Senin, 16 Maret 2020

Buru, Buku, dan Pesan Bung Karno

Raudal Tanjung Banua *
Kompas, 8 Sep 2018

Mural sosok tokoh proklamator Republik Indonesia, Soekarno, menghiasi tembok di kampung gaga, Larangan Selatan, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (9/9/2017). Sosok mantan presiden RI pertama ini masih dikenang dan dicintai oleh rakyat. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya mural-mural Soekarno yang mudah kita jumpai di berbagai media dan tempat.

Di halaman sebuah rumah tua di kota Namlea, Pulau Buru, Maluku, terdapat tugu berbentuk tinju, mengacung ke udara yang panas, seolah mengucap dengan tegas, "Merdeka atau Mati!" Di bawah kepalan tangan itu, terdapat kalimat yang tak kalah menggugah, "Indonesia tanpa Buru bukanlah Indonesia". Itulah pesan Bung Karno, Presiden pertama RI saat berkunjung ke "Bumi Kayu Putih" pada tahun 1957.

Segera terasa gelora seorang besar yang seluruh hidupnya memperjuangkan Tanah Air. Terlebih pesan itu diterakan di halaman Gedung Juang, tempat rakyat Buru dipimpin Adam Pattisahusiwa mengambil alih kekuasaan Belanda, 8 April 1946. Kemerdekaan sempurna diraih, dan Buru, pulau ketiga terbesar di kawasan Jazirah Al-Mulk itu (setelah Seram dan Halmahera, atau hampir dua kali Pulau Bali), berpeluk damai dengan NKRI.

Tentu geliat perjuangan itu sangat berat. Namun, rakyat Buru memiliki pemimpin perjuangan yang tangguh seperti Abdurahman Wannebo yang merobek dan menurunkan bendera Belanda, Amido bin Talib, Hamid Goja, dan Adam Pattisahusiwa sendiri. Para pejuang tersebut belum diangkat menjadi pahlawan nasional meskipun Mendikbud Muhadjir Effendy saat berkunjung ke Buru (2016) mengajak para pihak di Buru agar segera mengajukan dokumen dan persyaratan lain. Terlepas dari proses ke arah itu, ini cukup ironis: wilayah seluas Buru belum satu pun memiliki pahlawan nasional.

Literatur "travelogue"

Hal menarik lainnya di Buru adalah banyaknya literatur yang ditulis mengenai pulau ini, atau ditulis di pulau ini. Pada masa dunia Barat diharu biru oleh semangat menjelajah dunia, tersebutlah Antonio Pigafetta, travelogue asal Italia. Tahun 1521, ia berlayar ke Maluku (termasuk ke Pulau Buru) menumpang kapal Victoria milik Spanyol di bawah komando Ferdinand Magellans. Pigafetta atau Pigapheta lalu menerbitkan catatannya dalam buku Primo Viaggio Intorna al Globo Terraque (1524) yang disinyalir membuka jalur rahasia ke pulau rempah-rempah.

Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris yang mencipta garis imajiner Wallace Line (ia membagi Nusantara berdasarkan tipe flora dan faunanya), merasa sangat bahagia saat akhirnya sampai di Cajeli (Kayeli), pelabuhan penting waktu itu. Ia mengatakan sudah lama ingin ke Boroe (Buru) sebagaimana ditulis dalam bukunya, The Malay Archipelago (1869), dan diterjemahkan menjadi Kepulauan Nusantara (Kobam, 2009). Dari Kayeli, ia masuk ke pedalaman Buru, tepatnya ke Waeapo, ditemani langsung Raja Kayeli untuk berburu serangga dan kupu-kupu.

Kisah mendalam tentang penyulingan minyak kayu putih bisa didapat dari novel Beb Vuyk, seorang Indo-Belanda, Het Laatste Huis van de Wereld (1938) dan diterjemahkan dengan indah oleh Gadis Rasjid, Sebuah Rumah Nun di Sana (Pustaka Jaya, 1975). Di sana kita akan bertemu rumah awal kebangsaan yang memuat dengan detail tentang kehidupan masyarakat Buru tempo doeloe, suasana soa (kampung), sosok hinolong (kamitua), dan para pekerja penyulingan di kilang Batuboi yang berasal dari beragam suku bangsa. Bukan hanya penduduk asli seperti suku Alfuru, tetapi hampir semua suku bangsa sekawasan, seperti Kei, Ambon, Ternate, Buton, Kaladupa, dan Binongko.

Dalam urusan buku, Pemerintah Kabupaten Buru tak mau ketinggalan. Setidaknya tiga buku sudah mereka terbitkan: Buru Pulau Raja yang Indah (2008), Kabupaten Buru dalam Pesona dan Potensi (2005) serta Buru di Mata Para Penjelajah (2010). Dalam buku tersebut, antara lain kita bersua cuplikan literatur dari era travelogue klasik, catatan masa kolonial, dan tulisan terkini, seperti catatan Janet E Steel dari George Washington University yang pernah berkunjung ke Buru.

Kita berharap novel Beb Vuyk yang lain tentang Buru, Hel Hout van Bara (Kayu dari Bara) dapat diterjemahkan dan diterbitkan jika perlu sekalian menerbitkan ulang Sebuah Rumah Nun di Sana, termasuk sebuah dokumen Belanda tentang Buru, Het Eiland Boroe Zijne Exploittatie Hifoersche Instenllingen (1558). Bahkan, saya bayangkan, ada program jelajah literasi yang bernilai

Tapol

Dalam sejarah mutakhir, Pulau Buru dikenal sebagai kanal politik 65 ketika lebih dari 12.000 tahanan politik dikirim ke Waeapo, dataran rendah di wilayah Petuanan Kayeli. Mereka ditempatkan dalam unit-unit dan barak. Sepanjang tahun 1969-1979, para tapol diperintahkan babat alas, membuka lembah Waeapo menjadi sawah. Itulah lahan satu-satunya yang bisa ditanami padi di Buru, bahkan hingga hari ini. Kedatangan para transmigran dari Jawa, pasca pembebasan tapol, menjamin kelangsungan produksi padi dan pengembangan sawah yang dirintis para tapol sehingga Waeapo sukses menjadi lumbung padi Maluku, bahkan Indonesia Timur.

Namun, selain lahan bercocok tanam dalam pengertian harfiah, Buru juga lahan subur bagi lahirnya literatur Tanah Air. Pertama-tama tentu kita akan mengingat Pramoedya Ananta Toer, dengan tetralogi Pulau Buru-nya, termasuk roman Arus Balik yang juga ia garap di Mako, Waeapo, di samping dua jilid Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Karya Pram yang lain, Perawan Remajadalam Cengkeraman Militer (2001), menjadi semacam liputan yang unik tentang nasib bekas (jugun) ianfu yang didatangkan Jepang dari Jawa ke Buru. Unik karena bahan-bahannya dikumpulkan kawan-kawan sesama tapol yang corvee (tugas) ke lapangan, selain Pramoedya sendiri menggali informasinya dari Ibu Raja Kayeli, Nafsiah Wael.

Akan tetapi, kita harus berlaku adil sejak dalam pikiran apabila membicarakan Buru dengan kepengarangan Tanah Air. Di sini bukan hanya Pram, melainkan ada banyak pengarang lain, baik yang dikenal maupun kurang dikenal. Sebutlah Rivai Apin, Mars Noermono, Oie Hiem Hwie, Hersi Stiawan, Joesoef Isak, dan Amarzan Loebis. Mereka juga membawa "oleh-oleh" karya berupa buku atau catatan setelah pembebasan.

Dengan peta semacam itu, dapat dikatakan Buru bukan hanya bagian penting dalam peta literasi kita—yang kini menjadi gerakan bersama pencerdasan bangsa—melainkan juga penting dalam gerak sejarah kita. Untuk literasi bisa diandaikan, jika Sumatera Barat atau Sumatera Utara mewarnai jagat literasi sastra era klasik (Balai Pustaka dan Pujangga Baru), maka dalam literatur kolonial, travelogue, dan tapol 65, Buru merupakan kantong istimewa yang tak boleh diluputkan! Sementara dalam sejarah, Buru hadir dan meng"-ada".

Apa yang memungkinkan semua itu terjadi?

Jika kita cermat melihat narasi keterlibatan Buru hampir dalam semua peristiwa penting Tanah Air, maka niscaya narasi itu sendiri jawabannya. Sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada daerah atau kawasan di Nusantara yang bebas dari medan perjuangan. Sejak di bawah kuasa kolonial, berkecambahnya bibit nasionalisme, hingga perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, semua daerah terlibat dan bergerak. Perjuangan bukan dominasi sebuah wilayah atau satu pihak.

Bukankah Digul dan Tanah Merah di pelosok Papua, Minahasa, dan Gorontalo di jazirah utara Celebes, Ende, dan Banda di gugusan Sunda Kecil yang terpencil, serta pelosok lainnya di Tanah Air, telah menjadi kesatuan yang merasakan denyut satu sama lain? Dalam sajak Satu (1979), "Presiden Penyair" kita, Sutardji Calzoum Bachri, dengan agung menulis, "daging kita satu arwah kita satu/walau masing jauh/yang tertusuk padamu/ Berdarah padaku".

Begitu halnya Pulau Buru. Kita bisa memadatkan riwayatnya dengan teknik Iwan Simatupang membuka Merahnya Merah (1968):

"Pada awal kolonial, ia didatangi Portugis, lalu VOC, dan sebuah benteng berdiri di Kayeli, daerah petuanan yang dipecah Belanda jadi delapan. Perang dunia pun pecah, dan ia dicengkeram fasisme Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki jatuh, ia menjadi basis teritori pertahanan Sekutu di Pasifik, hingga tiba masa revolusi ketika ia memaksa Belanda takluk. Setelah merdeka, gerakan RMS masuk, tetapi ia cepat dibebaskan TNI. Setelah peristiwa September 1965 pecah di Ibu Kota, ia menjadi tempat membantarkan tahanan politik, lalu menerima program transmigrasi…."

Lewat akumulasi peristiwa yang berhubungan langsung dengan simpul sejarah Tanah Air inilah, kita dapat memaknai pesan Soekarno di atas: "Indonesia tanpa Buru, bukanlah Indonesia".

__________________
*) Koordinator Komunitas Rumahlebah Yogyakarta.
http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2018/09/esai-buru-buku-dan-pesan-bung-karno.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar