Minggu, 16 Februari 2020

Rosihan Anwar dalam Kenangan

Daniel Dhakidae
Kompas, 18 April 2011

Syahdan, suatu sore di Yogyakarta, sekitar Juni atau Juli 1988, saya bertemu Rosihan dalam satu acara. Saya duduk berdampingan dan tanpa mau membuang kesempatan saya langsung minta waktu untuk mewawancarainya. Dia katakan, "OK nanti kita atur waktu di Jakarta."

Waktu kami berbicara, di televisi di depan kami, TVRI menayangkan penahbisan imam Katolik di Flores. Persis waktu itu berlangsung adegan prostratio, ketika para calon imam itu merebahkan diri tertelungkup di depan altar sambil mendengarkan litania omnium sanctorum untuk mendapatkan berkat para santo.

Rosihan tertarik dengan adegan itu, lantas mengeluarkan komentar yang sama sekali di luar dugaan saya: "Daniel, kau begaya pula mau nulis disertasi doktor segala! Lebih baik kau kembali ke Flores sana dan berbaring-baring seperti pastor-pastor itu."

Nah..., ini dia! Rosihan yang sering saya dengar tentang komentarnya yang nyelekit! Saya tidak bisa jawab dan hanya senyum-senyum tanpa makna.

Sesampai di Jakarta, berkali-kali saya telepon untuk wawancara, tapi selalu gagal karena kesibukannya. Sampai saya kembali ke Cornell Maret 1989, wawancara tak terlaksana. Dengan sedikit "teror", akhirnya dia memberi wawancara tertulis yang dikirim ke Cornell.

Rosihan dan Pers Nasional

Petualangan intelektual ditunjukkan pada tahun 1957 ketika dia dengan tegas mengatakan bahwa "tidak mungkin ada press magnate" di Indonesia, yaitu bertumbuhnya pers yang besar dalam kesatuan besar dan dalam konglomerasi besar, baik yang terdiri dari usaha serupa maupun gabungan dari berbagai jenis bisnis di luar surat kabar dengan berindukkan suatu perusahaan surat kabar. Namun, dalam hidupnya sendiri yang panjang itu, 89 tahun, dia saksikan sendiri konglomerasi surat kabar bukan saja sebagai pengamat, melainkan juga pelaksana serta merasakan sendiri pahit getir dan juga manis madunya.

Dalam kompetisi yang ganas, Pedoman yang dipimpinnya sejak didirikan pada November 1948 tidak bisa bertahan sebagai bisnis sampai ditutup pada awal 1961 dan Januari 1974. Dia membela dirinya bahwa "ramalan atau prediksinya" itu berpijak pada suasana tahun 1950-an sehabis perang ketika partai-partai sangat berkuasa untuk menghidupkan dan mematikan pemerintah. Namun, yang terutama adalah hidupnya suasana egalitarian pada masa-masa itu.

Namun, dia juga membela dirinya, yaitu setelah ditutup Soekarno, Pedoman terlalu lambat mendapatkan izin terbit pada masa Orde Baru. Rosihan berdalih, kalau sekiranya tahun 1966 izin terbitnya sudah dikeluarkan, dia akan mampu bersaing.

Menghilangnya Pedoman dari percaturan dunia pers tentu karena berbagai alasan perkembangan ekonomi-politik Indonesia. Dalam refleksi Rosihan tentang dirinya dan Pedoman, dia selalu mengembalikannya pada masalah etika dan etika politik dirinya sendiri dan Pedoman yang dipimpinnya. Di satu sisi dia mengatakan, perkembangan persaingan tak memungkinkan surat kabarnya bertahan. Tapi di sisi lain etos yang berubah jadi soal. Dia mengatakan: "Tuntutan jurnalistik sudah berbeda. Dahulu pers dan wartawan punya harga diri (self respect) dan berani terhadap penguasa. Sekarang, di zaman Orde Baru, wartawan harus punya aliansi dan koneksi dalam kalangan oknum-oknum pemerintah, selanjutnya 'menjilat' supaya bisa selamat dan beroperasi terus. Pedoman dan Indonesia Raya tidak mempunyai keterampilan berbuat yang demikian. Jadi, mana bisa bertahan?"

Namun, bila dikembalikan ke etos politik, Rosihan justru menderita karena etos itu juga yang dia lepaskan dalam bentuk konsesi yang dia berikan pada kekuasaan. Dua konsesi pernah diberikannya kepada dua penguasa yang juga menjadi dasar ketiadaannya dalam dua masa yang berbeda. Pada masa Demokrasi Terpimpin dia memberikan konsesi kepada Soekarno dengan menandatangani apa yang disebut "pernyataan 19 pasal" untuk menerima Manipol-Usdek. Ketika memberikan konsesi politik kepada Soekarno, alasan yang diberikannya, to create the conditions (asli dari Rosihan) untuk demokrasi karena yang lebih penting adalah to be there, to exist (asli dari Rosihan), baru sesudah itu pers bisa berjuang.

Alasan yang sama untuk konsesi kedua yang diberikan kepada Soeharto ketika harus menandatangani pernyataan tertulis untuk menghormati dan menjaga keselamatan keluarga Soeharto, bersama semua pemimpin redaksi lain: yang penting adalah "hadir", baru setelah itu berjuang untuk mengembangkan demokrasi. Namun, semuanya membawa krisis hidupnya. Semua koran yang diterbitkannya diberangus tanpa ampun.

Meski demikian, dalam krisis atau bukan, Rosihan tetap Rosihan Anwar ketika dengan kepala batu dia mengatakan: "No regrets, saya telah melakukannya. Namanya berjuang, kok. Selalu ada risikonya, kan."

Tragedi dan Daya Tangkal

Hampir tidak dapat membayangkan psikologi Rosihan setelah gagal mendapatkan imbalan setelah memberikan dua konsesi. Kegagalan pertama bisa diterima, barangkali lebih mudah, karena beban yang ditanggung bersama adalah beban yang mungkin lebih ringan. Pedoman tahun 1960-an adalah Pedoman Rosihan yang menamakan dirinya sebagai "Sjahririst" dan secara sukarela mendukung cita-cita politik PSI karena dia selalu mengatakan, surat kabarnya bukan surat kabar partai. Dibubarkannya PSI dan dibubarkannya Pedoman menjadi beban yang tertanggung bersama.

Kegagalan konsesi kedua adalah tanggungan Rosihan sendiri, semata-mata, meski masih "Sjahririst", tetapi seorang "Sjahririst" tanpa partai, seperti Rosihan sendiri juga wartawan beken tanpa surat kabar.

Rosihan sadar dan semakin pahit kesadaran itu ketika dikatakannya, lima belas tahun setelah Pedoman "sirna dari muka bumi" (1974), pada 1989, "...lokasi tempat Pedoman dicetak (Jakarta Press, Gunung Sahari Ancol 13) dijual kepada seorang pengusaha, lalu di situ didirikannya sebuah kompleks ruko (rumah toko). Pengusaha itu ternyata keponakan Lim Soei Liong...."

Namun, Rosihan adalah Rosihan. Tragedi ditebusnya dengan berbagai cara, sekurang-kurangnya dua cara yang tampak pada penulis ini. Pertama, setelah surat kabarnya disirnakan dari muka bumi, dia ditawari menjadi duta besar di Vietnam oleh Presiden Soeharto. Kali ini Rosihan tidak mau lagi memberikan konsesi ketiga kalinya. Dia menolak tawaran itu.

Saya pikir ditolaknya tawaran menjadi diplomat tidak untuk membalas dendam, tetapi muncul dari political sensibility tentang keseimbangan antara dua profesi. Yang satu adalah jurnalistik yang dipupuk dari kata ke kata, kalimat ke kalimat, hasil dialogia antara dunia nyata dan dunia pikiran dengan kata-kata sebagai jembatan dan sekaligus menjadi dunianya sendiri. Bersama itu ada seluruh risiko yang harus ditanggung secara politik dan bisnis. Yang lain, dunia diplomatik yang baginya lebih menjadi hadiah, "pemberian". Bagi dia, dunia diplomatik penuh tanggung jawab, tetapi tanpa risiko. Yang diperlukan hanya kepatuhan. Arogansinya melarang itu.

Jalan kedua untuk menebus tragedi hidup Rosihan adalah sesuatu yang harus ditanggungnya seumur hidup, mempertahankan dunia miliknya sendiri, yaitu dunia intelektual dan jurnalistik. Semakin dunia itu digelutinya, semakin ia jadi "milikku sendiri", milik Rosihan, jemeinig, kata Heidegger. Dia menghabiskan waktunya untuk mempertahankan jemeinigkeit itu dengan mengajar jurnalisme, menjadi juri festival film, dan lain-lain.

Namun, di atas segala-galanya, dia menulis dan menulis, buku dan artikel, sampai titik darah penghabisan.

*) Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta.
http://sastra-indonesia.com/2011/09/rosihan-anwar-dalam-kenangan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar