Putu Fajar Arcana
Kompas, 12 April 2015
Sastra yang menyalin realitas cuma akan menghasilkan karya yang buruk. Karya-karya itu tak akan mampu hidup selamanya dalam ingatan sejarah. Ia lahir secara menggebu-gebu untuk kemudian tenggelam dan dilupakan. Tak ada kenangan, apalagi pelajaran hidup.
Penemuan teknologi digital dalam banyak segi mempermudah hidup manusia, tetapi ia juga menghasilkan sampah berupa karya-karya yang instan. Para penulis diburu keinginan menulis sebanyak-banyaknya untuk memenuhi selera massa, kalau tidak boleh disebut pasar. Dan karena itulah, ia bekerja secara kejar tayang.
Sastrawan Budi Darma (78) beranggapan pengarang yang baik harus mampu mengendapkan dan merenungkan realitas di sekitar hidupnya. Hanya dengan cara begitu, karya-karya yang baik dan menukik bisa lahir. Karya-karya yang kini bertaburan di banyak media, akibat kemudahan teknologi, hanyalah serpih-serpih yang segera akan dilupakan.
”Mungkin ada karya yang serius, tetapi itu (menunggu) seleksi alam,” kata guru besar Universitas Negeri Surabaya itu (Unesa), awal Maret 2015 lalu di Surabaya.
Dalam usia, yang menurut dia tak bisa dimudakan lagi meski dibaca secara terbalik ini, Budi Darma tetap menjadi pengarang dan peneliti yang tekun dan santun terhadap profesinya. Novelnya Olenka (1980) mengejutkan jagat kebudayaan (sastra) Indonesia karena cara pandang dan kedalamannya yang unik. Kumpulan cerpennya Orang-orang Bloomington (1980) dinilai memiliki cara pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan yang orisinal. Olenka meraih juara pertama Sayembara Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta dan Orang-orang Bloomington meraih Southeast Asian Write Award dari Pemerintah Kerajaan Thailand.
”Kalau kita ketemu nanti, saya tidak bisa menjemput Anda karena mobil dipakai menjemput cucu,” tulis Budi Darma lewat pesan singkat. Pesan itu saya pahami sebagai perhitungannya yang begitu detail terhadap berbagai hal.
”Wartawan yang harus mendatangi Anda sebagai narasumber terhomat,” balas saya. Budi Darma lalu menyatakan terima kasih. Kami akhirnya bertemu sebagai dua kawan diskusi. Saya menghormatinya sebagai penulis besar dan hebat serta dosen yang terkenal disiplin, tetapi selalu bersikap rendah hati, serta memperlakukan semua orang secara setara.
Apa yang membuat Anda selalu kelihatan tangguh?
Wah, ya, ndak tahu, ya. Begini. Tanggal 25 April nanti usia saya 78. Sebelum (mencapai) 77 saya bisa bohong. Misalnya 76 bilang 67, 73 bilangnya 37. Sekarang ndak bisa, kalau dibalik jadi tambah tua, ha-ha-ha….
Bagaimana cara Anda menjaga mood kepengarangan, pada usia sepuh masih produktif menulis?
Setiap hari saya ikuti berita di koran, televisi, sehingga pengetahuan saya up to date. Saya usahakan jangan ketinggalan zaman. (Sampai kini Budi Darma masih menulis cerita pendek. Cerita pendeknya ”Lelaki Pemanggul Goni” bahkan dinobatkan sebagai karya terbaik dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013).
Apa yang merisaukan Anda dalam pertumbuhan sastra kita?
Sastra kita terus ditulis. Dunia digital telah membawa sastra ke arah yang belum pernah dicapai sebelumnya. Pada hakikatnya semua bisa dianggap sastra, hanya mana yang bisa dimasukkan kanon (mahakarya) mana yang tidak. Sastra digital kebanyakan tanpa renungan, seperti juga kalau kita baca di Facebook, lebih banyak instan daripada pengendapan pemikiran.
Katakanlah kalau era kertas (buku) ini hilang, bisakah karya-karya yang ditulis pada media digital itu kita harapkan jadi karya sastra yang baik?
Bisa aja, tapi nanti ada seleksi alam. Selain itu banyak juga penulis kita sekarang yang kejar tayang. Mereka menargetkan berapa banyak akan menulis karya.
Apakah karya-karya macam ini akan ada gunanya?
Ini pertanyaan sukar. Sebab, kebanyakan penulis itu, kan, menulis tanpa mempertimbangkan kontrol (orang lain), semua dinilai oleh diri sendiri. Apakah ini ada sumbangannya? Kemungkinan sumbangannya pada literasi. Itu semacam kemampuan menulis dan membaca, tetapi belum tentu menulis sastra. Setidaknya literasi memicu orang untuk berkarya.
(Budi Darma berpikir bahwa tingkat pencapaian literasi satu bangsa akan memengaruhi kemajuan dari bangsa itu sendiri. Sastra digital harusnya menjadi pendorong tingkat literasi di Tanah Air. Tetapi karena sifatnya yang cepat dan instan, sastra jenis ini mudah hilang. Walau ia tetap mengakui bahwa dunia sastra dan filsafat adalah dunia pemikiran yang selalu didatangi orang-orang yang serius. Gerakan-gerakan dalam berbagai bidang tidak pernah dimulai oleh massa, tetapi selalu diawali oleh para pemikirnya).
Jika begitu kita membutuhkan peran kritikus yang lebih aktif?
Begini. Untuk menjadi kritikus yang menghasilkan kritik yang baik, orang harus punya wawasan yang luas. Sekarang pendidikan di mana-mana maju sehingga boleh dikatakan kritikus itu di mana-mana sama mutunya. Kalau mutunya sama, kalau itu misalnya perempuan ya cantik semua, maka tidak ada yang cantik. Kritikus itu sama, kalau kritikus itu sama mutunya atau sama bodohnya, maka tidak ada kritikus yang baik. Kritik sastra kita tidak berkembang, yang ada kritik formal dan kaku di kampus-kampus.
Apa kritik sastra masih dibutuhkan, ketika karya-karya yang lahir instan dan kejar tayang di media berbasis internet itu tidak butuh lagi redaktur koran, editor buku, kurator, atau penyeleksi lainnya?
Kalau kita bicara seleksi alam tadi, kritikus masih tetap dibutuhkan. Gambarannya, Shakespeare pernah bilang, ”Kuda yang bagus tidak mau ditunggangi oleh penunggang yang tidak bagus.” Jadi kalau ada karya yang bagus nanti ada kritikus yang bagus juga. Nah, siapa kritikus Indonesia? Sekarang kita belum tahu karena sama pandai dan sama bodohnya. Tak ada yang menonjol karena semua menonjol, lalu semua jadi tidak menonjol.
Menurut Anda, karya yang baik itu seperti apa, sih?
Prinsip karya yang baik, tidak langsung menggambarkan realitas. Kita bisa lihat, misalnya, sastra Indonesia di masa awal seperti Balai Pustaka dan Pujangga Baru, ditulis di masa kita terjajah. Penulisnya tidak menggembar-gemborkan nasionalisme. Andai kata mereka menggembar-gemborkan nasionalisme, yang dekat dengan situasi zaman itu, mungkin sastra kita dilupakan. Yang kita tangkap, kan, seolah-olah para sastrawan kita waktu itu tidak nasionalis. Pada akhirnya sastra yang bisa bertahan terus adalah karya yang seolah-olah tidak mencerminkan masyarakatnya. Seperti juga pemikiran mengenai nasionalisme di masa penjajahan dulu.
Apakah itu tidak berarti sastra terlambat merespons realitas di sekitarnya sehingga tidak bisa dijadikan pedoman nilai?
Ini lagi pertanyaan sukar. Sebab ini kita sudah memasuki area setengah abstrak. Bagaimanapun juga kalau karya sastra itu benar-benar gambarkan realitas, itu biasanya kurang baik karena sekadar mengalihkan. Dan itu artinya kurang pengendapan dan perenungan. Menulis itu seperti puncak gunung es, ia bisa dikerjakan cepat, tetapi telah melalui perenungan dan pengendapan yang panjang. Nanti pembaca bisa rasakan lewat teks, apakah itu pengendapan atau perenungan yang baik. Itu berarti pembaca yang baik.
Menurut Anda apa sumbangan dunia sastra terhadap peradaban manusia?
Berekspresi adalah naluri manusia. Kita tidak mungkin mematikan sastra sebab itu bagian dari ekspresi manusia. Apalagi belakangan banyak orang ingin jadi bagian dari dunia global. Lihat saja alamat e-mail, ada yang pakai huruf-huruf seolah dia berada di luar negeri. Para pengarang memajang foto sampul buku dan pemandangan di luar negeri. Itu bukan hanya ingin jadi bagian dunia global, tetapi semacam ketakutan ditinggalkan.
Pembiaran
Dalam persepsi Anda apa hal terpenting yang pantas dicatat dalam dunia sastra kita?
Sastra kita umumnya lemah dalam psikologi. Sastra kita selalu datar dalam menggambarkan konflik. Kalau sastra itu psikologinya kuat, berarti konfliknya dilematis. Ini sudah sering dibicarakan karena berkaitan dengan kultur masyarakat. Di Amerika dan Inggris banyak dari kita dapat pertanyaan, kenapa konflik psikologi sastra kita kurang kuat. Tetapi di Tiongkok tidak ada pertanyaan itu.
Apakah ketika pengarang bekerja selalu berkaitan dengan kulturnya?
Ya. Ya kalau dalam budaya tidak ada konflik, karyanya kurang baik. Sebab bagaimanapun juga kita, kan, punya kata-kata selaras dan seimbang sehingga itu yang membuat kita cenderung menghindari konflik. Maka akan banyak masalah yang tak terselesaikan. Sering begitu di Indonesia, masalah-masalah terbiarkan…. Bagaimana ujungnya kita tidak tahu….
Kalau sekarang banyak masalah negara dan rakyat yang terbiarkan itu, apa karena faktor kultural?
Kadang-kadang kita bertanya, kebudayaan itu menentukan apa? Kalau di Indonesia umumnya karena faktor alam dan lingkungan yang tentukan (corak) kebudayaan sehingga pada umumnya kita santai. Memang sekarang beda dengan dulu, di mana orang bisa tidur siang. Sekarang orang tampak lebih sibuk dan itu karena pengaruh masyarakat global….
Apa, sih, biang keroknya?
Walau sudah jadi bagian dari masyarakat modern, kita masih mewarisi secara tidak sadar feodalisme. Coba kita lihat ke kantor-kantor, itu kan feodalismenya masih ada. Di perguruan tinggi, orang-orang yang jadi dosen itu orang-orang yang tunduk, yang bukan vokal, yang nurut.
Berpikir kritis itu sudah dimatikan dari awal, maksud Anda?
Ya. Karena itu, anak-anak muda cenderung banyak pindah kerja. Mereka cari pengalaman baru yang tidak terikat sistem feodal. Meski mereka tidak sadari, mereka tidak mau menurut.
Apa hal-hal seperti konflik ini tecermin dalam sastra kita?
Kalau kita lihat karya Pramoedya (Ananta Toer) konfliknya bagus. Tetapi itu karena ia ceritakan masa penjajahan, yang musuhnya jelas. Sekarang kita tidak (sedang) dijajah, musuhnya diri kita sendiri. Ini lebih sulit. Sebab pada waktu dijajah, persatuan kita lebih kuat, setelah merdeka situasinya lain lagi.
Semua novel dan sebagian karya cerpen ditulis Budi Darma ketika berada di luar negeri. Olenka ditulis semasa ia kuliah di Amerika, sedangkan Rafilus ditulis ketika ia menjadi peneliti di Inggris. Budi Darma selalu menganggap menulis karya sastra sesuatu yang serius, oleh karena itu harus ditulis dalam waktu yang sangat khusus. ”Saya menulis kalau banyak punya waktu sendiri seperti ketika di luar negeri,” katanya. Sastra membutuhkan mood karena ia memperjuangkan nilai. Tidak sekadar berkarya untuk memenuhi selera massa, apalagi pasar. Karya-karya yang dikerjakan dengan cara ini hanya akan jadi karya instan, menu yang renyah dikunyah, tetapi tidak bergizi, bahkan merusak ”kesehatan” sastra kita.
***
http://indonesiasastra.org/2015/04/menu-sastra-serba-instan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar