Sunlie Thomas Alexander *
KEMBALI ke Belinyu, ke kota kelahiranku di utara Pulau Bangka dalam kondisi masih depresi, aku tidak berharap banyak untuk bisa memulai kembali novelku yang judulnya sudah nyaris jadi cemoohan di kalangan kawan-kawan penulis itu: "Kampung Halaman di Negeri Asing".
Sudah sebulan lebih. Aku belum bisa juga menulisnya sama sekali. Namun malam tadi aku sedikit menimbang-nimbang nasibnya di masa depan yang mungkin sepekat keputusasaan dan kesunyianku. Aku memikirkan alternatif-alternatif untuknya di tengah rasa sakitku, tetapi toh akhirnya aku tetap mesti menerima kenyataan pahit bahwa ia memang sebuah kemusykilan bagiku entah sampai kapan.
"Kalau memaksa, bisa-bisa aku akan menulis racauan," pikirku tercenung. Dan itu tentunya hal yang sangat memalukan.
Lalu tiba-tiba aku teringat pada Aracataca, kota kelahiran Gabriel Garcia Marquez di utara Kolombia. Aku mengikuti gambaran Marquez mengenai kota itu dalam buku autobiografinya, "Living to Tell the Tale": Sebuah kota yang gersang dengan cuaca panas mencekik, dengan rumah-rumah muram yang seakan tak berpenghuni, dengan kemiskinan yang menjerit tanpa suara.
Seperti Aracataca yang ditinggalkan oleh kejayaan perkebunan pisang, Belinyu adalah kota kecamatan yang dibiarkan nelangsa selepas dikuras habis-habisan oleh penambangan timah. Banyak toko yang dulu ramai oleh tawaran pembeli kini terbuka senyap, aku bertemu kawan-kawan yang tak jelas kerjaannya, pertanian nyaris mati, dan masih kudengar jua sisa-sisa risalah kekerasan bertebaran.
Hujan begitu jarang karena saban hari angin berhembus cukup kencang.
Sehingga sekilas, aku pun nyaris merasa bahwa keduanya seperti dua buah kota berjauhan yang dipertemukan oleh kemurungan nasib serupa.
***
AKU coba mengingat-ingat Living to Tell the Tale lebih rinci. Aku sudah cukup lama membacanya, buku itu sekarang berada dalam kardus di rumah kontrakanku di Jogja---belum sempat kubongkar sehabis pindahan. Maka aku pun mencari-cari perihalnya di Google untuk sekedar menyegarkan ingatan.
Kuingat temanku, penyair dan penerjemah An Ismanto, suatu hari mengatakan bahwa pengalamannya membaca buku yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol dengan judul "Vivir para contarla" ini lebih indah daripada pengalaman yang didapatkannya saat membaca "Seratus Tahun Kesunyian". Tentu, pengalaman membaca temanku ini juga diriku, hanya bisa kami peroleh berkat usaha penerjemahan ke bahasa kedua bahkan ketiga lantaran tak ada di antara kami yang menguasai bahasa Spanyol.
Kala itu aku tak sepakat dengan Simbah (sapaan akrab An). Tetapi Living to Tell the Tale, apa boleh buat, memang sebuah autobiografi yang ditulis dengan kualitas novel kelas dunia. Ia tak hanya diceritakan dalam paragraf-paragraf cukup panjang yang bening dan gaya naratif memikat seperti umumnya karya-karya fiksi Marquez, namun juga mengandalkan permainan plot yang tindih-menindih dengan waktu tampak chaos sebagaimana Seratus Tahun Kesunyian. Bahkan di dalamnya selain gaung suara politik, sesekali kita pun bersua dengan elemen-elemen magis yang riil.
Living to Tell the Tale juga dibuka dari tengah seperti halnya novel Seratus Tahun Kesunyian; lewat momen paling penting dalam kehidupan Don Gabo (sapaan Marquez) yang menentukan karirnya sebagai penulis. Yakni ketika ia berusia 23 tahun dan ibunya datang ke Bogota untuk mengajaknya pergi menjual rumah masa kecilnya lantaran kehidupan mereka yang serba sulit. Dan Gabo muda pun terpaksa harus berhutang ke sana kemari untuk membiayai ongkos perjalanan bersama ibunya itu.
Perjalanan itu adalah perjalanan kembali yang sentimentil. Berpisah sekian lama oleh jarak usia dan jarak ruang, ia tenggelam dalam kelabilan nostalgis seorang lelaki dewasa. Suasana kota panas itu yang gersang bagaikan kota mati dengan kenangan masa kanak-kanak bersama ibunya, kakek, dan seluruh anggota keluarganya pun membanjiri dirinya begitu rupa dan menyegel nasibnya sebagai penulis.
Dan inilah titik yang begitu signifikan itu: tatkala ia akhirnya memilih untuk mengisahkan kampung halaman, dunianya sendiri yang dikenal baik olehnya, dengan caranya sendiri---sebagaimana Wiiliam Faulkner berdongeng tentang Selatan. Kota kelahirannya itu mengenangkan Gabo pada Yoknapatawpha, kota fiksional dalam novel-novel Faulkner.
Katanya: "Setiap hal, hanya dengan melihatnya, membangkitkan dalam diriku kerinduan yang tidak tertahankan untuk menulis, sehingga jika tidak aku akan mati."
***
TENTU siapapun di antara kita punya semacam nostalgia mencekik semacam ini. Dan kukira tantangan terbesar kita sebelum menuliskannya kembali, baik sebagai fiksi maupun memoar, pertama-tama adalah mencoba meredakan kerasukan dalam diri dan berupaya untuk membangun jarak yang cukup dengannya.
Kenangan adalah hantu yang bertandang berulangkali, sementara menulis mestinya merupakan suatu upaya keras untuk menggali ketegangan antara trance dan kesadaran. Jika tidak, kita hanya bakal meracau dan meracau.
Di laman Facebook, penyair Ahmad Yulden Erwin kukira tak lelah-lelahnya mengingatkan mereka yang mengaku penyair atau yang merasa tertarik untuk menjadi penyair agar bisa membedakan secara jelas antara puisi dan racauan.
Aku tak perlu mengutip Bang AYE atau mengulangi lagi apa yang dikatakannya itu di sini. Tetapi intinya, puisi dan apapun genre karya sastra tak hanya perkara kepekaan sense tetapi terutama juga menyangkut kemampuan berbahasa yang becus, kemauan untuk terus mengkaji, serta penerapan logika secara ketat. Tanpa ketiga hal ini, mustahil bagi kita mendambakan sebuah karya yang baik.
Sebab, bagaimana kau bisa mengatakan kau bisa menulis puisi apabila menggunakan majas perbandingan saja kau tak paham? Sama halnya apabila kau mengaku sebagai seorang aktivis namun pengetahuanmu tentang dunia pergerakan ternyata hampir nol.
Seratus Tahun Kesunyian, novel yang melahirkan era el boom dan meluaskan teori naratif magical realism ke penjuru dunia itu telah melewati proses panjang yang jelas tak mudah.
Dan dalam Living to Tell the Tale, kita pun membaca proses panjang itu sebagai usaha-usaha keras yang tak berkesudahan, yang tumpang-tindih dengan kebimbangan dan rasa tak puas sebagaimana percobaan kimia gila-gilaan seorang José Arcadio Buendía atau perang saudara dijalani oleh Kolonel Aureliano Buendia---sebelum akhirnya Aracataca dan perjalanan pulang Don Gabo muda yang sentimentil itu dapat benar-benar dihidupkan kembali sebagai Macondo: kota pisang selayaknya fatamorgana sejarah Amerika Selatan. Dengan Perang Seribu Hari, pembantaian buruh-buruh perkebunan pisang, para gipsi, orang-orang mati yang kembali, Indian, perawan tua yang keras kepala, gadis sesuci dan secantik santa.
Ia harus melewati Leaf Storm terlebih dahulu, yang pada awalnya diberi judul "La casa" atau "Rumah", lalu "No One Write to the Colonel" yang mengisahkan seorang anak buah Kolonel Aureliano yang menunggu gaji tak kunjung dibayar seusai perang, kemudian "In Evil House" dan "Big Mama's Funeral" serta "Chronicle of a Death Foretold" yang membawaku pada cerita-cerita kekerasan di jalanan Belinyu era 80-90an---yang semuanya tidaklah memenuhi syarat bayangan Gabo tentang Macondo yang syahdan berasal dari papan nama tua di bekas perkebunan pisang.
Terang, aku juga punya hantu-hantuku sendiri di Belinyu: Ibu renta tercinta yang cerewet, bibi tua yang berkali-kali gagal menikah, seorang paman yang punya masalah dengan perkembangan kecerdasan, kemudian bangunan ruko-ruko peninggalan tahun 80an dengan lorong-lorongnya yang amis, ruas-ruas jalan yang nyaris tak berubah, tiang-tiang listrik sisa kejayaan Tambang Timah Bangka.
Juga apa yang kini telah lenyap secara fisik: Kakek totok dengan ingatannya tentang Tiongkok, seorang bibi yang gila, paman tertua yang mengalami trauma kekerasan dan memilih menyisih dari dunia ramai lalu melewati hari-harinya dengan memandang poster-poster kecil iklan bioskop, seorang ayah yang sangat rasional tetapi senantiasa menenggelamkan diri dalam hitungan-hitungan lotre, kakek lain yang ahli nujum; pun dua bioskop yang tak ada lagi, ruko kayu kami yang ludes dilahap kebakaran 1993, pasar ikan yang dibongkar, dan lain-lain.
Tetapi aku tak mungkin, juga takut, menulis seperti Marquez. Apalagi dalam kondisiku sekarang, ketika hantu lain di hatiku yang begitu ayu itu seperti terus menyeretku ke lubang sumur gelap tanpa dasar. Tanpa kenal belas kasihan.
Dari Living to Tell the Tale serta wawancara-wawancaranya, kita tahu bahwa Don Gabo mengasah teknik menulisnya tanpa kenal jerih; ia mencuri secara kreatif dari Faulkner cara memperlakukan pandangan terhadap dunia sekitar dengan plot yang bertindihan itu, ia terguncang oleh Metaformosis Kafka yang mengingatkannya pada cara neneknya berkisah, dan dari Hemingway ia belajar bahasa yang bening dan telak khas kerja jurnalis.
Tetapi untukku, pencurian kreatif yang berulang-ulang bukanlah jawaban. Ia hanya akan menjebakku menjadi salah seorang epigon yang sudah kebanyakan di Indonesia. Jadi, kupikir pesona Marquez juga hal yang mestinya aku jauhi. Atau jika tidak, bisa jadi aku benar-benar bakal menjelma jadi peracau, alih-alih penulis.
Simbah, temanku, barangkali betul juga. Living to Tell the Tale mungkin memang lebih memukau dari Seratus Tahun Kesunyian. One Hundred Years of Solitude adalah sebuah karya masterpiece; buah kerja keras bertahun-tahun yang melewati kemungkinan demi kemungkinan, percobaan demi percobaan. Tetapi Living to Tell the Tale adalah dongeng tentang proses; cerita bagaimana seorang penulis hidup dan belajar yang ditulis dengan penuh kesadaran, dengan cara seperti menulis fiksi.
Dalam Living to Tale the Tale, Don Gabo menulis tentang dunianya yang riil---tentang kemiskinan dan rasa laparnya, kegagalan demi kegagalan dalam hidupnya, cintanya kepada ibunya yang malang dan gadis cilik 13 tahun yang kemudian menjadi istrinya, perkenalannya dengan dunia sastra, dunia kerja dan pergaulan-pergaulannya dgn para seniman kere, wartawan, dan kaum sosialis, pandangan politik dan kenangannya yang mencemaskan. Buku autobiografi ini adalah sebuah kejujuran perih yang dikemas dengan cara merancang karya fisik. Bahkan siapapun yang membaca Living to Tell the Tale bakal mendapati betapa besarnya keluarga Buendia dan kota fiktif Macondo dalam Seratus Tahun Kesunyian berhutang kepada Aracataca kota sial itu dan kenangan Marquez atas keluarganya.
Namun kaum munafik di sekeliling kita hari ini hanyalah orang-orang tanpa harga diri yang mencoba menciptakan dunia mereka sendiri sedemikian rupa; dengan cara memaksakan khayalan mereka tentang diri mereka kepada orang lain seolah-olah itu adalah nyata. Ini tentunya tak kalah menjijikan dari berita-berita hoax yang kini telah menjadi konsumsi rutin sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dan upaya menonfiksikan "fiksi" tentang diri sendiri semacam ini jelas merupakan racauan jenis lain, yang bahkan jauh lebih mengerikan dan menjurus ke arah skizofrenik. Padahal hidup kita seperti juga karya sastra, mestinya bukanlah racauan.
Ah, mungkin aku akan mencoba menulis tentang kaum jenis ini, tentang racauan-racauannya yang menakutkan itu, pada lain unggahan nanti.[]
____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/seperti-karya-sastra-hidup-bukanlah-racauan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar