Minggu, 20 Januari 2019

Persatuan Indonesia

Sanusi Pane

Dalam karangan “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru dalam Pujangga Baru”, yang dikutip juga dalam Suara Umum ini, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana membagi sejarah kita dalam dua bagian, zaman pra-Indonesia, sampai akhir abad ke-19, dan zaman Indonesia, yakni setelah masa itu. Zaman Indonesia tidak dapat dianggap kelanjutan atau terusan zaman pra-Indonesia.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana rupanya tidak cukup menunjukkan kenyataan bahwa sejarah adalah rangkaian waktu yang timbul dari waktu sebelumnya. Zaman sekarang ialah kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang baru sama sekali. Hal yang demikian itu sama dengan mengadakan barang dari yang tidak ada.

Dalil di atas itu berlaku dalam semua bidang kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Dalam bidang ekonomi kita tidak usah pergi kepada Karl Marx untuk mengetahui bahwa susunan ekonomi senantiasa merupakan kelanjutan atau terusan yang sebelumnya. Kelanjutan itu tampak dalam banyak hal, bahkan dalam lawan yang menggantikannya. Namun kita tidak usah menganut Hegel, supaya tahu bahwa antara antitesis dengan tesis ada hubungan sejarah sehingga boleh dipakai kata kelanjutan.

Demikian pula halnya dalam ranah sosial.

Dalam ranah budaya, ambil saja Pujangga Baru sebagai contoh. Kalau tidak ada Pujangga Lama, tidak mungkin timbul Pujangga Baru. Memang Pujangga Baru bertentangan dalam banyak hal, tetapi pertentangan itu membuahkan kelanjutan.

Antara anak pedati yang berpantun di dalam hati dengan Sutan Takdir Alisjahbana ada pertalian sejarah.

Bentuk jiwa kita sekarang bukan baru dalam segala-galanya. Kita tidak perlu pergi kepada Jung untuk mengetahui bahwa kita mewarisi pengalaman nenek moyang kita.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana menyebut bahwa dalam zaman Majapahit, Diponegoro, dan Teungku Umar, belum ada keindonesiaan.

Pikiran ini kurang benar menurut pendapat kami. Keindonesiaan pada waktu itu pun sudah ada, keindonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya bangsa Indonesia belum muncul, orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa. Sungguh boleh disebut ada imperialisme Sriwijaya, Majapahit, Mataram, tetapi hal itu tidak bertentangan dengan keindonesiaan. Di Belanda pun ada pertentangan, ada hegemoni daerah (lebih) dulu, tetapi siapa dapat menyangkal bahwa kebangsaan Belanda yang sekarang pada waktu itu sudah ada dan hanya menanti pengakuan yang wujud?

Kebangsaan Indonesia sudah ada semenjak dahulu kala. Sekarang dirasakan dan diwujudkan.

Dengan demikian, nyata kesalahan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dalam caranya mengemukakan masalah.

Sebaliknya, ia seharusnya berkata: Bagaimanakah kita harus memperbarui kebudayaan kita sehingga sesuai dengan perasaan kebangsaan sekarang?

Tentu kita harus mengakui bahwa setiap daerah berbeda kemajuannya dalam lembaga, adat, seni, dan sebagainya. Walaupun pada dasarnya sama, kita tidak pernah mengatakan bahwa kita sanggup membangun kebudayaan yang baru sama sekali, yang tidak berhubungan dengan masa silam. Kebudayaan yang ”baru” itu bersendikan kebudayaan ”lama”.

Tentang bentuk kebudayaan baru dan cara membangunnya itulah yang dapat menimbulkan perselisihan paham. Dan di sinilah letak soal yang harus diperbincangkan.

Kita harus berdiri pada sendi ini, supaya pembicaraan tidak kisruh, supaya kita saling mengerti.

Singkatnya, kita menolak visi sejarah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, pandangannya tentang sejarah. Sekarang kita membicarakan kebudayaan baru.

Dasar pendapat Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ialah kita harus belajar pada Barat.

Di benua Barat, orang terpaksa berjuang menaklukkan kekuatan alam untuk mempertahankan diri. Di sana agaknya harus demikian sehingga orang harus menggunakan dan menambah kekuatannya.

Dengan demikian, timbul materialisme, yakni orang mengutamakan jasmani, dan lahir intelektualisme dan pengetahuan praktis karena orang terpaksa menyempurnakan akal.

Dalam susunan yang mementingkan keselamatan tubuh jasmani itu tumbuh dengan sendirinya individualisme: orang mementingkan diri sendiri.

Kebudayaan Barat berkembang atas dasar materialisme, intelektualisme, dan individualisme itu. Ekonominya berkembang, melahirkan industri, perdagangan, dan imperialisme dalam bentuk modern. Pengetahuannya kian hari kian maju. Individualisme menimbulkan persaingan yang tidak terbatas dalam sektor ekonomi dan sosial. Dalam seni berwujud l’art pour l’art, seni untuk seni.

Setelah benua Barat menyempurnakan ketiga senjata itu, kenyataan menuntut perlu diwujudkan asas yang baru, organisasi yang menjaga agar dalam lingkup kebudayaan berlaku keadilan dalam segala lapangan kehidupan. Barat telah sanggup mempertahankan diri, menyelamatkan tubuh jasmani. Ia hanya belum berusaha, agar tiap orang selamat sejahtera.

Ibarat orang yang mencari makanan. Makanan sudah cukup tapi membagikannya belum adil sehingga ada orang yang berlebihan dan ada yang kelaparan.

Begitulah keadaan benua Barat pada masa sekarang. Bagaimana di Timur?

Di Timur, lebih baik: India Raya, orang tidak usah berusaha keras mempertahankan diri, mencari jalan menaklukkan alam, sebab alam tidak begitu ganas seperti di Barat.

Materialisme, intelektualisme, dan individualisme boleh dibilang tidak terlalu penting. Orang tidak terpaksa benar menceraikan dirinya dari alam yang harus dilawan.

Manusia justru merasa dirinya menyatu dengan alam sekelilingnya.

Pengetahuan praktis tidak muncul. Teknik tak seberapa maju. Begitu pula ekonomi.

Di atas kita mengatakan: tidak terlalu penting, tidak terlalu terpaksa benar, dan sebagainya.

Keperluan dan paksaan mempertahankan diri serta menentang alam memang ada. Karena itulah mungkin kemajuan dalam budaya di Timur perbedaannya bertingkat-tingkat. Namun, meskipun ada tingkatan itu, semua bangsa di Timur mampu mencapai tingkat yang setinggi-tingginya, kalau seandainya mengikuti jalannya sendiri. Tingkat tertinggi itu ada di lapisan teratas dalam kebudayaan di India dan di Indonesia, yaitu lapisan yang berpusatkan kesunyatan, mistik, manusia bersatu dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya dan membersihkan jiwanya.

Sampai di sini kita membicarakan sejarah yang diikuti oleh Barat dan Timur secara sendiri-sendiri dan kini muncul pertanyaan: adakah garis yang harus dan dapat diikuti oleh seluruh dunia?

Manusia mempunyai tubuh dan jiwa. Karena itu keperluannya pun dua macam, yaitu lahir dan batin. Kewajibannya dua pula, yaitu memelihara dan menyempurnakan kehidupan tubuh jiwanya. Agar mampu melakukan kewajiban itu, ia harus memakai dan menyempurnakan akal.

Barat, sebagaimana kita lihat, mengutamakan jasmani, akibatnya lupa pada jiwa. Akalnya dipakai untuk menaklukkan kekuatan alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwa asalkan menguasai jasmani.

Timur lebih mementingkan rohani sehingga lupa pada jasmani. Akal dipakainya untuk mencari jalan menyatukan diri dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.

Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dengan Arjuna. Memadukan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme.

Asas dan persatuan itu harus kelihatan dalam segala sendi kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, seni, dan pengetahuan.

Maka tidak boleh tidak perbedaan bentuk antara semua bangsa tentu tetap ada karena pengaruh masalah hawa nafsu dan tempat, meskipun pada dasarnya sama.

Ke arah itulah kita di Indonesia ini harus menuju, jadi memperkaya (bukan mengubah) dasar kebudayaan kita.

Hal itu perlu, bukan saja karena hendak mengikuti ukuran yang lepas dari perbedaan daerah dan zaman, yang absolut, tetapi karena paksaan kekinian juga.

Dengan demikian sudah jelas arti kebudayaan Barat bagi kita. Sekarang perlu dijelaskan landasan Indonesia yang harus diperluas itu.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana terus melihat perbedaan daerah dan isme kesukuan.

Di atas telah diuraikan bahwa asas kebudayaan di sini satu. Atas asas yang satu itu daerah-daerah di Indonesia memiliki sejarahnya masing-masing. Adakalanya terjadi pertukaran unsur, karena ada kerajaan yang meluaskan kekuasaannya atau karena hal lain.

Ada negeri yang erat dengan negeri lain, ada daerah yang tidak seberapa hubungannya dengan daerah asing.

Ringkasnya: pada asas yang satu itu tidak sama kemajuannya dan pesatnya (tempo) kebudayaan berkembang di masing-masing daerah sehingga sekarang ada perbedaan daerah.

Kewajiban kita ialah memetik manfaat yang sebaik-baiknya yang sesuai dengan zaman sekarang dan masa yang akan datang, dari semua hasil kemajuan yang tersebut itu dan membuatnya jadi dasar Indonesia Raya (yang harus diperluas dengan asas Barat).

Dasar dalam kalimat itu tidak bertentangan dengan asas yang disebut sebelumnya, karena unsur yang dimaksud itu ialah hasil kemajuan asas yang terdahulu sehingga tidak bisa dikatakan dasarnya berubah.

Dalam mengambil unsur itu perlu pengetahuan yang luas tentang Indonesia keseluruhan dan perasaan yang terdalam tentang kebudayaan. Harus jauh dari semua rasa kedaerahan, yaitu perasaan yang timbul dari kepicikan pengetahuan tentang kebudayaan yang ada di sini dahulu dan sekarang, serta harus bisa memahami tuntutan zaman.

Maka tidak dapat disangkal tidak banyak orang yang sanggup melakukan pekerjaan itu sebagaimana mestinya. Masih banyak yang bersemangat kedaerahan dalam menjalankan kewajiban itu.

Oleh karena itu, karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana itu besar nilainya, karena menyuluhinya dengan terang. Makna karangan itu berjasa sebagai penentang semangat kedaerahan.

Suara Umum nomor 276, 4 September 1935

Sepilihan Esai & Kritik Sastra,
Copyright © Pusat Pembinaan,
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6,
KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA,
Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar