Maman S. Mahayana *
Membandingkan novel Sitti Nurbaya dengan karya sastra yang terbit melampaui zamannya dari belahan bumi mana pun, tentu saja dibolehkan. Begitu juga tak ada undang-undang yang melarang mencantelkan tema atau konteks novel itu dengan kondisi sosio-budaya yang terjadi pada masa kini. Bukankah kita "masyarakat sastra" meyakini, bahwa begitu karya itu terbit dan kemudian menyebar ke khalayak pembaca, seketika pula ia bebas dimacam-macami. Pembaca punya hak penuh memperlakukannya sekehendak hati, termasuk dalam hal memaknainya.
Resepsi sastra memberi kunci pemaknaan pembaca atas karya sastra: pada zamannya (sinkronis) atau yang berkembang dari zaman ke zaman (diakronis). Dulu, pada awalnya, tema Sitti Nurbaya sering dikaitkan dengan persoalan adat dan kawin paksa. Tetapi, belakangan, tema itu dianggap sudah kuno, kedaluwarsa, dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Maka dicarilah relevansinya dengan persoalan pendidikan, nasionalisme, bahkan juga feminisme. Begitulah pemaknaan atas sebuah teks akan terus menggelinding menabrak berbagai persoalan sejalan dengan perkembangan zaman.
Meski begitu, kita dapat memaklumi jika masih ada yang berpandangan konservatif. Sitti Nurbaya dan novel sezamannya dianggap sudah tuntas menyelesaikan tugasnya, purnabakti, pensiun alias menjadi lasykar tak berguna. Inilah contoh yang baik dari sebuah taklid yang meyakini, bahwa kiblat pendekatannya adalah senjata pamungkas yang ampuh. Ia dipercaya dapat menyelesaikan segala persoalan teks. Benarkah teks itu sudah lengkap dan di sana pengarang menemui ajalnya (the death of author)? Sesungguhnya pandangan sempit semacam itu telah mereduksi kekayaan makna teks. Karya sastra diperlakukan sebagai artefak narasi yang sudah selesai. Seolah-olah ia lahir tanpa proses, tanpa ada kaitannya dengan masalah sosio-budaya yang menempel dan menjadi kegelisahan pengarangnya. Masalah yang melatarbelakangi dan harapan yang melatardepani pengarang, seolah-olah perkara yang tak penting. Oleh karena itu, tidak perlu pula dimasalahkan.
Setiap pengarang, selalu punya pretensi, niat, bahkan juga harapan atas sesuatu yang tersimpan dalam karyanya. Pretensi itu tidak terlepas dari persoalan latar belakang budaya, lingkungan masyarakat, kepercayaan atau agama yang dianut, dan ideologi yang hendak diselusupkan kepada khalayak pembaca. Di situlah pentingnya memaknai teks berdasarkan konteksnya. Pemahaman aspek ekstrinsikalitas karya itu akan bermanfaat untuk menyelam lebih jauh dan menggerayangi segala kekayaan teks selengkapnya. Jadi penelusuran teks Sitti Nurbaya dan karya sastra lain yang terbit pada zamannya perlu siasat dan cara pandang baru. Hanya dengan itu, ia tidak bakal menjadi benda sejarah yang beku. Orang pun membacanya tidak perlu dibayang-bayangi perasaan menggigil.
***
Sitti Nurbaya adalah satu contoh kasus. Ia merepresentasikan ide pengarang atas problem zamannya. Lihatlah prototipe Datuk yang sesat (Datuk Meringgih) yang mengeksploitasi warga sepuaknya atas nama kekayaan. Bukankah manusia model itu berlaku sepanjang zaman? Tetapi, seburuk-buruknya seorang Datuk "meski tak jelas kebangsawanannya" masih punya kesadaran kultural. Tak kehilangan jati diri. Ia pun harus berjuang ketika hak ulayat diganggu gugat. Maka, sistem pajak (belasting) yang diberlakukan Belanda di Ranah Minang, dipandang akan menghancurkan sendi-sendi kultural. Itulah salah satu faktor pemicu terjadinya pemberontakan pajak.
Cermati juga ideologi yang ditawarkan Sitti Nurbaya atas marjinalisasi peran kaumnya dalam kehidupan masyarakat dan pendidikan. Bukankah semangat itu pernah dilontarkan Kartini dan kini jauh lebih semarak dimeriahkan berbagai lembaga yang hendak membela kaum perempuan? Apakah dengan begitu gagasan Kartini dan Sitti Nurbaya harus dipensiunkan juga?
Syamsul Bachri adalah produk yang lain lagi. Ia orang "udik" yang takjub pada modernitas. Si Malin Kundang yang menafikan ninik-mamaknya. Maka, jadilah Kapten Mas untuk menyempurnakan ketercerabutan pada kultur yang melahirkannya. Bukankah itu gambaran reinkarnasi Malin Kundang? Kematian Kapten Mas dan Datuk Meringgih adalah pandangan ideologis pengarang untuk tidak menyerahkan masa depan kepada generasi muda yang lupa akar atau kepada generasi tua yang serakah dan aniaya pada perempuan. Keduanya sama brengsek.
Apa makna teks itu dalam konteks zamannya? Di sinilah pentingnya cantelan teks dengan konteks. Dikatakan Sartono Kartodirdjo (1975: 82), sejak dinaikkannya pajak rakyat tahun 1919-1921, pemerintah Belanda berhasil mengeruk untung sebesar 24 juta gulden setahun. Jumlah itu naik menjadi 28 juta gulden tahun 1922. Tahun berikutnya naik lagi menjadi 32 juta gulden, dan tahun 1925 meraup 34 juta gulden. Kekayaan yang diangkut dari bumi Nusantara inilah yang mengangkat Ratu Wilhelmina sebagai ratu terkaya di dunia setelah Ratu Inggris, Elisabeth.
Apakah kekayaan itu membawa berkah bagi pribumi? Pemberlakuan politik etis hanya dapat dinikmati segelintir elite. Sementara itu, kondisi rakyat makin berat karena kewajiban menyerahkan sebagian penghasilannya. Keadaan itulah yang jadi pemicu pecahnya gerakan pemberontakan lokal, di antaranya terjadi di Cimareme, Jawa Barat; Toli-Toli di Sulawesi Tengah; dan Padang, Sumatra Barat; selain beberapa usaha pemogokan pegawai pegadaian dan buruh kereta api (Sartono Kartodirdjo, 1990: 61; Deliar Noor, 1980: 215).
Di Padang sendiri, sekitar tahun 1923-1924, terjadi pula protes terhadap usaha pemerintah Belanda yang hendak menyewakan tanah kepada rakyat yang diakui sebagai tanah milik pemerintah. Padahal, menurut adat Minang, tanah yang hendak disewakan itu merupakan tanah milik keluarga batih, ninik?mamak. Salah seorang pemrotesnya adalah Abdul Muis pengarang novel Salah Asuhan.
Apa yang dilakukan para sastrawan kita ketika mereka dilanda kegelisahan atas nasib yang menekan bangsanya? Mengusung karya-karya propaganda atau tendensius, pastilah akan dijerat sejumlah peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Harus ada siasat lain untuk menyelimuti kritiknya atas politik kolonial. Bersamaan dengan itu, pemerintah ?untuk melanggengkan kekuasaannya? tidak menutup mata pada perkembangan penerbitan ketika itu. Ia menyadari bahaya yang mungkin muncul dari buku-buku bacaan terbitan swasta.
***
Pertanyaannya: Bagaimana mungkin novel-novel Balai Pustaka menyerang kebijaksanaan kolonial, padahal lembaga itu didirikan justru untuk menerbitkan buku-buku yang dapat mengangkat citra Belanda sebagai mesias yang akan membudayakan pribumi? Di sinilah keunikan sastra. Di sini pula tercermin, bahwa sastra mengangkat semangat zaman, merepresentasikan kegelisahan ideologis. Mari kita periksa.
Keberadaan Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917 yang menggantikan komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908, sesungguhnya sebagai realisasi politik etis Belanda. Ada soal politik di balik itu, di samping sebagai usaha membendung pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Secara sepihak pemerintah Belanda menyebutnya sebagai Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar.
Proses perjalanan novel Indonesia sesungguhnya dimulai lewat novel-novel yang diterbitkan pihak swasta. Sebutlah beberapa di antaranya, Hikayat Amir Hamzah (1891), Hikayat Njai Dasima (G. Francis, 1896), Hikajar Kadirun (Semaun, 1920), Hikayat Soedjanmo (Soemantri, 1924), dan karya para penulis Cina Peranakan. Mereka itulah yang merintis dan mengembangkan sastra (novel dan cerpen) Indonesia modern. Claudine Salmon (Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1985) mengungkapkan keberlimpahan khazanah sastra Indonesia karya para penulis Tionghoa. Bahkan, tahun 1909 terbit sebuah kumpulan cerpen berjudul Boekoe Tiga Hikajat yang disunting Goan Hong. Sejauh pengamatan, inilah antologi cerpen pertama dalam sejarah cerpen Indonesia.
Karya-karya sastra terbitan swasta itu dianggap berbahaya. Faktor ini pula yang mendorong pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka. Dalam konteks itu, sangat mungkin sastrawan-sastrawan Balai Pustaka menyerap juga pengaruh karya-karya yang diterbitkan pihak swasta itu.
Harus diakui, kita tidak dapat menafikan peranan penting Balai Pustaka bagi perkembangan sastra Indonesia. Tetapi tak adil jika kontribusi penerbit-penerbit swasta dihilangkan begitu saja. Bagaimana mungkin sastra Indonesia lahir tanpa sebab, tanpa pengaruh yang melatarbelakanginya? Pemerintah Belanda memang sengaja membangun citra bahwa peranan penerbit swasta sebagai "Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar," tujuannya semata-mata politis. Citra itu kemudian dilanggengkan R. Roolvink yang mengusung istilah Roman Picisan. Dalam kondisi itu, A. Teuuw dan sejumlah pengamat sastra Indonesia nyaris tidak pernah membuka mata pada karya-karya itu. Lebih parah lagi yang dilakukan para guru di sekolah yang menjauhkan novel-novel itu dari materi pelajaran sekolah.
Dalam Balai Pustaka Sewajarnya 1908--1942, dinyatakan bahwa sejarah berdirinya Balai Pustaka banyak persamaan dan perhubungannya dengan riwayat pengajaran di Indonesia. Asal mula mendirikan sekolah-sekolah di Jawa bukanlah karena hendak memberi pengajaran yang selayaknya kepada rakyat melainkan hanya akan memenuhi kebutuhan pemerintah di dalam soal pegawai negeri, dengan Putusan Raja tanggal 30 September 1848 No. 95, Gubernur Jenderal diberi kuasa: "akan mengeluarkan uang dari anggaran belanja Hindia, f25000,- banyaknya dalam setahun untuk belanja sekolah-sekolah buat orang Jawa, terutama akan mendidik mereka yang akan jadi pegawai negeri."
Pendirian sekolah-sekolah semata-mata bertujuan demi mempersiapkan tenaga pegawai pemerintahan, dan bukan bermaksud hendak mencerdaskan bangsa pribumi. Sekolah itu dirancang untuk mencetak tenaga pribumi dalam rangka mendukung administrasi sederhana dan tenaga terampil yang dapat dipekerjakan di pabrik-pabrik. Sekolah-sekolah didirikan dengan mengikuti pola penyebaran gudang-gudang kopi dan pabrik-pabrik milik pemerintah. Tahun 1850-an, dua tahun setelah keputusan Raja 30 September 1848, dibangun 16 buah sekolah rakyat. Letak sekolah-sekolah itu tersebar di daerah-daerah gudang kopi pemerintah. Dengan begitu, pemerintah tidak akan kesulitan mencari tenaga yang cukup terampil yang juga dapat membaca dan menulis (dalam bahasa Belanda) sekadarnya.
Pada tahun 1907, atas prakarsa Gubernur Jenderal Van Heutz mulai dibangun sekolah-sekolah desa untuk tiga tahun pelajaran. Biayanya dibebankan kepada aparat desa setempat, termasuk biaya pembangunan sekolah dan gaji guru. Pemerintah bertugas mengawasi dan mengurus alat-alat pelajaran, terutama buku-buku pelajaran. Dalam kaitan itulah, perlu didirikan lembaga yang dapat menyediakan buku-buku pelajaran dan bahan bacaan. Itulah salah satu alasan didirikan Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuuur) tahun 1908.
Dr. D.A.R. Rinkes, Kepala Balai Pustaka pertama menyatakan: "janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang baik? Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengharu. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri."
Atas pertimbangan politik itu pula, maka Balai Pustaka dan tugas yang diembannya, lebih banyak didasarkan pada usaha menjalankan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di bidang pengajaran. Untuk keperluan itu, Balai Pustaka menerapkan sejumlah syarat bagi naskah-naskah yang akan diterbitkannya yang bertujuan melegitimasi kekuasaan Belanda di tanah jajahan. Melalui politik asimilasi, pemerintah bermaksud "membelandakan" cara berpikir kaum pribumi. Ini sejalan dengan pandangan I.J. Brugmans (1987: 183) yang menyatakan: "Peradaban 'barat' harus menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa."
Dalam kaitan itu, isi buku-buku terbitan Balai Pustaka secara umum sejalan dengan politik kolonial dalam melegitimasi kekuasaannya. Novel-novel terbitan Balai Pustaka merupakan contoh yang baik mengenai masalah itu. Hampir semua novel terbitan Balai Pustaka selalu memunculkan tokoh orang Belanda sebagai mesias atau dewa penolong. Sementara tokoh pemimpin lokal, seperti kepala desa, pemuka agama atau haji, digambarkan sebagai tokoh kejam, serakah, tidak adil, dan fanatik.
Sekadar menyebut beberapa contoh, periksa novel Azab dan Sengsara (1920). Tokoh Baginda Diatas, kepala kampung yang terkenal dermawan, tiba-tiba bertindak tidak adil dengan memutuskan hubungan cinta anaknya, Aminuddin dan Mariamin. Sitti Nurbaya (1922) menampilkan tokoh Datuk Maringgih yang busuk dalam segala hal, mendadak menjadi kepala pemberontak yang menentang perpajakan. Ia kemudian mati di tangan Samsul Bahri (Letnan Mas) yang sudah menjadi kaki tangan Belanda.
Dalam Muda Taruna (1922) karya Moehammad Kasim dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro, tokoh-tokoh Belanda benar-benar tampil sebagai dewa penolong. Hal yang sama terjadi dalam Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati. Lebih jelas dalam Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Konon, dalam naskah aslinya, Corrie du Busse adalah perempuan Indo-Belanda yang kemudian mati lantaran penyakit kelamin. Dari sekitar 70 buah novel yang diterbitkan Balai Pustaka sebelum merdeka, semuanya tidak ada yang menampilkan tokoh Belanda yang berperilaku buruk. Termasuk juga dalam Hulubalang Raja (1934) karya Nur Sutan Iskandar yang bersumber dari disertasi H. Kroeskamp yang mengangkat peristiwa tahun 1665-1668 di Sumatera Barat. Pertempuran para raja dengan kompeni berakhir secara damai hanya karena adik perempuan Hulubalang Raja, Andam Dewi, sudah menjadi istri musuhnya, Raja Adil.
Gambaran intrinsik itu sangat berbeda dengan karya sastra yang diterbitkan pihak swasta. Tidak sedikit tokoh Belanda yang digambarkan sebagai pemabuk, pemerkosa, penjudi, dan keluar masuk rumah bordil. Itulah sebabnya, pemerintah Belanda sering terlibat langsung, baik yang menyangkut penyensoran naskah --seperti yang terjadi dalam Salah Asuhan-- maupun penyebarluasannya. Maka dapat dipahami jika buku-buku terbitan Balai Pustaka sangat berpengaruh dan lebih mengakar dibandingkan buku terbitan swasta.
Meski Balai Pustaka mengusung politik kolonial Belanda, tak sedikit sastrawan Indonesia yang justru memanfaatkan keberadaan lembaga itu untuk kepentingan menyelusupkan ideologi kebangsaan. Mereka secara cerdik menciptakan tokoh-tokoh karikaturis, tetapi di belakang itu, tersimpan makna lain yang justru hendak memberi penyadaran atas keterpurukan bangsa ini di bawah politik kolonial.
***
Selain Sitti Nurbaya yang hendak menggugat sistem pajak, pendidikan, dan penganiayaan atas kaum perempuan, novel Salah Asuhan juga sebenarnya menggugat sistem stratifikasi sosial yang diberlakukan pemerintah Belanda. Secara tematis Salah Asuhan mempertegas tema novel-novel sebelumnya, Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Ia tidak lagi terkukung pada masalah adat, melainkan pada hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie). Selain itu, Salah Asuhan dapat dipandang sebagai kritik Abdoel Moeis atas politik pemerintah Belanda dan orang (-orang) yang membelanda yang lupa akar dan takjub pada modernitas. Gambaran Samsul Bachri melekat pada diri Hanafi yang juga menjadi Malin Kundang. Itulah keprihatinan pengarang pada golongan terpelajar yang melupakan tanggung jawab kepada bangsanya sendiri.
Pembicaraan Corrie dengan ayahnya, Du Bussee, jelas hendak mengangkat ketidakadilan yang berlaku di tanah jajahan. Jika lelaki Eropa (: Belanda) dapat begitu gampang memelihara istri-istri simpanan (nyai-nyai), lalu mengapa pula ada semacam larangan bagi lelaki bumiputra yang hendak mengawini wanita Eropa?
Alasan yang dikemukakan Du Bussee yang mengutip kata-kata Rudyard Kipling, "Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, dan tidaklah keduanya menjadi satu" (hlm 27) sesungguhnya merupakan pembenaran pada ketidakadilan rezim penjajah. Menurut Kipling, imperialisme bagaikan agama; ia merupakan "kekuatan pembudaya" (civilizing force). Salah satu kewajiban imperialisme adalah membawa misi "membudayakan orang-orang pribumi". Ia harus bertindak sebagai "mesias", sebagaimana yang menjadi misi sistem pendidikan kolonial di tanah jajahan.
Tindakan Hanafi yang memandang rendah bangsanya sendiri, juga merupakan pantulan pandangan Belanda terhadap bumiputra. Demikian pula perlakuan tak adil yang dialami Hanafi dalam usahanya memperoleh pengakuan haknya sederajat dengan bangsa Eropa adalah ironi bahwa bumiputra di negerinya sendiri, harus susah payah mengurusi soal haknya sebagai manusia.
Pada masa itu, kedudukan pribumi (inlander) dicitrakan sebagai golongan masyarakat yang berada setingkat di atas lumpur. Di atasnya lagi, ada golongan bangsawan, bangsa Asia Barat, Asia Timur (Cina dan Jepang), Indo Eropa, Kulit Putih, dan paling atas bertengger Belanda. Stratifikasi sosial itu, menempatkan bangsa Belanda begitu superior dan agung, dan mencampakkan posisi pribumi berada dalam kasta paling nista. Pencitraan ini efektif, karena ia berpengaruh secara psikologis.
Masalah ketidakadilan bangsa Belanda itu, terutama dalam memandang rendah bangsa Timur, tampak pula dalam peristiwa di kereta api yang ditumpangi Hanafi. "Seorang penumpang sedang membaca sehelai surat kabar Belanda yang terbit di Betawi, yang sudah masyhur bencinya kepada Bumiputera. Surat kabar itu memperkatakan hal pertunangan seorang studen bangsa Indonesia (Moeis tidak menyebut bangsa Bumiputra; MSM) di Nederland dengan seorang nona, yang sama-sama menuntut ilmu di sekolah tinggi dengan dia. Bukan sedikit nista dan maki dituliskan oleh surat kabar itu terhadap kepada kaum Bumiputera yang terpelajar terhadap kepada ethischepolitiek?"
Begitulah, dalam banyak hal, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan tersirat mengangkat perlakuan tak adil bangsa penjajah. Samsul Bachri dan Hanafi adalah simbol bumiputra "Si Malin Kundang" yang tercerabut dari akar budayanya. Gambaran itu berbeda dengan novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang tersurat menampilkan potret zamannya. Lihatlah semangat asimilasi dalam Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay. Cermati juga otokritik Gouw Peng Liang atas ketersesatan Lo Fen Koei, si bandar opium.
Sesungguhnya, berbagai persoalan tentang kebangsaan, pendidikan, asimilasi (pembauran) dan semangat mengusung keindonesiaan yang multietnik, sudah tercatat dalam sejumlah besar karya sastra yang terbit pada masa lalu itu. Ide pambauran yang pernah diusung Orde Baru, misalnya, justru sudah diterjemahkan dengan sangat baik dalam novel-novel peranakan Tionghoa. Begitu juga tentang pentingnya pendidikan dan semangat multikultural, dapat dijumpai dalam novel-novel Balai Pustaka sebelum merdeka dan novel terbitan swasta karya pengarang peranakan Tionghoa. Oleh karena itu, yang kini perlu disikapi atas sejumlah novel masa lalu itu adalah membaca dan menafsirkannya kembali dalam perspektif keindonesiaan. Jadi, jangan sekadar konon menurut kata orang. Tidak percaya? Bacalah sendiri!
***
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/11/politik-dalam-sastra-zaman-balai-pustaka/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar