Feby Indirani
Jawa Pos, 27 Nov 2016
ROHMAN masih ingat saat ia melihat tubuhnya terburai dan anggota tubuhnya tersebar ke berbagai penjuru. Ia merekam gambar itu dalam gerakan lambat, dan melihat segalanya dengan jelas; orang-orang yang menjerit histeris, tubuh-tubuh yang jatuh bergelimpangan, darah yang menggenang.
Ia mendapat giliran menjalankan misi suci sehari sebelum tahun baru. Ia merangsek ke dalam kerumunan festival seni jalanan di kota itu lalu meledakkan diri. Begitulah perintah yang didapatnya, dan begitulah yang ia laksanakan. Kami dengar maka kami taati, setiap anggota mengerti prinsip itu.
Setiap anggota juga paham, akan tiba giliran mereka menjadi “pengantin”. Pengantin, karena pengorbanan nyawa yang mereka lakukan akan dibalas dengan sambutan 72 bidadari surga. Bidadari-bidadari yang sopan, yang menundukkan pandangannya, yang tidak pernah disentuh oleh manusia dan tidak pula oleh jin. Bidadari yang seindah permata. Wanita-wanita muda tercantik yang terlihat bagaikan anggur merah pada gelas putih. Itulah yang akan menjadi mempelai mereka. Dan bayangan itu selalu membuatnya berseri karena gairah.
Namun, saat ini, ia hanya menemui ruang kosong yang begitu luas, sehingga tepi ruangan tampak tak begitu jelas di matanya. Dia duduk di sebuah kursi, sendiri dalam kelengangan. Dan itulah yang ia lakukan, entah sudah berapa lama. Ia tidak merasakan apa-apa, tapi sekaligus merasakan segalanya. Ia tidak menunggu, tapi juga sekaligus merasa ingin tahu. Ia bisa bebas bergerak ke mana pun yang ia inginkan, tapi juga tidak ingin beranjak ke mana-mana. Segalanya seperti sulit untuk dijelaskan. Ia merasa, ini adalah dimensi yang berbeda dengan dimensi kehidupannya di dunia, tapi ia sendiri merasa belum bisa sepenuhnya membebaskan diri dari dunia.
Jadi ia hanya menunggu, dan menunggu. Dan menunggu.
Sampai kemudian ia melihat ada titik dari kejauhan mengarah pasti menuju padanya. Titik itu semakin lama semakin jelas bentuknya, berjalan dengan ritme tetap, dan semakin besar. Semakin jelas sosoknya, yang ternyata seorang perempuan. Rambutnya lurus tergerai sebahu, ia tidak menutup kepala. Rohman ingat salah satu cerita yang pernah didengarnya di dunia, bahwa perempuan-perempuan di surga memang tidak berhijab. Tapi perempuan ini kelihatan terlalu normal, terlalu biasa. Ia cukup manis, berkacamata, mengenakan rok span, dengan kemeja berlengan panjang yang digulung sebatas siku. Ia tidak kelihatan mewah. Tidak mengenakan sutera hijau seperti gambaran-gambaran tentang bidadari.
Semakin dekat perempuan itu, semakin Rohman mengambil kesimpulan: dia bukanlah bidadari. Pasti bukan. Tiba-tiba ia dilanda kejengkelan, seperti perasaan orang yang tidak sabar menunggu, dan tidak tahu sampai kapan ia harus menunggu. Di mana bidadari-bidadariku? Aku mau bidadariku. Ingin rasanya Rohman menghentak-hentakkan kakinya, tapi ia gengsi, nanti diledek, kok seperti kanak-kanak yang dongkol karena minta mainan dan tak dipenuhi ayah bundanya.
“Selamat datang di Ruang Tunggu,” kata perempuan itu begitu berada di hadapannya.
Suaranya dalam, juga merdu. Ia duduk di kursi yang sama bentuk dan rupanya dengan kursi yang Rohman duduki, meskipun sebelumnya Rohman tidak melihat ada kursi di depannya. Apakah kursi itu dari tadi berada di sini? Pikir Rohman bingung. Ia menatap perempuan di depannya dengan penuh tanda tanya. Di dunia, ia akan cenderung memalingkan pandangan demi berhadapan dengan perempuan seperti ini. Apalagi ia tidak berhijab. Namun saat ini ia tidak merasa itu perlu. Ia hanya ingin bertanya, tapi mulutnya enggan terbuka.
Perempuan di hadapannya hanya menatap lurus, dengan ekspresi muka yang sulit diterka. Seperti tersenyum, tapi bukan. Antara sikap menantang, meledek, bangga, sedih, tapi juga kesombongan. Entahlah, Rohman hanya tidak bisa berhenti menatap perempuan itu, juga karena hanya dialah yang ada di hadapan untuk dipandang.
Kemudian mereka berdua hanya saling diam, saling berpandangan. Perempuan itu kemudian mengeluarkan rokok, menyalakan, dan mulai mengisapnya. Rohman semakin bingung. Bukankah ini seharusnya akhirat? Bagaimana mungkin ada rokok di akhirat? Dan ia paling benci asap rokok. Ia paling benci juga pada perempuan yang merokok.
Dan perempuan itu seperti tahu Rohman membencinya, malah dengan sengaja mengembus-embuskan asapnya ke wajah Rohman. Aroma kretek yang persis sama dengan di warung Marto langganannya dulu. Ini semua semakin tidak masuk akal. Rohman merasakan kemarahannnya memuncak.
“Siapa kamu? Di mana saya? Di mana bidadari-bidadari saya?” Rohman merasakan suaranya menggelegar dan bergetar.
Perempuan itu kemudian terkikik geli.
“Selamat datang di Ruang Tunggu,” ulangnya lagi, kali ini dengan intonasi yang berbeda. Lebih menggoda.
“Kejutan! Tidak ada mempelai. Tidak ada bidadari. Tidak ada sorak sorai pesta penyambutan. Hanya ada kamu, di Ruang Tunggu. Dan untuk sekarang, saya,” ujar perempuan itu tenang.
“Tidak mungkin! Saya sudah dijanjikan 72 bidadari! Mereka wanita-wanita muda cantik yang bening, yang sopan, yang menundukkan pandangannya, yang tidak pernah disentuh oleh manusia dan tidak pula oleh jin. Dan saya yang akan memerawani mereka siang dan malam tanpa henti, tanpa lelah, tanpa pernah lemas, tanpa pernah kehilangan syahwat!”
Lagi-lagi perempuan itu terkikik geli, tidak menjawab, terus saja mengembus-embuskan asap rokoknya dengan gaya yang membuat Rohman muak. Ingin rasanya ia menampar perempuan itu. Ia pantang memukul perempuan, hanya lelaki pengecut yang memukul perempuan, demikian prinsipnya sejak dulu. Tapi terhadap perempuan ini rasanya ia tidak lagi memiliki kesabaran.
“Katakan di mana bidadari-bidadariku,” ujarnyadengan nada mengancam, sambil berdirimenghadap perempuan itu. Tangannya terayun, sedikit lagi akan menghajar wajah si perempuan, meski sebetulnya ia masih ingin menahan diri.
Perempuan itu setegar benteng, matanya menatap Rohman tenang, tanpa berkedip. Ia terus saja mengisap rokok, kemudian mengembuskannya. Dan Rohman baru tersadar bahwa rokok itu tak kunjung memendek sedari tadi, ukuran dan bentuknya tetap sama, dan terus menyala.
“Tidak ada bidadari. Tidak pernah ada. Dan tidak akan ada.”
“Bagaimana mungkin?” pekik Rohman
“Mengapa tidak?” kali ini perempuan itu yang balas berteriak, sambil berdiri dan menantang wajah Rohman. “Apakah kamu kira kamu layak mendapatkan segala keindahan dan kebahagiaan setelah membunuh begitu banyak orang tak berdosa di dunia?”
“Ya, tentu!”
“Karena?”
“Karena saya menjalankan misi suci. Saya memperjuangkan kepentingan yang lebih besar dari diri mereka, dari diri saya sendiri, dari semua orang.
“Meh…” perempuan itu mencibir.
“Keadilan di muka bumi, pembalasan pada pihak yang telah menghancurkan agama dan umat!”
“Dengan mengorbankan nyawa orang-orang yang tidak berdosa?”
“Ah semua orang itu berdosa juga, kok! Toh mereka berpesta dan minum alkohol!”
Perempuan itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dengan gerakan seperti memetik dari udara, ia mengambil sebotol minuman, menenggaknya. Rohman merampasnya dengan murka. Tapi tangan nya tidak dapat menyentuh apa-apa. Aneh, padahal hidungnya masih dapat mencium aromanya.
“Arrrrgh! Arrrgh! Arrrgh!” Rohman berteriak ke ras. Ia meremas rambutnya dengan kalut. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin. Bagaimana mungkin? Apakah mungkin? Bagaimana jika mungkin? Ia terus berteriak-teriak, sepuasnya, sekuatnya. Ia ingin mengeluarkan segala kebingungan, kemarahan, ketidakmenentuan yang ia rasakan. Dan ia terus berteriak, entah untuk berapa lama dengan mata yang menyipit lalu terpejam. Ia hanya terus berteriak dan terus berteriak.
Entah untuk berapa lama, ia tidak tahu. Ia kemudian berhenti begitu saja. Bukan karena lelah atau haus, tapi lebih karena jemu. Dan ketika ia membuka mata, perempuan itu masih ada di hadapannya. Menatapnya dengan raut wajah dan posisi duduk yang sama.
Rohman sangat ingin mencekiknya.
“Kau bilang tadi ini Ruang Tunggu?”
“Ya.”
“Lalu apa setelah ini?”
“Saya tidak akan memberi tahu, itu bukan tugas saya.”
“Berilah petunjuk, sedikit saja!”
“Saya sudah memberi tahu apa yang kamu perlu tahu. Tidak akan ada bidadari untukmu.”
“Lalu ada apa?”
Lagi-lagi perempuan itu tertawa. Nadanya kali ini lebih bersahabat daripada meledek. “Kalau saya cerita memangnya kamu percaya? Selama ini kan kamu percaya pada guru-gurumu itu. Nah, ternyata kamu dikibuli. Titik. Kamu Cuma dimanfaatkan saja, dibodoh-bodohi. Mereka itu belum pernah berkunjung ke mana-mana selain pikiran sesat mereka sendiri, boro-boro sampai di Ruang Tunggu seperti kamu.”
“Brengsek! Brengsek! Brengsek,” maki Rohman. Kemudian kembali menangis. Lalu berguling-guling, menendang-nendang, memukul-mukul, terus-menerus melakukannya, terus-menerus, tanpa merasa lelah. Tapi setelah entah berapa lama, akhirnya ia merasa jemu. Ia kembali duduk berhadapan dengan perempuan itu, yang masih menatapnya dengan raut muka dan posisi duduk yang sama. Batang rokoknya tidak memendek, dan asapnya terus mengembuskan aroma kretek.
“Kamu bohong, kan? Ini toh hanya Ruang Tunggu. Pasti akan ada bidadari yang menunggu saya di sana? Saya sudah mengorbankan segalanya… Segala-galanya. Menjauhi orang tua, keluarga, teman-teman, menjadi orang yang berbeda dan kehilangan mereka semua.” Air mata Rohman kembali berlinang.
“Saya kadang merasa lelah, juga merasa bersalah. Saya juga membayangkan orang-orang tidak bersalah yang terkena dampaknya hanya karena mereka kebetulan berada di sana. Dan kalaupun mereka minum alkohol, mereka tidak sepantasnya mendapat hukuman seberat itu. Saya juga sering merasa takut, tapi guru-guru selalu menguatkan saya, ada kehidupan abadi setelah dunia. Ada keindahan abadi… Ada bidadari…”
Rohman menangis sesunggukan. Menggerung-gerung.
“Bilang pada saya semua itu akan ada, katakan pada saya ada bidadari! Bukan perempuan seperti kamu yang sombong, merokok, sok tahu! Saya mau bidadari saya.” Kini Rohman merengek seperti kanak-kanak.
“Seperti apa saya sekarang, hanyalah cerminan dari sesuatu yang tidak kamu sukai,” jawab perempuan itu tenang. “Tapi seperti apa saya juga tidak akan mengubah apa pun untuk kamu, kan?”
Rohman menatap perempuan itu, dan merasa heran karena mukanya berangsur-angsur berubah menjadi seperti ibunya. Rohman membelalak, air mata terus membanjiri wajahnya. Lalu wajah perempuan itu berubah lagi menjadi guru kesayangannya ketika sekolah dasar. Kemudian perlahan berubah lagi menjadi wajah kakaknya, lalu berubah lagi menjadi wajah ibunya, kemudian wajah perempuan yang pernah hendak dilamarnya, lalu wajah yang tidak dikenalnya. Terus berubah dan berganti-ganti.
Perempuan-perempuan itu menatapnya dengan wajah sedih, sambil terus berkata, “Tidak ada bidadari, Rohman. Tidak akan ada bidadari untukmu.” Rohman lalu membentur-benturkan kepalanya. Terus-menerus. Terus-menerus. Tanpa merasa sakit. Tanpa merasa lelah.
***
FEBY INDIRANI, esais, jurnalis, peraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 kategori nonfiksi untuk bukunya “I Can (Not) Hear: Perjalanan Anak Tuna Rungu Menuju Dunia Mendengar”. Akun Twitter: @FebyIndirani
https://lakonhidup.com/2016/11/27/ruang-tunggu/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar