Sabtu, 08 Februari 2020

OMAYGAD! Sutardji Presiden Puisi Abadi dan Mau Keluarkan Kredo Baru!?

Shiny.ane el’poesya

Seperti tak mau kalah dari Sapardi yang menerbitkan buku dengan berkolaborasi (Prokem: Tik-Tok-an) bersama Rintik Sendu, dikabarkan oleh KOMPAS-Sabtu 8 Februari 2020, dalam tulisan milik Putu Fajar Arcana di rubrik Sosok halaman 12, bahwa Sutardji ternyata diam-diam tengah mempersiapkan sebuah buku dengan sebuah Kredo baru, Maret nanti.“Omaygad!” Ya, di balik meja kerja, sontak saya berteriak lirih seperti tiba-tiba tercekik: “Omaygad!”

Ya, “Omaygad!” Sebab jujur saja, saya merasa benar-benar kaget mendengar kabar tersebut, terlebih dalam keterangan lebih lanjut, kita mendapatkan semacam gambaran apa yang sedang ada di kepala Sutardji dari kutipan-kutipan pernyataan yang dibuatnya. Seperti dari penggalan Puisi yang coba ditunjukkan oleh Sutardji kepada PFA berikut:

“//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//.”

Atau pada penggalan pernyataan berikut:

“Pertama-tama, seorang penyair bercakap-cakap dengan kata-kata, bukan dengan pembaca. Ketika percakapan itu selesai, barulah kata-kata itu bercakap-cakap dengan pembacanya.”

Atau juga pada pernyataan berikut:

“Kata-kata, meski telah memiliki makna yang mapan, di tangan para penyair, bukan tidak mungkin ia bergeser. Menurut Sutardji, kita membawa lidah kita kemana-mana Ini soal selera. Hari ini kita suka Bakso, esok lusa belum tentu. Dulu kita menyukai masakan ibu di kampong, tetapi suatu hari karena lama di Eropa, sudah tidak suka lagi.”

Atau satu lagi pada parafrase di bawah ini:

“Kata juga selalu membuka kemungkinan terhadap tafsir yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh biografi seseorang. Kata ‘mawar’ tak pernah diresepsi secara sama oleh beberapa orang. Ia bisa berarti traumatic, bisa pula nostalgik. Misalnya, kata Sutardji, bagi seorang gadis yang dicium paksa oleh pacarnya di sebuah taman mawar dan dia berusaha memberontak, kata ‘mawar’ bisa sangat traumatic. Berbeda halnya kalau seorang gadis lainnya diperlakukan secara lembut oleh pacarnya, dia akan mengenang kata ‘mawar’ sebagai sesuatu yang nostalgik.”

“Omaygad!” Apa yang sebenarnya ada di kepala Sutardji dengan mengungkapkan berbagai hal yang--jika kita tinjau dari sejarah panjang perbincangan perpuisian di Indonesia--telah menjadi sesuatu yang hampir pasti diketahui oleh publik sastra yang terliterasi pada umumnya? Apa yang dibayangkan oleh Sutardji, mengenai perjalanan sejarah perbincangan sastra Indonesia sejauh ini, jika yang ia ungkapkan adalah hal yang benar-benar usang seolah-olah mengasumsikan publiknya masih hidup di zaman kegelapan? Padahal, apa yang diungkapkan Sutardji tersebut adalah hal yang mesti telah diketahui bahkan oleh kalangan pegiat sastra yang, bahkan oleh mereka yang tak mendalami ilmu kesusastraan secara serius, atau oleh mereka yang memang mengenyam ilmu kesusastraan di bangku-bangku perkuliahan.

Apakah Sutardji menganggap publik sastra kita saat ini (catat, saat ini) adalah publik sastra yang memang begitu rendah pengetahuan kesusastraannya sehingga persoalan kata dan kandungan psikologi makna yang mengiringinya, adalah sesuatu yang perlu ditekankan dalam sebuah perbincangan yang hendak dikedepankan? Apakah Sutardji menganggap publik sastra kita (sekali lagi) saat ini adalah publik sastra yang tidak terliterasi sehingga persoalan yang beginner course semacam itu perlu diberikan aksentuasi khusus dalam perbincangan yang hendak dimajukan? Padahal, apa yang diungkapkan oleh Sutardji bukanlah perkara yang untuk benar-benar mengetahuinya diperlukan penelusuran literatur linguistik yang mesti serius. Tidak pula untuk mengetahuinya diperlukan sebuah kerja penelusuran hingga kepada literatur-literatur klasik yang tak jarang merepotkan sehingga tidak mudah diakses oleh banyak orang, kecuali memang bagi mereka yang tekun dan sabar. Apa yang diungkapkan oleh Sutardji, adalah apa yang biasa-biasa saja dan tidak pula sedang terjadi kekeliruan persepsi publik mengenainya di tengah-tengah kita.

Dengan kenyataan yang agak anakronik lagi skizofrenik (seakan-akan dihantui oleh masalah) tersebut, alih-alih kita mendapatkan sebuah penyegaran dari yang akan dihadirkan, kita justru telah merasakan kembali satu situasi di mana memang pergulatan wacana kesusastraan tidak mungkin kita harapkan dari generasi pendahulu yang hidup hanya dalam zeitgeist dan zeitgehalt zamannya belaka. Alih-alih kita mengharapkan sebuah wacana kesusastraan saat ini yang dapat memboyong masa lalu sekaligus masa depan ke dalam presensi di hari ini secara eksistensial (sebagaimana Daseinnya Heidegger yang mampu menunaikan tugasnya sebagai manusia untuk melakukan sebuah refleksi menyeluruh dalam kehidupannya dengan masuk ke dalam sebuah kondisi yang dinamakan Sorge; untuk mengantisipasi kecemasan masa lalu dan kecemasan akan masa depan sekaligus) justru lagi-lagi kita nampaknya akan menemukan generasi pendahulu yang memboyong romantisisme intelektual masa mudanya ke masa kini seakan-akan menjadikan zaman kita saat ini layaknya panti asuhan yang harus siap-siaga untuk meladeni masa pubertas kedua mereka.

Sudah barang tentu, kenyataan demikian adalah kenyataan yang jelas merugikan bagi generasi kita di zaman ini yang sebenarnya layak untuk mengemban masa depan yang lebih baik dan berkesempatan untuk menyetirnya dengan lebih progress. Terlebih, jika kita hendak iseng dengan coba memblejeti penggalan puisi yang telah dibuat oleh Sutardji di atas sebagai sampel kemandekan, kita akan dengan mudah mengatakan bahwa apa yang ditulisnya tidak sama sekali menghadirkan selain nuansa pemikiran sebagaimana telah diungkapkan, juga nuansa penyegaran teknik perpuisian di sana. Justru, sebaliknya kita akan menemukan beberapa kerancuan dalam susunannya. Sebagai contoh:

Dalam rangkaian kalimat ini: “//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/” Jika kita perhatikan baik-baik dan dengan teliti, maka kita akan menemukan ketidaktepatan diksi yang digunakan oleh Sutardji pada penggunaan kata “luas,” yang seharusnya adalah kata “padat.” Mengapa? Karena Sutardji hendak melipatnya dalam bentuk sesuatu. Jika ia gunakan kata “luas,” maka ia sebenarnya telah melakukan penabrakan imaji “lipat” dengan imaji “luas” di sana, juga tentu dengan kata “pendek” yang terdapat setelahnya. Kemudian pada rangkaian kalimat berikutnya: “Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//,” yang menempatkan kata “acungkan” mendahului frasa “tabik takzim.” Lagi-lagi kita boleh mengajukan pertanyaan, baik pertanyaan puitik (atau mungkin bolehlah sedikit pertanyaan moral), “Apakah tepat, seseorang yang hendak mengadakan sebuah pentakdziman terhadap sesuatu dengan cara mengacungkan sesuatu?” Tentu, jawabannya, hanya orang kurang ajar yang justru melakukan hal tersebut. Untuk menghormati kemerdekaan Indonesia, tentu orang Indonesia terlarang mengatakan “mengacungkan bendera” alih-alih “pengibaran bendera,” akan terlarang ia mengajungkan tiang dan senjata, alih-alih menegakkannya.

Sebagian pembaca lain mungkin akan bantu berdalih, bahwa maksudnya tidak begitu, tetapi seperti mana “pengibaran bendera,” dipilihkan kata lain yang lebih cocok. Nah! Justru di situ masalahnya, ada persoalan ketidaktepatan puitik di sana. Atau mungkin Sutardji sendiri akan berdalih, penggunaan kata tersebut hendak diasosiasikan dengan simbolisme yang ada dalam praktik Tahiyatus Sholah yang mana ketika pada penyebutan kata tertentu dilakukan secara bersamaan sebuah praktik “pengacungan jari telunjuk.” Namun, lagi-lagi, jika asosiasi itu diarahkan ke sana, maka Pertama, Sutardji pada dasarnya menjadi kuat bahwa ia telah melakukan sebuah pemulihan imannya terhadap kedudukan kata di dalam puisi, dan sedang benar-benar merasa telah melakukan deklarasi pertobatan dari Kredo pertamanya; dengan kata lain, yang ia lakukan saat ini bukanlah merupakan sebuah pembaharuan, melainkan sebuah pertobatan, yang mundur kembali dari langkah yang pernah dilakukannya, dan Kedua, Sutardji justru kembali terjebak kepada kesalahan yang pernah ia lakukan ketika ia melakukannya pada Mantra; jika memang Sutardji benar-benar hendak mengatakan pertobatan. Apa itu? Yaitu, menggunakan khazanah masa lalu masa lalu yang di dalamnya sebenarnya mengandung unsur kegaiban, menjadi hanya sesuatu yang sifatnya hanya simbol kultural; dalam sebuah hadits shahih, disampaikan bahwa praktik mengacungkan jari (terlebih sambil menggerakkannya berkali-kali) adalah praktik yang jika dilakukan akan membuat payah sekelompok jin-jin kafir. [Duh! Sutardji!]
***

Dalam tulisannya, Putu Fajar Arcana menggunakan judul: “Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Puisi Abadi.” Pemilihan judul yang demikian teranglah menunjukkan bahwa PFA tidak sama sekali melihat persoalan ini dengan benar-benar serius dan kritis. Terlebih, dalam keseluruhan tulisannya sendiri, pokok pembicaraan tidak sama sekali benar-benar membicarakan bagaimana problem Kepresidenan Sutardji ini sebenarnya dipermasalahkan, bahkan sangat-sangat dipermasalahkan terutama oleh generasi 2000an dan yang lebih muda lagi. Jika ingin dibandingkan, dengan judul demikian, PFA hanya terlihat menyinggung (catat: menyinggung bukan membahas) dalam tiga paragraph saja, selebihnya, hampir dari 20 paragraf membahas persoalan lain. Betapa buruknya penjudulan yang dilakukan oleh PFA ini, bahkan untuk dimuatkan bagi media sekelas KOMPAS.

Hal yang perlu kita beri catatan penting pula adalah, dari tiga paragraf yang coba dihadirkan oleh PFA mengenai duduk soal penyematan Presiden Penyair bagi Sutardji, adalah tiga paragraf yang justru hendak mendelegitimasi kedudukan kepenyairan Sutardji sebagai Presiden, sebab diungkapkan kembali bagaimana sebenarnya, pada mulanya Sutardji melakukan hal tersebut karena risau terhadap penyematan-penyematan yang dilakukan oleh H.B. Jassin kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, dan kepada Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45, atau oleh beberapa pihak penyematan Umbu Landu Paranggi sebagai Presiden Penyair Malioboro.

Tentu, PFA juga bisa mengelak bahwa tulisannya itu bukanlah tulisan yang ditulisnya untuk rubrik opini—budaya, melainkan sebagai tulisan feature biasa untuk rubrik sosok yang sifatnya cenderung apresiatif ketimbang kritis. Tetapi, tentu, lagi-lagi, dengan penjudulan yang justru bernuansa hiperbolis dan tulisan yang tak proporsional dengan judul, pada dasarnya PFA telah menyesatkan pembaca dengan mengabaikan berbagai perbincangan sastra terkait, hingga perkembangan terkini atas fakta-fakta perjalanan kesusastraan belakangan; tak hadirnya Sutardji dalam berkali-kali polemik pemelintiran sejarah sastra Indonesia yang dilakukan oleh sebagian pihak yang tak bertanggung jawab. Jauh peran daripada yang telah dilakukan oleh Saut Situmorang yang dengan itu juga turut memotivasi banyak kalangan muda untuk senantiasa awas terhadap praktik politik sastra di Indonesia yang melibatkan berbagai lembaga kesusastraan. Juga di luar itu, jauh lebih kreatifnya Afrizal Malna dalam terus mengembangkan-ke depan gagasan-gagasannya berkaitan dengan puisi, yang mana, Afrizal sendiri di awal karirnya pernah berpijak dari Kredo Sutardji yang kini oleh Sutardji justru terus makin dikhianatinya sendiri.

Sebagai penutup, saya hendak mengatakan. Ya, jangankan julukan Presiden Penyair, julukan Presiden Perusahaan saja jika kita hendak perlakukannya sebagai main-main, maka itu bisa kita katakan sebagai julukan “main-main” dalam dunia yang memang “main-main” ini. Tetapi, apa iya “main-main” itu semain-main ini—dimana Sutardji sendiri tidak pernah secara publik berani untuk melepaskan julukan main-mainnya itu, alih-alih memanfaatkan situasinya di berbagai tempat, waktu dan kesempatan?!

Babakan, Ciwaringin, Cirebon, 08 Februari 2020. #SainsPuisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar