Jumat, 06 Maret 2020

HUJAN PERAPATAN LATENG

Taufiq Wr. Hidayat *

Hujan. Sebagaimana berabad-abad lampau, tetaplah titik-titik air yang jatuh ke bumi. Berkilau bagai butiran kristal waktu terkena cahaya lampu. Merintik ke atas aspalan. Ke atas atap-atap rumah. Kemudian air hujan itu, mengaliri pepohonan, menetes dari ujung-ujung dedaunan. Orang memumikan kenangan dengan ingatan yang dibubuhinya penanda. Mumi-mumi kenangan itu pun basah terkena hujan. Dan ada yang menanti entah siapa di sana, sambil melupakan usia, atau berpura-pura lupa pada usia.

Di Perapatan Lateng, Kota Banyuwangi itu, hujan seakan malas menimpa lampu merah. Toko-toko jamu dan pewangi orang Arab. Aspalan berkilau basah terkena lampu jalan dan lampu kendaraan yang berdesakan. Bengkel sepeda. Toko baju di barat perempatan jalan itu sudah tutup. Toko baju yang dulu ramai. Pada tahun 1990-an, tiap hampir lebaran, seorang ibu membawa anaknya membeli baju di toko tersebut. Lampunya terang. Lantainya bersih. Sekarang redup. Toko baju yang bernama Toko Wijaya itu pernah mashur, sekarang tutup, tinggal bangunan bertingkat yang mulai tak terawat. Toko lama yang kalah bersaing dengan toko-toko baju yang lebih besar, murah, dan bagus. Lewatlah di situ. Kau akan merasakan, Perapatan Lateng menyimpan kenangan yang dalam, seolah ingin bercerita namun tak sanggup berkata-kata. Jalanannya yang kesepian tatkala malam larut mengental, bagai berkisah banyak peristiwa masa kecil entah siapa, yang disimpannya dengan begitu pedih, setia, haru, dan sia-sia. Tepat di sebelah kiri Perapatan Lateng dari arah utara, ada lapak penjahit. Lapak penjahit itu entah sudah berapa lama di sana. Hari-hari berganti, zaman berubah, musim demi musim telah berlalu, lapak penjahit di sana masih menerima kain untuk dikerjakannya. Lapak penjahit setelah lampu merah itu seolah kekal, seolah sudah ada di situ sejak dunia baru saja tercipta. Entah baju siapa saja yang telah dijahitnya. Seragam kantor, seragam sekolah, baju ke pesta, atau barangkali baju seorang kekasih. Lapak penjahit itu bagai tak peduli pada kendaraan-kendaraan yang melaju dengan resah di sekitarnya, ia seolah cuek terhadap kesibukan semesta. Ia sibuk sendiri dengan pedal mesin jahitnya yang kuno. Perapatan Lateng menyimpan setiap peristiwa yang silih berganti di dalam dirinya. Ada beberapa tempat dan keadaan yang telah berubah, ada orang yang pergi tak tentu rimba. Perapatan Lateng berusaha menyimpan apa saja yang masih mungkin disimpannya. Dan tak ada yang bertanya perihal derita keperihan, luka-lara duka nestapanya dalam menyimpan ingatan yang tak pernah dibukukan atau dimonumenkan dengan tepuk tangan panjang dan perhatian-perhatian. Namun ia pun dengan apa daya, melepas apa saja yang memang harus ia lepaskan, hilang ditelan waktu. Dan di situ, daun-daun yang menguning dari pohon peneduh jalan berjatuhan, gugur ke bumi. Kemudian ada hati yang juga menggugurkan dedaunannya, bagai bunga-bunga jambu air saat hujan jatuh, seperti kehilangan yang tak mungkin lagi ditemukan. Yang mustahil kembali diutuhkan. Atau ingatan pada keadaan---entah apa, yang tak mungkin dirangkaikan kembali bagai sedia kala.

Perapatan Lateng tak terpisahkan dari kehidupan orang sehari-hari, manusia yang di sana sebagai “orang perapatan”. Ada warung kopi milik orang Madura di timur lampu merah, bengkel, dan toko busana perempuan. Pagi selalu ramai. Kaum makelar, para juru tagih, pengangguran, wartawan, dan tak tahu siapa lagi nongkrong di situ, melewati jeda waktu yang tak dimengerti.

Perapatan Lateng seolah mensahihkan dalil Heidegger yang rumit dan ganjil. Dasein sejatinya menidak pada pandangan, bahwa manusia adalah subyek yang lepas dari ruang-waktu sejarah. Baginya, manusia “ada di situ” senantiasa. Yakni dalam ruang dan saat yang tentu. Ia “ada-dalam-dunia” (in-der-welt-sein/being-in-the-world). Ia adalah kerangka aturan fundamental manusia. Ketakterkaitan spasial manusia (dasein) dan ruang (dunia) yang ditinggali, mengakibatkan segala ruang tidaklah kosong (netral). Dunia telah senantiasa dimengerti pada landasan struktur ontologis “dasein” yang meninggali. Di situ terdapat “dunia pejalan”, “dunia penyanyi”, dan lain-lain. Itulah kiranya afirmasi Heidegger: manusia itu menyejarah. Ia mustahil melompat keluar dari titik pijak kesejarahannya, ia adalah “being-in-the-world”. Ia kepastian yang sangat faktual dan niscaya. Tetapi “ada di situ” berbeda telak dengan benda, atau selain manusia. Seumpama “ada” uang dalam dompet, dapat disebut keterkaitan pada kaitan spasial. Ada jarak, dan yang terpisah. Sedang manusia “ada” dalam Perapatan Lateng, mengandaikan relasi dia dengan perapatan tersebut bukanlah keterkaitan spasial. Bukan yang tercerai, yang lain, atau yang dua hal. Ia “ada” dalam ruang tertentu, ia “meninggali” ruang tertentu itu. Ia “mengutuh” di situ.

Seperti sebuah buku sejarah yang panjang, hujan di Perapatan Lateng memang selalu membuka ruang-ruang kisah dalam dada. Ia sebentuk harapan yang datang untuk menemui bumi kerinduan. Jendela mengembunkan pertanyaan-pertanyaan yang gemar, dalam, dan tiada henti-hentinya. Tapi hujan di situ, pun merintik di kabel listrik, mesin-mesin, orang-orang yang pergi tanpa mantel dan payung. Di situ berdiri Masjid Kiai Saleh Lateng. Masjid bersejarah yang pernah melahirkan pemuda-pemuda gagah. Ada terminal angkutan dalam kota. Pohon besar yang sering ditebang, kemudian tumbuh lagi, di terminal yang dulu selalu mengantarkan anak-anak sekolah. Pasar kecil yang berdenyut dini hari. Bangku warung kopi. Calo kendaraan yang masih saja hidup. Di Lateng itulah, lagu berdialek Banyuwangi “Tetese Eluh” sekitar tahun 1998 dituliskan oleh Yon’s DD, dinyanyikan grup musik POB (Patrol Orkestra Banyuwangi) yang mashur, pun lagu “Layangan” yang dibawakan Catur Arum. Di Dusun Klembon, lahirlah lagu kendang kempul yang legendaris, lagu yang terus kekal dalam sejarah musik Banyuwangi, berjudul “Ulan Andung-andung” diciptakan seorang seniman musik Banyuwangi yang agung, Endro Wilis. Teruslah lurus ke selatan dari lampu merah Perapatan Lateng itu, di sepanjang jalan tersebut, lagu-lagu Banyuwangi sepanjang masa telah tercipta sebagai aset berharga yang tiada pudar, “Sing Ono Jodoh” diciptakan Armaya, “Gelang Alit” oleh Fatrah Abal, dan “Umbul-umbul Blambangan” yang menggema sepanjang waktu, lahir dari jari-jari Andang Cy.

Ke arah selatan dari Perapatan Lateng, Kota Banyuwangi itu, sebuah masjid agung berdiri. Dulu bangunan masjid yang tepat di barat Taman Sritanjung itu antik dan menyimpan kearifan kebudayaan lokal yang khas. Bangunan bersap tiga, seperti sebuah Pura, atau Masjid Agung Demak. Ada budaya setempat yang telah mendesain bangunan peribadatan kaum muslimin tersebut. Di masjid itu dulu, sekira akhir tahun 1970-an, Man Padelikur menyalakan "blanggur", sejenis mercon besar yang diledakkan untuk menandai waktu berbuka puasa. Man Padelikur disuruh Kang Nan, kawannya. Namun sekarang, bangunan masjid telah berubah total. Kekuasaan dengan segala kekuasaannya, merobohkan bangunan Masjid Baiturrahman, kemudian menggantinya dengan bangunan baru, dengan bentuk masjid dari negeri Arab, megah, mahal, dan gagah. Tak ada akulturasi yang mungkin dapat ditelusuri sebagai jejak kearifan mempertemukan agama dan kebudayaan pada bangunan Masjid Baiturrahman Banyuwangi itu kini. Dulu di taman depan masjid, ada beringin raksasa. Juga di sebelah selatan Taman Sritanjung yang selalu gelap, “orang-orang gelap” tertidur di bangku-bangku lembab, menjilat malam dengan kepasrahan yang menakutkan. Kemudian pasar Banyuwangi yang berdenyut tanpa sentuhan kekuasaan, menyuguhkan barang-barang kepadamu. Ke timur, gedung bioskop yang dulu bernama Irama. Trembesi yang tua. Jalan Banterang yang dulu gelap ketika malam, kini sudah terang. Sebuah Gereja kecil tepat di depan masjid, setelah taman. Perihal kerukunan, bangsa ini sudah berpengalaman, dan tak perlu dicurigai. Kericuhan yang terjadi, selalu mengandung unsur politik yang keji.

Lalu ke barat dari Masjid Agung Baiturrahman, gedung bioskop yang dahulu bernama Suasana, hingga kini begitu tua dan sendiri, besi-besi karat, tembok kehitaman, berlumut ketika musim penghujan. Konon tepat di selatan masjid, pernah berdiri gedung bioskop pada masa kolonial Belanda. Manusia membutuhkan film, katanya. Sebuah tontonan publik yang menampilkan gambar, suara, cerita. Manusia selalu gemar melihat dirinya sendiri. Film menyeretnya dari kenyataan, melupakan dan menghindari kenyataan, sejenak dalam hidupnya. Jembatan Kali Lo yang mengalirkan kesah waktu yang melulu, seperti kedua matamu yang seperti kedua mata seekor lembu, jauh, menatap entah apa, menyimpan keterasingan di balik segala pencapaian kota. Film selalu menjadi ingatan lama yang tak sempat diberi penanda pada benak tiap orang di kota itu. Di lapangan, tepat sebelah timur gedung bersejarah yang disebut Inggrisan, gedung kesenian yang sepi. Yang ramai hanya pertunjukan pesta, warung-warung yang ditata dengan lampu-lampunya yang sangat terang. Di situ, gedung kantor pos yang kuno, mengingatkan seseorang saat mengirimkan surat kepada sang kekasih yang dirindukannya nun di jauh sana. Sepucuk surat. Dan prangko.

Ada yang tertangkap. Ada yang lepas. Kembalilah ke Perapatan Lateng. Malam selalu saja menceritakan hujan dan kenang-kenangan samar di dalam lubuknya. Kemudian ke selatan setelah lampu merah, Dusun Klembon. Aspalan yang tua telah tiada. Toko buku dan kitab suci sebelum pendapa kabupaten yang kini sering didatangi tamu-tamu asing yang menikmati angsa. Dan di Kelurahan Temenggungan, lagu “Genjer-genjer” yang termashur dilahirkan seorang seniman angklung yang hebat Mohammad Arif, pada tahun 1940-an. Orang-orang merampas lagu “Genjer-genjer” dalam pusaran konflik politik pada 1965.

Ada jalan kenangan. Ada yang tertinggal. Segalanya memang harus berubah. Nasib kenangan memang selalu ditinggalkan, pada waktu sibuk, ia dilupakan, lalu dibiarkan sendirian. Tapi adakah hari ini yang bersedia menghargai kenangan? Kesepian yang panjang, seolah sehabis perpisahan. Hanya penguasa yang gemar mengibarkan bendera-bendera negara asing, sambil menertawakan cita-cita bangsa dan bahasanya sendiri. Apakah suatu generasi harus dibangun tanpa masa lalu dan karakter bahasa ibunya? Tetapi di manakah kamu? Lama nian kita tak bertemu. Sedangkan kota, terus menggusur kenanganmu menjadi robekan ingatan, yang tak mungkin dirangkai dalam sebuah narasi kecil, yang hikmat tatkala malam dilarutkan.

Prapatan Lateng, 2020.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/hujan-perapatan-lateng/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar