DARI HAMZAH FANSURI SAMPAI GENERASI TERKINI
*
Maman S. Mahayana **
Membicarakan perjalanan sastra Aceh dengan rentang waktu
yang begitu panjang (dari Hamzah Fansuri sampai Generasi Terkini) adalah tugas
mahaberat yang keseluruhan perjalanannya mustahil dapat diungkapkan dalam
beberapa halaman saja. Oleh karena itu, pembicaraan ini sesungguhnya sekadar
gambaran umum, bagaimana sastra Aceh bergulir, menggelinding dan kemudian
menjadi salah satu bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari lanskap
kesusastraan Indonesia.
Dalam peta sastra Nusantara selepas pengaruh Hinduisme
mulai memudar digantikan pengaruh Islam, Aceh tampil sebagai salah satu poros
yang memancarkan pengaruhnya ke berbagai wilayah di Nusantara ini.1 Tradisi itu
tentu saja tidak terlepas dari jejak yang telah ditanamkan Ratu Nur Ilah, Ratu
Nahrasiyah, Laksamana Keumalahayati, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah,
sampai Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Ratu
Kamalat Zainatuddin Syah.2
Keagungan yang Ditenggelamkan
Pada masa itu, keharuman Aceh sebagai salah satu pusat
pertumbuhan dan perkembangan intelektual telah merebak jauh melewati batas
wilayah Nusantara. Ia lalu menjadi sihir bagi para intelektual mancanegara.
Sejak itu, kesultanan Aceh seperti terus berkelanjutan mengibarkan panji-panji
keagungannya.3
Reputasi kesultanan Aceh mulai surut ke belakang,
ditandai dengan intrik Belanda dengan segala kepentingannya. Meski Traktat
London (1824) yang membelah kerajaan Melayu-Lingga itu, tidak merugikan Aceh,
karena di sana ada kesepakatan bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh menyerang
Aceh dan harus menghormati kedaulatannya, Belanda tokh merasa tak nyaman dengan
kekuasaan kesultanan Aceh. Maka, serangkaian provokasi pun dilakukan untuk
menggoda Aceh. Itulah salah satu alasan Belanda untuk membawa kembali Inggris
membuat perjanjian baru, yang disebutnya dengan Traktat Sumatera (1871). Dalam
traktat itu disebutkan bahwa Belanda bebas memperluas wilayah kekusaannya di
seluruh Sumatera. Dengan alasan Aceh telah melanggar perjanjian tahun 1857,4
Belanda datang ke perairan Aceh dengan tiga kapal perang dan meminta penjelasan
tentang terjadinya hubungan Aceh dan wakil negara asing (Amerika Serikat) di
Singapura. Karena jawaban kesultanan Aceh tidak memuaskan pihak Belanda,
lahirlah manifesto pemerintah Hindia Belanda yang berisi pernyataan perang
dengan Aceh.5
Demikianlah, Aceh bagi Belanda adalah sejarah hitam
keberadaan mereka di Nusantara. Sejarah keagungan kesultanan Aceh, para
pujangganya, seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel dan Nurrudin Ar-Raniri,
kekayaan budayanya, dan militansi ideologis rakyat Aceh dalam berhadapan dengan
bangsa asing, adalah catatan panjang tentang kegagalan Belanda dalam coba
menaklukkan Aceh.
Sebagai negara kecil dengan penduduk yang juga berjumlah
kecil, politik pencitraan yang dilakukan Belanda penting artinya untuk
mengukuhkan dan melegitimasi kekuasaan Belanda di tanah jajahan. Bersamaan
dengan itu, dilakukan juga usaha-usaha stigmatisasi6 dan pembonsaian.7 Itulah
yang terjadi dalam dunia pendidikan pada masa kolonial Belanda. Dalam konteks
pembicaraan kesusastraan Indonesia, berdirinya Balai Pustaka8 dan perkembangan
poros kesusastraan di Sumatera yang ditandai dengan tumbuhnya penerbitan di
Padang, Bukittinggi, Tebingtinggi, dan Medan, menunjukkan usaha menafikan
peranan kota lain, seperti Aceh dan terutama, Tanjungpinang, yang justru punya
sejarah penerbitan. Dalam dunia pendidikan pun, nama-nama Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi dan Raja Ali Haji, jauh lebih populer dibandingkan Hamzah
Fansuri, Abdurrauf Singkel atau Nurrudin Ar-Raniri.
Sesungguhnya, ketiga nama itu "Hamzah Fansuri,
Abdurrauf Singkel, Nurrudin Ar-Raniri", meski secara ideologis Hamzah
Fansuri berada di jalur yang berbeda dengan Abdurauf Singkel dan Nurrudin Ar-Raniri,
telah menempatkan Aceh sebagai salah satu poros perkembangan tasawuf di
Nusantara. Mengingat pemikiran-pemikiran tasawuf itu diekspresikan melalui
syair dengan bahasa Melayu sebagai mediumnya, maka dari Aceh pula di samping
Riau "Lingga" kesusastraan Melayu memulai perjalanannya. Dalam
konteks itu, Aceh sesungguhnya telah memberi sumbangan penting bagi pergulatan
pemikiran Islam yang kemudian mempengaruhi perkembangan Islam di Nusantara. Di
sanalah tempat Hamzah Fansuri berdiri sebagai tokoh pembaharu spiritualisme
Islam. Lewat karya-karyanya yang simbolik dan puitis Hamzah Fansuri berhasil
membuat tonggak sendiri bagi kepenyairan Melayu, dan belakangan, kepenyairan
Indonesia.9
Itulah awal peperangan dengan pihak Belanda dan terus
berlanjut seperti tiada berakhir. Bagi Belanda, berhadapan dengan Aceh laksana
berhadapan dengan masyarakat yang tak pernah menyerah.10 Maka harus ditempuh
cara lain yang tidak fisikal, yaitu menenggelamkan reputasi Aceh atau
menciptakan stigma negatif atas apa pun yang berhubungan dengan Aceh. Meskipun
pada zaman Balai Pustaka muncul nama H.M. Zainuddin yang menghasilkan novel
Djeumpa Atjeh (Bunga Aceh, 1928) dan zaman Poedjangga Baroe nama Ali Hasjmy
cukup menonjol sebagai penyair, selepas itu sastrawan Aceh seperti tenggelam
dalam tidur panjang!
Masa Lalu yang Layu
Ketika tak ada musuh bersama yang bernama bangsa asing
dan para founding fathers merumuskan sendiri bentuk negara dan pemerintahannya,
konon, Aceh masih sempat memberi tanda mata berupa sebuah pesawat. Dan
pemerintah tentu saja mengapresiasi penghormatan itu. Tetapi, pengakuan
terhadap ketangguhan Laksamana Keumalahayati, cukuplah dengan pengabadian
namanya pada Kapal Perang RI, Malahayati. Lalu selepas itu, minyak bumi dan
kekayaan alam lainnya mengucur ke Jakarta. Aceh dibiarkan menjadi penonton
pasif yang harus menerima begitu saja “belas kasihan” Jakarta. Mulailah muncul
gumpalan pertanyaan yang lalu meneteskan benih luka yang barangkali masih dapat
ditahan sambil berharap ada perbaikan.11
Tetapi mengapa heroisme dan patriotisme Aceh harus
dicurigai sebagai keinginan untuk mendirikan sebuah negara (Islam)? Lalu
dijalankanlah apa yang disebut Daerah Operasi Militer (DOM). Mengapa DOM harus
terjadi di Aceh, wilayah yang warga puaknya sudah dikenal sejak lama mempunyai
integritas, kesetiaan dan loyalitas terhadap Indonesia. Luka itu seperti makin
lebar ketika tak ada usaha (dari pemerintah) untuk menuntaskan duduk perkara
peristiwa hitam itu. Lalu muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tiba-tiba
terjebak pada peristiwa saling membunuh dengan tentara dan polisi? Apa dan
bagaimana sesungguhnya yang melatarbelakangi dan yang melatardepani peristiwa
berdarah itu? Mengapa sesama saudara harus saling mengeluarkan darah? Sejarah
keagungan Aceh, perdebatan intelektual tentang Islam, semangat patriotisme dan
heroisme Teuka Umar dan pejuang Aceh lainnya, seketika seperti masa lalu yang
beku. Aceh menjadi sebuah kawasan yang di sana, harga nyawa manusia tiada
bermakna.
Sungai-sungai seketika juga berubah menjadi aliran yang
membawa bau busuk entah mayat-mayat siapa.12 Tempat-tempat pengungsian menjadi
pemandangan kesengsaraan orang-orang yang tak berdosa. Hidup bertetangga di
tengah warga tiba-tiba berubah menjadi kegiatan saling mencuri nyawa. Aceh menjelma
kengerian dengan desing peluru entah dari moncong senjata siapa, mengoyak dada
saudara sendiri. Inikah Aceh yang telah mengajari Indonesia dengan patriotisme
dan heroisme? 13
Ketika warga Aceh dihinggapi tanda tanya, saat kata damai
makin jauh dari bumi Serambi Mekah, seketika itulah bencana datang: tsunami! Di
manakah Aceh sekarang?
Sihir Tsunami
Bagian ini akan membicarakan antologi puisi berjudul
Ziarah Ombak (Banda Aceh: Lapena, 2005, 235 halaman).14 Ziarah Ombak adalah
sebuah persaksian tentang bencana tsunami yang mahadahsyat itu. Ia seperti
sebuah klimaks dari rentetan segala luka. Tsunami telah mencatatkan dirinya
sebagai bencana paling dahsyat dari semua bencana apa pun yang terjadi di muka
bumi pada abad ini. Dan pada saat tak ada lagi kata yang dapat melukiskan
kemahadahsyatan musibah itu "yang dikatakan Anton Kieting, kehabisan
kertas dan tinta untuk bercerita atau dalam pandangan Asa Gayo, tak ada lagi
yang bisa berkata-kata/semua diam membisu/berdzikir dalam air mata atau juga
seperti dikatakan Deddy Satria: kupahatkan tanpa kata-kata//" Aceh menjadi
pusat simpatik dan empati segenap bangsa di dunia. Tsunami telah menyihir umat
manusia dalam hamparan kedukaan yang meluas. Aceh menjadi sebuah ikon yang
tiba-tiba saja merampas empati siapa pun. Ia seperti menjadi alat yang dapat
mempersatukan berbagai perbedaan ras, suku, agama, politik, dan kultur. Ia
serempak lebur dalam perasaan yang sama: duka umat sejagat!
Dalam konteks keindonesiaan, Aceh dan tsunami telah
membukakan mata dan hati warga bangsa ini memasuki babak penyadaran, bahwa
segala konflik berdarah dengan latar belakang berbagai kepentingannya, harus
segera dihentikan. Tentara, polisi, GAM, guru, penyair, pegawai negeri, atau
apa pun sesungguhnya sekadar label profesi. Ia melekat pada diri manusia Aceh,
manusia Indonesia, yang hendak menjalankan hidup sebagai manusia
bermartabat-berbudaya. Label itu sekadar alat mencari penghidupan dan
menunjukkan tanggung jawabnya sebagai Manusia (dengan M besar). Lalu, mengapa
pula label itu dimaknai sebagai sumber perbedaan yang kemudian berujung pada
pertumpahan darah? Aceh, kini, bukan lagi milik aku atau engkau, kami atau
mereka. Aceh adalah kita, dan kita bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
Aceh.15
Sebuah peristiwa absurd dan irasional. Ketika tanah Aceh
dibanjiri darah penduduk tak berdosa, darah anggota GAM, tentara atau polisi,
tiba-tiba semua menjadi kita selepas tsunami meninggalkan duka yang tak terperikan.
Dalam sekejap, batas tegas antara aku dan engkau, kami dan mereka, serta-merta
lebur menjadi kita. Inilah sebuah rekonsialiasi paling menakjubkan yang
menghancurkan segala sekat perbedaan atas nama berbagai kepentingan. Semua
tumpah dalam perasaan yang sama: duka Aceh adalah kita.16 Pertanyaannya kini:
bagaimanakah model persaksian para penyair Aceh sendiri tentang tsunami itu
sebagaimana yang terungkap dalam Ziarah Ombak? Bagaimana pula mereka menyikapi
musibah itu dan merefleksikannya dalam puisi?
Tsunami: Sebuah Peringatan
Ziarah Ombak yang diawali tegur-sapa semangat penyadaran
Helmi Hass dan kemudian Kata Pengantar Ahmadun Y. Herfanda, penyair, cerpenis,
dan redaktur budaya harian Republika. Buku ini memuat 130 puisi karya 48 penyair.
Dengan melakukan tiga pembagian, yaitu Ziarah (Bagian Satu), Makam (Bagian Dua)
dan Membaca Tanda-Tanda (Bagian Tiga), editor ?D. Kemalawati dan Sulaiman
Tripa?tampaknya hendak membuat tanggapan evaluatif atas musibah mahadahsyat
itu.
Bagian Pertama bolehlah dimaknai sebagai sikap
keprihatinan para penyair Aceh yang selamat dari prahara tsunami. Pada bagian
ini ada 85 puisi karya 38 penyair Aceh. Mereka seperti bermaksud melakukan
semacam ziarah kepada segenap korban, mewartakan persaksian, dan sekaligus
menyatakan kedukaannya yang mendalam. Bagian Kedua yang bertajuk Makam memuat
26 puisi karya tiga penyair Aceh "Nurgani Asyik, Maskirbi, dan Mustiar
AR" yang diyakini termasuk korban dari sekitar 200-an ribu korban lainnya.
Ketiga penyair Aceh itu hingga kini tidak jelas di mana jasadnya. Jadi,
tentulah karya ketiga penyair itu ditulis sebelum dating bencana dahsyat itu.
Bagian Ketiga (Membaca Tanda-Tanda) memuat 19 puisi karya tujuh penyair
Indonesia dan Malaysia yang entah mengapa, biodatanya tak ada di sana. Bagian
ketiga ini, bolehlah dipandang sebagai bentuk empati penyair di luar Aceh yang
hendak berbagi duka atau pemberi semangat untuk tidak larut dalam kesedihan
yang berkepanjangan.
Bagian Ketiga itu, niscaya belum dapat dikatakan
merepresentasikan tanggapan keseluruhan penyair Indonesia dan Malaysia,
meskipun di sana disebutkan "sangat dekat dengan Aceh." Editor tentu
punya alasan sendiri atas pilihan itu yang duduk perkaranya sering jatuh pada
masalah teknis. Dalam hal ini, sepatutnya kita memberi apresiasi atas usaha dan
kerja keras editor buku ini. Terlepas dari persoalan teknis itu, mari kita coba
menelusuri, bagaimana para penyair Aceh memandang, menempatkan, dan memaknai
tragedi mahadahsyat itu.
Puisi karya Anton Kieting ("Sajak kepada Penyair")
dan Armiati Langsa ("Bangkitlah") cenderung merupakan seruan kepada
Aceh untuk mengubur tsunami sebagai catatan hitam dan menatap masa depan
sebagai langkah yang sudah semestinya dijalankan. Meski begitu, ada hal menarik
yang terungkap di sana. Pada "Sajak kepada Penyair" Kieting
seolah-olah hendak bertegur-sapa dengan penyair Maskirbi yang menempatkan tugas
kepenyairan sebagai bilal ?sebuah profesi yang tak populis, jauh dari
keuntungan materi, dianggap pekerjaan tak bermakna dan cenderung dipandang tak
punya fungsi sosial. Bilal "pengumandang azan" memang dapat dilakukan
sesiapa pun. Tetapi siapakah yang punya kesadaran bahwa tugas bilal adalah
titik berangkat menuju kemenangan, menjauhkan kemungkaran, dan mendekatkan
kebaikan? Maskirbi telah melakukan itu dan hendak dilanjutkan oleh si aku
liris: Aku akan tetap menjadi penyair yang mengabarkan kesaksian/pada setiap
perjanjian/Karena kau pinta aku menjadi bilal/Yang selalu mengabarkan setiap
perjanjian// Jadi, di sana ada persaksian dan sekaligus juga perjanjian.
Bahwa kemudian tsunami datang dan menggerus segalanya
sebagai pertanda, sang penyair melihatnya dari dua sisi. Pertama, sebagai
musibah yang tak terperikan sehingga ia tak mampu mengungkapkannya dengan kata
apa pun. Kedua, sebagai bagian yang tak terlepas dari masa lalu. Tsunami
dipandang sebagai buah dari serangkaian kealpaan yang dilakukan entah oleh
siapa pada masa lalu. Inilah yang dikatakan Sigmund Freud sebagai ketaksadaran
traumatik.17 Kecemasan yang bersumber dari tindakan masa lalu: buta mata
hatinya/mencuri perut saudara-saudaranya/menzalimi anak yatim// Sebuah seruan
introspektif untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.
Cara pandang seperti itu juga ternyata tampak pada puisi
Armiati Langsa yang melihat Aceh dalam tiga dimensi waktu: masa lalu, kini,
masa depan. Maka, ia melihat tsunami sebagai peringatan dan sekaligus awal
untuk memulai kebangkitan kembali keagungan Aceh. Ketika ranting cabang dan
pohonnya dicabik peringatan/Allah yang Maha Punya/Pemilik tangan pengatur jagat
raya// Jadi, bagi Armiati Langsa, tsunami sebagai representasi tangan Tuhan,
agar bangsanya tak lalai menjalankan kewajibannya sebagai manusia. Kelalaian
itulah yang sesungguhnya "telah mengundang bencana."
Begitulah Langsa melihat tsunami tak berdiri sendiri. Ia
menjadi bagian masa lalu yang penuh kelalaian: hura-hura, pesta pora, gelimang
dosa, narkoba, dan syahwat yang secara metaforis dikatakannya sebagai paha yang
tak lebih mahal dari kaki rusa// Maka, tak ada pilihan lain bagi rakyat Aceh,
kecuali bangkit membangun kembali Aceh Raya, sambil bertaubat, bertasbih, dan
berdoa. Atau, bagi Rianda Asriani: "bertafakur/ mengaca dari segala dosa,
dengan kaca mata batin yang/bersih//. Ajakan Asriani tentu tidak datang secara
serta-merta. Ia juga melihat masa lalu: Anak, anak yang dulu terlahir suci/yang
dulu juga pernah diyatimkan oleh gemuruh senapan". Bagaimanapun, bagi
Asriani tsunami mesti dimaknai sebagai peringatan yang dikataknnya sebagai dian
di kegelapan. Jadi, masih ada titik harapan untuk menatap masa depan. Biarlah
masa lalu tentang tanah yang penuh sengketa/ yang diredam gelombang senjata/
dan penuh air mata (Syarifuddin Abe, "Air Tanah") tetap sebagai masa
lalu, dan tsunami menjadi batas tegas yang memisahkan masa lalu dan masa depan.
Pada diri penyair Mh Agam Fawirsa, tsunami telah
meninggalkan pekuburan massal yang justru melengkapi kepedihan dan catatan
kelam Tanah Rencong. Di depan makam massal ini/air mata memang telah terlalu
banyak tumpah/membasuh jejak-jejak kaki yang terkubur/dalam catatan sejarah
paling kelam/di bumi tanah rencong// Bagi Fawirsa, meski banyak orang
menebarkan empatinya, ia masih belum yakin benar, bahwa catatan hitam itu akan
berhenti di sana yang dikatakannya: bersama badai belum pasti berlalu/dalam
derap langkah anak negeri ini/menyongsong masa depan yang tak pasti//
("Catatan Malam"). Sebuah masa lalu yang juga dirasakan Reza Idria
("Luruh"):
Belati menghujam berkali-kali
kami tak menangkis
kami tak menangis
maut terus-menerus mengerus takut
Di sini
Lelaki lama telah menyendiri
lalu anak dan perempuan pergi
lalu harapan
lalu ingatan
lalu mati
lalu sunyi
Apalagi yang masih tersisa selain sunyi? Sebuah pesimisme
yang lahir dari serangkaian pengalaman traumatik yang tak gampang terkubur,
meski tsunami telah menguburnya. Bagi Fawirsa ("Cerita Nenek kepada
Cucunya") yang masih mungkin dilakukan adalah membuat monumen peringatan
bagi generasi yang akan datang tentang gejala tsunami dan tentang pengharapan
terbesar dalam hidup di dunia ini: Tuhan. Ingatlah cucuku/Jangan lupa pesan dan
cerita nenekmu ini/jangan lupa kepada Allah//
Begitulah, musibah dahsyat itu ternyata disikapi sebagai
kepedihan yang tidak berdiri sendiri. Mohd. Harun Al-Rasyid, Reza Idria, Rianda
Asriani, Sukran Daudy, Syarifuddin Abe, dan Win Ruhdi Bathin, misalnya, melihat
tsunami sebagai sebuah klimaks dari rangkaian kepedihan yang dialami Aceh.
Maka, kembali, di satu sisi, tsunami bagi korban hadir sebagai semacam
katarsis, pelepasan dari kedukaan yang bertumpuk-tumpuk, dan di sisi yang lain,
bagi mereka yang selamat, tsunami menambah kisah duka tentang sanak keluarga,
tetangga, dan orang-orang tercinta. Jadi, dari satu titik harapan terkecil,
sebagai bentuk apologia bagi para korban itu, tsunami laksana langkah berangkat
menuju Tuhan. Para korban diyakini pula mencapai kebahagiaan di dunia sana.
Bukankah mereka sudah sekian lama menahan sabar, menunggu Tuhan mencipratkan
kebahagiaannya. Perhatikan kepedihan yang tak terucapkan di balik larik-larik
berikut:
Tuhan
Sebagai ayah, aku hanya ingin bertanya
Karena kutahu anakku yang belia
Belum tahu apa-apa dengan kemunafikan
Belum kenal aneka kemusyrikan
Belum tahu mengenai bibit-bibit dendam
Apalagi dengan nafsu angkara murka ("Aku Bertanya
Pada-Mu")
Anakku, damailah ruhmu dalam kebahagiaan
Selamat berdandan di sisi Tuhan
Memilih gaun ulang tahun di almari
Dan merebahkan jasad di ranjang dambaan
Andai engkau telah pergi berkelana di taman Tuhan
Ayah ucapkan selamat jalan ananda tersayang
Jangan lagi berpaling ke belakang
Karena ayah telah ikhlaskan
Kita bertemu di yaumil mahsyar ("Kenangan dalam
Keikhlasan")
Sungguh, larik-larik tadi secara tekstual menyampaikan
sebuah pertanyaan retoris: mengapa Tuhan membawa orang-orang tercinta yang tak
berdosa ("Aku Bertanya Pada-Mu") dan di bagian lain ("Kenangan
dalam Keikhlasan") menyampaikan pewartaan seorang ayah tentang anaknya.
Tetapi di balik itu ada gugatan yang datang dari segumpal kepedihan yang tak
tertahankan. Di sana, ada tangis yang kehabisan air mata. Inilah yang dalam
konteks teologis disebut mysterium tremendum et fascinans: misteri yang
menakjubkan sekaligus juga menakutkan. Bukankah kuasa Tuhan itu penuh misteri
yang berada di luar batas logika. Oleh karena itu, di balik ketidakpahaman
tentang kuasa Tuhan, manusia sering merasa takjub dan sekaligus takut. Dalam
tarik-menarik takjub dan takut itu, kabar tentang "Kenangan dalam
Keikhlasan" menegaskan sikap keberimanannya yang kukuh dan tak
tergoyahkan. Hanya dengan kekuatan iman itulah si aku lirik (ayah) masih
menyimpan setitik harapan dapat jumpa di Yaumil Mahsyar. Yang dalam bahasa
Muhammad Irvan: menanti di tempat yang dekat.
Demikian, sejumlah besar puisi karya penyair Aceh yang
terhimpun dalam antologi ini memperlihatkan, betapa mereka tidak dapat begitu
saja melupakan masa lalu, meski telah datang malapekata yang jauh lebih
dahsyat: tsunami. Dalam hal ini, kebesaran masa lalu tentang dinamika
intelektual Hamzah Fansuri atau Nurrudin, panji-panji keagungan para sultannya,
dan heroisme Teuku Umar dan sederet panjang nama lainnya, seolah-olah tenggelam
huru-hara konflik berdarah sesama saudara. Maka, tsunami disikapi sebagai peringatan
atas sejumlah kelalaian itu.
Tsunami: Sebuah Persaksian
Selain sebagai "peringatan", tsunami bagi
sejumlah penyair Aceh lainnya "yang puisi-puisinya terhimpun dalam buku
itu" merupakan peristiwa yang kedatangannya penuh dengan misteri yang
dengan cara apapun tidak dapat dicari jawabannya. Jadi, di antara serangkaian
pertanyaan yang justru malah menciptakan spiral pertanyaan, sejumlah penyair
itu coba melakukan semacam persaksian. Maka, meski di sana-sini muncul hasrat
melakukan refleksi evaluatif, mereka berusaha menangkap momentum tsunami
sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya. Mereka berusaha merefleksikan
persaksiannya, meski di belakang itu, ada sejumlah pertanyaan yang tak dapat
mereka jawab: pertanyaan yang berada di luar batas logika; pertanyaan yang
dapat digolongkan sebagai pertanyaan metarasional. Di situlah, puisi (: sastra)
dapat ditempatkan sebagai potret sosial zamannya. Ia akan menjadi catatan
sejarah yang sekaligus mengungkapkan berbagai akibatnya serta makna di balik
peristiwa itu. Tentu saja sikap itu merupakan pilihan penyairnya sendiri.
Bukankah setiap penyair (: sastrawan) kerap tidak dapat melepaskan dirinya dari
fungsinya sebagai suara zaman?
Lihatlah sejumlah besar puisi Audi Nugraha, Arafat Nur,
Azhari, D. Kemalawati, Deny Pasla, Deddy Satria, Dhena, Doel CP Allisah,
Faridah, Fikar W. Eda, Fozan Santa, Jingga Gemilang, LK Ara, Mustafa Ismail,
Mustika Ajerso, Nurdin F Joes, Ridwan Amran, Rosni Idham, Saifullah Thahir,
Salman Yoga S. Sujiman A. Musa, Sukran Daudy, Sulaiman Juned, Sulaiman Tripa,
Wina SW1, Win Ruhdi Bathin, Wiratmadinata, Yun Casalona.
Audi Nugraha dalam "Ada Apa Saat Itu" misalnya,
menempatkan tsunami yang hanya dalam sesaat tiba-tiba menghancurkan segalanya.
Ia seperti memotret hiruk-pikuk ketika gelombang tsunami bergulung-gulung di
hadapan matanya. Ia takjub, sekaligus takut atas kedahsyatannya. Maka, tidak
saat itu saja/manusia tetap ingat akan saat itu/ setiap saat pasti terjadi
seperti saat itu/karena saat itu adalah milik-Nya//.
Dalam puisi "Jadi, Maka Jadilah" Audi Nugraha
melihat tsunami sebagai fenomena alam yang di belakangnya, bisa saja tangan
Tuhan ikut bermain. Ketika manusia melakukan eksploitasi dan eksplorasi alam,
menguras kekayaannya tanpa mempertimbangkan ekosistem, dan membiarkan
kerusakannya terjadi di mana-mana, ketika itulah alam tidak lagi diperlakukan
sebagai "sahabat-saudara". Alam menjadi sebuah kata benda yang dapat
diperlakukan seenaknya. Maka, ketika ia memperlihatkan kekuasaan-Nya, segalanya
sudah terlambat. Nugraha lalu mengajak kita melakukan perenungan: Sadarkah
manusia bahwa alam bisa marah?/ Maka bersahabatlah dengan alam/karena manusia
bukan makhluk bumi/kita diterima di alam ini karena titipan sementara dari Maha
Pencipta//
Kesadaran manusia sebagai homo religius akan
memperlihatkan intensitasnya ketika sesuatu yang mahadahsyat "kuasa
alam" tiba-tiba datang serempak seperti hendak menyergapnya. Pada saat
itulah manusia cenderung berlari atau mencari perlindungan pada sesuatu kuasa
yang lain yang diyakini dapat menolongnya. Bagi umat beragama, sesuatu itu
tidak lain adalah Tuhan. Inilah yang terjadi pada diri Asa Gayo yang
diungkapkannya dalam puisinya yang berjudul "Baitur Rahman." Maka
ketika ia melihat kedahsyatan tsunami, secara instingtif ia serta-merta
menempatkan Baitur Rahman sebagai "tempat berlindung." Ya
Rabbi/Izinkan kami bersujud/Di rumah-Mu yang suci/Izinkan/Izinkanlah kami yang
hina ini/Bertaubat pada-Mu/Ya Rabbi//18 Hal itu pula yang dirasakan Arafat Nur
(Tsunami 3) yang menempatkan tsunami bukan sebagai "bencana"
melainkan sebagai uluran tangan Tuhan berkat dzikir dan sembahyang, akan
membawanya pada perjumpaan dengan Tuhan.
Dalam "Alia, Gadis Kecilku" si aku liris
meyakini bahwa perpisahannya dengan sang bidadari itu sesungguhnya merupakan
perjalan baginya untuk sampai pada Tuhan. Jadi, meski metafora yang dibangunnya
begitu tenang, mengalun, seperti sebuah rintih kecil yang tak menggugat, ada
kegetiran yang tak terucapkan di sebaliknya. Ia pun menempatkannya sebagai
sebuah perjalanan untuk kelak jumpa kembali di Surga. mungkin besok/atau
lusa/kita bertemu juga/di surga//
Peristiwa perpisahan itu pula yang juga dirasakan Azhari
("Ibuku Bersayap Merah") ketika orang-orang tercintanya tak ia jumpai
di kampungnya. Meski begitu, Azhari pun berkeyakinan bahwa Tuhan tak akan
membiarkannya berpisah tanpa arti. Malaikatlah yang akan membawa mereka
berkumpul kembali.
D. Kemalawati dalam "Kita tak Belajar Membaca
Tanda-Tanda" dan "Dahaga Laut" membuat persaksian atas kegalauan
yang terjadi saat tsunami memperlihatkan tanda-tanda kedatangannya yang
kemudian disusul dengan bertumpuk-tumpuk kegalauan lain yang tak terperikan.
Sebuah potret metaforis yang seperti hendak menyihir kita (pembaca) untuk coba
melihat dan merasakan sendiri peristiwa itu. Kedua puisi itu laksana pewartaan
yang disuarakan melalui dunia batin yang ikut goncang. Berbagai cemas, takut,
ngeri, sesal, dan entah segala rasa apa lagi seperti meluncur begitu saja
menciptakan potret hitam yang garis-garis gambarnya masih dapat kita cermati.
Kemalawati seperti hendak bercerita panjang dalam setiap lariknya yang padat.
Hampir setiap lariknya membangun peristiwa yang mengajak kita untuk
membayangkan kembali peritiwa 26 Desember itu.
Sebagai penyair (: sastrawan), Kemalawati telah menjalankan
tugasnya menyampaikan kesaksian sebuah peristiwa yang terjadi pada zamannya.
Tak ada air mata di sana, tetapi kita ikut hanyut dalam galau yang
disampaikannya. Lalu, bagaimana ia menyikapi peristiwa itu? Pada larik terakhir
kedua puisi itu jawabannya. "mengapa berlari dari masjid yang
mengisyaratkan pentingnya kembali menghidupi masjid. Sementara dalam
"Dahaga Laut," Kemalawati masih menyimpan optimisme untuk membangun
kembali Aceh dari sisa semangat yang berserakan: memungut kayu-kayu yang berserakan/untuk
tiang gubuk kami yang baru//
Doel CP Allisah ("Ingatan") juga menyampaikan
persaksiannya atas musibah itu. Baginya, segenap korban adalah syuhada.
Bagaimanapun, hanya kerelaan yang dapat ia lakukan sambil menyampaikan doa yang
tak pernah putus. Di balik itu, tsunami makin meneguhkan keyakinannya pada
kuasa Sang Khalik yang tak terbatas.
Persaksian yang lain disampaikan Rosni Idham yang
keterkejutannya cukup ia katakana: Aku terperangah. Sebuah gebalau psikologis
yang berada dalam batas tipis antara percaya dan tidak percaya, antara mimpi
buruk dan realitas. Sebuah ekspresi psikis yang sebenarnya tidak mewakili
apa-apa, tetapi sekaligus mewakili seluruh goncangan jiwanya yang dahsyat.
Bagaimana ketika tiba-tiba jerit histeris, kekacauan, hiruk-pikuk, dan
gelombangan tangis menghancurkan ketenangan? aku terperangah/Aku tak mengerti
maknanya/Aku terpajak kehilangan kata//
Sejumlah besar puisi dalam antologi ini sesungguhnya
menyimpan begitu banyak peristiwa. Semuanya bersumber dan bermuara pada satu
kata: tsunami! Pembicaraan ini jelas sama sekali tidak mengungkapkan
keseluruhan persaksian yang disampaikan para penyair Aceh. Dengan demikian,
pilihan puisi yang diambil sebagai contoh kasus pembicaraan ini pun, sekadar
hendak menegaskan bahwa penyair Aceh, dengan caranya sendiri dan dalam suasana
ketercekamannya, masih dapat membuat persaksian tentang musibah mahadahsyat
itu. Maka, yang dapat kita tangkap dari persaksian itu adalah usaha mereka
untuk menempatkan dan memaknai tsunami sebagai (1) peristiwa yang tidak berdiri
sendiri mengingat ada persoalan lain di belakangnya, dan (2) peristiwa yang
harus diterima sebagai sebuah hukum alam yang memang sudah terjadi. Maka,
menerima dengan ikhlas dan menatap kembali masa depan adalah tindakan yang
lebih bertanggung jawab. Bagaimanapun juga, Aceh harus bangkit kembali
mengibarkan panji-panji keagungannya.
Melupakan Potret Buram
Bagian Dua yang bertajuk "Makam" menghimpun
sejumlah puisi karya tiga penyair yang menjadi korban tsunami.19 Sebagai
korban, pastilah ketiganya tidak berkesempatan memahami dan menempatkan
tsunami. Mari kita coba melihatnya:
Ada 26 puisi dalam bagian ini. Lengkapnya: 10 puisi karya
M. Nurgani Asyik, 11 puisi karya Maskirbi, dan lima puisi karya Mustiar AR.
Dari ke-26 puisi itu, kita dapat merasakan bahwa jeritan paling kuat dari
ketiga penyair ini bukanlah kerinduannya pada Sang Khalik, melainkan kecemasannya
menyaksikan konflik berdarah yang tak kunjung selesai. Mereka bersaksi tentang
Aceh yang terluka oleh tembakan, seorang anak yang membawa lukanya ke surga,
anak negeri yang diperkosa kezaliman, rektor yang tak membayangkan kematiannya
melalui pintu yang mana, dan serentetan peristiwa berdarah lainnya. Segalanya
ingin dikisahkan, sebagaimana yang dikatakan Maskirbi: Banyak yang ingin
kutulis/tapi tak tertulis/kata-kata sudah tak lagi sebagai kata//
("Gagap"). Apa maknanya bagi kita ketika persaksian ketiga penyair
itu berkisah tentang Aceh yang luka oleh tembakan? Mustiar AR coba mengingatkan
kita:
Ya Allah
Engkau Yang Maha Kuasa
damaikan hati saudaraku yang bertikai
tunjuki mereka ke jalan yang Kau ridhai
Amin Ya Rabbal Alamin
Maka, Aceh pascatsunami adalah Aceh yang 'memungut kayu
yang berserakan/ untuk tiang gubuk kami yang baru// Atau, dalam bahasa Helmi
Hass: Menatap esok pagi dengan penuh semangat/Di sanalah ada iman!
***
Ziarah Ombak sungguh mewartakan banyak hal tentang
tragedi mahadahsyat. Dalam kegetiran itu, para penyair Aceh mencoba membuat
persaksian atas peristiwa itu menurut persepsi dan gebalau kegelisahannya
masing-masing. Di belakang gebalau itu, kita seperti menemukan lubang kecil
yang dari lubang itulah, terhampar begitu banyak kisah yang tak terucapkan. Ia
menyimpan trauma yang bertumpuk-tumpuk. Dan dalam setiap tumpukannya, terpendam
keagungan masa lalu Aceh yang dibalut oleh selimut luka berdarah. Lalu datang
tsunami sebagai klimaksnya. Jangan ada lagi klimaks yang lain. Cukup sampai di
sana. Maka, kinilah saatnya kita melangkah menuju babak baru yang lebih cerah
dan bermartabat.
Menunggu Lahirnya Monumen
Karya agung lahir dari kegelisahan sastrawan melalui
proses yang "berdarah-darah," begitulah pernyataan Sutardji Calzoum
Bachri dalam sebuah obrolan santai yang terjadi beberapa tahun lalu. Saya
percaya pernyataan itu sebagai salah satu pengalaman spiritual seorang penyair-sastrawan
dalam berhadapan dengan proses kreatifnya. Tentu saja yang dimaksud
berdarah-darah itu adalah pernyataan metaforis untuk menggambarkan perjuangan
seorang sastrawan dalam usahanya menemukan model estetik yang diharapkannya
yang dalam bahasa Chairil Anwar: menggali kata sampai ke putih tulang!
Mencermati perjalanan panjang Aceh, saya sangat yakin,
bahwa sastra Indonesia tinggal menunggu lahirnya sastrawan Indonesia garda
depan dari Aceh. Lalu apa yang melandasi sikap optimistis itu?
Pertama, keagungan masa lalu kesultanan Aceh adalah lahan
garapan yang begitu kaya dengan keagungan para sultannya dalam mengusung marwah
Manusia Aceh, dan serangkaian peristiwa lain yang menghasilkan sejarah besar
perjalanan Aceh.
Kedua, kontroversi tentang doktrin teologis sebagaimana
yang terjadi pada diri Hamzah Fansur, Abdur Rauf Singkel, Nurruddin Ar-Raniri
dengan segala ajaran tasawufnya adalah kekayaan teologis yang kemudian menyebar
menyemarakkan pemikiran Islam di Indonesia.
Ketiga, kekayaan kultur Aceh dengan segala model etik,
norma sosial, dogma agama, sikap budaya, dan entah apalagi, adalah sumber
inspirasi yang lain lagi ketika segala kekayaan kultural itu diterjemahkan
dalam karya sastra.
Keempat, luka sejarah, baik yang telah ditorehkan
Belanda, Orde Baru, maupun konflik berdarah hanya karena perbedaan ideologi
atau perbedaan sudut pandang dalam usaha membangun kembali keagungan Aceh.
Kelima, peristiwa tragedia mahadahsyat tsunami yang tidak
sekadar meninggalkan luka psikologis dan harta-benda rakyat Aceh, tetapi juga
meninggalkan dan menyimpan begitu banyak misteri dan kisah-kisah metarasional.
Persoalannya kini tinggal, bagaimana sastrawan Aceh
menyikapi segala kekayaan itu dan mengolahnya menjadi sebuah mahakarya, menjadi
sebuah tonggak, menumen yang kokoh berdiri tegak dalam perjalanan sastra
Indonesia.
______________________________
*) Makalah Seminar Sastra dalam Aceh International
Literary Festival, diselenggarakan di Museum Tsunami, Banda Aceh, 5 Agustus
2009, Pukul 09.30?12.00.
**) Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia.
1 Penjadian kesusastraan “dan secara keseluruhan,
kebudayaan” Indonesia sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh tiga
pilar kebudayaan besar yang masuk ke wilayah Nusantara, yaitu kebudayaan India
yang membawa Hinduisme dan Budhisme, kemudian kebudayaan Islam melalui
kedatangan para gujarat, dan yang terakhir kebudayaan Eropa, terutama yang
berhasil ditanamkan pihak kolonial Belanda. Di Pulau Jawa, kebudayaan India ini
seperti mendapat lahan subur ketika berhadapan dengan kebudayaan setempat.
Maka, ketika Islam masuk dan kesusastraan-kesenian dijadikan sebagai alat
penyebaran agama (Islam), ikon-ikon kebudayaan India dan Jawa, sengaja
dihadirkan sebagai kemasannya. Itulah sebabnya, Sunan Bonang menciptakan
gamelan, dan Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai alat penyebarluasan
agama. Di Sumatera, terutama di Aceh, Semenanjung Melayu, dan Minangkabau,
pengaruh kebudayaan India (hinduisme dan budhisme) tidak begitu kuat memasuki
wilayah-wilayah itu. Meskipun demikian, penerimaan kebudayaan Islam tidak
serta-merta menyisihkan kultur setempat, bahkan terjadi akulturasi.
2 Itulah nama wanita-wanita agung dalam sejarah
perjalanan kesultanan Aceh. Sayangnya, di banyak buku pelajaran sejarah,
nama-nama itu belum ditempatkan dalam konteks sejarah perjalanan bangsa
Indonesia. Dalam politik kolonial Belanda, peranan mereka sengaja
ditenggelamkan untuk mengukuhkan citra mesianisme yang hendak dimainkan
Belanda. Maka, ketika surat-surat Kartini dipublikasikan di Belanda, suaranya
sampai ke Nusantara dan kemudian dibicarakan secara luas sebagai “peletak dasar”
emansipasi wanita Indonesia. Nama-nama mereka, termasuk juga nama Aisyah Sulaiman
Riau (lahir sekitar 1870-an-1930-an) nyaris tidak pernah disinggung (lihat
Abdul Kadir Ibrahim, dkk, Aisyah Sulaiman Riau: Pengarang dan Pejuang
Perempuan, Pekanbaru: Unri Press, 2004). Bandingkan peranan Kartini dengan
peranan wanita-wanita Aceh yang disebutkan di atas. Bagaimana usaha Belanda
menenggelamkan keagungan tokoh-tokoh wanita Aceh ini, tampak “salah satunya” dari
penggambaran peranan Frederick de Houtman. Salah satu karya penting de Houtman
adalah tata bahasa dan kamus Melayu-Belanda (1603). Inilah tata bahasa kamus
pertama Melayu?Belanda, berjudul Spraek ende woord-boeck: Inde Maleysche ende
Madagaskarsche talent met vele Arabische ende Turcsche woorden, 1603, viii +
225 halaman). Mengenai tarik-menarik bahasa Belanda dan Melayu dalam sejarah
pendidikan kolonial Belanda di Indonesia, lihat Kees Groeneboer, Jalan ke
Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda, 1600-1950 (Jakarta: Erasmus
Taalcentrum, 1995). Sejumlah buku yang menyinggung de Houtman cenderung hanya
berkaitan dengan kamusnya itu. Tetapi, bagaimana latar belakang kamus itu
disusun? Tak ada satu pun yang membicarakannya. Padahal, kamus itu disusun
ketika de Houtman dipenjara di Aceh (1599-1601). Dan yang menangkap dan menjebloskan
de Houtman ke penjara, tidak lain adalah Laksamana Keumalahayati, wanita
pertama yang menjadi laksmana dalam sejarah maritim Indonesia. Mengenai riwayat
tokoh-tokoh wanita Aceh itu, lihat Ismail Sofyan, M. Hasan Basry, dan T.
Ibrahim Alfian (Ed.), Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta,
1994).
3 Periksa Hasan Muarif Ambary, “Banda Aceh sebagai Pusat
Kebudayaan dan Tamaddun,” Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, Banda Aceh: Pemda
Banda Aceh, 1988, hlm. 86-97. Artikel lainnya dalam buku ini mengungkapkan
reputasi kesultanan Aceh, tidak hanya di wilayah Nusantara, tetapi juga
menerabas memasuki wilayah Asia dan Eropa. Lihat juga Edi Sedyawati, dkk.,
Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa, 2004, xii + 419 halaman.
4 Perjanjian persahabatan dan perdamaian yang
ditandatangani Mayor Jenderal van Swieten dari pihak Belanda dan Sultan Ibrahim
Mansur Syah dari pihak Kesultanan Aceh. Perjanjian ini sesungguhnya merugikan
pihak Kesultanan Aceh, karena salah satu butir perjanjian itu menyebutkan
pengakuan Aceh atas kekuasaan Belanda di Sumatera. Tahun 1858, Belanda
melakukan pelanggaran atas perjanjian ini dengan ditandatanganinya sebuah
perjanjian Belanda?Siak yang menyatakan bahwa Kerajaan Siak dan wilayah
taklukannya, kini berada di bawah kekuasaan Belanda.
5 Selengkapnya, lihat Ibrahim Alfian, “Banda Aceh sebagai
Pusat Awal Perang di Jalan Allah,” Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, Banda
Aceh: Pemda Banda Aceh, 1988, hlm. 26?35.
6 Di dalam novel Hulubalang Raja karya Nur Sutan Iskandar
(Balai Pustaka, 1934) digambarkan, bagaimana orang-orang Aceh terkenal dengan
kebiasaannya merampok dan membunuh. Maka, kedatangan Belanda selain untuk
membantu hulubalang Raja menghadapi para pemberontak, juga dalam rangka
menumpas para perampok yang dilakukan orang-orang Aceh. Stigmatisasi itu juga
dilakukan pada tokoh-tokoh Arab dan ulama Islam konservatif. Usaha yang
dilakukan Gubernur Jenderal Rochussen (1856) dengan memberlakukan huruf Latin
untuk berbagai keperluan komunikasi tertulis, resmi atau tidak resmi, di
wilayah Nusantara pada hakikatnya tidak berbeda dengan pembutahurufan massal.
Tiba-tiba saja, penduduk yang bisa baca-tulis dengan huruf Arab?Melayu (disebut
juga huruf Jawi, Pegon, atau Arab Gundul yaitu bahasa Melayu atau bahasa setempat
yang menggunakan huruf Arab), dikatakan sebagai buta huruf (niraksarawan) hanya
karena tidak dapat menggunakan atay membaca huruf Latin.
7 Pembonsaian yang dilakukan Belanda ditujukan kepada
para ulama muslim (tokoh-tokoh Islam) dan poros-poros budaya yang dianggap
tidak akan memihak Belanda, dua di antaranya, Aceh dan Melayu. Maka, para
penulis Aceh hampir tidak pernah mendapat tempat. Sastrawan Melayu seperti Raja
Ali Haji, misalnya, perbincangannya tidak lebih banyak dibandingkan dengan
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.
8 Periksa Maman S. Mahayana, “Politik Kolonial Belanda di
Balik Pendirian Balai Pustaka,” Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta:
Bening Publishing, 2005).
9 Periksa sejumlah tulisan Abdul Hadi WM, antara lain,
Sastra Sufi: Sebuah Antologi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), Kembali ke Akar
kembali ke Sumber (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hamzah Fansuri: Risalah
Tasawuf dan Puisi-Puisinya (Bandung: Mizan, 1995), Islam Cakarawala Estetik dan
Budaya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), dan Tasawuf yang Tertindas (Jakarta:
Paramadina, 2001). Sejumlah besar penyair Indonesia, termasuk Sitor Situmorang
yang non-Muslim, mengakui keterpengaruhannya pada karya-karya Hamzah Fansuri.
10 Dalam sejarah peperangan Belanda di Nusantara,
tercatat bahwa perang melawan Aceh adalah peperangan yang paling lama, paling
banyak menghabiskan biaya, dan paling banyak menelan korban dari pihak Belanda
dibandingkan perang lain yang terjadi di wilayah Nusantara.
11 Konflik Aceh dengan Pemerintah Pusat dimulai dari
ketidakpuasan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang coba menerapkan syariat
(Islam) di Aceh. Ketakutan yang berlebihan dari Pemerintah Pusat telah
menyebabkan konflik itu berkelanjutan, hingga terbentuk Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) yang memicu pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.
12 Azhari dengan sangat bagus menggambarkan traged
berdarah itu dalam cerpen “Yang Dibalut Lumut” (Perempuan Pala, Yogyakarta:
Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2004).
13 Hampir semua karya yang mengangkat kegetiran rakyat
Aceh sebelum terjadi tsunami mewartakan trauma atas konflik berdarah itu.
Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa Alia: Luka Serambi Mekah karya
Ratna Sarumpaet (Jakarta: Metafor Publishing, 2003), Aceh Mendesah dalam
Nafasku (ed. Abdul Wahid BS, Fikar W. Eda, dan Lian Sahar, Banda Aceh: KaSUHA,
1999), Aceh dalam Puisi (Ed. LK Ara, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2003),
Rencong karya Fikar W. Eda (Bekasi: KaSuha dan SAJAK, 2003, Cet. II, 2005). Bandingkan
ekspresi kegelisahan sastrawan Aceh ini dengan sastrawan Riau sebelum otonomi
daerah. Selain pengagungan terhadap masa lalu kerajaan Melayu dengan segala
marwahnya, juga gugatan terhadap Jakarta sangat kuat mewarnai ekspresi
kegelisahan mereka, meski juga tanpa luka yang diakibatkan oleh perang saudara.
14 D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa (Ed.), Ziarah Ombak:
Sebuah Antologi Puisi (Banda Aceh: Lapena, 2005, 235 halaman). Pembicaraan
tentang buku ini pernah saya sampaikan dalam peluncurannya di Banda Aceh, 22
Oktober 2005. Saya sengaja mengulangi pembicaraan buku ini dengan penambahan di
sana-sini untuk memberi gambaran selintas tentang kegelisahan para penyair Aceh
dalam berhadapan dengan keagungan masa lalu kesultanan Aceh dengan segala
heroismenya, pembonsaian yang dilakukan Belanda, kegetiran akibat konflik
bersenjata antara sesama saudara, dan tragedi mahadahsyat tsunami.
15 Sebagai wujud keprihatinan dan empati bahwa duka Aceh
atas tragedi tsunami itu adalah duka kita, duka Indonesia, tampak dari
gelombang solidaritas yang muncul secara spontan dari berbagai kalangan, usia,
agama, organisasi dan entah apa lagi. Musibah itu sungguh telah menyentuh rasa
kemanusiaan segenap bangsa di dunia. Lalu, seketika itu pula, tiba-tiba setiap
orang merasa harus berbuat sesuatu untuk meringankan kedukaan rakyat Aceh.
Sejumlah buku tentang ekspresi solidaritas itu, juga diterbitkan, tiga di
antaranya, Maha Duka Aceh (Jakarta: PDS HB Jassin, 2005), Duka Atjeh Duka
Bersama (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), dan Amuk Gelombang (Medan, Star
Indonesia, 2005). Buku-buku lain pasti masih akan terus bermunculan. Semua
menunjukkan ekspresi solidaritas bahwa duka Aceh adalah duka kita, duka
Indonesia, duka umat manusia.
16 Dalam politik identitas, konsep “Kita” dan “Mereka”
penting artinya untuk memberi kesadaran tentang jatidiri sebuah bangsa atau
komunitas. Aceh dalam konteks keindonesiaan adalah bagian dari diri “Kita” yang
ditandai berdasarkan kesamaan sejarah perjuangan, afiliasi kultural, sistem
pemerintahan, wilayah teritorial (space), dan kewarganegaraan (nationality).
Meskipun demikian, sikap chauvinistik yang berlebihan atau ketidakpercayaan
pada pemerintah dapat melahirkan ketidaksetiaan yang kemudian berujung pada
usaha merumuskan identitas sendiri. Maka, sangat mungkin warga Aceh melihat
warga di luar Aceh atau sebaliknya membuat semacam garis pembatas identitas
yang ditandai dengan penyebutan ?kita? dan “mereka”. Masalah Aceh dalam konteks
keindonesiaan itu, tidak dapat lain, kecuali menempatkannya sebagai “Kita” yang
didasarkan oleh sejumlah kesamaan yang disebutkan di atas.
17 Mencermati sejumlah besar puisi penyair Aceh sebelum
terjadi tsunami, kita akan mendapati ekspresi mereka yang cenderung didominasi
oleh trauma konflik bersenjata itu. Trauma psikologis itu tidak lagi menjadi
milik orang per orang, melainkan sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian
masyarakat. Inilah yang psikoanalisa disebut sebagai ketaksadaran traumatic
kolektif. Artinya, kegetiran itu sudah menjadi ketakutan massal. Penyembuhannya
hanya mungkin dapat dilakukan jika konflik bersenjata itu sudah benar-benar
tidak lagi terjadi di Aceh.
18 Lihat Sigmund Freud, The Future of an Illusion,
London: Hogarth Press, 1961. Meskipun Freud menyebutnya sebagai frustasi karena
alam, dalam konteks tsunami sebagai fenomena alam, penyair Aceh ini melihat
tsunami justru bukan lantaran sikap frustasi, melainkan kesadaran instintif
atas keakrabannya dengan Tuhan. Masjid Baitur Rahman kemudian menjadi simbol
tempat “bersemayam” Tuhan.
19 Pemuatan karya tiga penyair yang menjadi korban
tsunami tentulah dimaksudkan oleh editor buku ini sebagai penghargaan dan
penghormatan atas kiprah kepenyairannya.
***http://sastra-indonesia.com/2010/10/sastra-aceh-sebuah-perjalanan-panjang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar