Bonardo Maulana
Wahono
Nezar Patria tak
mengira bakal diculik aparat rezim diktatorial. Saat hari sial 20 tahun silam
itu menyergah, usianya belum lagi 28. Rasa sedih dan terpukul datang menusuk.
Maut berkelebat di benak.
"Waktu
diambil, enggak ada yang tahu. Batin juga waktu itu merasa bahwa apa yang
ditakutkan terjadi. Seperti melihat mendung dan menduga apakah hujan atau
tidak, dan kamu merasakan ini hujan betul datang. It happens," ujarnya,
Rabu (9/5/2018), tentang malam 13 Maret 1998.
Ingatan mengenai
gambar-gambar terperinci penyiksaan terhadap "anak-anak Korea Selatan,
anak-anak di Palestina, anak-anak di Filipina yang melawan Marcos" yang
pernah dibacanya sontak berebut ke permukaan. Semua gambar melulu memproyeksi
kesakitan.
"Kalaupun
disikat, dieksekusi, yang enggak sakit gimana caranya. Yang cepat aja. Mungkin
ditembak. Tapi, katanya (kalau ditembak) 10 detik masih terasa (sakit). Kalau
disayat-sayat, itu sakit banget. Lamunannya kadang-kadang begitu,"
katanya.
Dia dan tiga
rekannya--Mugiyanto, Petrus Bima Anugrah, Aan Rusdianto--baru tinggal 10 hari
di lokasi penculikan, yakni lantai dua Rumah Susun Klender, Jakarta Timur.
Mereka semua anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID)
yang usai Peristiwa 27 Juli 1996 diburu aparat.
Kisah tentang momen
penculikan tersebut kekal dalam kesaksian tertulis. Nezar mengetik kesaksian
itu dengan komputer jinjing yang dipinjamkan aktivis KontraS, mendiang Munir
Said Thalib, setelah dilepas dari bui .
Pada 7 Juni 1998,
dia menyiarkan testimoni itu kepada khalayak dalam acara jumpa pers di kantor
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Testimoni berisi
kronologi penculikan dan detail penyiksaan. Proses ambil-paksa yang tak
bertele-tele tereka gamblang. Begitu pun raga para penculik: empat pelaku
merangsek ke kamar; empat orang tak dikenal yang memakai penutup kepala; empat
oknum yang lantas menggeretnya--juga Aan--ke arah jip ber-AC.
Empat yang lantas
diketahui merupakan bagian dari Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus.
Borgol meringkus
tangan mereka. Kain hitam, mata mereka. "Musik diputar cukup keras"
hingga menafikan telinga dua sejawat itu untuk membikin sketsa mental
lalu-lintas di jalan.
"Ada
kepasrahan yang luar biasa," kata pria kelahiran Sigli, Aceh, pada 1970
itu mengenangkan. "Betul-betul enggak berdaya. Sambil membayangkan semoga
ada keajaiban, mukjizat-mukjizat. Semoga Soeharto besok mati. Semoga Soeharto
besok tumbang dan semua ini berhenti".
Faktanya, Soeharto
baru saja ditetapkan sebagai presiden dalam Sidang Umum Majelis Permusyarawatan
Rakyat (SU MPR) pada 10 Maret 1998. Itu kali ketujuh dia memimpin Indonesia.
Jika tak mundur pada 21 Mei 1998, Soeharto kelak memerintah hingga 2003.
Nezar Patria
karenanya hanya bisa "berdoa dan berzikir". Selama dua hari mendekam
dalam bilik penganiayaan, tubuhnya niscaya berkali-kali memproduksi dan
menyimpan rasa sakit.
Dan mungkin, residu
nyeri pada tubuh itu tinggal hingga bertahun-tahun berikut. Keadaan yang
sungguh lumrah, mengingat model penganiayaan yang diterima. Berikut secuil
etape penyiksaan itu, seperti terimbuh dalam testimoni:
"Sebuah benda
terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik yang cukup
kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak "Allahu
akbar!" sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Aliran listrik itu
menyerang bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang saya duduki bergeletar.
Saya merasa sebuah tendangan keras menghantam dada saya hingga saya terjengkang
ke belakang dan kursi lipat tempat saya duduk jadi ringsek."
Pada Ahad
(15/3/1998), rangkaian penyiksaan "di tempat X", lokasi yang dia
istilahkan sebagai "kuil penyiksaan Orde Baru", bangunan yang lantas
diketahui terletak di Cijantung, dihentikan.
Dia cuma alpa nasib
rekan-rekannya seperti Mugiyanto, Aan, dan juga Herman Hendrawan yang juga
diculik dan dibawa ke lokasi penyekapan.
Bahkan, nama
disebut terakhir hingga kini masih hilang. Bagi Nezar, Herman--pun Petrus Bima
Anugrah--merupakan dua orang yang paling akrab dengannya di antara korban
penculikan lain yang tak kunjung kembali. Keduanya dari Universitas Airlangga,
Surabaya.
Dari Cijantung,
Nezar Patria menempuh episode baru. Dia dijebloskan ke sel isolasi di markas
Kepolisian Daerah Metro Jaya. Pihak berwenang mengenainya dugaan tindak pidana
subversi. Di sana, tubuhnya tak lagi menerima aniaya.
"Sel di
basement. Blok buat penjahat-penjahat kelas berat kayak pembunuh, perampok.
Tapi, di sel sebesar itu, kami ditempatkan sendirian," ujar pemimpin
redaksi The Jakarta Post sekaligus anggota Dewan Pers itu.
Kamar prodeonya
diimpit sel-sel bromocorah. Tapi, di situ tahanan politik dianggap berkasta
tinggi. Perasaan segan pelan-pelan terbit dalam diri tahanan lain.
Rasa hormat baginya
mewujud dalam bentuk sapaan rutin, walau cuma kata "permisi". Bahkan,
orang di sebelah sel Nezar, yang dikurung setelah "menusuk seorang anggota
TNI hingga meninggal", pernah mengangsurkan kepadanya makanan tentengan
dari pembesuk.
"Saya buka
nasi bungkus hangat itu. Isinya semur jengkol. Di daerah saya, enggak biasa
itu, jengkol atau pete. Tapi, setelah saya cicipi, rasanya kayak kentang. Itu
makanan terenak yang pernah saya makan di sel itu. Ha-ha-ha," katanya.
Dia bilang dunia di
penjara terbalik-balik, "yang kita kira jahat, kok jadi baik. Yang kita
kira baik, kok jahat". Persis puisinya yang berjudul "Di Video
Game", ditulis pada 2013: Hidup hanya sehimpun piksel/baik dan jahat
bertukar tempat/dengan akhir tak minta dikenang.
Setelah dua bulan
mengendon dan kurang sebulan sebelum dibebaskan, Nezar Patria mendengar lagu
"Gugur Bunga" diputar radio. Firasatnya mengatakan ada mahasiswa
mati. Dugaan itu tak salah. Konfirmasi lelayu diberikan penjaga blok sel.
Air matanya sontak
meleleh.
Lebih dari sepekan
kemudian, radio yang sama melantangkan kabar lain. Kali ini, berita pengunduran
diri Soeharto. Perasaan Nezar Patria campur aduk. "Aku sih penginnya ada
di situ (bareng mahasiswa), karena itu (Soeharto tumbang) justru yang sudah lama
ditunggu-tunggu," ujarnya.
Zaman bergerak
Jalan yang kelak
memandu Nezar Patria berhadap-hadapan langsung dengan wajah rezim yang berhias
kekerasan bermula pada 1989.
Pada tarikh itu,
Aceh mulai dikenai status Daerah Operasi Militer (DOM) oleh pemerintah pusat.
Kebijakan tersebut merupakan respons atas kampanye Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
menuntut kemerdekaan dari Indonesia.
Nezar bilang, Aceh
tak nyaman. Kekerasan di mana-mana. Masyarakat gelisah. Bahkan, dia pernah
diminta seorang tetangga untuk melepas kaus oblong bertulis "Texas A&M
University" hanya karena ada akronim A&M, yang dapat dibaca sebagai
Aceh Merdeka.
"Tapi, kami
enggak pernah tahu bagaimana cerita sebenarnya. Semua orang takut,"
ujarnya.
Merasa butuh
semacam lompatan, di tahun itu pula dia bertolak ke Yogyakarta--kota yang
dipilih semata karena dia terpukau penulis-penulis berdomisili di sana,
termasuk Emha Ainun Nadjib.
Di kota itu, dia
berkuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM). Di kota itu pula
Nezar akhirnya tahu banyak tentang apa yang sesungguhnya terjadi di tanah
kelahirannya.
Dari udara
kesultanan ke udara kesultanan. Waktu membuktikan situasi Yogyakarta lebih pas
bagi Nezar belia untuk menajamkan olah pikir dan membangun kecakapan
berorganisasi.
Dengan serta-merta,
dia bergabung ke sejumlah perkumpulan kemahasiswaan seperti Jemaah Shalahuddin
UGM (1990-1991) dan Biro Pers Mahasiswa Filsafat UGM, Pijar (1992-1996). Dia
juga mengikuti Kelompok Studi Plaza (Fisipol UGM).
Perjumpaan dengan
banyak orang dan gagasan lantas membawanya ke ranah aktivisme politik.
Segalanya diawali pertemuan dengan Andi Munajat, sosok penting yang membangun
gerakan demokrasi di Yogyakarta. Andi berjasa dalam pendirian kelompok
ekstrakampus progresif, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID),
cikal bakal Partai Rakyat Demokratik (PRD).
"Dia orang
unik, tidur di Sekretariat Kampus. Selalu bawa tas kecil isi peralatan mandi.
Dia yang bilang ke saya, 'Jangan cuma baca buku aja, bergerak dong. Semua orang
bisa baca buku, tapi dunia ini berubah'," katanya tentang tokoh Pijar
tersebut.
Pada 1993, Andi
Munajat merupakan Sekretaris Jenderal SMID hasil rapat kerja di Yogyakarta.
Setahun kemudian, posisi itu diduduki Fernando Manulang. Nezar Patria kebagian
menempati pos strategis tersebut pada 1996.
Dari kacamata
pergerakan mahasiswa saat itu, SMID menjadi semacam jawaban atas tidur panjang
gerakan mahasiswa menyusul kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Daoed Joesoef, pada akhir dekade 1970-an.
"Waktu itu
suasananya sangat politis, sangat intelektual. Ada gairah, ada sesuatu. Dan itu
semua dirasakan oleh semua mahasiswa. Mulai '90 lah, auranya sudah aura
gerakan, bahwa kita harus membuat sesuatu," ujar Nezar.
Orde Baru,
menurutnya, "mulai menuju pembusukan diri". Masyarakat kian terdidik,
tapi belum tentu bisa mendapatkan posisi strategis tersebab maraknya kronisme.
Kritik ditampik dengan tangan besi. Di kemudian hari, sejumlah media
berpengaruh seperti Tempo, Detik, dan Editor dibredel.
Lalu, "titik
balik menuju gerakan yang lebih serius--karena taruhannya, demokrasi atau
mati," ujar Nezar, adalah kerusuhan 27 Juli 1996 yang dikenal dengan
akronim Kudatuli.
Pada tanggal itu,
kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia yang dikuasai pendukung Megawati
Soekarnoputri diambil alih secara paksa oleh pendukung Soerjadi. Pendudukan
dibantu aparat kepolisian dan TNI.
Peristiwa itu
membuahkan kerusuhan di sejumlah kawasan di Jakarta Pusat. Beberapa kendaraan
dan gedung terbakar. Pemerintah mengumumkan PRD dalang kerusuhan. Ketua umumnya
saat itu, Budiman Sudjatmiko, ditangkap.
"Sejak itu,
kami masuk DPO (daftar pencarian orang) dan mulai bergerak dengan syarat-syarat
underground. Ganti KTP. Nama ganti. Ada banyak nama. Di tiap kota
beda-beda," katanya.
Saat menjadi buron
salah satu pemerintahan terkuat Asia, Nezar Patria putus kontak dengan orang
tuanya. Jika ingin berinteraksi dengan mereka, dia memakai perantaraan Siti
Murtiningsih, perempuan yang sekarang menjadi istrinya.
"Selama dua
tahun itu (1996-1998), boleh dibilang ketemu (Siti) mungkin cuma dua-tiga kali
waktu saya ke Jogja. Atur pertemuan di mana, gitu. Itu pun cuma sebentar.
Enggak sampai satu jam," ujarnya.
Reformasi:
kekecewaan
Nezar Patria
memilih menjadi wartawan usai melewati tahun-tahun penuh gejolak, dan tonggak
bersejarah bernama Reformasi.
Dia pernah bekerja
di D&R, berkarier di majalah Tempo, ikut mendirikan VIVAnews.com (kini,
VIVA.id), dan turut mengawal CNNIndonesia.com.
Pada 2008-2011, dia
ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi profesi jurnalis yang
berdiri pada 1994 sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia atas kezaliman
rezim Soeharto.
Setelah bebas dari
tahanan pada 1998, Nezar Patria menanggalkan jubah aktivisme dengan kepala
dingin, seraya tetap menyimpan pelbagai jurus politik yang direngkuhnya ketika
bergiat di lapangan. Pada titik tertentu profesinya, jurus-jurus itu justru
berguna.
"Meliput
politik, kita kayaknya lebih tahu jeroannya gimana. Secara instingtif, kita
juga lebih terasa mana yang palsu atau genuine," ujarnya. Sudah begitu,
intuisi untuk melihat peristiwa tertentu juga lebih tajam. "Apakah ini
rekayasa, apakah ini genuine. Dengan cepat, kita bisa menciumnya,"
katanya.
Sebentar lagi, dia
mungkin bakal dicap penyair. Sebab, buku kumpulan puisinya hendak dilempar ke
pasar.
Berbekal pengalaman
sebagai aktivis dan jurnalis, Nezar Patria berani berkata bahwa saat ini
Reformasi justru membawa "lebih banyak kekecewaan," di luar perubahan
berharga dalam sejumlah ihwal, semisal, "kebebasan pers" atau
"kebebasan berpolitik".
Putra Sjamsul
Kahar, pemimpin umum Serambi Indonesia, itu mengungkai satu problem yang hingga
kini masih kuat menjerat Indonesia: ketimpangan.
"Apa gunanya
kebebasan kalau jurang antara mereka yang bisa mengakses keberlimpahan besar.
Sementara kelompok lain untuk bisa kesehatan yang baik aja susah. Anak-anak
stunting masih banyak di Indonesia timur. Air bersih susah. Akses ke pendidikan
jomplang," kata Nezar.
Selain itu, sebagai
masalah lain, dia memandang kian banyak orang yang hari demi hari kian menjauh
dari logika hidup bersama sebagai "sebuah nasion, sebuah bangsa
Indonesia".
"Kok sekarang
sama yang berbeda itu semakin tajam perbedaannya, kebenciannya. Saya khawatir
masa sekarang ini justru lebih buruk keadaannya dari, misalnya, sebelum merdeka
dan masa-masa Orde Lama dan Orde Baru," kata figur yang bisa menangis saat
mendengar lagu "Indonesia Raya" itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar