Sunlie Thomas Alexander *
"Dari tempat di mana kita semua benar
bunga-bunga tak akan pernah tumbuh
di musim semi."
(Yehuda Amichai)
MAAF dan memaafkan adalah esensi kemanusiaan. Bukan cuma sekadar ajaran yang bisa kita temukan, petik, dan amalkan dari agama-agama yang lahir dari pencarian anak manusia (atau diturunkan, dalam perspektif samawi). Termasuk di sini, memaafkan diri sendiri.
Bukankah dalam sejarah Tuhan pun, kita masih bakal terus-menerus menemukan kenyataan bagaimana kita begitu getol mengutip ayat-ayat suci atau sekadar doa untuk mencelakai yang lain--mengutuk dan menyalahkan, melakukan kekejian, membenarkan dan menutup/membentengi diri? Alhasil orang lain adalah kerak neraka dan kita--yang diurapi Yang Maha Kasih--merupakan sebuah "pembenaran" hakiki secara retorik dan perspektif.
Tetapi, kenyataan ini pulalah yang seyogianya mesti menyadarkan kita bahwa manusia adalah bejana keangkuhan yang teramat egoistik; yang cenderung mencari kesalahan sang liyan, termasuk mempersonifikasikan sumber kejahatannya sendiri dalam sosok Iblis (pada tradisi Nasrani, kerap "ia" digambarkan dalam wujud kambing hitam).
Ya, kecenderungan inilah, nafsu kita, yang dibahasakan dalam teologi Nasrani sebagai "dosa asal". Dosa asal bukanlah dosa bawaan seperti yang kerap dipahami secara keliru. Ia hanyalah semacam kecenderungan kita sebagai manusia untuk terus-terusan membuahkan kesalahan: iri-dengki, pamer, pamrih, membenci, meraih keuntungan, menindas, menguasai dan menaklukkan, menyingkirkan, dan tentu saja menyalahkan.
Alhasil, ia pun menjadi sumber penderitaan, sumber rasa sakit kita, yang senantiasa enggan kita terima.
Buddhisme menerjemahkannya secara lebih sederhana: Keinginan. Lalu menawarkan solusi "darma" sebagai jalan menuju pencerahan. Hanya dalam pencerahan, kita akan memperoleh kedamaian. Dan hanya dalam kedamaian, kita bakal bersua dengan kebahagiaan yang sejati. Toh, tak ada jalan menuju kebahagiaan selain kebahagiaan itu sendiri dengan terus-menerus melawan kecenderungan kita, kerapuhan darah-daging dan pikiran ini.
***
TETAPI selama ribuan tahun, Buddhisme yang ditafsirkan ke segala arah pun kerap tergelincir menjadi penghambaan terhadap bentuk: doa sebagai untaian kata ritualistik, pengekangan diri yang tak mengunci emosi sampai ke dalam, dan darma yang tampak profan.
Sehingga di sini, maaf dan memaafkan pun hanyalah sebuah proses awal yang masih sarat dengan keangkuhan. Dan pada tingkatan yang lebih umum ia tak lebih dari basa-basi tradisi keagamaan.
Akibatnya, puasa Ramadan hanyalah usaha untuk kembali memaknai hawa nafsu (yang tak dikurung seperti mite Iblis) selama sebulan, lalu jalan salib lagi-lagi bersimbah tangis sebagai penderitaan yang tak layak kita lakoni sembari menggugat keadilan Bapa di surga, dan... Karma serta merta tak lagi terjamah oleh perbuatan kita tetapi cuma sekadar azab bagi perbuatan orang lain, di mana "Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatt?" dilafadzkan cuma untuk kebahagiaan diri sendiri.
Tak ada lagi pemahaman yang esensial. Sebab Tuhan telah menghilang dari penderitaan di hati dan pikiran kita, dari mata hati kita tatkala memandang penderitaan orang lain.
Lantaran itu pula, ia, pemahaman itu, tak ubahnya sebuah pintu yang tertutup rapat, bahkan terkunci. Keluar maupun ke dalam. Kita memang "cenderung" tertutup, bagi orang lain maupun hati nurani sendiri.
Kita enggan belajar dari kehidupan itu sendiri.
***
PADAHAL dalam karya sastra misalnya, kita kerap diajak untuk terus-menerus memahami tanpa syarat. Sastra adalah cermin kehidupan, di mana dalam pantulannya kita seyogianya dapat melihat hakikat kemanusiaan kita, wajah kita apa adanya, cantik menggoda ataupun bopeng-bopeng berikut seluruh ekspresinya.
Sehingga kita pun diingatkan untuk mafhum: manusia yang dimuliakan dengan kehendak bebas itu bukanlah malaikat. Manusia dengan nafsunya hanyalah guci rapuh yang berkali dan berulang lagi akan menjelma jadi serigala untuk yang lain.
Kita tak bakal menemukan karakteristik yang murni. Murni jahat atau murni baik. Karena demikianlah dunia nyata ini. Kekejian bisa saja dilakukan oleh seorang pahlawan agung, dan kebaikan tak musykil dilakukan oleh mereka yang paling laknat.
Di sinilah pentingnya perspektif. Keikhlasan untuk menerima segala sudut pandang. Dalam sastra, kita diajak untuk meluaskan perspektif. Dan dengan cara itu pula kita bakal mampu memahami keluar maupun ke dalam. Lalu muncullah kejernihan. Pencerahan. Nirvana itu.
Sehingga kita bukan saja dapat menginterpretasikan nafsu, tetapi lebih jauh lagi: Naluri Kehidupan. Kenapa perang bisa terjadi, kenapa cinta dan benci terbit dari hati, kenapa pembenaran menjadi benteng di atas ubun-ubun, kenapa doa begitu eksklusif bagi diri sendiri atau mereka yang baik kepada kita saja, kenapa azab harus ditimpakan kepada orang lain, terutama yang kita anggap berbuat buruk terhadap diri kita dan orang-orang yang kita sayangi.
Sastra mengajari kita untuk melihat langsung ke dalam hati dan pikiran Yudas Iskariot: untuk menyadari bahwa dalam perspektifnya, ia memang melakukan suatu kebaikan yang benar tatkala menukar Yesus (Tuhan itu) dengan tiga puluh keping perak dan sebuah kecupan di tengah taman.
Kita pun diajak menjadi Don Quixote ksatria majenun yang berkelahi dengan kincir angin karena itu memang musuh yang nyata, menjadi Florentino Ariza yang takkan berhenti mencintai Fermina Daza lantaran cinta itu tak pernah lelah, menjadi Humbert Humbert yang mesti mencicipi manisnya Dolores Haze karena itulah cinta yang tidak terlarang, atau menjadi Kolonel Aureliano BuendÃa yang masygul sebab perang mesti terus berlanjut.
Kita bahkan bisa menjadi Frank Castle, antihero mashyur dalam komik DC itu, yang tahu bahwa dendam harus dituntaskan dengan brondongan peluru.
Meluaskan Perspektif adalah darma yang lain; sebuah ikhtiar tulus di atas simpati dan empati untuk memahami segala yang lain maupun segala yang ada di diri.
Memahami sama sekali bukan menerima kebenaran. Ia di atas itu, seperti halnya ikhlas bukanlah pasrah.
Hanya dengan ikhlas, kita bisa merintis jalan yang melampaui maaf dan memanfaatkan: sebuah rekonsiliasi, yang tak takut bersua kembali dengan trauma, rasa sakit, keburukan dan kebaikan, juga kemuakan dan rasa jijik aku pada kau!
Dengan demikian dunia terus berputar, terus-menerus, berulang-ulang, seperti kedegilan hati dan keangkuhan egoistik kita yang mesti kita kita jernihkan, kita taklukkan.
Di sinilah nantinya kita bakal berhadapan dengan cinta kasih, hukum tertinggi yang diwartakan Kristus itu tanpa perlu memberikan pipimu yang lain untuk ditampar.
Kau paham kan? Aku paham kan?
Al Fatihah.
____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/hukum-cinta-kasih-rekonsiliasi/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar