Jumat, 06 Maret 2020

SEPERTI KARYA SASTRA, HIDUP BUKANLAH RACAUAN

Sunlie Thomas Alexander *

KEMBALI ke Belinyu, ke kota kelahiranku di utara Pulau Bangka dalam kondisi masih depresi, aku tidak berharap banyak untuk bisa memulai kembali novelku yang judulnya sudah nyaris jadi cemoohan di kalangan kawan-kawan penulis itu: "Kampung Halaman di Negeri Asing".

Sudah sebulan lebih. Aku belum bisa juga menulisnya sama sekali. Namun malam tadi aku sedikit menimbang-nimbang nasibnya di masa depan yang mungkin sepekat keputusasaan dan kesunyianku. Aku memikirkan alternatif-alternatif untuknya di tengah rasa sakitku, tetapi toh akhirnya aku tetap mesti menerima kenyataan pahit bahwa ia memang sebuah kemusykilan bagiku entah sampai kapan.

"Kalau memaksa, bisa-bisa aku akan menulis racauan," pikirku tercenung. Dan itu tentunya hal yang sangat memalukan.

Lalu tiba-tiba aku teringat pada Aracataca, kota kelahiran Gabriel Garcia Marquez di utara Kolombia. Aku mengikuti gambaran Marquez mengenai kota itu dalam buku autobiografinya, "Living to Tell the Tale": Sebuah kota yang gersang dengan cuaca panas mencekik, dengan rumah-rumah muram yang seakan tak berpenghuni, dengan kemiskinan yang menjerit tanpa suara.

Seperti Aracataca yang ditinggalkan oleh kejayaan perkebunan pisang, Belinyu adalah kota kecamatan yang dibiarkan nelangsa selepas dikuras habis-habisan oleh penambangan timah. Banyak toko yang dulu ramai oleh tawaran pembeli kini terbuka senyap, aku bertemu kawan-kawan yang tak jelas kerjaannya, pertanian nyaris mati, dan masih kudengar jua sisa-sisa risalah kekerasan bertebaran.

Hujan begitu jarang karena saban hari angin berhembus cukup kencang.

Sehingga sekilas, aku pun nyaris merasa bahwa keduanya seperti dua buah kota berjauhan yang dipertemukan oleh kemurungan nasib serupa.
***

AKU coba mengingat-ingat Living to Tell the Tale lebih rinci. Aku sudah cukup lama membacanya, buku itu sekarang berada dalam kardus di rumah kontrakanku di Jogja---belum sempat kubongkar sehabis pindahan. Maka aku pun mencari-cari perihalnya di Google untuk sekedar menyegarkan ingatan.

Kuingat temanku, penyair dan penerjemah An Ismanto, suatu hari mengatakan bahwa pengalamannya membaca buku yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol dengan judul "Vivir para contarla" ini lebih indah daripada pengalaman yang didapatkannya saat membaca "Seratus Tahun Kesunyian". Tentu, pengalaman membaca temanku ini juga diriku, hanya bisa kami peroleh berkat usaha penerjemahan ke bahasa kedua bahkan ketiga lantaran tak ada di antara kami yang menguasai bahasa Spanyol.

Kala itu aku tak sepakat dengan Simbah (sapaan akrab An). Tetapi Living to Tell the Tale, apa boleh buat, memang sebuah autobiografi yang ditulis dengan kualitas novel kelas dunia. Ia tak hanya diceritakan dalam paragraf-paragraf cukup panjang yang bening dan gaya naratif memikat seperti umumnya karya-karya fiksi Marquez, namun juga mengandalkan permainan plot yang tindih-menindih dengan waktu tampak chaos sebagaimana Seratus Tahun Kesunyian. Bahkan di dalamnya selain gaung suara politik, sesekali kita pun bersua dengan elemen-elemen magis yang riil.

Living to Tell the Tale juga dibuka dari tengah seperti halnya novel Seratus Tahun Kesunyian; lewat momen paling penting dalam kehidupan Don Gabo (sapaan Marquez) yang menentukan karirnya sebagai penulis. Yakni ketika ia berusia 23 tahun dan ibunya datang ke Bogota untuk mengajaknya pergi menjual rumah masa kecilnya lantaran kehidupan mereka yang serba sulit. Dan Gabo muda pun terpaksa harus berhutang ke sana kemari untuk membiayai ongkos perjalanan bersama ibunya itu.

Perjalanan itu adalah perjalanan kembali yang sentimentil. Berpisah sekian lama oleh jarak usia dan jarak ruang, ia tenggelam dalam kelabilan nostalgis seorang lelaki dewasa. Suasana kota panas itu yang gersang bagaikan kota mati dengan kenangan masa kanak-kanak bersama ibunya, kakek, dan seluruh anggota keluarganya pun membanjiri dirinya begitu rupa dan menyegel nasibnya sebagai penulis.

Dan inilah titik yang begitu signifikan itu: tatkala ia akhirnya memilih untuk mengisahkan kampung halaman, dunianya sendiri yang dikenal baik olehnya, dengan caranya sendiri---sebagaimana Wiiliam Faulkner berdongeng tentang Selatan. Kota kelahirannya itu mengenangkan Gabo pada Yoknapatawpha, kota fiksional dalam novel-novel Faulkner.

Katanya: "Setiap hal, hanya dengan melihatnya, membangkitkan dalam diriku kerinduan yang tidak tertahankan untuk menulis, sehingga jika tidak aku akan mati."
***

TENTU siapapun di antara kita punya semacam nostalgia mencekik semacam ini. Dan kukira tantangan terbesar kita sebelum menuliskannya kembali, baik sebagai fiksi maupun memoar, pertama-tama adalah mencoba meredakan kerasukan dalam diri dan berupaya untuk membangun jarak yang cukup dengannya.

Kenangan adalah hantu yang bertandang berulangkali, sementara menulis mestinya merupakan suatu upaya keras untuk menggali ketegangan antara trance dan kesadaran. Jika tidak, kita hanya bakal meracau dan meracau.

Di laman Facebook, penyair Ahmad Yulden Erwin kukira tak lelah-lelahnya mengingatkan mereka yang mengaku penyair atau yang merasa tertarik untuk menjadi penyair agar bisa membedakan secara jelas antara puisi dan racauan.

Aku tak perlu mengutip Bang AYE atau mengulangi lagi apa yang dikatakannya itu di sini. Tetapi intinya, puisi dan apapun genre karya sastra tak hanya perkara kepekaan sense tetapi terutama juga menyangkut kemampuan berbahasa yang becus, kemauan untuk terus mengkaji, serta penerapan logika secara ketat. Tanpa ketiga hal ini, mustahil bagi kita mendambakan sebuah karya yang baik.

Sebab, bagaimana kau bisa mengatakan kau bisa menulis puisi apabila menggunakan majas perbandingan saja kau tak paham? Sama halnya apabila kau mengaku sebagai seorang aktivis namun pengetahuanmu tentang dunia pergerakan ternyata hampir nol.

Seratus Tahun Kesunyian, novel yang melahirkan era el boom dan meluaskan teori naratif magical realism ke penjuru dunia itu telah melewati proses panjang yang jelas tak mudah.

Dan dalam Living to Tell the Tale, kita pun membaca proses panjang itu sebagai usaha-usaha keras yang tak berkesudahan, yang tumpang-tindih dengan kebimbangan dan rasa tak puas sebagaimana percobaan kimia gila-gilaan seorang José Arcadio Buendía atau perang saudara dijalani oleh Kolonel Aureliano Buendia---sebelum akhirnya Aracataca dan perjalanan pulang Don Gabo muda yang sentimentil itu dapat benar-benar dihidupkan kembali sebagai Macondo: kota pisang selayaknya fatamorgana sejarah Amerika Selatan. Dengan Perang Seribu Hari, pembantaian buruh-buruh perkebunan pisang, para gipsi, orang-orang mati yang kembali, Indian, perawan tua yang keras kepala, gadis sesuci dan secantik santa.

Ia harus melewati Leaf Storm terlebih dahulu, yang pada awalnya diberi judul "La casa" atau "Rumah", lalu "No One Write to the Colonel" yang mengisahkan seorang anak buah Kolonel Aureliano yang menunggu gaji tak kunjung dibayar seusai perang, kemudian "In Evil House" dan "Big Mama's Funeral" serta "Chronicle of a Death Foretold" yang membawaku pada cerita-cerita kekerasan di jalanan Belinyu era 80-90an---yang semuanya tidaklah memenuhi syarat bayangan Gabo tentang Macondo yang syahdan berasal dari papan nama tua di bekas perkebunan pisang.

Terang, aku juga punya hantu-hantuku sendiri di Belinyu: Ibu renta tercinta yang cerewet, bibi tua yang berkali-kali gagal menikah, seorang paman yang punya masalah dengan perkembangan kecerdasan, kemudian bangunan ruko-ruko peninggalan tahun 80an dengan lorong-lorongnya yang amis, ruas-ruas jalan yang nyaris tak berubah, tiang-tiang listrik sisa kejayaan Tambang Timah Bangka.

Juga apa yang kini telah lenyap secara fisik: Kakek totok dengan ingatannya tentang Tiongkok, seorang bibi yang gila, paman tertua yang mengalami trauma kekerasan dan memilih menyisih dari dunia ramai lalu melewati hari-harinya dengan memandang poster-poster kecil iklan bioskop, seorang ayah yang sangat rasional tetapi senantiasa menenggelamkan diri dalam hitungan-hitungan lotre, kakek lain yang ahli nujum; pun dua bioskop yang tak ada lagi, ruko kayu kami yang ludes dilahap kebakaran 1993, pasar ikan yang dibongkar, dan lain-lain.

Tetapi aku tak mungkin, juga takut, menulis seperti Marquez. Apalagi dalam kondisiku sekarang, ketika hantu lain di hatiku yang begitu ayu itu seperti terus menyeretku ke lubang sumur gelap tanpa dasar. Tanpa kenal belas kasihan.

Dari Living to Tell the Tale serta wawancara-wawancaranya, kita tahu bahwa Don Gabo mengasah teknik menulisnya tanpa kenal jerih; ia mencuri secara kreatif dari Faulkner cara memperlakukan pandangan terhadap dunia sekitar dengan plot yang bertindihan itu, ia terguncang oleh Metaformosis Kafka yang mengingatkannya pada cara neneknya berkisah, dan dari Hemingway ia belajar bahasa yang bening dan telak khas kerja jurnalis.

Tetapi untukku, pencurian kreatif yang berulang-ulang bukanlah jawaban. Ia hanya akan menjebakku menjadi salah seorang epigon yang sudah kebanyakan di Indonesia. Jadi, kupikir pesona Marquez juga hal yang mestinya aku jauhi. Atau jika tidak, bisa jadi aku benar-benar bakal menjelma jadi peracau, alih-alih penulis.

Simbah, temanku, barangkali betul juga. Living to Tell the Tale mungkin memang lebih memukau dari Seratus Tahun Kesunyian. One Hundred Years of Solitude adalah sebuah karya masterpiece; buah kerja keras bertahun-tahun yang melewati kemungkinan demi kemungkinan, percobaan demi percobaan. Tetapi Living to Tell the Tale adalah dongeng tentang proses; cerita bagaimana seorang penulis hidup dan belajar yang ditulis dengan penuh kesadaran, dengan cara seperti menulis fiksi.

Dalam Living to Tale the Tale, Don Gabo menulis tentang dunianya yang riil---tentang kemiskinan dan rasa laparnya, kegagalan demi kegagalan dalam hidupnya, cintanya kepada ibunya yang malang dan gadis cilik 13 tahun yang kemudian menjadi istrinya, perkenalannya dengan dunia sastra, dunia kerja dan pergaulan-pergaulannya dgn para seniman kere, wartawan, dan kaum sosialis, pandangan politik dan kenangannya yang mencemaskan. Buku autobiografi ini adalah sebuah kejujuran perih yang dikemas dengan cara merancang karya fisik. Bahkan siapapun yang membaca Living to Tell the Tale bakal mendapati betapa besarnya keluarga Buendia dan kota fiktif Macondo dalam Seratus Tahun Kesunyian berhutang kepada Aracataca kota sial itu dan kenangan Marquez atas keluarganya.

Namun kaum munafik di sekeliling kita hari ini hanyalah orang-orang tanpa harga diri yang mencoba menciptakan dunia mereka sendiri sedemikian rupa; dengan cara memaksakan khayalan mereka tentang diri mereka kepada orang lain seolah-olah itu adalah nyata. Ini tentunya tak kalah menjijikan dari berita-berita hoax yang kini telah menjadi konsumsi rutin sebagian besar masyarakat Indonesia.

Dan upaya menonfiksikan "fiksi" tentang diri sendiri semacam ini jelas merupakan racauan jenis lain, yang bahkan jauh lebih mengerikan dan menjurus ke arah skizofrenik. Padahal hidup kita seperti juga karya sastra, mestinya bukanlah racauan.

Ah, mungkin aku akan mencoba menulis tentang kaum jenis ini, tentang racauan-racauannya yang menakutkan itu, pada lain unggahan nanti.[]

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/seperti-karya-sastra-hidup-bukanlah-racauan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar