Jumat, 22 Mei 2020

HUKUM CINTA KASIH: REKONSILIASI

Sunlie Thomas Alexander *

"Dari tempat di mana kita semua benar
bunga-bunga tak akan pernah tumbuh
di musim semi."
(Yehuda Amichai)

MAAF dan memaafkan adalah esensi kemanusiaan. Bukan cuma sekadar ajaran yang bisa kita temukan, petik, dan amalkan dari agama-agama yang lahir dari pencarian anak manusia (atau diturunkan, dalam perspektif samawi). Termasuk di sini, memaafkan diri sendiri.

Bukankah dalam sejarah Tuhan pun, kita masih bakal terus-menerus menemukan kenyataan bagaimana kita begitu getol mengutip ayat-ayat suci atau sekadar doa untuk mencelakai yang lain--mengutuk dan menyalahkan, melakukan kekejian, membenarkan dan menutup/membentengi diri? Alhasil orang lain adalah kerak neraka dan kita--yang diurapi Yang Maha Kasih--merupakan sebuah "pembenaran" hakiki secara retorik dan perspektif.

Tetapi, kenyataan ini pulalah yang seyogianya mesti menyadarkan kita bahwa manusia adalah bejana keangkuhan yang teramat egoistik; yang cenderung mencari kesalahan sang liyan, termasuk mempersonifikasikan sumber kejahatannya sendiri dalam sosok Iblis (pada tradisi Nasrani, kerap "ia" digambarkan dalam wujud kambing hitam).

Ya, kecenderungan inilah, nafsu kita, yang dibahasakan dalam teologi Nasrani sebagai "dosa asal". Dosa asal bukanlah dosa bawaan seperti yang kerap dipahami secara keliru. Ia hanyalah semacam kecenderungan kita sebagai manusia untuk terus-terusan membuahkan kesalahan: iri-dengki, pamer, pamrih, membenci, meraih keuntungan, menindas, menguasai dan menaklukkan, menyingkirkan, dan tentu saja menyalahkan.

Alhasil, ia pun menjadi sumber penderitaan, sumber rasa sakit kita, yang senantiasa enggan kita terima.

Buddhisme menerjemahkannya secara lebih sederhana: Keinginan. Lalu menawarkan solusi "darma" sebagai jalan menuju pencerahan. Hanya dalam pencerahan, kita akan memperoleh kedamaian. Dan hanya dalam kedamaian, kita bakal bersua dengan kebahagiaan yang sejati. Toh, tak ada jalan menuju kebahagiaan selain kebahagiaan itu sendiri dengan terus-menerus melawan kecenderungan kita, kerapuhan darah-daging dan pikiran ini.
***

TETAPI selama ribuan tahun, Buddhisme yang ditafsirkan ke segala arah pun kerap tergelincir menjadi penghambaan terhadap bentuk: doa sebagai untaian kata ritualistik, pengekangan diri yang tak mengunci emosi sampai ke dalam, dan darma yang tampak profan.

Sehingga di sini, maaf dan memaafkan pun hanyalah sebuah proses awal yang masih sarat dengan keangkuhan. Dan pada tingkatan yang lebih umum ia tak lebih dari basa-basi tradisi keagamaan.

Akibatnya, puasa Ramadan hanyalah usaha untuk kembali memaknai hawa nafsu (yang tak dikurung seperti mite Iblis) selama sebulan, lalu jalan salib lagi-lagi bersimbah tangis sebagai penderitaan yang tak layak kita lakoni sembari menggugat keadilan Bapa di surga, dan... Karma serta merta tak lagi terjamah oleh perbuatan kita tetapi cuma sekadar azab bagi perbuatan orang lain, di mana "Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatt?" dilafadzkan cuma untuk kebahagiaan diri sendiri.

Tak ada lagi pemahaman yang esensial. Sebab Tuhan telah menghilang dari penderitaan di hati dan pikiran kita, dari mata hati kita tatkala memandang penderitaan orang lain.

Lantaran itu pula, ia, pemahaman itu, tak ubahnya sebuah pintu yang tertutup rapat, bahkan terkunci. Keluar maupun ke dalam. Kita memang "cenderung" tertutup, bagi orang lain maupun hati nurani sendiri.

Kita enggan belajar dari kehidupan itu sendiri.
***

PADAHAL dalam karya sastra misalnya, kita kerap diajak untuk terus-menerus memahami tanpa syarat. Sastra adalah cermin kehidupan, di mana dalam pantulannya kita seyogianya dapat melihat hakikat kemanusiaan kita, wajah kita apa adanya, cantik menggoda ataupun bopeng-bopeng berikut seluruh ekspresinya.

Sehingga kita pun diingatkan untuk mafhum: manusia yang dimuliakan dengan kehendak bebas itu bukanlah malaikat. Manusia dengan nafsunya hanyalah guci rapuh yang berkali dan berulang lagi akan menjelma jadi serigala untuk yang lain.

Kita tak bakal menemukan karakteristik yang murni. Murni jahat atau murni baik. Karena demikianlah dunia nyata ini. Kekejian bisa saja dilakukan oleh seorang pahlawan agung, dan kebaikan tak musykil dilakukan oleh mereka yang paling laknat.

Di sinilah pentingnya perspektif. Keikhlasan untuk menerima segala sudut pandang. Dalam sastra, kita diajak untuk meluaskan perspektif. Dan dengan cara itu pula kita bakal mampu memahami keluar maupun ke dalam. Lalu muncullah kejernihan. Pencerahan. Nirvana itu.

Sehingga kita bukan saja dapat menginterpretasikan nafsu, tetapi lebih jauh lagi: Naluri Kehidupan. Kenapa perang bisa terjadi, kenapa cinta dan benci terbit dari hati, kenapa pembenaran menjadi benteng di atas ubun-ubun, kenapa doa begitu eksklusif bagi diri sendiri atau mereka yang baik kepada kita saja, kenapa azab harus ditimpakan kepada orang lain, terutama yang kita anggap berbuat buruk terhadap diri kita dan orang-orang yang kita sayangi.

Sastra mengajari kita untuk melihat langsung ke dalam hati dan pikiran Yudas Iskariot: untuk menyadari bahwa dalam perspektifnya, ia memang melakukan suatu kebaikan yang benar tatkala menukar Yesus (Tuhan itu) dengan tiga puluh keping perak dan sebuah kecupan di tengah taman.

Kita pun diajak menjadi Don Quixote ksatria majenun yang berkelahi dengan kincir angin karena itu memang musuh yang nyata, menjadi Florentino Ariza yang takkan berhenti mencintai Fermina Daza lantaran cinta itu tak pernah lelah, menjadi Humbert Humbert yang mesti mencicipi manisnya Dolores Haze karena itulah cinta yang tidak terlarang, atau menjadi Kolonel Aureliano Buendía yang masygul sebab perang mesti terus berlanjut.

Kita bahkan bisa menjadi Frank Castle, antihero mashyur dalam komik DC itu, yang tahu bahwa dendam harus dituntaskan dengan brondongan peluru.

Meluaskan Perspektif adalah darma yang lain; sebuah ikhtiar tulus di atas simpati dan empati untuk memahami segala yang lain maupun segala yang ada di diri.

Memahami sama sekali bukan menerima kebenaran. Ia di atas itu, seperti halnya ikhlas bukanlah pasrah.

Hanya dengan ikhlas, kita bisa merintis jalan yang melampaui maaf dan memanfaatkan: sebuah rekonsiliasi, yang tak takut bersua kembali dengan trauma, rasa sakit, keburukan dan kebaikan, juga kemuakan dan rasa jijik aku pada kau!

Dengan demikian dunia terus berputar, terus-menerus, berulang-ulang, seperti kedegilan hati dan keangkuhan egoistik kita yang mesti kita kita jernihkan, kita taklukkan.

Di sinilah nantinya kita bakal berhadapan dengan cinta kasih, hukum tertinggi yang diwartakan Kristus itu tanpa perlu memberikan pipimu yang lain untuk ditampar.

Kau paham kan? Aku paham kan?

Al Fatihah.

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/hukum-cinta-kasih-rekonsiliasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar