Yang Menginterupsi Goenawan Mohammad dan A.S Laksana
Imam Nawawi *
Tanpa perlu basabasi lagi, saya, Imam Nawawi, santri dari
Madura, menyatakan tertarik dengan tiga persoalan yang ditawarkan oleh F. Budi
Hardiman. Pernyataan “agama dan sains kerap dihadap-hadapkan. Itu tidak
realistis” itu benar adanya, dan secara historis, sejarah perkembangan
agama saya, Islam, adalah kolaborasi penuh antara agama dan sains. Siapa yang
mau menolak aliran teologi Asy’arian, pengikut Abul Hasan al-Asy’ari, sangat
lengket dengan atomisme?
Jika dunia Barat, Yunani kuno, mengembangkan konsep atom,
atomos, lalu abad 18, Antoine Lavoisier (1789) menjadikannya tema
sentral sains. Di dunia Islam, filsafat atomisme ini mengental dalam
kitab-kitab Asy’ari, salah satunya Maqalat
Islamiyin. Pembahasan tentang ruang, materi, gerak, energi penciptaan,
dalam hubungannya dengan bangunan teologi masing-masing sekte Islam, tersaji
rapi dalam jilid 1.
Pada
jilid 2, penekanan pada materi, gerak, a’radh (makna yang dibangun di atas
materi dan gerak) membuka pembahasan. Mendekati penutup, Imam al-Asy’ari
membahas kekuasaan Tuhan dalam menciptakan satu materi yang tidak terbagi lagi
(atomos) itu tadi. Saya hanya menghadirkan satu contoh kecil saja, untuk
mengafirmasi F. Budi Hardiman bahwa agama dan sains tidak realistis
dipertentangkan bukan saja secara sejarah melainkan keimanan teologis umat
beragama (muslim) hingga hari ini masih dipijak di atas pemahaman akan sains
(saintisme).
Hari
ini sejauh saya tahu, atomisme tergantikan oleh wacana partikel quark dalam
disiplin fisika kuantum. Keterbatasan saya membuat saya belum membaca karya
teolog muslim yang menggeser wacana atomisme teologi Asy’ari ke teologi
berbasis fisika kuantum ini. Hanya beberapa hari yang lalu, saya memantik
teman-teman di lingkungan muslim untuk mengkritik kitab Fususul Hikam
karya Ibnu Arabi, yang membangun teologinya di atas teknologi cermin, karena
kebetulan perkembangan mutakhir memperkenalkan saya pada aplikasi FaceApp yang
lagi viral. Saya pun ingin mengutip kata-kata F. Budi Hardiman itu, “entah,
apakah ada yang tertarik.”
Untuk
menjawab pertanyaan, “apakah wahyu religius tidak ikut melahirkan sains,
sekurang-kurangnya secara tidak langsung,” maka saya jawab: “dalam sekte kami,
Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), wahyu religius secara langsung melahirkan
sains, dan sains adalah prasyarat mutlak memahami wahyu.” Sekurang-kurangnya,
kami memiliki tradisi yang disebut Ulumut Tafsir, Ulumul Hadits, Ushulul
Fiqih. Lembaga ilmu pengetahuan, kampus/universitas, mengajarkan semua ini,
yakni perkara-perkara sains, sekurang-kurangnya sains sosial-humaniora, dan
saya berharap makna sains tidak dipersempit sebatas teknologi. Itu saja.
Kedua,
Fransiscus Budi Hardiman mengajukan persoalan ketidakpastian dan kontingensi
yang mendapatkan tempat penting dalam sains, yang tujuan utamanya mengurangi
kerumitan hidup, kemudian di akhir kalimatnya mengajukan pertanyaan, “mengapa
harus berkhidmat pada mereka.” Lagi-lagi untuk menjawabnya, saya perlu merujuk
ke dalam tradisi sekte kami, Aswaja, di mana ketidakpastian sains dan kepastian
wahyu sama-sama mendapatkan tempat dalam Islam. Kita mempertahankan apa yang
disebut Mashadirul Ahkam (sumber-sumber agama). Sumber agama Islam ada
dua macam: wahyu (al-Quran dan Hadits) dan sains (Ijma’ dan Qiyas).
Hanya
sekte Aswaja atau Sunni yang menerima dua sumber agama tersebut. Sedangkan
sekte Mu’tazilah, Syi’ah, dan Dhahiriah menolak sumber terakhir (sains). Mereka
yang anti-sains dalam beragama lebih fokus pada sumber wahyu. Jadi, non-Sunni
hanya berpegang pada Al-Quran dan Hadits, sedangkan Sunni menambahkannya dengan
Ijma’ (konsensus sosial kaum intelektual) dan Qiyas (filsafat analogia).
Menerima
sains sebagai sumber agama bukan tanpa konsekuensi. Hanya kaum Sunni saja yang
selalu dipaksa berlapang dada untuk menyambut kebaruan-kebaruan pemikiran yang
dinamis tanpa akhir itu. Karenanya, ada slogan yang populer di sekte kami,
“pintu ijtihad belum tertutup!” Dinamika sains adalah dinamika agama itu
sendiri. Tentu saya tidak mau membahas kelompok anti-sains, anti-ijtihad,
anti-Qiyas, dan anti-Ijma’. Saya secara pribadi “menghargai” tradisi Imamah dan
konsep Maksum di kalangan Syi’ah, misalnya. Walaupun saya
“tidak-sepakat.”
Ketiga,
Fransiscus Budi Hardiman menduga-duga bahwa “dunia makna tidak dapat didekati
oleh sains (ilmu alam) tanpa melibatkan filsafat dan agama.” Saya bukan lagi
menduga, tetapi yakin penuh bahwa tanpa filsafat dan agama, sains tidak dapat
mendekati dunia makna. Hanya saja, ini keyakinan saya dalam posisi sebagai
seorang santri. Santri di sini diartikan seseorang yang memiliki guru, dan
sebutan guru di mata santri adalah Kiai. Dan seorang Kiai berbeda pandangan
dengan saya. Di sini saya perlu sedikit berkisah tentang pengalaman personal.
Suatu
hari saya sedang membaca buku. Tiga hari lamanya, dari Kamis sampai Minggu,
tidak keluar rumah kecuali ke kamar mandi dan beli makan di burjo. Saya tinggal
di daerah Salakan, Bantul, Yogyakarta. Puncak kesimpulan atas buku bacaan itu,
saya wajib meragukan kemampuan manusia mengetahui peristiwa sejarah di masa
silam. Buku-buku sejarah apa pun itu, baik ditulis oleh ilmuan Barat maupun
muslim Timur, mustahil memberikan informasi akurat. Intinya, saya ragu
mengenali Nabi Muhammad saw, dan puncaknya, mustahil saya paham al-Quran, kitab
suci saya.
Tepat
jam 22.00 wib, saya pergi ke wilayah Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Ada
sebuah pondok di lereng tertinggi Gunung Merapi. Di sana Kiai saya mengajar.
Setibanya di sana, tanpa sempat uluk salam dan cium tangan kepada sang Kiai,
sebagai bagian tradisi umat muslim, semua isi dada saya dibabar habis. Diurai
satu persatu. Sampai muncul keringat dingin di kening, dan satu pertanyaan di
hati: “bagaimana mungkin jarak terbentang dari Bantul ke Sleman tersingkap
begitu saja, bagaimana mungkin seorang manusia biasa mengerti kedalaman hati
saya?” Sejak saat itu, saya tidak percaya bahwa ruang dan waktu adalah tabir
penghalang manusia mengetahui, bahkan tanpa media ilmiah sekalipun, seperti
buku atau informasi apa pun.
Kisah
ini tidak untuk mengatakan bahwa agama dan filsafat mampu membantu sains
memahami dunia makna, seperti diajukan F. Budi Hardiman. Lebih dari itu, sang
Kiai, guru saya itu, mendefinisikan pengetahuannya itu sebagai sains. Ketika
saya bertanya, “mengapa sampean bisa tahu semua isi saya?” Ia menjawab, “itu
ilmu rasa, semakin kuat rasa, semakin jeli membaca tanda.” Di mata sang Kiai,
wajah saya ketika pertama kali datang menghadap kepadanya sudah membawa
tanda-tanda yang juga sering dijumpainya dari banyak orang selain saya. Kiai
berhasil mengumpulkan tanda-tanda itu, menganalisis, dan menjadikannya sebagai
satu rumusan saintifik, mungkin juga proposisi, atau setidaknya hipotesa dalam
ilmu sosialnya. Begitulah Kiai itu menjelaskan epistemologinya.
***
Demikian
respon saya atas tulisan Fransiscus Budi Hardiman di https://sastra-indonesia.com/2020/06/saintisme-dan-momok-momok-lain/.
Selebihnya, saya ingin bersepakat dengan apa yang konon pernah dikatakan Karl
Marx, “dunia tidak untuk dipahami semata, tetapi untuk kita ubah.” Memahami
dunia itu penting, tetapi mengubahnya juga tidak kalah penting. Namun, dunia
mana yang perlu diubah? Di sini saya lebih bersepakat dengan Maulana Jalaluddin
Rumi, “orang berilmu ingin mengubah dunia, orang bijaksana mengubah dirinya
sendiri.”
Apa
perangkat/instrumen mengubah dunia dan diri sendiri? Bagi saya, itulah sains,
filsafat, ideologi, agama, dan mitos. Semua itu khazanah peradaban manusia. Dan
saya sebagai orang Madura bersepakat dengan nilai hidup manusia Nusantara,
“guyub rukun dan gotong royong.” Para pendukung sains tidaklah perlu saling
berdebat sesama pendukung sains, apalagi menyalahkan para pendukung filsafat,
ideologi, agama dan mitos. Tetapi, apa yang anda bisa, berikanlah untuk
menyumbang kemajuan kemanusiaan kita.
Mungkin
hari ini sains lebih efektif dan efisien dalam mengatasi pandemi Covid-19,
misalnya. Boleh saja besok atau lusa, filsafat harus memimpin di garda
terdepan. Besoknya lagi, giliran agama. Besoknya lagi giliran ideologi dan
mitos. Tidak ada yang tahu siapa di antara kita yang lebih baik. Untuk apa mencari
yang terbaik? Bukankah patungan kebaikan, besar atau kecil, adalah epistemologi
yang ampuh? Saya punya apa, anda punya apa, mari kita bersama-sama! Sekali lagi
saya ingin mengutip F. Budi Hardiman yang mengatakan, “entah, apakah ada yang
tertarik.” Wallahu a’lam bis shawab.
*)
Imam Nawawi, santri-humanis Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar