Minggu, 17 Mei 2020

Warna Proses Kreatif Menulis Nezar Patria

Wawancara di grup facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia
Nezar Patria, kelahiran Sigli, Nanggroe Aceh Darussalam 5 Oktober 1970, seorang wartawan, aktivis, dan penyair. Sekarang menjabat pemred The Jakarta Post; sejak tahun 2016, bergabung di koran berbahasa Inggris tersebut untuk platform digital, lalu awal 2018 ditugaskan memimpin versi cetaknya. Sebelumnya, wartawan di Majalah Berita Mingguan Tempo (1999-2008), tercatat salah satu pendiri portal VIVA.co.id (2008-2014), dan redaktur pelaksana. Tahun 2014-2016, jadi wakil pemimpin redaksi CNN Indonesia (Digital).

Karya jurnalistik investigasinya pernah memenangkan Tolerance Prize dari International Federation of Journalist (IFJ) bekerja sama European Council, Manila 2004. Jadi Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2008-2011, dan terpilih sebagai Anggota Dewan Pers, dua periode (2013-2019). Alumni Fakultas Filsafat UGM (lulus 1997), mendapat gelar M.Sc dari The London School of Economics (LSE), Inggris, untuk Studi Politik dan Sejarah Internasional, tahun 2008.

Selain organisasi jurnalis, kerap terlibat di berbagai riset politik. Akrab tema politik sejak masa mahasiswa, terutama aktif dalam gerakan mahasiswa pro demokrasi awal 1990-an hingga Reformasi 1998. Di masa itu sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sebuah organisasi mahasiswa yang masuk daftar hitam rezim Orde Baru. Di dunia riset, kini tercatat selaku Dewan Redaksi di Jurnal Prisma, diterbitkan LP3ES. Pernah menjadi periset paruh waktu di International Crisis Group (ICG) Asia Tenggara (2004-2012).

Bersama Tia Setiadi, tahun 2017 mendirikan Circa di Yogyakarta; penerbit indie yang aktif menerbitkan buku fiksi dan non-fiksi bertema seputar jurnalisme, sastra, dan filsafat. Buku terbarunya sendiri ada dua; yang non-fiksi bertajuk “Keputusan Sulit Adnan Ganto” (Circa, 2017, ditulis bersama almarhum Rusdi Mathari), sebuah biografi seorang bankir yang jadi penasehat ekonomi bagi tujuh menteri pertahanan RI. Buku kedua, sehimpun puisinya yang dimuat Harian Kompas dan Koran Tempo, diterbitkan Diva Press, berjudul “Di Kedai Teh Ah Mei” (2018).
***
Nurel Javissyarqi: “Sebagai pemantik awalan saya bertanya Mas Nezar Patria, 1. Sejauh perjalanan yang sampean tempuh, apakah sebelumnya sudah pernah ‘nyemplung’ di dunia sastra, barangkali saat SMA atau jauh sebelum itu? 2. Menurut sampean, apakah kata-kata yang telah tergurat, sangat mempengaruhi kehidupan sang penulisnya? 3. Adakah hubungan rasa senyawa di antara kata dengan darah-daging perjuangan? Jikalau ada, seperti apakah pergumulannya, dan bagaimana menentukan waktu yang tepat, agar kata-kata tidak buyar dari ruhaniah maknanya, meski melewati rentang waktu peristiwa, dst...”
***

(I)
Nezar Patria: “Saya mengenal sastra saat duduk di bangku SMP. Bagian sekolah yang menarik perhatian saya ialah perpustakaan. Saya bisa menghabiskan jam waktu istirahat saya di ruang baca, menikmati berbagai macam bacaan, dan terutama yang mengasyikan adalah membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka dan Pustaka Jaya. Saya membaca cerita klasik sastra Indonesia, dari Salah Asuhan, sampai karya A.A. Navis. Saya juga membaca sejumlah karya sastra terjemahan dari pengarang seperti Victor Hugo, Alexander Dumas, Dickens, dan Karl May.”

“Selain itu, di masa SMP, saya menggemari cerita di Majalah Kawanku dan Hai. Saya punya kebiasaan nongkrong di kedai loper koran di dekat sekolah, di pinggir pasar Peunayong, Banda Aceh. Si pemilik kedai seorang mahasiswa, dan ayah saya waktu itu berlangganan harian Kompas kepadanya. Karena harian terbitan Jakarta itu tiba siang hari di kota saya, maka sambil menunggu koran tiba, saya punya kesempatan membaca koleksi majalah dan komik di kedai itu.”

“Pemiliknya tak keberatan, dia malah senang, karena kadang saya membantunya menjaga kedai itu, kalau dia ada urusan lain, dan harus meninggalkan kedai selama dua sampai tiga jam. Pada saat itulah, saya masuk ke dunia cerita, entah membaca cerpen di majalah, koran mingguan, atau komik. Saya menikmati komik Indonesia, dari Hasjmi (Gundala), Wid NS, sampai dengan komik silat seperti serial Panji Tengkorak. Di rumah, saya juga punya koleksi lengkap komik Mahabrata, Bratayudha, dan Parikesit karya R.A. Kosasih.”

“Tetapi yang cukup mengesankan, buku-buku cerita di perpustakaan itu. Di sana saya mengenal lebih banyak puisi Charil Anwar, W.S. Rendra, Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Linus Suryadi AG (terutama berkat Linus yang menjadi editor seri antologi puisi Indonesia modern, Tonggak, saya mengenal lebih banyak puisi karya penyair berbagai daerah). Pendeknya, saya berburu aneka buku terbitan Pustaka Jaya, Balai Pustaka, dan penerbit lainnya, baik puisi maupun prosa.”

“Dunia bacaan saya kemudian meluas sewaktu SMA. Saya mulai menggemari seri Sherlock Holmes dari Sir Conan Doyle, lalu membaca roman karya Mochtar Lubis, terutama Jalan Tak Ada Ujung serta Harimau-Harimau. Saya juga membaca Nikolai Gogol “Jiwa-Jiwa Mati”, lalu Dostoevsky “Kejahatan dan Hukuman”, Arthur Koestler “Darknest at Noon”, Orwell “Animal Farm”, Herman Hesse ”Siddharta”, Yukio Mishima “Kuil Kencana”, dan lain-lain. Kemudian, secara tak sengaja saya menemukan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (PAT) di rak buku paman saya. Buku itu kelihatan disimpannya hati-hati, dan dia mengatakan kepada saya, buku itu terlarang, jadi tak boleh sembarangan. Saya membacanya dengan antusias, masuk ke dalam imajinasi masa kolonial, dan frustasi mencari sekuel selanjutnya. Kelak ketika berkuliah di Yogyakarta, saya baru mendapatkan Tetralogi PAT secara lengkap. Di masa mahasiswa, saya beruntung bisa mambaca lebih banyak lagi, karena akses yang lebih luas, juga pergaulan antar kawan mahasiswa yang punya minat sastra, politik, sejarah, dan filsafat.”

“Saya mulai menulis puisi sejak SMA, tapi tak pernah mengirimkannya ke media manapun. Saya merasa puisi lebih cocok, lebih ekspresif dan bisa membahasakan apa yang berdentang di jagad batin. Sewaktu mahasiswa, saya masih menulis beberapa puisi, dan hanya dimuat di antologi terbitan perkumpulan mahasiswa. Setelah bekerja sebagai wartawan, saya kian sering menulis features, dan itu artinya lebih banyak bergulat dengan penulisan non-fiksi, tapi punya kedekatan dengan prosa. Baru setelah beberapa waktu belakangan, kembali lagi menulis puisi.”

(II)
Nezar Patria: “Ini maksudnya kata-kata yang ditumpahkan ke dalam karya seperti prosa dan puisi ya? Mungkin, setiap individu punya pengalaman berbeda. Saya hanya bisa menulis puisi, jika menemukan ‘momen puitik’. Momen itu bisa terjadi dengan tiba-tiba, misalnya lagi melihat selembar kartu pos, lalu teringat seseorang dan pengalaman bersamanya. Atau sedang sendirian di bus kota, atau berhenti di sebuah halte yang kosong, dan melihat sebuah botol kosong di bangku halte. Semua itu pemantik-pemantik di dunia obyektif, yang kemudian mempengaruhi dunia subyektif saya dengan beragam pengalaman yang mengendap di alam bawah sadar.”

“Rangsangan dari dunia obyektif itu memancing bawah sadar bekerja, lalu semua isi bagasi pengalaman keluar dalam bentuk kata-kata, yang membentuk imaji, bunyi, dan makna yang diwakilinya. Kata-kata bisa keluar begitu saja tanpa bisa ditahan, dan kemudian baru saya menyusunnya, agar memenuhi kaidah puisi. Kadang kala saya terkejut dengan hasilnya, kata-kata bisa bergerak dengan ajaib, menajamkan apa yang saya rasakan, atau bahkan melompat keluar memberikan horizon baru, dan juga makna baru. Misalnya ketika saya melihat sepotong gambar tentang seorang tawanan yang akan dieksekusi di Suriah. Saya terenyuh, mungkin karena saya pernah punya pengalaman yang sama. Sepotong gambar itu menggugah saya dengan ‘momen puitik’, dan lantas saya menuliskannya jadi puisi. Demikian sejumlah puisi lahir dengan berbagai macam perjumpaan antara realitas obyektif dan dunia obyektif saya. Dari sini, saya kira puisi lahir dengan sedikit banyaknya dipengaruhi oleh latar belakang subyektif si penyair; penghayatannya atas peristiwa, luka dialaminya, kebahagiaan yang dipetiknya, dan juga kemarahan.”

Nurel Javissyarqi: “Maaf Mas Nezar Patria, kalau pertanyaan kedua di atas, atau kata-kata saya tersebut sulit ditangkap maksudnya. Bahasa lainnya begini: Apakah karya yang sudah tercipta, misalkan puisi yang telah jadi, kelak, atau nantinya, bisa menentukan arah takdir sang penulisnya, dapat ‘menujum’ masa depan pengarangnya, atau menjelma sorot cahaya terang atas keyakinan-keyakinan lebih besar, dari masa awal ciptaan itu sebelumnya, (mungkin pertanyaan ini tidak logis, tapi dapatlah dinamai istilah lain), yakni, apakah karya yang telah terjadi itu, bisa mempengaruhi jawaban maupun menentukan pilihan atas persoalan si penyair di masa depannya, contoh kitab-kitab suci mempengaruhi umat yang mempercayai atau meyakininya, tentu dengan kadar lebih rendah bobotnya, dibandingkan kitab suci.... (jadi, pertanyaan saya bukanlah kata ‘dipengaruhi,’ tapi dengan kata ‘mempengaruhi’). Namun begitu, jawaban sampean tetap menjadi masukan berharga bagi saya, matur suwon sanget...”

Nezar Patria: “Saya tidak tahu, apakah puisi bisa sedahsyat itu meramal masa depan penyairnya, mungkin satu dua puisi yang diciptakan seorang penyair pada masa lalu, tiba-tiba dirasakan cocok dengan situasinya sekarang. Tapi saya kira itu kebetulan saja. Puisi mungkin punya efek magis dan mistis, tapi tentu ia bukan berfungsi seperti kitab suci yang dipercayai untuk memandu jalannya kehidupan. Banyak kebetulan yang ditemukan sebagai sebuah post-factum, bukan sebuah ramalan. Puisi merekam apa yang terjadi di jagad batin penyair dalam mencerap dunianya, dan karena sublimasi atas realitas, maka puisi terasa awet melintasi ruang dan waktu. Kita baca puisi Chairil di tahun 1940-an, dan mungkin masih bisa merasakan semangat yang sama di zaman sekarang.”

Nurel Javissyarqi: “Terima kasih atas jawabannya Mas Nezar Patria, mungkin nanti bisa dilanjut dengan yang lain, suwon...”

Nezar Patria: “Sami-sami.”

(III)
Nezar Patria: “Saya rasa ini juga berbeda di antara para penyair atau penulis, tergantung seberapa jauh dia terlibat, dan berjarak dengan peristiwa atau pengalaman. Ada penyair yang punya simpati kuat atas perjuangan rakyat, entah di negeri sendiri atau di belahan dunia lain. Dia tergerak oleh rasa empati, dan merasa menjadi bagian dari perjuangan itu. Puisi yang lahir bisa jadi sangat kuat, tapi kita masih bisa merasakan jarak penyair dengan dunia yang ditulisnya. Namun ada juga penyair yang terlibat dalam dinamika pergerakan itu, menjadi bagian organik, dan karya-karyanya tampak orisinil menjadi bagian dari apa yang ditulisnya. Kita bisa membaca dunia orang pinggiran, dan cita-citanya untuk kehidupan lebih baik, dari puisi Wiji Thukul misalnya. Kita bisa merasakan bagaimana hasrat cinta Pablo Neruda bertemu dengan pengalaman pribadi perjuangannya, dan juga metafora yang kuat dari solidaritasnya untuk kebebasan orang-orang teraniaya. Pengalaman itu saya kira, bahan baku yang tak habis-habisnya, dia masuk ke bawah sadar si penyair, dia bisa bangkit kapan saja ‘momen puitik’ datang memanggilnya.”
***
(IV)
Cak Bono: “Mas Nezar Patria, berkenaan dengan wabah covid-19 ini. Sepertinya, pasca pandemi ini, produksi, konsumsi, dan distribusi dari teks, baik sastra maupun jurnalistik, akan menemukan new normalnya masing-masing. Jika demikian, kira-kira seperti apa roadmapnya? Seberapa cepat, dan sejauh mana pergeserannya? Apakah akan terjadi disrupsi?”

Nezar Patria: “Dunia belajar banyak dari pandemi ini, setidaknya mengakui, bahwa pencapaian peradaban manusia saat ini, ternyata masih rentan dengan serangan wabah. Betapapun, pencapaian teknologi Abad 21, masih mungkin membuat manusia berinteraksi via platform digital, dan terhubung lewat internet. Hal ini mungkin tak dialami oleh generasi awal Abad 20, saat Spanish Flu merebak pada 1918, dan merenggut nyawa lebih 50 juta jiwa. Bakal ada kesadaran baru post-covid-19, bahwa kita harus menerima koeksistensi hidup bersama ancaman wabah, dan karenanya kerja sama antar bangsa menjadi semakin penting. Kita lihat sebelum wabah menerjang, dunia sedang melakukan tata ulang dengan munculnya nasionalisme sempit di sejumlah negara di Eropa, dan konservatisme di AS. Perang Dagang China-AS, salah satu manifestasinya. Setelah covid-19, mungkin kita akan bertemu dengan new normal, bahwa kerentanan peradaban manusia di tengah wabah harus diatasi dengan kerja sama antar bangsa. Bahwa dunia informasi digital berjasa tetap menjaga interaksi manusia meskipun dalam isolasi, yakni kesehatan menjadi agenda prioritas agar bisa selamat, hubungan eksploitatif manusia atas alam harus ditinjau ulang, yaitu kerawanan pangan bisa mengancam, dan sama beratnya dengan ancaman virus. Tentu saja sastra juga jurnalisme akan berubah, pusat-pusat informasi lebih menyebar, dan komunitas-komunitas mengambil peran masing-masing dalam jejaring global. Meskipun begitu, platform digital semisal FB dan Google, tetap bermain sebagai pelaku utama, dan mendefiniskan mana yang penting atau tidaknya di dalam soal distribusi informasi melalui rezim algoritma. Dalam hal ini, media-media harus mencari ekosistem tersendiri, yang lebih independen dari platform raksasa. Kita belum tahu apa yang terjadi di depan, tetapi jelas pengalaman paruh pertama tahun 2020 ini, akan berpengaruh pada perkembangan dunia ke depan.”

Cak Bono: “Komprehensip, dan tidak muluk-muluk. Yang menarik, tentang mewaspadai juga mengantisipasi Dominasi Rezim Algoritma, pemain Big data yang sudah mapan. Ini akan menjadi hal yang patut dicermati, terutama berkaitan dengan otoritas regional gaya lama, yang mungkin masih cenderung bermain pada wilayah statusquo, tetapi, diluar dunia maya. Kebutuhan untuk hidup, senyatanya sandang, pangan, dan papan adalah tantangan paling berat. Kira-kira sejauh mana kontribusi dunia digital jejaring global dalam hal memproduksi ketahanan sandang, pangan, papan dalam situasi new normal ini. Sementara untuk distribusi, sepertinya akan sangat membantu, terutama dengan mudahnya koneksi antara supplier dan konsumen. Selanjutnya, sejauh mana pola konsumsi masyarakat terhadap produksi ‘teks,’ baik jurnalistik maupun sastra? Menanggapi bahwa komunitas dibawah rejim algoritma, yang meskipun bebas akan terbatasi atau dibatasi juga oleh (mungkin) diskursus setingan pemilik modal. Terima kasih atas pencerahannya yang bernas dan lugas.”

Nezar Patria: “Sama-sama Mas.”

(V)
Wawan Eko Yulianto: “Bang Nezar Patria, kalau ada titik dalam hidup yang membuat abang bisa menulis dengan lancar dan nyaman, serta tidak ada takut sama sekali, ketika dibutuhkan untuk menulis, kapan itu? Makasih.”

Nezar Patria: “Kalau sedang mendapat letikan ide, dan mungkin juga disebabkan oleh sesuatu yang emosional. Kadang kita menulisnya dengan jemari tangan gemetar, menahan luapan perasaan.”
(VI)
Andrenaline Katarsis: “Satu buku karya Mas Nezar Patria yang saya suntuki waktu zaman kuliah dulu, tentang ‘Hegemoni Antonio Gramsci’ penerbit Pustaka Pelajar kalau ndak salah. Sungkem untuk buku itu, Mas...”

Nurel Javissyarqi: “Matur suwon sanget Mas Andrenaline Katarsis sudah mampir...”

Nezar Patria: “Andrenaline Katarsis, Terima kasih Mas, sudah mau membaca buku itu.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar