Rabu, 06 Mei 2020

Nezar Patria dan reformasi rasa kecewa, 20 Tahun Reformasi

Nezar patria pernah bergabung dengan organisasi ekstrakampus yang dimusuhi Orde Baru. Usai Reformasi, dia memilih menjadi wartawan. (lokadata.id)

Bonardo Maulana Wahono

Nezar Patria tak mengira bakal diculik aparat rezim diktatorial. Saat hari sial 20 tahun silam itu menyergah, usianya belum lagi 28. Rasa sedih dan terpukul datang menusuk. Maut berkelebat di benak.

"Waktu diambil, enggak ada yang tahu. Batin juga waktu itu merasa bahwa apa yang ditakutkan terjadi. Seperti melihat mendung dan menduga apakah hujan atau tidak, dan kamu merasakan ini hujan betul datang. It happens," ujarnya, Rabu (9/5/2018), tentang malam 13 Maret 1998.

Ingatan mengenai gambar-gambar terperinci penyiksaan terhadap "anak-anak Korea Selatan, anak-anak di Palestina, anak-anak di Filipina yang melawan Marcos" yang pernah dibacanya sontak berebut ke permukaan. Semua gambar melulu memproyeksi kesakitan.

"Kalaupun disikat, dieksekusi, yang enggak sakit gimana caranya. Yang cepat aja. Mungkin ditembak. Tapi, katanya (kalau ditembak) 10 detik masih terasa (sakit). Kalau disayat-sayat, itu sakit banget. Lamunannya kadang-kadang begitu," katanya.

Dia dan tiga rekannya--Mugiyanto, Petrus Bima Anugrah, Aan Rusdianto--baru tinggal 10 hari di lokasi penculikan, yakni lantai dua Rumah Susun Klender, Jakarta Timur. Mereka semua anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang usai Peristiwa 27 Juli 1996 diburu aparat.

Kisah tentang momen penculikan tersebut kekal dalam kesaksian tertulis. Nezar mengetik kesaksian itu dengan komputer jinjing yang dipinjamkan aktivis KontraS, mendiang Munir Said Thalib, setelah dilepas dari bui .

Pada 7 Juni 1998, dia menyiarkan testimoni itu kepada khalayak dalam acara jumpa pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Testimoni berisi kronologi penculikan dan detail penyiksaan. Proses ambil-paksa yang tak bertele-tele tereka gamblang. Begitu pun raga para penculik: empat pelaku merangsek ke kamar; empat orang tak dikenal yang memakai penutup kepala; empat oknum yang lantas menggeretnya--juga Aan--ke arah jip ber-AC.

Empat yang lantas diketahui merupakan bagian dari Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus.

Borgol meringkus tangan mereka. Kain hitam, mata mereka. "Musik diputar cukup keras" hingga menafikan telinga dua sejawat itu untuk membikin sketsa mental lalu-lintas di jalan.

"Ada kepasrahan yang luar biasa," kata pria kelahiran Sigli, Aceh, pada 1970 itu mengenangkan. "Betul-betul enggak berdaya. Sambil membayangkan semoga ada keajaiban, mukjizat-mukjizat. Semoga Soeharto besok mati. Semoga Soeharto besok tumbang dan semua ini berhenti".

Faktanya, Soeharto baru saja ditetapkan sebagai presiden dalam Sidang Umum Majelis Permusyarawatan Rakyat (SU MPR) pada 10 Maret 1998. Itu kali ketujuh dia memimpin Indonesia. Jika tak mundur pada 21 Mei 1998, Soeharto kelak memerintah hingga 2003.

Nezar Patria karenanya hanya bisa "berdoa dan berzikir". Selama dua hari mendekam dalam bilik penganiayaan, tubuhnya niscaya berkali-kali memproduksi dan menyimpan rasa sakit.

Dan mungkin, residu nyeri pada tubuh itu tinggal hingga bertahun-tahun berikut. Keadaan yang sungguh lumrah, mengingat model penganiayaan yang diterima. Berikut secuil etape penyiksaan itu, seperti terimbuh dalam testimoni:

"Sebuah benda terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak "Allahu akbar!" sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Aliran listrik itu menyerang bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang saya duduki bergeletar. Saya merasa sebuah tendangan keras menghantam dada saya hingga saya terjengkang ke belakang dan kursi lipat tempat saya duduk jadi ringsek."

Pada Ahad (15/3/1998), rangkaian penyiksaan "di tempat X", lokasi yang dia istilahkan sebagai "kuil penyiksaan Orde Baru", bangunan yang lantas diketahui terletak di Cijantung, dihentikan.

Dia cuma alpa nasib rekan-rekannya seperti Mugiyanto, Aan, dan juga Herman Hendrawan yang juga diculik dan dibawa ke lokasi penyekapan.

Bahkan, nama disebut terakhir hingga kini masih hilang. Bagi Nezar, Herman--pun Petrus Bima Anugrah--merupakan dua orang yang paling akrab dengannya di antara korban penculikan lain yang tak kunjung kembali. Keduanya dari Universitas Airlangga, Surabaya.

Dari Cijantung, Nezar Patria menempuh episode baru. Dia dijebloskan ke sel isolasi di markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Pihak berwenang mengenainya dugaan tindak pidana subversi. Di sana, tubuhnya tak lagi menerima aniaya.

"Sel di basement. Blok buat penjahat-penjahat kelas berat kayak pembunuh, perampok. Tapi, di sel sebesar itu, kami ditempatkan sendirian," ujar pemimpin redaksi The Jakarta Post sekaligus anggota Dewan Pers itu.

Kamar prodeonya diimpit sel-sel bromocorah. Tapi, di situ tahanan politik dianggap berkasta tinggi. Perasaan segan pelan-pelan terbit dalam diri tahanan lain.

Rasa hormat baginya mewujud dalam bentuk sapaan rutin, walau cuma kata "permisi". Bahkan, orang di sebelah sel Nezar, yang dikurung setelah "menusuk seorang anggota TNI hingga meninggal", pernah mengangsurkan kepadanya makanan tentengan dari pembesuk.

"Saya buka nasi bungkus hangat itu. Isinya semur jengkol. Di daerah saya, enggak biasa itu, jengkol atau pete. Tapi, setelah saya cicipi, rasanya kayak kentang. Itu makanan terenak yang pernah saya makan di sel itu. Ha-ha-ha," katanya.

Dia bilang dunia di penjara terbalik-balik, "yang kita kira jahat, kok jadi baik. Yang kita kira baik, kok jahat". Persis puisinya yang berjudul "Di Video Game", ditulis pada 2013: Hidup hanya sehimpun piksel/baik dan jahat bertukar tempat/dengan akhir tak minta dikenang.

Setelah dua bulan mengendon dan kurang sebulan sebelum dibebaskan, Nezar Patria mendengar lagu "Gugur Bunga" diputar radio. Firasatnya mengatakan ada mahasiswa mati. Dugaan itu tak salah. Konfirmasi lelayu diberikan penjaga blok sel.

Air matanya sontak meleleh.

Lebih dari sepekan kemudian, radio yang sama melantangkan kabar lain. Kali ini, berita pengunduran diri Soeharto. Perasaan Nezar Patria campur aduk. "Aku sih penginnya ada di situ (bareng mahasiswa), karena itu (Soeharto tumbang) justru yang sudah lama ditunggu-tunggu," ujarnya.

Zaman bergerak

Jalan yang kelak memandu Nezar Patria berhadap-hadapan langsung dengan wajah rezim yang berhias kekerasan bermula pada 1989.

Pada tarikh itu, Aceh mulai dikenai status Daerah Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah pusat. Kebijakan tersebut merupakan respons atas kampanye Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menuntut kemerdekaan dari Indonesia.

Nezar bilang, Aceh tak nyaman. Kekerasan di mana-mana. Masyarakat gelisah. Bahkan, dia pernah diminta seorang tetangga untuk melepas kaus oblong bertulis "Texas A&M University" hanya karena ada akronim A&M, yang dapat dibaca sebagai Aceh Merdeka.

"Tapi, kami enggak pernah tahu bagaimana cerita sebenarnya. Semua orang takut," ujarnya.

Merasa butuh semacam lompatan, di tahun itu pula dia bertolak ke Yogyakarta--kota yang dipilih semata karena dia terpukau penulis-penulis berdomisili di sana, termasuk Emha Ainun Nadjib.

Di kota itu, dia berkuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM). Di kota itu pula Nezar akhirnya tahu banyak tentang apa yang sesungguhnya terjadi di tanah kelahirannya.

Dari udara kesultanan ke udara kesultanan. Waktu membuktikan situasi Yogyakarta lebih pas bagi Nezar belia untuk menajamkan olah pikir dan membangun kecakapan berorganisasi.

Dengan serta-merta, dia bergabung ke sejumlah perkumpulan kemahasiswaan seperti Jemaah Shalahuddin UGM (1990-1991) dan Biro Pers Mahasiswa Filsafat UGM, Pijar (1992-1996). Dia juga mengikuti Kelompok Studi Plaza (Fisipol UGM).

Perjumpaan dengan banyak orang dan gagasan lantas membawanya ke ranah aktivisme politik. Segalanya diawali pertemuan dengan Andi Munajat, sosok penting yang membangun gerakan demokrasi di Yogyakarta. Andi berjasa dalam pendirian kelompok ekstrakampus progresif, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), cikal bakal Partai Rakyat Demokratik (PRD).

"Dia orang unik, tidur di Sekretariat Kampus. Selalu bawa tas kecil isi peralatan mandi. Dia yang bilang ke saya, 'Jangan cuma baca buku aja, bergerak dong. Semua orang bisa baca buku, tapi dunia ini berubah'," katanya tentang tokoh Pijar tersebut.

Pada 1993, Andi Munajat merupakan Sekretaris Jenderal SMID hasil rapat kerja di Yogyakarta. Setahun kemudian, posisi itu diduduki Fernando Manulang. Nezar Patria kebagian menempati pos strategis tersebut pada 1996.

Dari kacamata pergerakan mahasiswa saat itu, SMID menjadi semacam jawaban atas tidur panjang gerakan mahasiswa menyusul kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, pada akhir dekade 1970-an.

"Waktu itu suasananya sangat politis, sangat intelektual. Ada gairah, ada sesuatu. Dan itu semua dirasakan oleh semua mahasiswa. Mulai '90 lah, auranya sudah aura gerakan, bahwa kita harus membuat sesuatu," ujar Nezar.

Orde Baru, menurutnya, "mulai menuju pembusukan diri". Masyarakat kian terdidik, tapi belum tentu bisa mendapatkan posisi strategis tersebab maraknya kronisme. Kritik ditampik dengan tangan besi. Di kemudian hari, sejumlah media berpengaruh seperti Tempo, Detik, dan Editor dibredel.

Lalu, "titik balik menuju gerakan yang lebih serius--karena taruhannya, demokrasi atau mati," ujar Nezar, adalah kerusuhan 27 Juli 1996 yang dikenal dengan akronim Kudatuli.

Pada tanggal itu, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri diambil alih secara paksa oleh pendukung Soerjadi. Pendudukan dibantu aparat kepolisian dan TNI.

Peristiwa itu membuahkan kerusuhan di sejumlah kawasan di Jakarta Pusat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar. Pemerintah mengumumkan PRD dalang kerusuhan. Ketua umumnya saat itu, Budiman Sudjatmiko, ditangkap.

"Sejak itu, kami masuk DPO (daftar pencarian orang) dan mulai bergerak dengan syarat-syarat underground. Ganti KTP. Nama ganti. Ada banyak nama. Di tiap kota beda-beda," katanya.

Saat menjadi buron salah satu pemerintahan terkuat Asia, Nezar Patria putus kontak dengan orang tuanya. Jika ingin berinteraksi dengan mereka, dia memakai perantaraan Siti Murtiningsih, perempuan yang sekarang menjadi istrinya.

"Selama dua tahun itu (1996-1998), boleh dibilang ketemu (Siti) mungkin cuma dua-tiga kali waktu saya ke Jogja. Atur pertemuan di mana, gitu. Itu pun cuma sebentar. Enggak sampai satu jam," ujarnya.

Reformasi: kekecewaan

Nezar Patria memilih menjadi wartawan usai melewati tahun-tahun penuh gejolak, dan tonggak bersejarah bernama Reformasi.

Dia pernah bekerja di D&R, berkarier di majalah Tempo, ikut mendirikan VIVAnews.com (kini, VIVA.id), dan turut mengawal CNNIndonesia.com.

Pada 2008-2011, dia ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi profesi jurnalis yang berdiri pada 1994 sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia atas kezaliman rezim Soeharto.

Setelah bebas dari tahanan pada 1998, Nezar Patria menanggalkan jubah aktivisme dengan kepala dingin, seraya tetap menyimpan pelbagai jurus politik yang direngkuhnya ketika bergiat di lapangan. Pada titik tertentu profesinya, jurus-jurus itu justru berguna.

"Meliput politik, kita kayaknya lebih tahu jeroannya gimana. Secara instingtif, kita juga lebih terasa mana yang palsu atau genuine," ujarnya. Sudah begitu, intuisi untuk melihat peristiwa tertentu juga lebih tajam. "Apakah ini rekayasa, apakah ini genuine. Dengan cepat, kita bisa menciumnya," katanya.

Sebentar lagi, dia mungkin bakal dicap penyair. Sebab, buku kumpulan puisinya hendak dilempar ke pasar.

Berbekal pengalaman sebagai aktivis dan jurnalis, Nezar Patria berani berkata bahwa saat ini Reformasi justru membawa "lebih banyak kekecewaan," di luar perubahan berharga dalam sejumlah ihwal, semisal, "kebebasan pers" atau "kebebasan berpolitik".

Putra Sjamsul Kahar, pemimpin umum Serambi Indonesia, itu mengungkai satu problem yang hingga kini masih kuat menjerat Indonesia: ketimpangan.

"Apa gunanya kebebasan kalau jurang antara mereka yang bisa mengakses keberlimpahan besar. Sementara kelompok lain untuk bisa kesehatan yang baik aja susah. Anak-anak stunting masih banyak di Indonesia timur. Air bersih susah. Akses ke pendidikan jomplang," kata Nezar.

Selain itu, sebagai masalah lain, dia memandang kian banyak orang yang hari demi hari kian menjauh dari logika hidup bersama sebagai "sebuah nasion, sebuah bangsa Indonesia".

"Kok sekarang sama yang berbeda itu semakin tajam perbedaannya, kebenciannya. Saya khawatir masa sekarang ini justru lebih buruk keadaannya dari, misalnya, sebelum merdeka dan masa-masa Orde Lama dan Orde Baru," kata figur yang bisa menangis saat mendengar lagu "Indonesia Raya" itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar