Senin, 31 Agustus 2020

Inlanderisasi dalam Sastra Indonesia (2 -Habis) *

Hudan Hidayat **

Dalam Pujangga Baru, Takdir bukanlah varian tunggal. Ada orang seperti Armijn Pane yang berpandangan, meski memeluk Barat, telah mempunyai semangat untuk melirik ke alam, untuk menjadikan alam sebagai dasar, sebagai sumber penciptaan. 'Pujangga bergantung kepada keadaan alam. Alam itu, rahasia kepada kita, alam ialah lautan selubung, yang terbuka sedikit-sedikit, tetapi akan memperlihatkan lapisan selubung lain.'

Dibanding Takdir, Armijn lebih peragu, dalam memeluk Barat. 'Zaman sekarang adalah zaman kebimbangan, yang tiada tertentu dalam segala-galanya. Semua orang adalah seperti bergantung di awang-awang, naik tidak dapat, turun tidak dapat, sedang tanah pijakan belum ada juga.'

Armijn hampir menemukan sumber penciptaannya. Sayang, ia terbawa pada semangat zaman: memeluk Barat. Suara Armijn, yang ingin kembali ke alam itu, adalah suara yang seolah datang dari sebuah gugus pikir, di mana kembali ke alam adalah bagian menyempal, denyar dari pikirannya, tapi bukan inti atau pokok pikirannya. Karena itu, saat dia menulis Belenggu, terlihat sekali bentuk dan spirit yang diambil, adalah spirit ragu: tradisi tidak gampang dilupakan, tapi Barat terus melambai.

Itu adalah contoh dari sejarah pemikiran sastra dan budaya kita yang kalah. Kekalahan yang juga mendera kaum 'realisme sosialis', yang menyandarkan ide pada 'realisme sosialis ala Soviet'. Juga 'kaum manifes' yang berputar pada nilai kemanusiaan universal. Kedua seteru yang belum mampu keluar dari belenggu ide 'dunia'.

Kekalahan yang menggaung hingga hari ini, bahkan makin menghebat. Dengan sekian puluh tahun 'pencerahan', kita tak juga beranjak, dan berpaling, dari 'dunia'. Kita masih menghamba pada 'dunia'. Kita tak berani dan tak mau menilai karya kita sendiri. Kita hidup dalam sekat kita sendiri. Dialog mati. Yang sudah di depan tak hendak menoleh ke belakang.

Sastra Indonesia juga kehilangan juru bicaranya. Rumah-tangganya centang-prenang. Hubungannya sangat fungsional. Tradisi intelektual, yang bersedia lelah membongkar halaman demi halaman sastra Indonesia, menghilang, berganti dengan sikap bisu, bergerak bila 'pemodal' tiba. Dan dalam sekat itu, kita mengintip karya 'dunia'. Terpukau dan terbenam dalam karya 'dunia'.

Bila 'dunia' dulu adalah Barat dan Eropa, maka kini 'dunia' itu sudah meluas pada Amerika Latin dan lain-lain. Itulah yang dipuja orang. Tak ada upaya sedikit pun untuk menandingi 'dunia' itu. Bahkan mensejajarinya pun tidak. Semua takluk. Bila Nirwan Dewanto dengan agak 'malu-malu' merujuk 'pujaannya', saat diskusi buku cerpen Eka Kurniawan di TUK, maka Nirwan Arsuka, saat berdiskusi tentang kapitalisasi sastra dunia, dengan lantang mengutip Oktavio Paz, 'Sastra modern lahir dari kritik terhadap zaman, kritik terhadap kebenaran tunggal.' (Kompas, 6 Mei 2006)

Salahkah pemikiran Paz? Tidak. Salahkah pemikiran Nirwan yang mengutip Paz? Tidak. Sebab adalah haknya untuk mengutip, dan familiar, pada siapa pun, seperti hak semua orang untuk menilai. Tapi apakah benar, bahwa hanya untuk mengatakan, dan menunjukkan, bahwa sastra modern adalah lahir dari kritik terhadap zaman, kritik terhadap kebenaran tunggal, harus mengutip Paz? Bukankah pemikiran seperti ini, sudah dikerjakan oleh novel-novel Pujangga Baru, yang mengkritik tradisi yang menghegemoni?

Semestinya, pemikiran diarahkan pada lingkungan negeri sendiri, untuk, mungkin, meluas pada lingkungan lain. Dengan mengarah pada lingkungan sendiri, akan kita temukan fakta seperti Paz menemukan fakta, bahwa sastra modern memang adalah kritik terhadap zaman, kritik terhadap kebenaran tunggal. Tetapi untuk sekedar mengatakan itu, mengapakah seorang Nirwan harus mengutip Paz? Apakah Nirwan tidak membaca sastra Indonesia? Atau membaca, tapi merasa kalah dan rendah diri bila tidak mengutip 'raksasa dunia'? Inilah bukti ketaklukan: kita tak berani, dan tak berupaya, berpikir sendiri.

Dalam esainya, Menuju Redefenisi Sastra Dunia (Republika, 9 April 2006), Asep Samboja -- penyair dan dosen sastra UI (sebuah universitas tua dan sangat berwibawa) -- baru berani menyimpulkan, setelah bertanya-tanya dengan Harry Aveling, apakah sastra dunia itu. ''Dari situ kita dapat menyimpulkan,'' katanya, ''bahwa karya sastra apa pun yang lahir ke dunia merupakan sastra dunia.''

Esai itu makin menunjukkan bukti: kaum akademisi pun, tak hendak, tak mampu, dan tak berani, berpikir sendiri. Selalu pemikiran disandarkan pada pemikiran orang lain. Ajaib: sungguhkah, kita tidak bisa berpikir sendiri? Bukankah bahannya adalah manusia juga. Bukankah 'dunia' itu juga menimba bahan dari manusia dan semesta?

Adalah Ignas Kleden, yang keseriusannya berpikir tak perlu diragukan lagi, saat membahas cerpen-cerpen Sutardji Calzoum Bachri dalam bukunya, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, mengutip Ricoeur untuk makna teks dan makna referensi. Saya yakin, tanpa Ricoeur pun, semua pembaca akan sepakat, bahwa di dalam tiap karya sastra ada makna teks, makna yang diakibatkan oleh permainan bahasa dan unsur di dalam teks, dan makna referensi, makna yang dirujuk, atau merujuk, kepada dunia di luar teks.

Sebuah korespondesi seperti itu adalah suatu hal yang niscaya bila kita melihat, dan mempelajari sebuah soal. Tidak perlu karya sastra. Maksud saya, bila kita, katakanlah, sedang menginvestigasi seorang anak nakal yang mencuri uang teman sekelasnya, maka otomatis kita akan bertanya-tanya tentang kepibadian dalam si anak -- atau makna teks menurut bahasa Ricoeur yang dikutip Kleden. Selanjutnya kita akan mengarahkan penyelidikan pada 'mengapa si anak mencuri uang?' Apakah temannya menyuruh, lalu uang itu akan dipakai untuk berfoya-foya, atau karena tak mampu menahan lapar?

Itulah makna referensial. Dan itu, sebenarnya, adalah pemikiran logis. Pemikiran logis seperti itu, untuk orang sekaliber Ignas, sungguhkah harus bersandar kepada Ricoeur? Apakah Ignas tidak bisa mencari, dan menemukan konsep sendiri, untuk sampai, seperti Ricoeur, pada pendapat makna-teks dan makna referensial dalam sebuah karya sastra?

Kutip-mengutip, demikian merajalela di negeri ini. Seakan tanpa kutipan, sandaran ilmiahnya kurang. Padahal kutipan, seperti sering dipertontonkan banyak komunitas, tanda ketakmampuan berpikir sendiri, tanda inlanderisasi. Takluk pada 'dunia'. Untuk melepaskan diri dari belenggu itu, saatnya kita mencari sumber orientasi sendiri? Kemana?

Bila orang Yunani Kuno bertanya-tanya pada alam raya dan semesta, sebagai sumber penciptaan, kita pun harus menerobos 'alam raya dan semesta' orang Yunani itu. Masuk ke dalam beyond sumbernya: sebuah Kitab Besar, yang tersimpan di Lauhulmahfudz. Kitab Sang Inspirator Agung, yang merangkum, dan menukil, nasib dan takdir dunia. Kitab yang membuat seorang Khidir membunuh anak kecil. Ke sinilah arah penciptaan. Sebab Kitab Besar itu akan selalu mendedahkan dirinya, meretakkan dirinya dalam laku manusia: nujumnya menjadi 'beyond in absentia'.

Beyond in absentia itulah sebuah inspiring bagi penciptaan. Karena, ia mengandung segenap situasi, di mana nilai dan peristiwa, menggantung antara langit dan bumi. Dalam lubang yang menganga itu, seorang pengarang memetik ilhamnya: tangannya mengulur, memungut artefak, menjangkau orisinalitas: dialektik, dari apa yang harus dan apa yang mungkin.

Begitulah sumber penciptaan. Bukan orang lain. Bukan 'dunia'. Dengan demikian, kita akan rasakan sedapnya rasa merdeka, dan rasa berpikir. Bukan kemerdekaan pseudo. Bukan pula pemikiran pseudo. Tapi kemerdekaan dan pemikiran sejati, yang tegak menemukan dirinya di tengah bangsa-bangsa. Di tengah-tengah dunia. Seperti ditunjukkan sebuah sajak Ahmadun Yosi Herfanda: aku rumputan/kekasih tuhan/di kota-kota disingkirkan/alam memeliharaku subur di hutan.

*) Koran Republika

**) Cerpenis dan pengamat sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar