Ahmad Muchlish Amrin
Robert Pinsky,
demikianlah nama penyair Amerika yang pernah menjadi poet laureat, ia
menurunkan sebuah idealitas bahwa karya sastra (puisi) tidak hanya barisan kata
pilihan yang berat membawa kata-kata, melainkan karya sastra juga membawa
setangkup makna, sejarah, idealitas dan wawasan humanistik diluar lajur
“kepentingan” personal atau kelompok. Bagi Robert, menikmati sastra (puisi)
seperti menikmati suara, musik, tanpa mengetahui pengetahuan khusus yang secara
ilmiah mengkaji sastra seperti hermeneutika, semiotika yang dapat digunakan
untuk menginterpretasi karya sastra. Robert malah meyakini bahwa karya sastra
sebagai ruang spirit dapat dinikmati dengan cara mencermati rima-rima, pilihan
kata, muatan roh yang mengetuk detak jantung kita. Seperti pada metrik
tradisional, dapat menikmati karya-karya William Butler Yets, Ben Johnson,
untuk memahami free verse bisa menikmati kumpulan puisi William Carlos Williams
dan Wallace Stevens, untuk memahami linea pendek dapat membaca puisi Emily
Dickinson, tentang balada puisi modern dapat menikmati karya Thomas Hardy. Tak
ada yang lebih membantu memahami puisi selain mendengarkan secara cermat bunyi
(menjadi musik) setiap bersit larik sastra (puisi) yang dibaca.
Semenjak Marks Twain yang
membawa warna vernakular dalam sastra Amerika, kemudian dilanjutkan oleh
Hamengway yang membebaskan bahasa berbelit-belit dari prosa, perkembangan
sastra dunia sudah lama lepas dari purple prose dan mengarah ke berbagai
perkembangan menakjubkan seperti belakangan ini bisa kita lihat dalam karya WG
Sebald dan Gao Xinjian, begitu piawai mereka memadukan fakta dan fiksi sehingga
terciptalah karya-karya yang sangat menghanyutkan. Tak lain dan tak bukan,
karya-karya yang dilahirkan mereka merupakan karya-karya yang menyuarakan
sejarah kehidupan manusia, tantangan, penindasan yang dihadapi, birokratisasi,
strukturalisme yang mengkungkung manusia memanfaatkan kebebasannya. Semuanya
itu dapat direspon mereka dalam karya sastra, direspon dengan memberikan
otokrtik kontruktif sehingga karya-karya mereka dapat dibaca tidak hanya
sebagai karya sastra melainkan juga sejarah.
Sastra Develepmentalistik
yang penulis maksudkan di sini lebih mengarah pada peran penting sastra
merespon realitas sosial, lingkungan hidup sastrawan dengan berbagai kacamata
yang dipakainya. Janet Wolf, ahli sosiologi sastra mengungkapkan dalam bukunya
Hermeneutic Philosopy and The Sociology of Art (1975) bahwa dunia sastra
berangkat dari ranah kehidupan sosial yang disebutnya sebagai “dunia kehidupan”
(lebenswelt) yang membangun dua alasan sosiologis. Pertama, makna-makna dunia
bagi indvidu merupakan makna dunia sosial yang sudah ada sebelumnya, diperoleh
dari interaksi sosial dan sosialisasi individu yang bersangkutan. Kedua, tidak
sendiri dalam kehidupan itu, melainkan berbagi dengan sesamanya sehingga
membuatnya menjadi dunia sosial pula. Bila dalam sebuah lingkungan terdapat
“penyimpangan” aksi maupun bentuk “kelainan” dari lingkungan sosialnya, kita
akan beranggapan penyimpangan itu sebagai satu bentuk “penemuan” yang kemudian
dicari idealitas kulturalnya, sebab sebuah tindakan soial tidak serta merta
muncul dari ruang kosong, tindakan sosial terjadi karena adanya pengaruh intern
maupun ekstern individu/kelompok yang mengadakan interksi.
Dunia kehidupan merupakan
tempat manusia dengan kegiatan sehari-harinya bekerjasama dengan sesamanya.
Dari itu Alfred Schutz (1963) mengatakan, dunia dari keseharian hidup merupakan
wahana kebangunan pertumbuhan manusia yang terlibat di dalamnya, diantara
pengalaman sesamanya di mana dicap kodrati dipandang sebagai suatu realitas.
Dunia sastra merupakan sebuah dunia yang bersentuhan dengan segala realitas dan
segala keperihannya. Bagi seorang sastrawan develementalis sangat berdekatan
dengan dunia masyarakat secara umum, bahkan suara yang termuat dalam
karya-karyanya banyak memasukkan idealitas-idealitas lingkungan sekitarnya,
baik karya itu dikemas menjadi bentuk berita dan keunikan-keunikannya atau
karya itu berbentuk pemberontakan terhadap realitas.
***
Seolah menjadi doktrin
dalam sastra bahwa sastra lahir menjadi bentuk perlawanan terhadap sebuah
sistem atau struktur masyarakat dan lingkungan sekitarnya, sastra melakukan
pembelaan terhadap penindasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan. Sastra
menyuarakan sebuah spirit humanisme dan komunisme marxian, yang mengidealkan
sama rasa sama rata sehingga dengan perlawanan semacam itu sastra mampu menjadi
dirinya sendiri yang independen serta memberi inspirasi bagi sebuah
perkembangan menuju pencerahan (aufclarung). Dalam sisi lain, sastra juga
melakukan hegemoni Gramscian yang dimulai dengan meleburkan idealitas dengan
fakta sosial (social fact) sebagai aspirasi melakukan unjuk rasa terhadap
sekian sistem yang mengkungkung.
Di Eropa, kita dapat
menyimak karya sastra yang dilarang terbit di negaranya bahkan Derek Walcott
diusir dari negaranya karena menulis puisi tentang perlawanan terhadap
pemerintah Rusia. Veronika karya Paulo Colho dilarang terbit di negaranya
sehingga membuat sang pengarang tersisih dalam realitas sosialnya. Di
Indonesia, kita bisa menyimak sebuah puisi pendek karya Widji Tukhul yang
berbunyi “Hanya ada satu kata, lawan!” yang telah menginspirasi mahasiswa
Indonesia untuk mengadakan pemberontakan pada tahun 1980-an, sehingga dengan
itu menyebabkan Tukhul hilang dari permukaan; tak tentu rimbanya. Tetralogi
Bumi Manusia karya Pamoedya Ananta Toer yang dilarang beredar pada zaman orde
baru, dianggap telah melakukan pembangkangan terhadap pemerintah sehingga siapa
yang memiliki buku tersebut dapat dimasukkan ke penjara. Tuhan, Izinkan Aku
Menjadi Pelacur, Kabar Buruk Dari Langit, Adam dan Hawa karya Muhidin M Dahlan
yang sempat disomasi dan ditarik dari peredaran karena berisi tentang
perlawanan terhadap kalangan Islam garis kanan (HTI) yang “normatif”.
Ah! Jika demikian, sampai
kapan idealitas-idealitas suci itu akan tersisih, akan menjadi musuh bagi
“kelacuran-kelacuran” ideologi yang telah menjadi sistem? Entahlah! Namun kita
selalu berharap sebuah struktur yang mendominasi bukan salah satu institusi yang
merasa memiliki kebenaran absolut, institusi adalah sebuah media untuk
membangun dan mencari kebenaran-kebenaran yang masih semu.
Ecreture
Sastra (dalam hal ini
puisi) tidak hanya berupa rangkaian kata yang dipilih untuk mewakili nuansa
estetik yang terkandung dalam diri penyair, lebih dari itu, puisi menyampaikan
segerobak idealitas, inspirasi dan gagasan baru bagi pembaca. Janet S Wong,
seorang penyair perempuan berkebangsaan Amerika, lahir dari seorang ayah
emigran China dan seorang Ibu emigran Korea. Pada mulanya Janet sangat membenci
puisi ketika ia berprofesi sebagai seorang direktur hubungan kerja pada
Universitas Studius Hollywood, ia bertanggung jawab dalam soal negosiasi
kontrak untuk 9 serikat kerja yang berlainan dan bertaanggung jawab dalam rekrutmen
dan pemecatan para karyawan/buruh. Dalam waktu satu minggu, Janet bisa saja
memecat sepuluh orang di sebuah perusahaan terkait. Karena pekerjaannya yang
sangat ‘keras’ itu menyebabkan Janet tidak yakin, apakah dia mampu bekerja di
bidang lain yang lebih baik dan bisa memberinya kesenangan.
Untuk menghilangkan
kejenuhan kerjanya, suatu hari Janet menghadiri workshop yang dilakukan Myra
Cohn Livingston, wanita yang telah menggarap 83 buku, Janet yang sebenarnya
juga cerdas terkagum-kagum pada Myra, begitu mendengar penyampaiannya yang luar
biasa, ia sadar dan banyak belajar dari kearifan-kearifan yang disampaikannya,
walau ketika itu Janet masih belum suka puisi. Meski tidak suka puisi, Janet
sudah terlanjur kagum pada pengarang 83 buku itu, apa boleh buat, ia
melanjutkan ‘kursus kilat’nya selama tiga bulan. Dan setelah itu Janet S Wong
baru jatuh cinta pada puisi.
Nah, sebagai seorang yang
terbiasa dengan efisiensi, Janet membuat target ‘dalam satu tahun dirinya
diharuskan menyelesaikan satu buku antologi puisi anak-anak’. Namun ternyata
target tersebut hanya menjadi niat belaka yang pelaksanaannya ternyata tidak
semudah membolak-balikkan telapak tangan. Baru setelah bekerja keras selama
satu setengah tahun, Janet bisa menyelesaikan antologi tunggal pertamanya yang
berjudul Good Luck Gold. Seperti pengakuan Janet sebagaimana dirilis New York
Times (1997) buku itu diselesaikannya karena motivasi dari suaminya yang
sarjana hukum. Glenn, suaminya tidak hanya membaca manuskrip puisi-puisinya,
lebih dari itu ia memberikan hembusan optimisme pada Jenet ketika dirinya
ragu-ragu untuk menerbitkannya, Glenn juga mengantarkan Janet mengirimkan
naskahnya ke penerbit—yang dianggapnya sebagai ujian awal bagi karya-karyanya.
Bagi Janet, motivasi
suami benar-benar sangat menolong terbitnya antologi tersebut. Buktinya,
masyarakat puisi dan kritikus menyambut baik kehadiran antologi tersebut
sehingga dengan sambutan itu membuat Janet mengambil sebuah keputusan untuk
meninggalkan pekerjaannya sebagai direktur dan secara full time menjadi
penyair. Kemudian lahirlah buku kedua yang tak kalah tenarnya dengan buku
pertama yang berjudul A Suitcase of Seaweed yang terbit pada tahun 1997. Hanya
dengan dua buku itulah nama Janet S Wong menjadi terkenal di seluruh Amerika,
bahkan Janet seringkali diminta untuk bicara di sekolah-sekolah AS, mulai
tingkat SD hingga perguruan tinggi. Sampai saat inipun nama Janet masih
bergaung harum di daratan Amerika dan masih menjalani hidupnya sebagai seorang
penyair.
***
Dalam ruang feminisme,
idealitas yang dikedepankan adalah “menolak” peran laki-laki secara total dan
mengabaikan peran perempuan. Hal itu ternyata tidak di-ia-kan oleh semuanya
perempuan, sebagian perempuan berupaya membangun kehidupan secara logis
berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing yang sesuai. Sementara
para pejuang feminisme kadang memberikan bombastis ke-nakal-an idealitasnya
dengan mencoba untuk merombak sekian struktur pemahaman masyarakat tradisional
menuju pemahaman modernitas yang serba rasional. Yang perlu disadari, Secara
fitrah psikologis perempuan membutuhkan motivasi dari seorang laki-laki (suami)
untuk meyakinkan bahwa langkah yang dilaluinya merupakan langkah yang
tepat—lebih pada dewan pertimbangan langkah-langkahnya sebagaimana yang dialami
Janet, walaupun Janet sendiri adalah seorang wanita karier yang hebat.
Jurgen Habermas
mengungkap dalam teori Komunikasinya bahwa seorang laki-laki butuh perhatian,
seorang perempuan butuh perlindungan. Laki-laki yang diperhatikan perempuan,
keseriusan dalam melaksanakan dan menyelesaikan program-programnya akan semakin
bertambah. Begitu pula sebaliknya, perempuan yang (merasa) dilindungi, akan
semakin cerdas, karena ia tidak sedang berpikir untuk (keamanan) dirinya.
Pertanyaannya kemudian, mengapa perempuan kadang cenderung “sofistik”
(bergenit-genit), ketika genderitas dapat bergaung bebas di era modernitas ini?
Apakah ruang modernitas kemudian dijadikan kesempatan untuk mengeksplorasi dan
menjadi ruang pemberontakan perempuan di wilayah kelamin, kedudukan, kinerja
(khususnya pemberontakan dalam tulisan)?
Mariana Aminuddin (2004)
pernah mengungkap tentang Ecriture yang berangkat dari sebuah kata atau konsep
yang diambil dari bahasa Perancis tentang gagasan dunia penulisan. Istilah
ecriture lahir dari Helene Cixous, tokoh sastra feminis Prancis yang biasa
dikenal dengan ecriture feminine “penulisan feminin”. Ide ini tidak menutup
kemungkinan penulisan maskulin atau penulisan yang dibangun oleh pengalaman
pria. Penulisan feminin adalah dunia penulisan yang diciptakan berdasarkan
perbedaan seks yang di dalamnya terdapat ketiadabatasan, seperti mimpi.
Perbedaan seks dapat menunjukkan determinasi penulisan yang berbasis jender dan
memiliki potensi alternatif sekaligus jalan memahami dunia. Penulisan feminin
memiliki potensi kemungkinan analisis bagi kedua jenis kelamin, meski perempuan
akan lebih dekat dengan konsep ini daripada laki-laki. Penulisan feminin
berpotensi menyatakan dan memformulasi struktur yang bahkan meliputi atau
memasuki pengalaman lainnya.
Penulisan feminin kental
dengan hasrat kematian sebagai kehidupan (kelahiran) atau kebangkitan.
Sedangkan penulisan maskulin menjadikan kematian sebagai inspirasi kesudahan,
the end of the world. Penulisan feminin mencari kehidupan di balik kematian
karena investasi organ seksnya yang bernama rahim selalu mengandung semangat
kehidupan. Perempuan meninggalkan kehidupan karena penindasan dan posisinya
sebagai jenis kelamin kedua setelah pria (meminjam The Second Sex Simone de
Beauvoir). Kematian bagi perempuan adalah kehidupan yang tiada batas. Sedangkan
pada laki-laki, kematian adalah lari dari absurditas hidup yang bergelimang
kuasa dan kedudukan, yang sesungguhnya sangat terbatas dan tak bebas. Penulisan
maskulin tertarik pada kematian karena jenuh dengan kemenangan dan kekuasaannya
yang ternyata kaku, membosankan, dan penuh aturan.
***
http://sastra-indonesia.com/2008/08/sastra-developmentalistik-dan-ecreture-penyair-perempuan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar