menggambarkan dinamika Hong Kong yang sebenarnya," kata Chen Mie.

Nilai tradisional juga kuat di Jepang, tetapi, menurut Wago Ryoichi, modernitas juga menguat. "Kami berjuang menyeimbangkannya," kata penyair peraih Chuya Nakahara Prize ini.

Tema kecil, tradisi kecil

Di sisi lain, China muncul sebagai kekuatan dunia sembari "mengakuisisi" wilayahnya yang "hilang": Makau, Hong Kong, serta tarik ulur dengan Taiwan. Upaya itu menimbulkan guncangan identitas.

Beijing berkepentingan menanamkan nilai-nilai mereka yang dianggap lebih patriotik, heroik, dan revolusioner. Tetapi bukannya tanpa perlawanan.

Para penyair Taiwan kembali mempelajari bahasa dan sastra lokal, menggubah syair klasik, serta menyanyikan lagu-lagu rakyat, terutama di kalangan etnik Amis yang bertalenta musikal (semacam Batak dan Ambon di sini). Makau dan Hong Kong, seperti disinggung di atas, merasa punya tradisi sendiri yang berkorelasi langsung dengan jiwa Asia.

Sementara di China sendiri penyairnya malah meresapi tema- tema kecil tanpa pretensi menguasai dunia. Yu Xiu Hua, penyair perempuan China yang bukunya paling laris dewasa ini, memutuskan tinggal di desa. Ia menjaga asa pada "oksigen dan air yang lebih baik serta bunga-bunga otentik".

Xiu yang menderita gangguan saraf motorik—membuatnya sulit bicara—mendapat ketenangan menulis tentang kesepian, upaya mengatasi kesulitan, cinta dan harapan dalam setidaknya lima buku puisi yang terjual 200.000- 400.000 eksemplar.

"Cinta adalah keinginan memiliki, sedangkan perasaan upaya mengidentifikasi diri," ia mengomentari ketegangan kultural China secara simbolik; cinta kami pada sesuatu, membuat kami lupa menimbang perasaan! Artinya, keinginan China memiliki sesuatu (katakanlah dalam politik kebudayaan) kadang tanpa upaya mengidentifikasi diri secara obyektif.

Zakariya Amataya asal Patani memilih menulis puisi dalam bahasa Thai. Ia melawan arus sejawatnya yang menulis dalam bahasa Melayu. "Saya realistis. Bahasa Thai adalah bahasa nasional kami, tetapi tradisi bahasa ibu ikut mewarnai puisi-puisi saya," katanya.

Indonesia juga punya bahasa ibu berbeda-beda, tetapi para penyair memilih bahasa nasionalnya untuk berkiprah. "Bagaimana Anda memosisikan bahasa ibu di antara bahasa nasional dalam penciptaan?" kata Chu Kuo- chen, moderator diskusi, kepada saya.

Maka, saya bercerita perihal bahasa lingua-franca, eksistensi bahasa daerah, tradisi rantau Minangkabau, proses kreatif saya di Sanggar Minum Kopi Bali, serta cara saya menghikmati tradisi silaturahmi di Yogyakarta.

"Upaya merengkuh tradisi besar warisan leluhur penting, tetapi mencipta tradisi-tradisi kecil juga penting. Itu adil buat menyikapi perubahan," kata saya yakin.

Penyair Vietnam, Tran Le Son Y, hidup dalam penyatuan dua kutub, Utara dan Selatan, negerinya yang dulu berbeda ideologi. Namun, lebih dari itu ia berhadapan dengan tradisi masyarakatnya yang menempatkan perempuan sebagai subordinasi.

"Saya melihat sendiri seorang perempuan memayungi suaminya yang mabuk dalam hujan di tengah jalan sebab ia tak kuat mengangkatnya. Ia menunggu sampai si suami siuman," katanya seolah adegan film.

Maklum Tran mantan jurnalis yang telah berkeliling Vietnam. "Apakah nilai agung Asia hanya sebuah keniscayaan?" ia melempar sebuah pertanyaan.

Pertanyaan Tran Le Son ataupun pernyataan Xiang Yang merepresentasikan jiwa Asia yang sebenarnya: ketenangan paradoksal. Ketika nilai-nilai luhur dianggap muncul dari Timur, di situ ada gunung es menutup realitas menyedihkan seperti di Vietnam, juga Indonesia.

Ada jejak-jejak buram pelarangan seperti di Taiwan. Ada kekuatan politik China yang membuat Makau, Hong Kong, dan terutama Taiwan harus menangkisnya dengan indah.

Barangkali untuk mencairkan hal-hal paradoksal inilah Asian Poetry Festival digelar dengan dukungan Departemen Kebudayaan Taiwan. Ian Lan, salah seorang penggagas festival, hanya tersenyum waktu saya tanya.

Agaknya ia sadar, dalam empat kali penyelenggaraan, baru Asia Timur dan Asia Tenggara yang terakomodasi. "Kami berusaha menyempurnakannya," kata Ian optimistis.

*) Penyair Tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar