Taufiq Wr. Hidayat *
Hujan. Sebagaimana berabad-abad lampau, tetaplah titik-titik air yang jatuh ke bumi. Berkilau bagai butiran kristal waktu terkena cahaya lampu. Merintik ke atas aspalan. Ke atas atap-atap rumah. Kemudian air hujan itu, mengaliri pepohonan, menetes dari ujung-ujung dedaunan. Orang memumikan kenangan dengan ingatan yang dibubuhinya penanda. Mumi-mumi kenangan itu pun basah terkena hujan. Dan ada yang menanti entah siapa di sana, sambil melupakan usia, atau berpura-pura lupa pada usia.
Di Perapatan Lateng, Kota Banyuwangi itu, hujan seakan malas menimpa lampu merah. Toko-toko jamu dan pewangi orang Arab. Aspalan berkilau basah terkena lampu jalan dan lampu kendaraan yang berdesakan. Bengkel sepeda. Toko baju di barat perempatan jalan itu sudah tutup. Toko baju yang dulu ramai. Pada tahun 1990-an, tiap hampir lebaran, seorang ibu membawa anaknya membeli baju di toko tersebut. Lampunya terang. Lantainya bersih. Sekarang redup. Toko baju yang bernama Toko Wijaya itu pernah mashur, sekarang tutup, tinggal bangunan bertingkat yang mulai tak terawat. Toko lama yang kalah bersaing dengan toko-toko baju yang lebih besar, murah, dan bagus. Lewatlah di situ. Kau akan merasakan, Perapatan Lateng menyimpan kenangan yang dalam, seolah ingin bercerita namun tak sanggup berkata-kata. Jalanannya yang kesepian tatkala malam larut mengental, bagai berkisah banyak peristiwa masa kecil entah siapa, yang disimpannya dengan begitu pedih, setia, haru, dan sia-sia. Tepat di sebelah kiri Perapatan Lateng dari arah utara, ada lapak penjahit. Lapak penjahit itu entah sudah berapa lama di sana. Hari-hari berganti, zaman berubah, musim demi musim telah berlalu, lapak penjahit di sana masih menerima kain untuk dikerjakannya. Lapak penjahit setelah lampu merah itu seolah kekal, seolah sudah ada di situ sejak dunia baru saja tercipta. Entah baju siapa saja yang telah dijahitnya. Seragam kantor, seragam sekolah, baju ke pesta, atau barangkali baju seorang kekasih. Lapak penjahit itu bagai tak peduli pada kendaraan-kendaraan yang melaju dengan resah di sekitarnya, ia seolah cuek terhadap kesibukan semesta. Ia sibuk sendiri dengan pedal mesin jahitnya yang kuno. Perapatan Lateng menyimpan setiap peristiwa yang silih berganti di dalam dirinya. Ada beberapa tempat dan keadaan yang telah berubah, ada orang yang pergi tak tentu rimba. Perapatan Lateng berusaha menyimpan apa saja yang masih mungkin disimpannya. Dan tak ada yang bertanya perihal derita keperihan, luka-lara duka nestapanya dalam menyimpan ingatan yang tak pernah dibukukan atau dimonumenkan dengan tepuk tangan panjang dan perhatian-perhatian. Namun ia pun dengan apa daya, melepas apa saja yang memang harus ia lepaskan, hilang ditelan waktu. Dan di situ, daun-daun yang menguning dari pohon peneduh jalan berjatuhan, gugur ke bumi. Kemudian ada hati yang juga menggugurkan dedaunannya, bagai bunga-bunga jambu air saat hujan jatuh, seperti kehilangan yang tak mungkin lagi ditemukan. Yang mustahil kembali diutuhkan. Atau ingatan pada keadaan---entah apa, yang tak mungkin dirangkaikan kembali bagai sedia kala.
Perapatan Lateng tak terpisahkan dari kehidupan orang sehari-hari, manusia yang di sana sebagai “orang perapatan”. Ada warung kopi milik orang Madura di timur lampu merah, bengkel, dan toko busana perempuan. Pagi selalu ramai. Kaum makelar, para juru tagih, pengangguran, wartawan, dan tak tahu siapa lagi nongkrong di situ, melewati jeda waktu yang tak dimengerti.
Perapatan Lateng seolah mensahihkan dalil Heidegger yang rumit dan ganjil. Dasein sejatinya menidak pada pandangan, bahwa manusia adalah subyek yang lepas dari ruang-waktu sejarah. Baginya, manusia “ada di situ” senantiasa. Yakni dalam ruang dan saat yang tentu. Ia “ada-dalam-dunia” (in-der-welt-sein/being-in-the-world). Ia adalah kerangka aturan fundamental manusia. Ketakterkaitan spasial manusia (dasein) dan ruang (dunia) yang ditinggali, mengakibatkan segala ruang tidaklah kosong (netral). Dunia telah senantiasa dimengerti pada landasan struktur ontologis “dasein” yang meninggali. Di situ terdapat “dunia pejalan”, “dunia penyanyi”, dan lain-lain. Itulah kiranya afirmasi Heidegger: manusia itu menyejarah. Ia mustahil melompat keluar dari titik pijak kesejarahannya, ia adalah “being-in-the-world”. Ia kepastian yang sangat faktual dan niscaya. Tetapi “ada di situ” berbeda telak dengan benda, atau selain manusia. Seumpama “ada” uang dalam dompet, dapat disebut keterkaitan pada kaitan spasial. Ada jarak, dan yang terpisah. Sedang manusia “ada” dalam Perapatan Lateng, mengandaikan relasi dia dengan perapatan tersebut bukanlah keterkaitan spasial. Bukan yang tercerai, yang lain, atau yang dua hal. Ia “ada” dalam ruang tertentu, ia “meninggali” ruang tertentu itu. Ia “mengutuh” di situ.
Seperti sebuah buku sejarah yang panjang, hujan di Perapatan Lateng memang selalu membuka ruang-ruang kisah dalam dada. Ia sebentuk harapan yang datang untuk menemui bumi kerinduan. Jendela mengembunkan pertanyaan-pertanyaan yang gemar, dalam, dan tiada henti-hentinya. Tapi hujan di situ, pun merintik di kabel listrik, mesin-mesin, orang-orang yang pergi tanpa mantel dan payung. Di situ berdiri Masjid Kiai Saleh Lateng. Masjid bersejarah yang pernah melahirkan pemuda-pemuda gagah. Ada terminal angkutan dalam kota. Pohon besar yang sering ditebang, kemudian tumbuh lagi, di terminal yang dulu selalu mengantarkan anak-anak sekolah. Pasar kecil yang berdenyut dini hari. Bangku warung kopi. Calo kendaraan yang masih saja hidup. Di Lateng itulah, lagu berdialek Banyuwangi “Tetese Eluh” sekitar tahun 1998 dituliskan oleh Yon’s DD, dinyanyikan grup musik POB (Patrol Orkestra Banyuwangi) yang mashur, pun lagu “Layangan” yang dibawakan Catur Arum. Di Dusun Klembon, lahirlah lagu kendang kempul yang legendaris, lagu yang terus kekal dalam sejarah musik Banyuwangi, berjudul “Ulan Andung-andung” diciptakan seorang seniman musik Banyuwangi yang agung, Endro Wilis. Teruslah lurus ke selatan dari lampu merah Perapatan Lateng itu, di sepanjang jalan tersebut, lagu-lagu Banyuwangi sepanjang masa telah tercipta sebagai aset berharga yang tiada pudar, “Sing Ono Jodoh” diciptakan Armaya, “Gelang Alit” oleh Fatrah Abal, dan “Umbul-umbul Blambangan” yang menggema sepanjang waktu, lahir dari jari-jari Andang Cy.
Ke arah selatan dari Perapatan Lateng, Kota Banyuwangi itu, sebuah masjid agung berdiri. Dulu bangunan masjid yang tepat di barat Taman Sritanjung itu antik dan menyimpan kearifan kebudayaan lokal yang khas. Bangunan bersap tiga, seperti sebuah Pura, atau Masjid Agung Demak. Ada budaya setempat yang telah mendesain bangunan peribadatan kaum muslimin tersebut. Di masjid itu dulu, sekira akhir tahun 1970-an, Man Padelikur menyalakan "blanggur", sejenis mercon besar yang diledakkan untuk menandai waktu berbuka puasa. Man Padelikur disuruh Kang Nan, kawannya. Namun sekarang, bangunan masjid telah berubah total. Kekuasaan dengan segala kekuasaannya, merobohkan bangunan Masjid Baiturrahman, kemudian menggantinya dengan bangunan baru, dengan bentuk masjid dari negeri Arab, megah, mahal, dan gagah. Tak ada akulturasi yang mungkin dapat ditelusuri sebagai jejak kearifan mempertemukan agama dan kebudayaan pada bangunan Masjid Baiturrahman Banyuwangi itu kini. Dulu di taman depan masjid, ada beringin raksasa. Juga di sebelah selatan Taman Sritanjung yang selalu gelap, “orang-orang gelap” tertidur di bangku-bangku lembab, menjilat malam dengan kepasrahan yang menakutkan. Kemudian pasar Banyuwangi yang berdenyut tanpa sentuhan kekuasaan, menyuguhkan barang-barang kepadamu. Ke timur, gedung bioskop yang dulu bernama Irama. Trembesi yang tua. Jalan Banterang yang dulu gelap ketika malam, kini sudah terang. Sebuah Gereja kecil tepat di depan masjid, setelah taman. Perihal kerukunan, bangsa ini sudah berpengalaman, dan tak perlu dicurigai. Kericuhan yang terjadi, selalu mengandung unsur politik yang keji.
Lalu ke barat dari Masjid Agung Baiturrahman, gedung bioskop yang dahulu bernama Suasana, hingga kini begitu tua dan sendiri, besi-besi karat, tembok kehitaman, berlumut ketika musim penghujan. Konon tepat di selatan masjid, pernah berdiri gedung bioskop pada masa kolonial Belanda. Manusia membutuhkan film, katanya. Sebuah tontonan publik yang menampilkan gambar, suara, cerita. Manusia selalu gemar melihat dirinya sendiri. Film menyeretnya dari kenyataan, melupakan dan menghindari kenyataan, sejenak dalam hidupnya. Jembatan Kali Lo yang mengalirkan kesah waktu yang melulu, seperti kedua matamu yang seperti kedua mata seekor lembu, jauh, menatap entah apa, menyimpan keterasingan di balik segala pencapaian kota. Film selalu menjadi ingatan lama yang tak sempat diberi penanda pada benak tiap orang di kota itu. Di lapangan, tepat sebelah timur gedung bersejarah yang disebut Inggrisan, gedung kesenian yang sepi. Yang ramai hanya pertunjukan pesta, warung-warung yang ditata dengan lampu-lampunya yang sangat terang. Di situ, gedung kantor pos yang kuno, mengingatkan seseorang saat mengirimkan surat kepada sang kekasih yang dirindukannya nun di jauh sana. Sepucuk surat. Dan prangko.
Ada yang tertangkap. Ada yang lepas. Kembalilah ke Perapatan Lateng. Malam selalu saja menceritakan hujan dan kenang-kenangan samar di dalam lubuknya. Kemudian ke selatan setelah lampu merah, Dusun Klembon. Aspalan yang tua telah tiada. Toko buku dan kitab suci sebelum pendapa kabupaten yang kini sering didatangi tamu-tamu asing yang menikmati angsa. Dan di Kelurahan Temenggungan, lagu “Genjer-genjer” yang termashur dilahirkan seorang seniman angklung yang hebat Mohammad Arif, pada tahun 1940-an. Orang-orang merampas lagu “Genjer-genjer” dalam pusaran konflik politik pada 1965.
Ada jalan kenangan. Ada yang tertinggal. Segalanya memang harus berubah. Nasib kenangan memang selalu ditinggalkan, pada waktu sibuk, ia dilupakan, lalu dibiarkan sendirian. Tapi adakah hari ini yang bersedia menghargai kenangan? Kesepian yang panjang, seolah sehabis perpisahan. Hanya penguasa yang gemar mengibarkan bendera-bendera negara asing, sambil menertawakan cita-cita bangsa dan bahasanya sendiri. Apakah suatu generasi harus dibangun tanpa masa lalu dan karakter bahasa ibunya? Tetapi di manakah kamu? Lama nian kita tak bertemu. Sedangkan kota, terus menggusur kenanganmu menjadi robekan ingatan, yang tak mungkin dirangkai dalam sebuah narasi kecil, yang hikmat tatkala malam dilarutkan.
Prapatan Lateng, 2020.
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/hujan-perapatan-lateng/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar