Dien Makmur *
“Sesosok mahluk kecil
tanpa rambut di kepalanya terlihat sedang asyik menikmati air susu Ibu.
Subhanallah, badanku tiba-tiba merosot ke lantai. Ibu dengan penuh kasih sayang
membelai kepala botak mahluk aneh itu. Mahluk yang teramat kecil itu silih
berganti menghisap puting Ibu dengan buasnya. Wajahnya teramat menakutkan, ...”
Potongan adegan di atas
adalah satu dari beberapa adegan mencekam lainnya yang disuguhkan oleh
Maduretna Menali dalam bentuk karya cerpen “Mereguk Rahim Ibu.” Cerpen ini ada
dalam Buku Kumpulan Cerpen 20 Penulis, “Negeri Tanpa Nama” (Penerbit: Ladang
Pustaka - 2013).
Cerpen dengan pola alur
regresi ini mengisahkan tentang pahit-getir kehidupan perempuan yang dikemas
dalam balutan horor. Meski sedikit berbeda, membaca cerpen ini mengingatkanku pada
novelis-novelis horor, seperti Abdullah Harahap, Risa Saraswati, Arumi E, dan
Hanamizuka Mega. Letak bedanya hanya ruang. Kalau novel memiliki ruang yang
luas untuk menceritakan secara detail setiap alur cerita, sementara cerpen
sangat sempit ruangannya. Perlu kecermatan dari penulis untuk tetap bisa
menampilkan eksposition, rising action, turning point, antiklimaks, hingga
resolution, secara matang dalam serba keterbatasan ruang tuang. Dan, Maduretna
Menali berhasil.
Bisa jadi lantaran
Maduretna Menali akrap dengan banyak bacaan buku, maka gaya bahasa dalam meramu
cerpen ini sangat nikmat. Termasuk bagaimana penulis piawai memberikan kejutan
yang tak pernah dapat diduga oleh pembaca.
***
Konon, perempuan yang
kuat adalah perempuan yang tak lagi punya air mata, perempuan yang sudah lupa
bagaimana rasa asin dari air mata itu sendiri. Seperti Maysaroh, tokoh utama
dalam cerpen ini, sejak usia muda air matanya sudah diperas oleh Ibu dan Pak
Haji, Bapak tirinya. Air mata yang menjadikannya kuat.
Ia seolah ditakdirkan ada
dalam labirin itu untuk sendiri, untuk luka, juga untuk janji dendam.
Tersebab ia tak memiliki
saudara, sahabat, atau orang yang dapat dipercaya, maka kisah perjalan hidup
yang teramat pahit itu, dengan lirih ia ceritakan kepada janin yang masih dalam
kandungannya. Janin yang tak pernah ia kehendaki. Janin yang selama 9 bulan
mendiami rahim sucinya. Janin yang pada akhirnya berhasil membawanya ke alam
kesadaran yang terang benderang.
Kelok perjalan hidup
mempertemukan ia dengan Tuan A dan Nyonya B, yang selama puluhan tahun diusia
pernikahannya mereka belum juga dikarunia momongan. Demi dendam yang lama
dieram dalam ringkih dadanya, ia menuruti apa yang menjadi rencana Tuan A dan
Nyonya B untuk nikah kontrak sampai memiliki anak.
Sesuai kesepakatan yang
dibangun dengan Tuan dan Nyonya, ia menempati apartemen mewah di bilangan
Jakarta. Dari tempat ini, ia seperti dibawa ke lorong waktu oleh mahluk halus
yang gentayangan. Ia dibawa ke masa lalu menyaksikan kekejaman, pelecehan dan
pembunuhan yang dilakukan oleh orang Pribumi kepada warga Tionghoa pada masa
kerusuhan Mei '98, waktu itu. Ada pelajaran penting yang ia dapat di apartemen
tersebut, betapa perempuan tak boleh lemah. Perempuan harus kuat. Harus tabah.
Harus cerdik.
Setelah bayi yang
dikandungnya lahir, oleh Tuan dan Nyonya ia diberi apartemen mewah, termasuk
melakukan perjalanan Haji ke Tanah Suci. Maysaroh pikir apa yang didapat itu
sudah seimbang dengan segala perjuangan pahit yang dirasakan semenjak kecil.
Namun ternyata tidak.
Tragis. Hal yang teramat
menyakitkan untuk Maysaroh ternyata datang menghampiri di saat sudah mendapat
kemewahan.
Sengkuap langit seolah
runtuh menimpanya saat mendengar pengakuan dari Ibu, kalau beliau ternyata
bukan Ibu kandungnya. Sadisnya lagi, Ibu tua --yang selama ini dianggapnya
sebagai Ibu kandung-- ternyata tak tahu siapa Ibu kandung Maysaroh.
***
Maduretna Menali yang baik,
kutunggu cerpenmu selanjutnya...
____________
*) Dien Makmur , lelaki
yang doyan Smule.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/membaca-cerpen-mereguk-rahim-ibu-karya-maduretna-menali/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar